....... Mereka
yang tidak paham dahsyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka
yang tidak paham energi cinta akan meledakkannya dengan sia-sia (Dee)
........
“Dengerin gue, Do.! Bukan maksud gue
buntutin Lo sama cewek Korea
tersebut. Sumpah demi apapun.! Gue ga
sengaja.!”
Dengan nada sedikit berbisik namun
tegas karena takut terdengar oleh Elen dan yang lainnya, Arinda mencoba
menjelaskan alasannya. Namun aku tidak percaya begitu saja. Aku membuang muka.
Separuh agak marah. Separuhnya lagi agak heran. Kenapa tiba-tiba Arinda tahu
semua tentang Yong Mi.
“sejauh apa yang Lo tau tentang Yong Mi.”
“Yong Mi hamil karena Lo. Dan dia ke Jakarta buat menuntut
tanggung jawab Lo.”
Aku menatap Arinda dengan tatapan
tajam. Mataku merah. Nafasku agak memburu. Iya. Aku agak sedikit marah dengan
sikap Arinda yang menurutku telah terlampau jauh mencampuri urusanku.
“Sumpah Do.! Gue ga sengaja. Siang itu, gue
diminta menjemput klien tante Ana di bandara. Karena menunggu jemputan agak
lama, gue ngajak mereka minum
sebentar di kafe dekat bandara. Kafe yang sama ketika Lo berdua ngobrol sama . . . .”
“Yong Mi.”
“Iya. Yong Mi. Kalau Lo ga terlalu serius, mungkin Lo masih sempat liat gue yang duduk dua bangku di depan Lo. Tapi karena Lo lagi serius sama Yong Mi, Lo
ga sempat merhatiin sekitar.”
Satu sisi hatiku ingin meledak. Tapi
aku tidak bisa berkata apapun. Kuputuskan untuk mendengar cerita Arinda sampai
akhir. Meledakkan kemarahan pada Arinda hanya akan membuat seluruh orang
mengetahui tentang Yong Mi dan kehamilannya di saat aku baru saja menikah
dengan Elen.
Bukannya aku tidak mau menyelesaikan
masalah ini. Bukannya aku tidak mau bertanggung jawab dengan kehamilan Elen
yang disebabkan oleh perbuatanku. Sungguh bukan. Aku hanya masih mencari waktu
dan cara yang tepat agar aku bisa menyelesaikan semua ini tanpa menyisakan
masalah apapun.
“Karena akhirnya Tante Ana sendiri
yang menjemput tamunya, gue minta
izin untuk pulang ke butik belakangan. Ga
barengan sama Tante Ana dan tamunya. Dan gue.
. . “
“Lo
buntuti gue sama Yong Mi sampai ke
hotel karena penasaran?”
Elen mengangguk dengan sedikit
ketakutan.
“Maksud gue bukan itu, Do. .. Maksud gue.
. . .”
“Iya. Lo penasaran kan?. Dan rasa penasaran Lo akhirnya terbukti.”
Arinda diam sejenak. Seperti memberi
kesempatan padaku untuk mengambil nafas agar tidak terjadi keributan yang
membuat penasaran banyak orang. Setelah hening beberapa detik, akhirnya Arinda
mengangguk pelan.
“Setelah Lo mengantar dia ke hotel dan gue memastikan Lo hanya meninggalkan Yong Mi sendirian di kamar hotel, gue mencoba memberanikan diri mengetuk
kamarnya”
Aku masih memutuskan untuk
mendengarkan cerita Arinda.
“Tadinya
gue mengira Yong Mi ga bisa berbahasa Indonesia. Namun
ternyata gue salah. Demi mencari Lo sendirian di Jakarta, dia rela
belajar bahasa Indonesia meski terpatah-patah tak sempurna. Awalnya dia
mengambil jarak dari gue. Takut
karena gue orang asing. Namun, setelah
gue menjelaskan siapa gue dan pengakuanku bahwa gue teman baik Lo, akhirnya dia mau menerima kehadiran gue.”
“Dan
Lo berlagak seperti pahlawan kepagian
yang menyediakan seluruh telinga Lo
demi memuaskan rasa penasaran Lo
dengan cara berbaik hati mendengar semua cerita dia?. Gitu.?!”
“Bukan gitu maksud gue, Do. . .”
“Lalu
apa?!”
Arinda
mengangkat bahu. Menyerah begitu saja dengan kalimat tuduhanku karena mungkin
dia tidak menemukan kalimat penjelasan terbaik untuk segala maksudnya.
”Ok, baiklah. Terserah apa yang Lo kira. Tapi, Please.! Gue mohon Lo dengerin semua cerita gue dulu. Atau nyawa dan keselamatan Lo terancam.”
Reflek
dahiku berkerut tajam. Rasanya seperti disiram air es ketika sedang lelap
tertidur.
“Lo kenal dengan kakak Yong Mi? Kim Soo
Jin”
Kim Soo Jin?
Siapa yang tidak kenal dengan ketua geng begundal selevel mafia kelas hiu di
Seoul itu? Yang tak lain dan tak bukan adalah kakak kandung Yong Mi sendiri.
“Tanpa
kuceritakan bagaimana track record
Kim Soo Jin, Lo pastinya udah ngerti
bahaya apa yang Lo hadapi sekarang?”
Mulutku reflek terkunci. Arinda
pastilah telah mendengar dari mulut Yong Mi sendiri bagaimana kehawatirannya
jika sampai Kim Soo Jin tahu apa yang dialami Yong Mi sekarang. Aku bisa
mengerti keadaan ini. Seorang kakak mana yang rela melihat adik perempuan
satu-satunya dihamili oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab seperti aku.
Maksud dari kata tidak bertanggung jawab di sini adalah kenapa aku jutru
menikah dengan Elen di saat aku tahu Yong Mi tengah hamil anakku.
Aku sadar bahaya apa yang sedang
kuhadapi. Kim Soo Jin tak segan-segan menghabisi nyawaku jika sedikit saja aku
menggoreskan luka di tubuh adik tercintanya. Apalagi yang kulakukan pada Yong
Mi sekarang tak hanya menggoreskan sedikit luka. Tapi merengggut seluruh
kehormatan dan harta terbaiknya.
Lamat-lamat kutatap mata Arinda.
Mungkin tak hanya Kim Soo Jin yang mengira bahwa aku adalah laki-laki pengecut
yang tidak mau bertanggung jawab atas dosa yang pernah kuperbuat. Bahkan Arinda
yang sekarang duduk di hadapanku dan mencoba untuk menolongku saja mungkin akan
berfikiran tak jauh dari itu. Bersyukur karena rencana perjodohan antara aku
dengannya tidak pernah terjadi. Bersyukur karena antara dia dan aku tidak
pernah ada hubungan apapun.
Atau dia akan mengalami hal yang
sama seperti apa yang dialami Yong Mi. Ataupun merasa dihianati seperti apa
yang dirasakan Elen seandainya Elen tahu semua ini.
Aku menyandar lemas pada sandaran
kursi di teras. Mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Mencoba
menenangkan diri sendiri bahwa esok akan ada penyelesaian masalah terbaik yang
kutemukan.
Seharusnya
malam ini aku bahagia. Seharusnya aku menikmati malam pengantinku dengan gelak
tawa dan kebahagiaan layaknya pengantin baru bersama Elen. Tapi apa yang
kudapatkan sekarang?. Semua masalah seperti tertumpuk rapi di otak.
“Kalau
boleh gue saranin, mendingan Lo segera kasih kepastian pada Yong Mi.”
“Kepastian
apa?. Menikahinya?”
“Jika
itu jalan satu-satunya, kenapa tidak?”
Jawaban
dari Arinda yang sama sekali tidak pernah kuharapkan.
“Yang
berarti, malam ini juga gue harus
menceraikan Elen? Wanita yang gue
cintai sepenuh hati dan baru saja kunikahi beberapa menit yang lalu?!”
Arinda
menggeleng lemas sambil mendongak menatap langit dengan tatapan seadanya. Ketika
menyadari bahwa solusi yang ditawarkan pun sepertinya masih menggantung.
Sekelebat
semua kenangan itu seperti meledekku. Seoul Lantern Festival. Hotel. Sekamar berdua dengan Yong Mi. Dan. .
. . . perlakuanku malam itu pada Yong Mi. Aku menyesal. Seharusnya aku
menikmati kenikmatan malam itu di malam ini bersama Elen. Istri sekaligus
wanita yang amat kucintai. Tapi. . . . malam itu telah menghanguskan semuanya.
Memberi sisa abu yang sangat menyakitkan.
Aku menyisir rambut dengan jari. Mencoba
menghilangkan muka kebas. Dimana aku tak tahu harus mencari jalan penyelesaian
dari mana.
“Rin,,,, boleh gue tanya sesuatu?”
Arinda mengangguk.
“Kenapa Lo masih mau nolongin gue?.
Seharusnya Lo bersyukur karena Lo ga pernah ada hubungan
sama gue. Kalau sampai ada hubungan di antara kita, mungkin nasib Lo
bakalan sama dengan Elen atau Yong Mi yang tidak pernah ada kejelasan.”
Arinda tersenyum tipis “Karena gue tau, Lo
bukanlah apa yang Lo sendiri sangkakan saat ini.”
Jawaban yang seharusnya membuat hatiku melayang.
Namun sayangnya, kalimat itu tak bisa sedikitpun menjadi jarum yang dapat
mengurai kusutnya benang permasalahan yang kuhadapi saat ini.
“Yong Mi udah tau?, kalau malam ini Lo nikah
sama Elen.”
Aku menggeleng lemas.
“Terus, kalau boleh tahu, apa yang membuat Lo
tiba-tiba memutuskan menikah dengan Elen secara dadakan seperti ini?”
Pertanyaan yang sulit. Bahkan aku sendiripun sampai
sekarang belum sadar kenapa aku melakukan itu.
Hening sejenak.
“Evan dimana?”
Aku balik bertanya dengan pertanyaan yang sama
sekali tidak berhubungan. Tapi Arinda masih berbaik hati untuk menjawabnya.
“Tenang. Evan sementara di rumah gue.”
“Dia tau? Kalau malam ini gue nikah sama
Elen.”
Arinda mengangguk pelan.
“Dia pasti marah sama gue.”
“Mungkin.”
“Tapi memaksakan perasaan Elen untuk menikah
dengannya bukanlah jalan bijak.”
Arinda tersenyum sinis.
“Itu hanya sebatas kelimat pembenaran atas segala
sikap egois Lo.”
Aku tersenyum tak kalah sinis. Pembenaran yang
mana?. Buktinya Elen mengaku sendiri tidak pernah mencintai Evan. Setelah
bertemu denganku, justru dia menemukan cinta sejatinya. Hal yang selama tidak
pernah dia temukan pada diri Evan. Persetan dengan perasaan. Semua sah dalam
perang dan cinta.
Handphonku bergetar. Dahiku berkerut tajam. Panggilan masuk
Kyung Dong Jung.
“Aahh
Song Seung Hun. Lama sekali kau angkat telphonku, hah?!”
Andai
sekarang pikiranku sedang tidak kusut, aku pasti sudah complain dengan caranya mengganti namaku dengan panggilan Song
Seung Hun. Tapi baiklah. Membahas perdebatan kecil tentang nama panggilan
tidaklah mengasikkan saat keadaan sekusut ini.
“Iya.
Ada apa?”
“Kau
sudah bertemu Yong Mi?. Atau jangan-jangan kau sudah bertemu Kim Soo Jin?”
Soo Jin? Dia sudah
berangkat ke Indonesia?.
“Seung
Huuuunnnn... Kau dengar aku hah.?!”
“Oh,
iya Dong Jun. Aku mendengarmu. Apa kau bilang tadi? Aku sudah ketemu Soo Jin
apa belum?”
“Iya.
Tadi pagi Soo Jun bergegas berangkat ke Jakarta. Katanya ada perhitungan yang
akan dia selesaikan denganmu. Memangnya perhitungan apa?. Nampaknya dia sangat
marah. Kau apakan adiknya, hah?”
Aku
menelan ludah. Sepertinya apa yang dihawatirkan Arinda akan jadi kenyataan.
Tidak sulit bagi ketua geng begundal mavia sekelas Kim Soo Jin untuk
menemukanku meski di Jakarta. Dia dan anak buahnya terlatih sekali dalam urusan
seperti ini. Dari cerita Dong Jun dan Arinda, bisa dipastikan Kim Soo Jun
datang ke Jakarta dengan segenap kemarahan.
Jantungku
berdetak serabutan.
“Seung
Huuuunnnn... kau masih mendengarkan aku?”
“Eh?.
I... iya... aku masih mendengarmu.”
“Seung
Hun, Sebaiknya kau ceritakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi?. Atau nyawamu
tinggal menghitung jam sampai Soo Jun menginjakkan kaki di Jakarta.”
Detak
jantungku berlari lebih tak terkendali. Aku menatap Arinda mencoba mencari
jawaban dengan sorot mataku yang jelas terlihat ketakutan. Tapi percuma. Arinda
tidak akan pernah mengerti maksud percakapanku dengan Dong Jun yang menggunakan
bahasa Korea. Keringat dinginku deras mengucur. Semuanya bertambah kusut.
“Seb..sebenarnya...
A... A... Aku...Aaahhhhh.......”
Logikaku
tiba-tiba lumpuh. Otakku beku. Lidahku kaku. Aku tak sanggup menjelaskannya
pada Dong Jun.
Kututup
telphon dari Dong Jun dengan segenap ketakutan yang memuncak. Aku masuk ke
dalam rumah. Sigap menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja tamu.
Kemudian bergegas berlari keluar dengan disertai tatapan heran semua orang.
“Edo...
mau kemana nak?” Mama mencoba bertanya.
“Edo....
Do... Mau kemana?”
Pertanyaan
yang hampir senada terucap oleh semua
orang. Tapi tak sedikitpun kuhiraukan. Dengan langkah setengah berlari aku
menggandeng tangan Arinda yang duduk di kursi tamu. Menariknya agar mengikuti
saja langkahku tanpa banyak bertanya.
“Edo...
mau kemana Do?”
Arinda
mencoba memberontak. Sisi logika ketenanganku sebagai laki-laki tak lagi dapat kurasakan.
“Ikuti
saja gue, Rin. Bergegas masuk ke
mobil. Sekarang Kim Soo Jin ada di Jakarta.”
Aku
menghidupkan mobil. Galak memencet klakson agar security yang menjaga pintu
rumah Elen segera membukakan pintu.
“Kim
Soo Jin di Jakarta?”
Aku
tidak sempat menjawab pertanyaan Arinda. Kakiku reflek menekan gas mobil agar
melaju dengan kencang.
Nyawaku
seperti telur di ujung duri.
No comments:
Post a Comment