Friday, 15 May 2015

CERBUNG : SUJUD CINTAKU DI MIHRAB TAAT (17)





....... Mereka yang tidak paham dahsyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energi cinta akan meledakkannya dengan sia-sia (Dee) ........


            “Dengerin gue, Do.! Bukan maksud gue buntutin Lo sama cewek Korea tersebut. Sumpah demi apapun.! Gue ga sengaja.!”
            Dengan nada sedikit berbisik namun tegas karena takut terdengar oleh Elen dan yang lainnya, Arinda mencoba menjelaskan alasannya. Namun aku tidak percaya begitu saja. Aku membuang muka. Separuh agak marah. Separuhnya lagi agak heran. Kenapa tiba-tiba Arinda tahu semua tentang Yong Mi.
            “sejauh apa yang Lo tau tentang Yong Mi.”
            “Yong Mi hamil karena Lo. Dan dia ke Jakarta buat menuntut tanggung jawab Lo.”
            Aku menatap Arinda dengan tatapan tajam. Mataku merah. Nafasku agak memburu. Iya. Aku agak sedikit marah dengan sikap Arinda yang menurutku telah terlampau jauh mencampuri urusanku.
            “Sumpah Do.! Gue ga sengaja. Siang itu, gue diminta menjemput klien tante Ana di bandara. Karena menunggu jemputan agak lama, gue ngajak mereka minum sebentar di kafe dekat bandara. Kafe yang sama ketika Lo berdua ngobrol sama . . . .”
            “Yong Mi.”

            “Iya. Yong Mi. Kalau Lo ga terlalu serius, mungkin Lo masih sempat liat gue yang duduk dua bangku di depan Lo. Tapi karena Lo lagi serius sama Yong Mi, Lo ga sempat merhatiin sekitar.”
            Satu sisi hatiku ingin meledak. Tapi aku tidak bisa berkata apapun. Kuputuskan untuk mendengar cerita Arinda sampai akhir. Meledakkan kemarahan pada Arinda hanya akan membuat seluruh orang mengetahui tentang Yong Mi dan kehamilannya di saat aku baru saja menikah dengan Elen.
            Bukannya aku tidak mau menyelesaikan masalah ini. Bukannya aku tidak mau bertanggung jawab dengan kehamilan Elen yang disebabkan oleh perbuatanku. Sungguh bukan. Aku hanya masih mencari waktu dan cara yang tepat agar aku bisa menyelesaikan semua ini tanpa menyisakan masalah apapun.
            “Karena akhirnya Tante Ana sendiri yang menjemput tamunya, gue minta izin untuk pulang ke butik belakangan. Ga barengan sama Tante Ana dan tamunya. Dan gue. . . “
            Lo buntuti gue sama Yong Mi sampai ke hotel karena penasaran?”
            Elen mengangguk dengan sedikit ketakutan.
            “Maksud gue bukan itu, Do. .. Maksud gue. . . .”
            “Iya. Lo penasaran kan?. Dan rasa penasaran Lo akhirnya terbukti.”
            Arinda diam sejenak. Seperti memberi kesempatan padaku untuk mengambil nafas agar tidak terjadi keributan yang membuat penasaran banyak orang. Setelah hening beberapa detik, akhirnya Arinda mengangguk pelan.
            “Setelah Lo mengantar dia ke hotel dan gue memastikan Lo hanya meninggalkan Yong Mi sendirian di kamar hotel, gue mencoba memberanikan diri mengetuk kamarnya”
            Aku masih memutuskan untuk mendengarkan cerita Arinda.
“Tadinya gue mengira Yong Mi ga bisa berbahasa Indonesia. Namun ternyata gue salah. Demi mencari Lo sendirian di Jakarta, dia rela belajar bahasa Indonesia meski terpatah-patah tak sempurna. Awalnya dia mengambil jarak dari gue. Takut karena gue orang asing. Namun, setelah gue menjelaskan siapa gue dan pengakuanku bahwa gue teman baik Lo, akhirnya dia mau menerima kehadiran gue.”
“Dan Lo berlagak seperti pahlawan kepagian yang menyediakan seluruh telinga Lo demi memuaskan rasa penasaran Lo dengan cara berbaik hati mendengar semua cerita dia?. Gitu.?!”
 “Bukan gitu maksud gue, Do. . .”
“Lalu apa?!”
Arinda mengangkat bahu. Menyerah begitu saja dengan kalimat tuduhanku karena mungkin dia tidak menemukan kalimat penjelasan terbaik untuk segala maksudnya.
Ok, baiklah. Terserah apa yang Lo kira. Tapi, Please.! Gue mohon Lo dengerin semua cerita gue dulu. Atau nyawa dan keselamatan Lo terancam.”
Reflek dahiku berkerut tajam. Rasanya seperti disiram air es ketika sedang lelap tertidur.
Lo kenal dengan kakak Yong Mi? Kim Soo Jin”
Kim Soo Jin? Siapa yang tidak kenal dengan ketua geng begundal selevel mafia kelas hiu di Seoul itu? Yang tak lain dan tak bukan adalah kakak kandung Yong Mi sendiri.
“Tanpa kuceritakan bagaimana track record Kim Soo Jin, Lo pastinya udah ngerti bahaya apa yang Lo hadapi sekarang?”
            Mulutku reflek terkunci. Arinda pastilah telah mendengar dari mulut Yong Mi sendiri bagaimana kehawatirannya jika sampai Kim Soo Jin tahu apa yang dialami Yong Mi sekarang. Aku bisa mengerti keadaan ini. Seorang kakak mana yang rela melihat adik perempuan satu-satunya dihamili oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab seperti aku. Maksud dari kata tidak bertanggung jawab di sini adalah kenapa aku jutru menikah dengan Elen di saat aku tahu Yong Mi tengah hamil anakku.
            Aku sadar bahaya apa yang sedang kuhadapi. Kim Soo Jin tak segan-segan menghabisi nyawaku jika sedikit saja aku menggoreskan luka di tubuh adik tercintanya. Apalagi yang kulakukan pada Yong Mi sekarang tak hanya menggoreskan sedikit luka. Tapi merengggut seluruh kehormatan dan harta terbaiknya.
            Lamat-lamat kutatap mata Arinda. Mungkin tak hanya Kim Soo Jin yang mengira bahwa aku adalah laki-laki pengecut yang tidak mau bertanggung jawab atas dosa yang pernah kuperbuat. Bahkan Arinda yang sekarang duduk di hadapanku dan mencoba untuk menolongku saja mungkin akan berfikiran tak jauh dari itu. Bersyukur karena rencana perjodohan antara aku dengannya tidak pernah terjadi. Bersyukur karena antara dia dan aku tidak pernah ada hubungan apapun.
            Atau dia akan mengalami hal yang sama seperti apa yang dialami Yong Mi. Ataupun merasa dihianati seperti apa yang dirasakan Elen seandainya Elen tahu semua ini.
            Aku menyandar lemas pada sandaran kursi di teras. Mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Mencoba menenangkan diri sendiri bahwa esok akan ada penyelesaian masalah terbaik yang kutemukan.
Seharusnya malam ini aku bahagia. Seharusnya aku menikmati malam pengantinku dengan gelak tawa dan kebahagiaan layaknya pengantin baru bersama Elen. Tapi apa yang kudapatkan sekarang?. Semua masalah seperti tertumpuk rapi di otak.
“Kalau boleh gue saranin, mendingan Lo segera kasih kepastian pada Yong Mi.”
“Kepastian apa?. Menikahinya?”
“Jika itu jalan satu-satunya, kenapa tidak?”
Jawaban dari Arinda yang sama sekali tidak pernah kuharapkan.
“Yang berarti, malam ini juga gue harus menceraikan Elen? Wanita yang gue cintai sepenuh hati dan baru saja kunikahi beberapa menit yang lalu?!”
Arinda menggeleng lemas sambil mendongak menatap langit dengan tatapan seadanya. Ketika menyadari bahwa solusi yang ditawarkan pun sepertinya masih menggantung.
Sekelebat semua kenangan itu seperti meledekku. Seoul Lantern Festival. Hotel. Sekamar berdua dengan Yong Mi. Dan. . . . . perlakuanku malam itu pada Yong Mi. Aku menyesal. Seharusnya aku menikmati kenikmatan malam itu di malam ini bersama Elen. Istri sekaligus wanita yang amat kucintai. Tapi. . . . malam itu telah menghanguskan semuanya. Memberi sisa abu yang sangat menyakitkan.
Aku menyisir rambut dengan jari. Mencoba menghilangkan muka kebas. Dimana aku tak tahu harus mencari jalan penyelesaian dari mana.
“Rin,,,, boleh gue tanya sesuatu?”
Arinda mengangguk.
“Kenapa Lo masih mau nolongin gue?. Seharusnya Lo bersyukur karena Lo ga pernah ada hubungan sama gue. Kalau sampai ada hubungan di antara kita, mungkin nasib Lo bakalan sama dengan Elen atau Yong Mi yang tidak pernah ada kejelasan.”
Arinda tersenyum tipis “Karena gue tau, Lo bukanlah apa yang Lo sendiri sangkakan saat ini.”
Jawaban yang seharusnya membuat hatiku melayang. Namun sayangnya, kalimat itu tak bisa sedikitpun menjadi jarum yang dapat mengurai kusutnya benang permasalahan yang kuhadapi saat ini.
“Yong Mi udah tau?, kalau malam ini Lo nikah sama Elen.”
Aku menggeleng lemas.
“Terus, kalau boleh tahu, apa yang membuat Lo tiba-tiba memutuskan menikah dengan Elen secara dadakan seperti ini?”
Pertanyaan yang sulit. Bahkan aku sendiripun sampai sekarang belum sadar kenapa aku melakukan itu.
Hening sejenak.
“Evan dimana?”
Aku balik bertanya dengan pertanyaan yang sama sekali tidak berhubungan. Tapi Arinda masih berbaik hati untuk menjawabnya.
“Tenang. Evan sementara di rumah gue.”
“Dia tau? Kalau malam ini gue nikah sama Elen.”
Arinda mengangguk pelan.
“Dia pasti marah sama gue.”
“Mungkin.”
“Tapi memaksakan perasaan Elen untuk menikah dengannya bukanlah jalan bijak.”
Arinda tersenyum sinis.
“Itu hanya sebatas kelimat pembenaran atas segala sikap egois Lo.”
Aku tersenyum tak kalah sinis. Pembenaran yang mana?. Buktinya Elen mengaku sendiri tidak pernah mencintai Evan. Setelah bertemu denganku, justru dia menemukan cinta sejatinya. Hal yang selama tidak pernah dia temukan pada diri Evan. Persetan dengan perasaan. Semua sah dalam perang dan cinta.
Handphonku bergetar. Dahiku berkerut tajam. Panggilan masuk Kyung Dong Jung.
“Aahh Song Seung Hun. Lama sekali kau angkat telphonku, hah?!”
Andai sekarang pikiranku sedang tidak kusut, aku pasti sudah complain dengan caranya mengganti namaku dengan panggilan Song Seung Hun. Tapi baiklah. Membahas perdebatan kecil tentang nama panggilan tidaklah mengasikkan saat keadaan sekusut ini.
“Iya. Ada apa?”
“Kau sudah bertemu Yong Mi?. Atau jangan-jangan kau sudah bertemu Kim Soo Jin?”
Soo Jin? Dia sudah berangkat ke Indonesia?.
“Seung Huuuunnnn... Kau dengar aku hah.?!”
“Oh, iya Dong Jun. Aku mendengarmu. Apa kau bilang tadi? Aku sudah ketemu Soo Jin apa belum?”
“Iya. Tadi pagi Soo Jun bergegas berangkat ke Jakarta. Katanya ada perhitungan yang akan dia selesaikan denganmu. Memangnya perhitungan apa?. Nampaknya dia sangat marah. Kau apakan adiknya, hah?”
Aku menelan ludah. Sepertinya apa yang dihawatirkan Arinda akan jadi kenyataan. Tidak sulit bagi ketua geng begundal mavia sekelas Kim Soo Jin untuk menemukanku meski di Jakarta. Dia dan anak buahnya terlatih sekali dalam urusan seperti ini. Dari cerita Dong Jun dan Arinda, bisa dipastikan Kim Soo Jun datang ke Jakarta dengan segenap kemarahan.
Jantungku berdetak serabutan.
“Seung Huuuunnnn... kau masih mendengarkan aku?”
“Eh?. I... iya... aku masih mendengarmu.”
“Seung Hun, Sebaiknya kau ceritakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi?. Atau nyawamu tinggal menghitung jam sampai Soo Jun menginjakkan kaki di Jakarta.”
Detak jantungku berlari lebih tak terkendali. Aku menatap Arinda mencoba mencari jawaban dengan sorot mataku yang jelas terlihat ketakutan. Tapi percuma. Arinda tidak akan pernah mengerti maksud percakapanku dengan Dong Jun yang menggunakan bahasa Korea. Keringat dinginku deras mengucur. Semuanya bertambah kusut.
“Seb..sebenarnya... A... A... Aku...Aaahhhhh.......”
Logikaku tiba-tiba lumpuh. Otakku beku. Lidahku kaku. Aku tak sanggup menjelaskannya pada Dong Jun.
Kututup telphon dari Dong Jun dengan segenap ketakutan yang memuncak. Aku masuk ke dalam rumah. Sigap menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja tamu. Kemudian bergegas berlari keluar dengan disertai tatapan heran semua orang.
“Edo... mau kemana nak?” Mama mencoba bertanya.
“Edo.... Do... Mau kemana?”
Pertanyaan yang  hampir senada terucap oleh semua orang. Tapi tak sedikitpun kuhiraukan. Dengan langkah setengah berlari aku menggandeng tangan Arinda yang duduk di kursi tamu. Menariknya agar mengikuti saja langkahku tanpa banyak bertanya.
“Edo... mau kemana Do?”
Arinda mencoba memberontak. Sisi logika ketenanganku sebagai laki-laki tak lagi dapat kurasakan.
“Ikuti saja gue, Rin. Bergegas masuk ke mobil. Sekarang Kim Soo Jin ada di Jakarta.”
Aku menghidupkan mobil. Galak memencet klakson agar security yang menjaga pintu rumah Elen segera membukakan pintu.
“Kim Soo Jin di Jakarta?”
Aku tidak sempat menjawab pertanyaan Arinda. Kakiku reflek menekan gas mobil agar melaju dengan kencang.
Nyawaku seperti telur di ujung duri.

           
           

No comments:

Post a Comment