Tuesday 12 May 2015

CERPEN : AKU HANYA INGIN PERNIKAHANKU SEDERHANA


“Apa kamu ndak bisa, menunda pernikahanmu setahun atau dua tahun lagi…??” Tanya Mak memecah kelembutan malam ini.

Kuhela nafas panjang. Mencoba sedikit merasakan dinginnya malam. Sedangkan pandangan mataku kubiarkan lurus ke depan. Entah apa yang kupandang, akupun tidak tahu. Rasanya aku tak ingin memandang apapun yang ada di hadapanku. Karena, apapun yang ada di sekitarku hanyalah sepi. Yang ada hanya suara candaan nyamuk yang berlalu lalang. Mencoba mencari mangsa. Sesekali ada suara jangkrik yang menelusup. Seakan tidak mau kalah ikut serta dalam orchestra. Membentuk nyanyian khas malam pedesaan yang terbiasa dengan kata sunyi.

 “Aku dan Isti telah bersepakat untuk menikah tahun ini, Mak…”
“Tapi Agung, kamu tahu kan Le,, Kalau menikah itu butuh dana yang ndak sedikit.”
Aku kembali terdiam. Bukannya tidak bisa menjawab pertanyaan Mak. Tapi, aku hanya ingin mencari jeda agar tidak ada perdebatan antara aku dan Mak.
“Tapi aku mencintai Isti Mak,,, Begitupun Isti. Juga mencintaiku…”


            Ku jawab sekenanya. Walaupun, bukan itu yang menjadi alasan utama kenapa aku ingin segera melangsungkan pernikahan ini.
“Nikah tidak hanya butuh cinta…!!!”
Akhirnya, Mak menjawab sekenanya. Sebuah Jawaban yang sudah kuprediksi sebelumnya.
“Kamu tahu, Isti, gadis yang kau sukai itu siapa…???? Anaknya siapa…????”
Aku hanya mengangguk pelan. Isti adalah anak kepala desa di sini. Teman bermainku sejak kecil. Ketika bangku sekolah dasar sampai Sekolah menengah Atas, aku selalu menjadi teman sekelasnya. Dia selalu menjadi sahabatku sekaligus kompetitorku dalam hal pelajaran dan nilai akademik.
            Hanya bedanya, setelah lulus SMA, Isti mendapat nasib yang lebih baik daripada aku. Ekonomi keluarganya memungkinkan untuk Isti melanjutkan jenjang pendidikan di universitas. Sedangkan aku, setelah lulus SMA, hanya bisa bekerja serabutan untuk membantu Mak mencari uang. Sambil mengajar mengaji di masjid setiap sore selepas ashar sampai hampir magrib.
            Kalau gadis lain, mungkin, setelah meninggalkan desa dan mengenal kehidupan kota, akan terlihat lebih angkuh dan sombong jika kembali ke desa. Atau bahkan, setelah merasakan nikmatnya hidup di kota yang serba mudah, akan merasa enggan untuk kembali ke desa. Dan lebih memilih menetap di kota setelah lulus kuliah.
            Tapi tidak bagi Isti. Gadis yang telah kukenal lebih dari seperempat abad yang lalu ini, adalah gadis yang tetap bangga pada desanya. Sifat yang sama seperti nama lengkapnya. ‘Istiqomah’. Hampir empat tahun Isti meninggalkan desa untuk menuntut ilmu di kota. Tapi, tak berubah sedikitpun sifat ramah pada dirinya yang banyak dikenal orang. Kehidupan kota tidak serta merta merubahnya menjadi lebih angkuh dan sombong. Kehidupan kota yang banyak orang bilang lebih modern dan hedonis ini tidak begitu saja melucuti pakaian indahnya yang berupa jilbab dan rok panjang. Bahkan, lama-lama aku perhatikan, semakin lama di kota, jilbab Isti lebih panjang. Sempurna menutupi dada.
            Setelah empat tahun Isti menyempurnakan tugasnya dalam belajar dan berhak menyematkan predikat sarjana di belakang namanya, akhirnya Isti memutuskan untuk pulang ke desa asal.
“Kalau semua sarjana kumpul di kota, siapa yang akan bangun desa Gung…????”
Jawabnya suatu ketika saat aku bertanya kenapa dia memutuskan untuk pulang.?
            Sebagai seorang putri kepala desa dan orang terpandang, tentulah banyak pemuda yang menginginkan Isti untuk menjadi istrinya. Dan pemuda yang melamar itu tidak asal pemuda biasa. Kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga kaya dan terpandang pula. Tingkat pendidikannya pun sebanding dengan gelar sarjana yang telah disandang Isti.
            Tapi apa mau di kata. Jika ternyata keputusan Isti dalam memilih calon suami ternyata pilihan itu jatuh pada diriku. Seorang Agung, sahabat Isti dari kecil. Seorang pemuda desa yang miskin harta sekaligus miskin gelar. Hanya lulusan SMA yang bekerja serabutan. Bahkan, aku sendiripun tidak pernah punya keberanian meski hanya sekedar mimpi untuk melamarnya.
            Memang seperti itulah Allah merangkai benang waktu hingga menjelma menjadi rajutan indah yang bernama jodoh. Suatu sore selepas aku mengajar mengaji di masjid, Ibu Isti yang saat itu kebetulan menjemput cucunya yang menjadi salah satu santriku, tiba-tiba ingin berbicara padaku empat mata. Dengan lembut, beliau menyampaikan apa yang menjadi isi hati dan keinginan putri bungsu. Bahwa, sebenarnya Isti menginginkanku untuk menjadi suaminya.
            Sentak aku merasa kaget sekaligus tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
“Isti hanya menginginkan seorang laki-laki yang shaleh. Yang bisa membimbingnya menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Dan menurutnya, Nak Agung lah yang merasa cocok di hatinya.”
Singkat, tapi cukup membuat suaraku tercekat.
Aku…????
Isti menginginkanku….?????
            “Mungkin, hanya itu yang bisa ibu sampaikan. Ibu sudah mengenal Nak Agung dari kecil. Sekarang, ibu serahkan semua keputusan pada Nak Agung. Jika Nak Agung menyetujui ini, Nak Agung pasti tahu apa yang harus Nak Agung lakukan. Tapi, jika Nak Agung kurang setuju, katakan dengan sebaik mungkin agar Isti tidak merasa tersinggung.”
            Tubuhku hanya bisa berdiri kaku. Lidahku pun masih kelu.
“Ibu hanya membantu Isti untuk menyampaikan isi hatinya. Jika kenyataan kelak mengatakan bahwa memang kalian tidak berjodoh, tolong jangan jadikan ini sebagai perusak hubungan pertemanan kalian. Yang telah kalian rajut selama dua puluh lima tahun ini.”
            Tentulah, hal ini merupakan satu kehormatan sendiri bagiku. Dan jika aku boleh jujur, aku telah menyukai Isti sejak kita sering bermain bersama. Aku mneyukainya bukan karena dia anaknya kepala desa ataupun status sosialnya di masyarakat. Tapi, jika dulu aku ditanya kenapa aku menyukainya, mungkin aku hanya bisa menjawabnya dengan sebuah alasan karena Isti adalah sahabatku. Ah,, tidak ada satu kalimatpun yang bisa aku utarakan sebagai alasan kenapa dulu aku menyukainya.
            Tapi, jika sekarang aku ditanya kenapa aku menyukainya, mungkin aku bisa katakan bahwa Isti memang seorang gadis yang pantas untuk dijadikan istri dambaan. Satu sifat yang paling kusukai darinya. Sederhana.
Ya…!!! Sederhana.
            “Tidak mungkin Isti anak seorang kepala desa yang terpandang hanya melangsungkan pernikahan dengan cara yang sederhana. Pastilah keluarganya menginginkan pesta pernikahan yang mewah. Bahkan sampai mengundang Pak Camat juga.”
Suara ibu kembali memecah heningnya malam. Sekaligus memutus semua alur ceritaku dengan Isti yang sejak tadi memainkan perannya di otakku.
“Kamu juga harus berfikir…!! Bahwa Isti adalah anak bungsu sekaligus putri satu-satunya dari pak lurah. Berarti, pernikahan Isti adalah perayaan acara mantu yang pertama dan terakhir bagi Pak Lurah. Dua kakak Isti kan laki-laki. Biasanya, kalau mantu laki-laki tidak terlalu mewah. Karena, acara utama sudah berada di keluarga perempuan. Tidak mungkin orang seterpandang Pak Lurah punya hajad mantu anak gadis satu-satunya hanya pesta kecil-kecilan yang sederhana.”

Mak terus bercerita. Sedangkan aku hanya bisa menjadi pendengar yang baik bagi semua isi pembicaraan ibu. Sesekali aku menelan ludah. Bingung harus menjawab apa. Di satu sisi, sedikit membenarkan omongan Mak. Banyak pesta pernikahan yang terselenggara di desaku. Dan yang kutahu selama ini, tingkat kehormatan seseorang biasanya ditunjukkan dengan mampu tidaknya penyelenggaraan pesta pernikahan anaknya dengan cara yang mewah. Apalagi, kalau yang menikah adalah anak perempuan. Kebanyakan dari mereka berlomba untuk bisa mengadakan pesta pernikahan yang cukup menelan dana yang tidak sedikit.

Banyak alasan bagi mereka untuk membenarkan sebuah sikap yang menurut pendapat pribadiku hanya foya-foya dan sedikit sekali manfaatnya. Bagi mereka yang mempunyai kedudukan di masyarakat, baik kedudukan formal secara pemerintahan, maupun kedudukan yang tidak formal, karena dikenal sebagai orang kaya misalnya. Tujuan mereka mengadakan pesta pernikahan anaknya adalah sebagai acara silaturahim bagi sanak family. Sekaligus sebagai peneguhan dan pengakuan bahwa mereka adalah orang yang berhak merasa di segani dan dihormati karena kedudukan mereka.

Tapi di sisi lain, aku kurang setuju dengan sebuah sikap yang bagi masyarakat telah dianggap budaya. Berkaca dari sikap Rasul sendiri. Siapapun yang mengaku dirinya beriman, pasti mengakui bahwa Rasul adalah manusia termulia di dunia. Tidak hanya dalam pandangan manusia. Tetapi juga langsung dari hadapan Allah. Manusia yang mendapat gelar Al-Amin baik dari kawan maupun lawan. Manusia yang namanya di sandingkan dengan nama Allah di pintu syurga. Manusia yang telah mendapat jaminan dari Allah langsung bahwa dirinya pasti akan masuk syurga tanpa hisab sedikitpun. Manusia, yang bahkan Allah dan para malaikat-Nya pun bershalawat padanya. Manusia yang tidak pernah ada tandingan kebaikan akhlak dengan manusia lain.

Rasul yang kehebatan dan kedudukannya diakui paling mulia dan terhormat seperti itu saja, teramat sederhana dalam menyelenggarkan pernikahan salah satu putri kesayangannya. Fatimah Az-Zahra ketika menikah dengan Ali Bin Abi Thalib. Sederhana, bahkan teramat sederhana.

Bahkan, untuk melamar seorang Fatimah, Ali menjual baju besi seharga 400 dirham. Ali menyerahkan uang hasil penjualan baju besi tersebut kepada Rasulullah. Kemudian, Rasul memberikan sebagian uang itu pada Asma’ untuk dibelikan wangi-wangian. Sebagian lagi diberikan pada Ummu Salamah untuk membeli makanan. Dan sebagian lagi diberikan pada Ammar, Abu Bakar dan Bilal. Ketiga sahabat tersebut membelanjakannya untuk membeli perlengkapan dan perabot rumah tangga untuk Fatimah.

Begitulah pernikahan seorang Fatimah. Padahal, ayahnya adalah seorang pemimpin kelas dunia. Yang tongkat kepemimpinannya langsung diberikan Allah. Tuhan pemilik sekaligus penguasa segala kehidupan alam raya ini. Seorang tokoh yang disegani dan dihorrmati. Tidak hanya pada selingkup daerah saja. Tapi oleh masyarakat muslim seluruh dunia. Andaikan Rasul mau, dengan mudah bisa menyelenggarakan pesta pernikahan putri kesayangannya dengan pesta yang tidak ada tandingannya di dunia ini. Tetapi, Rasul tidak melakukannya.

“Tapi Isti tidak menginginkan itu semua Mak… . Kami telah sepakat bahwa pernikahan kami adalah pernikahan yang sederhana. Karena, yang kami inginkan adalah barakah dari pernikahan itu sendiri.”

Mak terlihat diam saat mendengar jawabanku. Terdengar halus olehku, Mak mencoba menarik nafas panjang. Dan kemudian menghembuskannya perlahan. Bersama angin sepoi malam yang membawa hawa dingin. Aku membetulkan letak kain sarungku. Memastikan bahwa kedua kakiku telah hangat tertutup kain sarung. Sedangkan suara nyamuk dan jangkrik terus saja memainkan perannya.

Sejenak, kami terdiam dengan arah pikiran masing-masing. Kuarahkan pandanganku ke atas. Mencoba menatap seluruh pasukan langit yang tampak oleh pandanganku. Bintang hanya sedikit saja yang masih setia dengan malam ini. Sedangkan bulan, hanya sanggup membagi cahayanya selengkung sabit kecil. Sesekali terlihat sekawanan awan mencoba melintas.
“Sudah kau tanyakan, kira-kira mahar apa yang diinginkan Isti..???”
“Sudah Mak..”
“Kau sanggup memenuhinya…????”
“InsyaAllah sanggup Mak….”
“Apa…????”
“Sebuah hafalan surat At-Tahrim.”
“Hanya itu….???”
“Iya. Hanya itu.”
            Mak kembali terdiam. Entah hal apa yang sekarang difikirannya, aku tidak tahu. Entah sebuah perasaan lega, ataukah justru malah kehawatiran. Entahlah…!!!.
Jika difikir dengan akal budaya, memang tidak masuk akal gadis seperti Isti menginginkan hal yang sesederhana itu untuk hari yang paling dinantinya seumur hidup. Kekayaan dan kedudukan orang tuanya. Serta kepandaian dan gelar akademik yang mengikuti nama lengkapnya. Bisa dijadikan alasan Isti untuk meminta mahar yang tinggi dari calon suaminya. Tapi, tidak bagi Isti.
            “Agung, kamu kan tau, kata Rasul, wanita yang baik itu adalah, wanita yang baik akhlaknya, murah maharnya, dan mudah menikahinya. Isti ingin menjadi wanita seperti itu.”
Sebuah kalimat dari jawaban Isti ketika aku menanyakan kenapa dia hanya meminta mahar sesederhana itu.
            “Isti hanya ingin, semua berlangsung sederhana. Sesederhana mahar yang diminta Ummu Sulaim terhadap Abu Thalhah. Hanya berupa kalimat syahadat dan ketauhidan Abu Thalhah yang menjadi mahar bagi Ummu Sulaim. Jika para sahabat-sahabat Rasul yang mulia itu hanya meminta mahar yang sesederhana itu, kenapa aku harus meminta mahar yang tinngi…??? Sedangkan kadar keimananku saja jauh di bawah mereka.”
            Sebuah kalimat yang cukup membuatku tertunduk. Dan menambah pengakuanku bahwa Isti adalah gadis yang tinngi akhlaknya. Ketinggian akhlak karena ditopang oleh kesederhanaan.
            Malam semakin beranjak pekat. Detik terus berputar membentuk menit. Rangkaian menit terus berjalan menyempurnakan waktu dalam hitungan jam. Tak terasa, hampir dua jam pembicaraanku dengan Mak.
“Kau sudah membicarakan ini pada Pak Lurah…?”
“belum Mak. Kata Isti, biar dia yang akan membicarakan sendiri pada ayahnya.”
            Mak kembali tertunduk. Tapi dengan pandangan yang lebih ringan daripada pandangannya di awal pembicaraan kita.
“Ya sudahlah….!!! Semoga, apa yang kalian inginkan bisa direstui orang tua Isti.”
Akhirnya Mak mengerti dengan apa yang kuinginkan.
            Sebenarnya, aku mengerti tentang apa yang menjadi ganjalan pada fikiran Mak. Mak hanya takut, kalau Pak Lurah membebankan biaya pernikahan yang besar padaku. Keinginan Mak untuk memintaku menunda pernikahan agar aku bisa bekerja lebih giat mengumpulkan uang untuk biaya pernikahan.
            Padahal, yang perlu banyak difikirkan adalah bagaimana mengatur jalannya rumah tangga setelah pernikahan. Mendayung perahu rumah tangga hari demi hari. Agar bisa berjalan sesuai arah yang benar. Meski terkadang ada badai yang datang menderap dan hendak memporak-porandakan laju perahu itu. Tetap mengarahkan dayung agar bisa berlabuh dengan nikmat dan indah sesuai tujuan awal. Allah azza wa zalla.

Acara walimahan hanya sebuah prosesi yang bagiku tidak perlu terlalu di fikirkan dengan rumit. Karena, tujuan walimah hanya mengumumkan bahwa ada pernikahan. Agar di kemudian hari tidak terjadi fitnah.

Sungguh, pernikahan adalah sesuatu yang sangat dipermudah oleh Allah. Hanya kita sebagai manusia yang terlalu rumit memikirkannya. Seakan, pernikahan adalah sesuatu yang mahal. Sehingga, banyak sekali yang menunda pernikahan hanya demi sebuah alasan. Belum bisa menyelenggarakan pesta pernikahan yang mewah layaknya orang pada umumnya. Yang pada akhirnya, mereka memilih untuk memperpanjang masa pacaran yang tidak ada tuntunannya sama sekali dalam islam. Bahkan Allah pun telah berjanji akan mengayakan mereka jika mereka belum mampu dalam hal materi dengan karunia-Nya.

Malam terus beranjak larut. Aku masih tetap duduk di teras rumah menikmati dinginnya malam. Mak sudah sedari tadi meninggalkanku. Masuk ke kamar bersiap untuk tidur. Masih kulihat wajah yang menyimpan pertanyaan pada Mak.

Anganku masih melayang. Sesekali bibirku tersenyum kecil. Sedangkan hatiku terus bersenandung. Aku hanya ingin pernikahanku sederhana. Sesederhana pesta pernikahan Fatimah dan Ali. Sesederhana permintaan mahar Ummu Sulaim kepada Abu Thalhah. Dan sesederhana jalannya laju rumah tangga rasul bersama istri-istrinya.

Aku hanya ingin pernikahanku sederhana. Sederhana di mata manusia. Tapi sungguh indah di hadapan Allah. Sesederhana mahar yang diajukan oleh Isti. Sebuah hafalan surat At-tahrim. Yang di salah satu ayatnya Allah memerintahkan untuk menjauhkan diri kita dan keluarga kita dari api neraka. Sebuah mimpi yang aku tahu Isti mengharapkannya sejak dulu. Dia menginginkan pintu gerbang mitsaqon ghalidza pernikahannya akan dibuka suaminya dengan hafalan surat At-tahrim.

Kuingat, Isti dengan mata berbinar penuh harapannya pernah menceritakan keinginannya itu.

“Aku hanya ingin kelak, jika ada diantara kita menjalankan laju perahu rumah tangga ini keluar dari alur-Nya, kita sama-sama bisa saling bermuhasabah. Berintrospeksi untuk membuka kembali lembaran-lembaran At-tahrim agar bisa kembali mengarahkan laju perahu sebagaimana mestinya. Hingga berujung pada sebuah tujuan utama. Syurga Allah.”
Aku hanya ingin pernikahanku sederhana. Sesederhana anganku tentang sosoknya. Wanita qonaah sebagai penyempurna agamaku, penjaga ketaatanku, sekaligus penggenap langkah dakwahku. Aku tidak mengharapnya menjadi layaknya Fatimah, Aisyah, Khadijah, maupun Asma. Sebab, aku sendiripun masih jauh dari sifat seperti Muhammad ataupun Ali. Yang kuinginkan hanyalah semangatnya untuk mengikuti jejak wanita-wanita ahli syurga tersebut.

Aku hanya ingin pernikahanku sederhana. Sesederhana tentang mimpi rumahku kelak. Mungkin, rumahku memang bukan syurga. Tapi insyaAllah serambinya. Tempatku mengetuk pintu syurga Allah dengan untaian kalimat tasbih, tahmid dan takbir. Tempatku melepas lelah dan kembali mengumpulkan tenaga untuk terus melangkah menuju tujuan utama hidup ini. Tempatku membangun mimpi layaknya Ali dan Fatimah. Dengan kehadiran jundi kecil Hasan dan Husain yang tidak takut pada apapun kecuali pada murka tuhannya. Dengan kelahiran ismail-ismail kecil yang taat dan akan meramaikan rumahku kelak. Tempatku belajar dan mengajar. Belajar bagaimana cara seorang Luqman Hakim menjadi ayah yang baik. Sehingga Allah menyematkan namanya pada sebuah surat di Alqur’an. Belajar mengajarkan tentang ketauhidan dan keesaan Allah pada putra putriku. Sehingga, kehadiran mereka akan semakin menjadi penambah bobot kalimat Laa illahaillallah Muhammadurrasulullah.

Angin malam berbisik kecil. Mendesau menyentuh kulitku. Terasa dingin menggigit. Bintang, bulan dan para pasukan langit malam masih setia membagi cahaya pada dunia. Suara nyamuk dan jangkrik tetap bernyanyi seakan ikut bertasbih melantunkan asma-Nya. Detik-detik jam dinding semakin terdengar nyaring. Menyempurnakan tugasnya dalam menyusun langkah sang waktu. Anganku semakin melayang. Bersama hatiku yang ikut bersenandung lirih.

Aku hanya ingin pernikahanku sederhana.

1 comment:

  1. bagus bg crita nya,, coba ajj hari gni msh ad gadis spt isti

    ReplyDelete