Senja kali ini tak berwarna jingga seperti biasa. Mendung yang
menggelayut mengungkung langit. Ditambah asap knalpot kendaraan yang
membungkus kota. Menjadikan abu-abu semakin pekat. Sinar matahari tak
kuasa menembus mendung. Sepertinya nanti malam, hujan sempurna mengguyur
kota.
Aku merapatkan jaket. Udara sore semakin dingin
menusuk tulang. Angin kecil sesekali menggelisik. Memainkan daun-daun
yang terus menggoyang ranting.
“Kota ini masih seperti delapan tahun yang lalu….”
Celetuk
Rasyid dengan senyum tipisnya. Suaranya remang. Terkalahkan dengan
berisik angin menerpa daun-daun dari pohon rindang di sepanjang jalan.
Pandangannya lurus memperhatikan lalu lalang kendaraan yang lewat.
Sedangkan tangannya usil memainkan ujung pipet minuman.
Aku hanya tersenyum tipis menanggapi celotehannya. Sama sepertimu delapan tahun yang lalu.
Batinku menjawab kecil. Pemuda matang berusia dua puluh Sembilan tahun
ini sekilas menatap redup senyumanku. Tidak berani lama-lama menatap
wajahku. Kamu bisa saja Kak…. Tatapan mata yang kutangkap seakan menjelaska kalimat itu.
“Setelah menikah, Kakak menetap di kota ini…????”
Kalimatnya
kembali terdengar. Kali ini tentu lebih jelas. Entah mungkin karena
angin yang sejenak berhenti. Atau entah suaranya yang terdengar lebih
mantap daripada sebelumnya.
Aku hanya mengangguk. Tidak berani
menatap wajahnya. Seperti yang sering kulakukan delapan tahun yang lalu.
Ketika aku dengan suara mantap dan intonasi yang tegas menasehatinya.
Menasehati…???? Ah…!!! Kurasa kata itu terlalu halus untuk digunakan.
Jauh lebih pantas jika aku menggunakan kata ‘memarahi’. Atau bahkan
meluapkan segala emosiku padanya. Seorang pamuda setengah matang yang
baru berumur dua puluh satu tahun. Lima tahun di bawahku.
“Maaf,,, aku datang terlambat…”
Tetes
air hujan pertama terdengar turun. Tak lama kemudian diikuti dengan
ribuan butir yang terdengar semakin menderas. Hujan yang turun lebih
cepat daripada perkiraanku. Terlihat beberapa orang di jalan
membentangkan payung. Sebagian lagi berusaha berteduh di emperan toko,
ataupun ditempat-tempat yang bisa melindungi mereka dari tetesan air
hujan. Para pengendara motor sejenak menghentikan laju motornya. Memakai
jas hujan yang tersimpan di jok motor.
“Kakak sempat mencarimu.”
Suaraku
terdengar gemetar. Lirih. Bahkan mungkin hilang terhapus oleh suara
hujan dan angin yang terdengar rebut di luar sana. Sedangkan jari-jari
kedua tanganku sedikit membenahi sisi jilbab yang sebenarnya tidak
apa-apa.
“Maafkan Rasyid Kak…. Rasyid pergi tidak memberi tahu Kak Amel.”
“Bahkan
Kakak sempat mendatangi rumahmu di Samosir. Berharap menemukanmu di
sana. Kakak berfikir kamu memutuskan untuk kembali ke kampung halaman.
Meneruskan hidup yang ternyata tidak menemukan terang di kota ini.”
Aku
menelan ludah. Menggigit bibir bawah erat-erat. Mendongakkan kepala ke
langit-langit café. Berusaha menahan cairan airmata yang sejak tadi
terasa ingin tumpah. Tak sedikitpun berani menatap wajahnya. Wajah
adekku yang hilang delapan tahun yang lalu.
Adek….???? Dari kata ‘adek’ inilah cerita ini bermula.
*******
DAUN
YANG JATUH TIDAK PERNAH MEMBENCI ANGIN. Sebuah novel karya Penulis
favoritku. Tere Liye. Sudah hampir setengah bulan ini aku memimpikan
untuk membeli novel itu. Tapi, baru kali ini aku punya kesempatan untuk
segera membelinya. Hanya dengan sebuah alasan. Menunggu uang gajian
akhir bulan ini.
Setelah bergegas dari ATM mengambil uang, aku
langsung berlari kecil ke sebuah toko buku di pusat kota. Berharap,
sebuah novel yang kuimpikan itu dapat segera kumiliki. Setelah sedikit
usaha mencari letak kira-kira di rak mana letak novel itu berada,
akhirnya, aku menemukannya. Berjejer dan berhimpitan bersama buku-buku
dengan judul lain. Meski tinggal tersedia satu, paling tidak, aku tidak
terlambat untuk memilikinya. Dengan gerakan cepat, aku segera menyambar
novel itu.
Tapi,,, Ups….!!!! Gerakan cepat tanganku ternyata masih
kalah dengan tangan lain yang juga menginginkan novel itu. Jelas, novel
yang tinggal satu-satunya di toko buku itu langsung berpindah ke tangan
seseorang yang tepat berada di sebelahku. Kira-kira dua detik sebelum
tanganku menyentuh novel itu. Aku ber Yaahhh.. . Kecewa.
Dengan
raut muka yang sempurna menyimpan kecewa, kuarahkan pandangan pada
seorang yang ditangannya terlihat membawa novel itu. Seorang pemuda
tanggung yang aku kira masih berstatus mahasiswa. Tangannya ringan
memegang novel. Sedangkan matanya serius membaca synopsis novel yang
tertulis di sampul halaman belakang.
Sekitar tiga detik aku
memperhatikannya. Dia tetap tak sedikitpun menganggapku ada di
sebelahnya. Aku hanya bisa berdiri menelan kecewa. Menatapkan pandangan
pada deretan buku-buku yang ada di rak.
“Ya sudah, buat Kakak dulu…” Tangannya ringan memberikan novel itu.
Sungguh…????. Mataku mengerjap-ngerjap menatap wajahnya.
Bibirnya menyungging senyum tipis. Matanya terlihat membulat dibalik kaca mata tipis yang dikenakannya.
Iya… Sungguh….!!!
Anggukan itu mantap mengisyaratkan.
Tak
perlu berbilang lebih dari sedetik, novel itu langsung berpindah ke
tanganku. Secepat mungkin aku menyambar dari tangannya. Takut
kalau-kalau dia berubah fikiran.
“Makasih…” Aku ringan menjawab
“Karena seharusnya novel ini milikku, aku minta satu syarat dari Kakak…”
Dahiku mengerut seketika. Syarat…???? Kenapa harus pakai syarat…? Kan nanti, aku yang bayar..???
“Boleh minta nomor HP Kakak.?”
Tanyanya lebih ringan. Sambil tangannya merogoh saku celana. Mengambil Handphone. Mengabaikan raut mukaku yang sejak sepuluh detik tadi menyimpan heran.
Buat apa?. Pandanganku menatap lekat wajahnya.
“Aku
juga ingin baca novel ini. Kalau sudah jadi milik Kakak, bagaimana aku
bisa membacanya.? Kakak harus janji..! Setelah selesai membaca novel
ini, Kakak harus meminjamkannya padaku. Karena itu, aku harus memcatat
nomor HP Kakak untuk menanyakan. Sudah selesai membacanya? Dimana alamat
Kakak? Bisa aku meminjamnya sebentar?”
Oooo…. Aku mengangguk mengerti. Tanpa pikir panjang kusebutkan nomor HP ku yang bisa dihubungi.
“Nama Kakak siapa.?”
“Amelia. Kamu.?”
“Panggil saja Rasyid. Mahasiswa semerter 2 salah satu perguruan tinggi negeri di kota ini. Asli Samosir. Sumatra Utara.”
Jelasnya ringan sambil memasukkan kembali HP ke saku kantong. Tidak perlu bertanya padaku. Mau menyimpan nonmor HP ku juga.?
“Ok, Kak Amelia…”
Suara
ringan dan renyahnya mengabaikanku yang sebenarnya mematung sejak
beberapa menit yang lalu. Berdiri dengan wajah sedikit kurang mengerti.
Kurang mengerti kenapa pemuda ini dengan ringan mengikhlaskan novel ini
untukku. Padahal, jika boleh sedikit kutebak, dia juga teramat ingin
memilikinya. Kurang mengerti kenapa aku begitu mudah memberikan nomor HP
pada seseorang yang baru kukenal beberapa menit yang lalu. Dan kurang
mengerti…. Kenapa dia memanggilku dengan sebutan ‘Kak Amelia’.
Ups….!!!
Tiba-tiba aku tertawa kecil. Menertawakan diriku sendiri. Ah…!!!
Seharusnya aku tidak sebodoh ini. Bukankah tadi dia sudah menjelaskan
bahwa dia baru menginjak semester 2 kuliahnya?. Itu sama artinya
seumuranku lima tahun yang lalu. Pantas saja kalau dia memanggilku
dengan sebutan ‘Kak’. Singakatan dari kata ‘Kakak’. Jelas umurku lima
tahun di atasnya.
“Ok, seminggu lagi kamu boleh mengirimkan pesan padaku. Bertanya apakah aku telah selesai embacanya atau belum.”
“Siiiippppp…..
Kalau seperti ini aku tidak perlu membelinya. Cukup Pinjam. Jauh lebih
ekonomis. Aku pulang dulu. Assalamu’alaikum….”
Langkahnya berlalu begitu saja. Meninggalkan wajahku yang tiba-tiba berubah kembali heran.
Jadi….???????
*******
Hujan
di luar semakin menderas. Mendung terasa sempurna menumpahkan ribuan
kubik air yang sejak tadi menggelayut. Suara gemerutuk halilintar kecil
sesekali terdengar. Sedangkan di luar sana, beberapa emperan toko
dipenuhi orang-orang yang berteduh menghindari hujan.
“Kamu sekarang terlihat lebih dewasa dan matang.”
Kembali
aku hanya bisa mengeluarkan kalimat basa-basi. Sedangkan pandanganku
lurus menatap dua orang di bangku depan. Sepertinya mereka asyik
menikmati secangkir kopi yang terlihat mengepul. Mengeluarkan aroma
wanginya.
“Kakak masih tetap seperti dulu. Hehehe…” Rasyid tersenyum tipis.
“Kakak masih suka baca novel?. Masih suka menulis.?”
Kalimatnya
tiba-tiba terasa lebih mantap. Pandangannya sedikit tertuju pada gelas
minuman di hadapannya. Sambil sedikit bergerak. Seakan memperbaiki
posisi duduk.
Aku mengangguk. Mengiyakan.
*******
Sebuah pesan masuk di Handphoneku dari nomor yang tak kukenal.
Assalamu’laikum Kak Amel,,,, ini Rasyid. MAsih ingat…????
Ku tekan tombol replay. Iya masih ingat. Ketemu seminggu yang lalu di toko buku kan?.
Tiga menit berlalu. Masuk kembali balasan pesannya. Yup…!! Gimana? Sudah selesai baca novelnya? Aku boleh pinjam?
Kembali kutekan replay. Iya sudah selesai. Datang aja ke kosku. Jalan melati no.27.
Lima menit berlalu. Kembali masuk pesan balasan. Ok, besok malam aku ke kosmu. Ambil novel itu. Makasih sebelumnya.
Selepas
isya, di malam yang telah disepakati, Rasyid benar-benar main
berkunjung ke kosku. Tak perlu banyak waktu untuk bercakap. Dia hanya
mengambil novel itu untuk dipinjamnya. Setelah itu langsung pulang.
“Banyak tugas kuliah yang harus kukerjakan, Kak…” Dia memberi alasan.
Ok, akupun tak keberatan.
*******
BYAAAAAAR…….Sedetik,
terlihat kilat kecil mengerjap. Memberi lukisan seperti akar serabut
kelapa di langit. Hujan tak hentinya menderas. Membuat aku kembali
merapatkan jaket. Mencoba mengabaikan hawa dingin yang sedikit mengusik.
“Dan akhirnya, aku bisa membaca novel itu tanpa harus membeli. Sedikit menolong uang makanku selama seminggu. Heeeee…..”
Rasyid
tersenyum tipis. Mencoba mengingat kejadian awal perkenalan kita.
Delapan tahun yang lalu. Aku menyeruput sedikit kopi yang tak lagi
hangat.
*******
Tiga hari kemudian, Rasyid kembali ke kosku. Membawa novel setelah selesai dibacanya. Secepat itukah? Dahiku
mengernyit ketika menerima kembali novel itu. Aku saja menghabiskan
waktu seminggu untuk membaca novel itu. Tentunya di sela-sela kesibukan
kerjaan kantorku.
Tapi, kali ini dia tidak langsung pulang. Duduk sebentar di beranda kosku.
“Kak Amel, boleh aku meminta minum…??”
Aku mengangguk. Tentu saja boleh. Bergegas aku menuju ke dapur. Membuatkan segelas teh hangat untuknya.
“Minumlah…!!!”
“Makasih, Kak…”
Wajahnya terlihat letih. Tapi, senyum tipisnya seakan mengisyaratkan, Aku baik-baik saja.
“Boleh aku istirahat di sini sebentar Kak…???”
Aku mengangguk. Iya boleh.
Sejenak,
dia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kayu. Matanya sejenak
terpejam. Sepintas aku perhatikan, wajahnya sedikit memucat. Mungkin
kecapaian atau memang sedang sakit.
“Kamu dari mana…? Kok terlihat sedikit lelah?”
Entah
kenapa, pertanyaan itu tiba-tiba muncul. Dan entah kenapa juga,
sepertinya Rasyid bukanlah orang asing bagiku. Meskipun baru tiga kali
ini aku bertemu dengannya.
“Dari kerja Kak….”
“Kerja…??? Bukankah kamu masih kuliah?”
Rasyid
tersenyum. Memperbaiki posisi duduknya. Sekarang, dia duduk lebih
tegak. Tidak lagi menyandar pada sandaran kursi. Ekspresi wajahnya masih
terlihat lelah. Tapi, mungkin demi menghormatiku, dia menegakkan posisi
duduknya.
“Aku harus kerja Kak… demi untuk hidup di kota ini.
Ayahku di kampung sudah tua dan agak sakit-sakitan. Sedangkan ibuku
sudah meninggal sejak aku berumur sepuluh tahun. Aku tidak punya saudara
satupun selain Ayah.”
Oooo… aku mengangguk setengah faham.
Di
malam itulah, Rasyid banyak bercerita tentang kehidupannya. Tentang
kampung halaman tempat dia dilahirkan. Tentang ayahnya. Tentang
impiannya. Tentang harapannya. Dan tentang apapun yang ingin dia
ceritakan padaku. Sejak malam itulah, aku mulai bisa mengartikan kata
empati. Dan sejak malam itu juga, aku merasa senang dia memanggilku
dengan kata ‘Kak Amel’.
Ya…!!! Sejak malam itulah, aku berperan
sebagai Kakak Rasyid. Yang selalu mencoba mengerti apapun keadaan
Rasyid. Tempatnya berkeluh kesah dan sejenak bercerita menumpahkan
segala peluh dan penat yang selalu menghampiri. Secara tidak langsung,
kedekatan kita layaknya kakak dan adek.
*******
CTAAAAAAAARRRRRRR………
Suara petir seketika menyambar. Setelah beberapa detik yang lalu,
cahaya kilat mengerjap. Membuat terang sejenak. Setelah hampir setengah
jam, gelap sempurna mengungkung sore ini.
Hujan di luar sana
semakin menderas. Angin riuh menerjang apapun yang di laluinya. Lalu
lintas di jalan depan café agak sedikit tersendat. Air yang tadinya
hanya mengalir di selokan sekarang tumpah ke jalan raya. Membuat
kerepotan para pengguna jalan. Sehingga, sebagian mereka memilih untuk
berhenti sejenak.
“Terima kasih, Kak… Untuk kebaikan Kak Amel
padaku. Mungkin,,, jika dulu bukan karena kebaikan Kak Amel, aku sudah
menjadi gelandangan di kota ini.”
Aku tersenyum kecil. Mengabaikan. Sudahlah…!!! Tidak usah mengingat itu lagi.
*******
“Kenapa tidak bilang Kakak, Dek….?????!!!!!!!!!!!!!!!”
Nafasku
tesengal. Mataku tajam melihat tubuh Rasyid tergolek lemah di kamar
kosnya. Wajahnya pucat. Sesekali terbatuk kecil. Aku memperhatikan kamar
petak kecil kosnya. Kamar yang teramat sederhana dan pengap.
Sudah
tiga hari ini semua sms ku tidak pernah dibalas. Mulanya aku
mengabaikan. Berfikir posistif. Mungkin sibuk. Karena Rasyid harus
mengatur waktu. Antara kuliah dan kerja.Atau, mungkin juga tidak ada
pulsa. Mengingat cerita Rasyid selama ini. Dia harus benar-benar pintar
mengatur keuangannya. Membelanjakan uang hasil kerja kerasnya yang tidak
seberapa untuk mencukupi kebutuhan hidup.
“Ma-af Kak. . . . . a-ku ti-dak a-da pul-sa un-tuk mem-balas sms Ka-kak. Uhuk.. uhuk…”
Suaranya patah-patah. Disertai batuk yang terdengar agak sedikit berat.
Aku hanya bisa terdiam. Menahan prihatin. Melihat wajah pucat lemahnya.
Setelah
selama tiga hari aku tidak menadapat balasan darinya, aku memutuskan
untuk mengunjungi kosnya sepulang kerja. Dan benar dugaanku. Dia sakit.
“Sudah berapa hari kamu tidak makan..???”
Pertnyaanku
langsung mengenai sasaran. Karena, aku tahu, Rasyid sering menahan
lapar karena tidak ada uang untuk sekedar membeli sebungkus nasi.
“Ti-ga Ha-ri” Suaranya melemah.
Aku
menggigit bibir bagian bawah. Mendongakkan pandangan ke langit-langit
kamar. Menahan agar cairan bening di mataku tidak tumpah. Tapi
percuma….!!!. Perih batinku melihatnya membuat produksi air mataku
sekejap melimpah. Kelopak mataku tak sanggup lagi menahannya.
“Kenapa tidak bilang Kakak Dek….????!!!!”
Pertanyaan itu kembali terulang. Sekarang dengan intonasi yang lebih lemah. Air mataku sempurna tumpah. Tidak tega melihatnya.
“Ma-af Kak…. Kak Amel sudah banyak membantuku. Hutangku pada Kak Amel telah menumpuk. Aku tidak mau terus merepotkan Kakak.”
“Kakak keluar sebentar.”
Aku
langsung membalikkan badan. Langkah kakiku terayun cepat keluar dari
kamarnya. Mengabaikan tangan Rasyid yang mencoba menahanku.
“Kakak mau kemana…????”
Kurang
lebih tiga puluh menit aku keluar. Membeli susuatu untuknya. Dan
kembali lagi dengan membawa nasi bungkus, minuman, sedikit buah dan
multivitamin.
“Makan dulu…”
Bujukku sambil meletakkan semua
yang kubeli tadi di atas meja kecil di dekat tempat tidurnya. Rasyid
hanya melirik sebentar. Kemudian, pandangannya kembali lagi melihat
langit-langit kamar. Dengan cekatan, aku membuka nasi bungkus.
Meletakkanya di piring. Membuka tutup air mineral. Kemudian
menyodorkannya pada Rasyid.
“Makanlah..”
Kembali lagi Rasyid
hanya melirik. Lantas kembali lagi mengarahkan pandangnnya ke
langit-langit kamar. Hanya sebatas itu yang bisa dilakukannya dengan
tubuh yang pucat dan lemah. Beberapa detik kemudian, kulihat air matanya
mengalir.
“Kak Amel….”
Suaranya lemah memanggil namaku.
“Aku
pernah mengenal seorang malaikat. Yang tulus memberikan kasih sayangnya
padaku. Di mataku, dia cantik bak bidadari. Meski terkadang sering
memarahiku kalau aku lagi bandel. Matanya redup penuh kasih sayang.
Tangannya begitu halus saat membelai kulitku. Senyumnya menyungging
indah. Tutur katanya lembut. Di saat aku sakit seperti inilah, dia rela
mengorbankan waktu istirahatnya untuk menungguiku. Terkantuk-kantuk di
sebelah tempat tidurku. Memastikan seandainya sewaktu-waktu aku bangun,
dia ada di dekatku sambil berkata ‘kamu mau apa?’ dan malaikat itu akan
melakukan apapun agar aku nyaman.”
Dengan tenang aku mendengarkan cerita Rasyid.
“Tapi
sayang, malaikat bak bidadariku itu pergi meninggalkanku untuk
selama-lamanya ketika aku berumur sepuluh tahun. Di akhir hidupnya, dia
masih sempat berkata padaku, bahwa kelak, akan aku dapatkan bidadari
penggantinya. Karena itu, dia memintaku agar tidak menangis setelah
kepergiannya.”
Uhuk… Uhuk… . Suara batuknya kembali terdengar. Menghentikan sejenak ceritanya.
“Dan Kak Amel tau, malaikat bak bidadariku itu siapa…????”
Aku menggeleng. Tidak tau.
Rasyid tersenyum kecil melihat gelengan kepalaku.
“Ibu…”
Akhirnya, akupun mengangguk kecil. Iya, aku mengerti.
Sejenak dia menatap wajahku. Tersenyum kecil.
“Dan
sekarang, aku bisa mengerti kata-kata ibu. Aku tidak perlu sedih karena
aku telah mendapatkan kembali malaikat bak bidadari itu.”
Dahiku mengernyit. Mencoba bertanya “siapa…???”
“Kak Amel.” Jawabnya mantap.
Dahiku semakin berlipat. Aku..???.
Rasyid mengangguk. Iya, Kak Amel.
*******
CTAAAAAAAARRRRRRR……
Untuk kesekian kali, petir terus menyambar. Tidak tanggung-tanggung.
Membuat telinga ngilu saat mendengarnya.
“Usia anak Kak Amel berapa tahun?”
Tangan
Rasyid kembali memainkan pipet minuman. Ekspresi wajahnya terlihat
datar. Tak sedikitpun merasa terusik oleh suara petir yang terus
bergemerutuk.
“Tiga tahun.” Jawabku singkat.
“Pasti cantik seperti ibunya…”
Aku menelan ludah. Terdiam. Hanya menyisakan senyum kecil yang terasa hambar.
*******
“Kenapa tidak masuk kuliah…???!!! Bukankah hari ini kamu ujian tengah semester..??”
Rasyid terdiam. Menyeka peluh di dahinya. Wajah teduhnya mengisyaratkan, aku lelah Kak….
“Sudah kuputuskan untuk berhenti kuliah.”
Apa?????? Aku tidak salah dengar???????
Dahiku mengernyit. Kedua alis tipisku seakan hampir menyatu.
“Berhenti…??? Alasannya…????”
Rasyid
tidak menjawab. Pandangannya lurus ke depan. Membiarkan angin malam
yang berhembus pelan membasuh wajah penatnya. Seharian bekerja sebagai
tukang sapu jalan untuk menyambung hidup, seakan menyisakan lelah.
“Tidak punya uang…??? Kakak bisa membantumu. Kakak akan lakukan apapun agar kamu bisa menyelesaikan kuliah.”
Untuk
kesekian kalinya, rasa empatiku hadir. Tidak ada hubungan darah
diantara kita. Tapi, entah kenapa, aku benar-benar ingin menganggapnya
saudara. Menganggapnya adik. Seorang adik yang baru dipertemukan Tuhan
setelah sekian lama terpisahkan oleh jarak dan waktu.
“Maaf Kak,,, keputusanku sudah bulat.”
Suaranya terdengar pelan. Tapi terasa penuh kekuatan.
Hening seketika. Hanya terdengar suara motor yang sesekali berlalu lalang di jalan sempit depan kosku.
“Aku ingin mengejar mimpiku.”
“Mimpi…..????
Mimpi apa…???? Mimpi apa yang ingin kamu wujudkan jika hanya menjadi
tukang sapu jalan seperti ini……????????!!!!!!!!!!!!”
Suaraku
meninggi. Bukan sebuah ekspresi untuk marah. Hanya sekedar aku ingin
menunjukkan kalau aku benar-benar peduli dengan keadaannya. Dengan masa
depannya.
“Mimpi yang tidak semua orang peduli. Mimpi yang dari
sebagian besar hanya menganggapnya sebelah mata. Mimpi untuk masa depan
terbaik.”
Wajah teduhnya menerawang. Memperhatikan bulan separuh
yang mengintip dari balik awan. Sedikitpun aku tidak menegrti tentang
jalan apa yang sedang difikirkannya. Bagiku, keputusan untuk berhenti
kuliah adalah keputusan yang konyol.
“Selesaikan apa yang telah kamu mulai.”
Kembali
hening. Tidak ada jawaban sedikitpun. Wajah teduhnya lurus menatap
langit. Menghitung bintang gemintang yang entah berjumlah berapa.
“Maaf Kak,,, aku sudah mengambil keputusan…!!”
Aku tak bisa berkata banyak. Hanya mematung. Tak kuasa menahan langkahnya yang seketika beranjak pergi.
“Dasar keras kepala….!!!!”
Hardikku tanpa menghiraukan perasaannya.
Rasyid
mengehentikan langkahnya. Menoleh sedikit padaku. Hanya beberapa detik.
Setelah itu, mengambil langkah cepat. Meninggalkan beranda kosku.
Tubuhnya hilang membelok di tikungan jalan. Tuhan, entah apa yang difikirkannya.
*******
Hujan
di luar sudah agak sedikit mereda. Hanya menyisakan rintik kecil.
Orang-orang yang tadinya berteduh di emperan toko, sekarang sudah agak
berani untuk melanjutkan perjalanan. Meski air hujan masih turun ringan.
“Tak kusangka, malam itu aku terakhir melihatmu.”
Senyum kecilku mengembang.
Rasyid tak menjawab. Tangan kanannya memainkan ujung pipet minuman. Sedikit menyeruput segelas jus yang ada di depannya.
“Kamu sudah dapatkan mimpimu?”
Aku bertanya ringan. Sedangkan dia hanya menangguk pelan.
“syukurlah..” senyum tipisku kembali mengembang.
“Delapan tahun aku mengejarnya. Pergi membawa sejuta mimpiku ke mesir. Mengabaikan sedikit sisa hatiku yang masih ragu.”
“Mesir…???”
Dahiku berkerut. Mencoba bertanya dalam ekspresi yang benar-benar tidak mengerti karena tidak sampai menembus akalku.
“Iya
Kak…. Sebetulnya, malam itu aku ingin bercerita banyak dengan Kakak.
Beberapa minggu sebelumnya, aku mencoba memasukkan beasiswa ke mesir.
Dengan bermodalkan hafalan Qur’an dan sedikit kemampuan Bahasa Arab yang
kudapatkan sewaktu aku di pondok pesantren dulu, aku mencoba untuk
mengejar mimpi itu. Mimpi untuk masa depan yang lebih baik.”
Aku
terdiam. Tidak mengerti. Hanya menunggu penjelasan selanjutnya. Mencoba
mencari jawaban atas pertanyaanku selama delapan tahun terakhir.
“Delapan
tahun aku menggunakan waktuku untuk belajar. Setelah meraih gelar Lc
dari Al-Azhar University, aku mendapatkan beasiswa lagi. Kembali
mengambil gelar Magister. Baru lulus sebulan yang lalu.”
Dengan
konsentrasi penuh, aku mencoba mendengarkan dengan sebaik mungkin.
Mengabaikan keributan jalan. Orang-orang kembali menyalakan sepeda
motor. Melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti Karen hujan deras.
“Kamu sudah mendapatkan masa depan itu…???”
Sebuah pertanyaan yang sejak beberapa menit menggelayut di otak
Rasyid menggeleng. Belum.
Aku mengernyitka dahi. Belum….?????
“Bukankah
kamu telah mendapatkan semuanya. Rela melepaskan kuliahmu di sini.
Pergi ke Mesir. Kembali lagi setelah meraih gelar Magister.
Rasyid kembali tersenyum kecil. Senyum yang seakan mengatakan Kakak belum mengerti.
“Semua
yang kuraih saat ini hanyalah jalan untuk mendapatkan masa depan yang
terbaik. Kak Amel tau? Masa depan terbaik itu kapan?”
Aku terdiam. Tidak mengangguk. Juga tidak menggeleng.
“Kak,,,
setiap orang pasti pernah berangan-angan tentang sebuah masa yang
bernama masa depan. Masa dimana kita menginginkan hidup dengan nyaman.
Mendapatkan semuanya.Akhir dan penghujung yang indah. Tapi sayang…!
Tidak semua orang tau, dimana sebenarnya letak masa depan itu.”
Aku tetap tidak mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh Rasyid.
“Kak Emel sendiri pasti pernah punya mimpi tentang masa depan. Iya kan…?” Rasyid memintaku menyetujui tebakannya.
Aku mengangguk kecil.
“Dan
sekarang, di umur Kak Amel yang sudah beranjak tiga puluh empat tahun,
sudahkah menemukan masa depan yang diinginkan itu.??” Rasyid bertanya
antusias.
Hening sejenak. Aku mencoba untuk berfikir.
Ah,,,
masa depan. Aku yakin setiap orang menginginkan masa depan yang baik.
Termasuk aku. Tapi benar juga pertanyaan Rasyid. Sudahkah aku menemukan
masa depan itu?. Belum. Aku merasa belum menemukannya. Mungkin jika
nanti aku telah melihat anak-anakku tumbuh dewasa dan menemukan
kehidupan mereka sendiri. Aku bisa hidup dengan nyaman tanpa beban.
Menikmati hidup di usia senja yang bahagia.
Tapi benarkah itu masa
depan yang kumaksud?. Bagaimana jika ternyata sebelum masa-masa itu
datang, aku telah meninggal. Bagaimana jika ternyata jalan kehidupanku
tidak sesempurnya apa yang kupetakan selama ini. Bagaimana jika ternyata
aku tidak menemukan kenyamanan hidup selama ini?. Bukankah di umur
matangku yang sekarang, sudah layak aku mengatakan aku telah mendapat
masa depan itu. Memiliki pekerjaan yang tetap. Keluarga yang bahagia.
Suami yang baik. Anak yang lucu dan menggemaskan.
Otakku kupaksa
untuk berfikir. Aku membayangkan ketika aku baru menginjak sekolah
dasar. Aku mengira, masa depanku adalah ketika aku telah lulus sekolah.
Bekerja dan tidak lagi menggantungkan hidup pada orang tua. Jika aku
mengacu pada pemikiran itu, di usia sekaranglah masa depan itu berada.
Tapi, entah kenapa, sekarang aku merasa belum menemukan masa depan itu.
Masih ada beberapa harapan yang harus kuraih jika aku mengingkan masa
depan yang baik.
“Kenapa Kak..???”
Rasyid seakan mengerti jalan fikiranku.
“Aku merasa, aku belum menemukan masa depan itu.”
Mata Rasyid berbinar. Senyum kecilnya mengembang tipis. Aku mencoba memberanikan diri menatap wajahnya.
“Kamu sendiri sudah menemukan masa depanmu?”
Pemuda
dewasa berusia dua puluh Sembilan tahun itu kembali tersenyum kecil.
Mengabaikan rasa penasaran yang menggantung di wajahku.
“Tadi aku kan sudah bilang. Bahwa Semua mimpi yang kuraih saat ini hanyalah jalan untuk mendapatkan masa depan yang terbaik”
Aku masih terdiam. Menunggu penjelasan Rasyid selanjutnya.
“Dan
menurutku, masa depan itu ada di saat kita tidak lagi menginginkan ada
masa dimana kita masih berharap untuk hal yang lebih baik lagi. Masa
dimana kita telah menemukan semuanya. Harapan, keinginan, impian, dan
apapun yang kita cita-citakan di masa sebelum masa depan itu datang.”
Aku masih terdiam. Mencoba mencerna apa yang diuraiakan oleh Rasyid.
“Dan Kak Amel tau, dimana letak masa depan itu…..?????”
Senyum antusias Rasyid mengembang. Bersabar menunggu jawabanku.
Aku tetap menggeleng. Tidak tahu.
“Di Syurga, Kak…..”
Dahiku kembali mengernyit. Sedikir tidak mengerti. Syurga?
“Coba
Kak Amel bayangkan. Seandainya kita telah menginjakkan kaki di syurga,
masihkah kita berharap untuk menemukan masa depan yang lebih baik lagi
dari pada apa yang telah kita dapatkan di syurga itu?.”
Aku terdiam.
“Dan adakah tempat yang lebih baik daripada syurga?. “
Ya..!!
Benar kata Rasyid. Selama kita masih hidup di dunia, kita tidak akan
pernah puas dengan apa yang kita inginkan. Meskipun kita telah meraih
sesuatu, tidak lantas kita bisa katakan bahwa itu adalah masa depan
kita. Karena, kita cenderung menginginkan yang lebih.
“Terus, apa
hubungan semua itu dengan kepergianmu ke Mesir dulu? Meninggalkan
semuanya. Termasuk meninggalkan sebuah pertanyaan besar padaku selama
ini tentang keberadaanmu.”
Rasyid trelihat menghela nafas panjang. Kemudian menghembuskannya secara perlahan.
“aku
ingin mempelajari Agama dengan lebih baik lagi. Karena, di Mesir, aku
bisa mendapatkan ilmu yang lebih baik dan lebih banyak. Bukan gelar yang
kucari. Bukan gelar juga yang kubanggakan. Aku bermimpi itu semua hanya
sebagai jalan untuk menuju masa depan yang lebih baik. Dengan
kesempatan beasiswa itu.”
Aku megangguk. Akhirnya, aku memperoleh jawaban itu.
Hujan
di luar telah benar-benar reda. Meninggalkan sisa air yang masih
menggelayut di ujung daun dan ranting pohon. Jatuh pelan-pelan. Matahari
senja tak lagi terlihat. Sempurna tertutup mendung dan kabut. Mungkin
juga telah tumbang ke ufuk barat. Melanjutkan perjalanan membagi
sinarnya di belahan bumi lain.
Aku melirik jam tangan yang melilit
dipergelangan tangan kiriku. Sudah hampir jam enam. Sebentar lagi adzan
magrib berkumandang. Gelap mendung dan kabut itu sebentar lagi akan
tergantikan oleh gelap malam.
Rasyid menghabiskan sisa minuman di gelasnya.
“Sepertinya, aku datang terlambat.”
Aku meletakkan cangkir kopi yang tadi kuminum.
Terlambat? Maksudnya? Dahiku mengernyit.
“Kakak sudah menikah. Padahal, aku dulu sempat berfikir akan menikah dengan Kak Amel.”
Matanya mengerling. Wajahnya jahil Menggoda wajahku yang hampir terlihat pias.
Aku tersenyum kecil. Mengabaikan gurauannya.
Adzan
magrib lantang terdengar. Hujan telah benar-benar reda. Rasyid meminta
izin untuk bergegas pergi. Aku mengangguk. Kami berpisah di depan café
kopi ini.
Delapan tahun berlalu. Satu pelajaran yang kuperoleh darinya.
The best future is heaven. . . . . . .
No comments:
Post a Comment