Tuesday, 12 May 2015

CERBUNG : SUJUD CINTAKU DI MIHRAB TAAT (11)




……. Keputusan tersulit yang harus kubuat adalah ketika aku terlalu lelah untuk bertahan, Tapi perasaan ini seperti tali yang terus mengikatku untuk tetap mencintai tanpa mau melepasnya …….

            “Van, Semua orang juga tau, mungkin mereka akan mati besok. Tapi tidak ada satupun yang duduk diam menunggu kematian.”

            Aku mengabaikan begitu saja omelan Arinda yang sejak tadi seperti caleg sebuah partai peserta pemilu yang sedang kampanye di alun-alun kabupaten saat melihatku duduk lemah di sofa dengan semangat yang nyaris habis. Aku memilih untuk diam. Sebenarnya, ada banyak hal yang harus kuselelsaikan minggu ini. Menjelang hari pernikahanku dengan Elen yang tinggal sebulan lagi. Tapi apa yang bisa kulakukan dengan kondisiseperti ini?.

Setelah aku mengetahui tentang hubungan antara Edo dan Elen, semua membuatku bungkam. Menutup mulut untuk berkomentar dan memberikan jawaban pada siapapun yang bertanya. Entah itu Mama, Papa, Tante Ita, dan sekarang Arinda. Seseorang yang tadinya mau kita jodohkan sama Edo, saat ini terpaksa menjadi tempat curhatku.

            “Eh, Lo ga ngantor?”

            “Ini hari minggu, Rin…” Kujawabsekenanya.

            “Oh ya, gue lupa…”



            Arinda nyengir sambil meletakkan secangkir kopi moccacino panas yang andai suasana hatiku lagi nyaman, mungkin akan terlihat sangat berselera. Ditambah lagi dengan sepiring roti bakar coklat yang terasa sangat menggiurkan dengan lelehan mentega dan taburan keju parut diatasnya. Tapi sayang..! hatiku sedang tidak enak. Aku hanya menatap sekilas secangkirmoccacino panas dan sepiring roti bakar harum yang diletakkan Arinda di atas meja. Aku lebih memilih merebahkan tubuh yang sama sekali tidak bersemangat di atas sofa di rumah Arinda yang termasuk juga rumah Tante Ita.

            “Rin, ini beneran gue ga papa di sini?”

            “Tenang aja. Ga papa. Tante Ita lagi sibuk di butik. Ada pelanggan yang mau ketemu hari ini. Sekalian ngecek baju pengantin…..” Arinda sengaja memelankan intonasi kalimat terakhirnya, terdengar hati-hati sekali dengan ekor matanya yang melirik pelan ke arahku, menyadari kalau kalimatnya akan menambah keruh suasana hatiku “……. Baju pengantin Lo.”

            Aku menelan ludah. Arinda menggigit bibir bawah, terlihat antara ragu dan takut kalau aku merasa tersinggung dengan kalimat terakhirnya. Tapi Arinda bergegas meneruskan kalimatnya dengan nada suara yang sepertinya sengaja di cerahkan. Agar aku tidak terus terlarut dalam kesedihan.

            ‘Tadi gue udah izin sama Tante Ita. Kalau Lo mau ke sini. Dan Tante Ita dengan senang hati mengizinkan.”

            Oh, baguslah.

            “Van, Lo beneran? Ga mau nyicipin moccacino buatan gue?”

            Aku melirik ke arah cangkir moccacino di depanku. Ada baiknya juga kalau aku sedikit meminum suguhan dari Arinda. Apapun yang terjadi dengan hatiku, aku tidak boleh menjadikan Arinda sebagai bagian dari pelampiasan. Aku tidak boleh mengabaikan begitu saja usaha Arinda untuk menjamu tamunya dengan suguhan yang sepantasnya.

            Dengan gerakan malas dan gontai, aku bangkit dan mengambil cangkir dengan isi moccacino yang masih mengepul harum. Meminumnya sedikit dibawah tatapan mata Arinda yang sepertinya tidak sabar ingin mendengar kalimat pujian dariku setelah merasakan moccacino yang dibuatnya.

            “Bener kata Tante Ita. Lo memang berbakat jadi Barista di café kopi. Terasa sekali perpaduan antara kopi, gula palem, sedikit kayu manis bubuk dan dark coklat yang manis. Sempurna.”

            Arinda tersenyum puas mendengar kalimat pujianku. Jujur, pujianku yang baru saja terlontar bukan sebuah basa-basi usang. Tapi memang riil. Kopi moccacino buatan Arinda memangbenar-benar spesial.

            “Rin…” aku meletakkan sejenak cangkir kopi di atas meja. “Lo sendiri sama Edo gimana? Mau diakhiri?”

            Tiba-tiba Arinda menutup mulutnya yang sedang tersenyum kocak.

            “Hahaha… Van, Lo ada-ada aja. Apanya yang harus diakhiri? Jika berawal saja tidak?”

            Aku menepuk jidat. Tersadar bahwa pertanyaanku tidaklah mendasar. Entah cerita apa yang terjadi antara Edo dan Arinda setelah pertemuan awal mereka di Butik Tante Ita dulu. Sebuah pertemuan yang sengaja dibentuk untuk menjodohkan Edo dengan salah satu keponakan Tante Ita yang bernama Arinda, yang dalam pertemuan itu akhirnya aku tau bahwa Arinda adalah temen SDku.

            “Setelah pertemuan kita dulu, Lo ga pernah jalan sama Edo?”

            Arinda menggeleng.

            “Edo ga pernah ngajak Lo keluar?”

            Arinda menggeleng lagi.

            “Dan Lo nya juga ga pernah berinisiatif buat ngajak Edo keluar? Ngajak jalan? Mencoba mengambil hatinya? Mencoba mendekatinya?”

            Untuk kesekian kalinya Arinda menggeleng.

            “Yah, anggap aja gue emang pasiv. Gue cuma punya feeling, kalau dalam beberapa hari Edo ga menghubungi gue, Edo memang tidak ada niatan buat melanjutkan perjodohan ini.”

            “Lo nerima gitu aja? Ga ada usaha?”

            “Entahlah..! Buat apa bertanya jika gue udah tau jawabannya. Dan buat apa berusaha saat gue udah tau hasilnya? Terkadang, sebaik-baik pilihan adalah menerima. Dan ternyata dugaan gue bener. Edo ternyata menyukai Elen.Tunangan Lo. Dan gue yakin, Edo akan mempertahankan Elen tanpa mau melihat gimana perasaan Lo.”

            Aku menelan ludah. Menyadari bahwa apa yang dikatakan Arinda memang masuk akal.

            “Dan Lo sendiri, setelah menemukan mereka berdua saat itu, Lo masih ketemu sama Elen?”

            “Elen selalu berusaha menghubungi gue. Merajuk minta waktu untuk menjelaskan semuanya. Tapi gue selalu menolak untuk bertemu.”

            “Kalau sama Edo? Lo masih sering ketemu?”

            “Ya masih. Kita serumah. Tapi tanpa ada sapaan sedikitpun. Pernah sekali Edo ngetuk pintu kamar gue. Meminta waktu untuk menjelaskan. Apanya yang mau dijelaskan? Jika pengakuannya bahwa dia mencintai Elen sudah cukup menjelaskan semuanya. Gue lebihmemilih menghabiskan waktu di kantor. Pergi pagi, pulang udah larut. Bahka nyaris tak pernah makan di meja makan bersama keluarga. Karena gue tau, Edo akan selalu ada di situ.”

            “Tanggapan Mama sama Papa Lo?”

            “Gue tau, sementara mereka memilih untuk diam. Sambil mencari cara yang bijak untuk masalah ini. Gue tau ini tidak mudah. Ini menyangkut masalah perasaan. Mama dan Papa mencoba untuk tidak memihak. Karena, apapun yang terjadi tidak ada beda antara gue dan Edo. Kita sama-sama putra mereka. Terlepas tentang siapa yang salah dan siapa yang benar dalam hal ini. Terlepas siapa yang menghianati dan siapa yang dihianati dalam masalah ini.”

            Aku menyesap sedikit kopi dicangkir. Mencoba mengusir sesak yang sejak tadi memadat di dada. Arinda mengangkat bahu. Entahlah. Sebuah ekspresi bahwa dia sendiri juga menyerah jika dihadapakan pada kondisi sepertiini.

            ‘Terus, apa keputusan Lo sekarang?”

            Aku menghembuskan nafas kesal.

            “Gue juga belum tau. Sepanjang hidup gue, sepertinya ini keputusan tersulit yang harus gue buat. Jujur, gue lelah menghadapi semua ini. Gue lelah harus membujuk hati gue untukmenerima keadaan ini. Gue lelah harus terus membuat jarak dengan Edo, saudara kandung gue sendiri. Gue lelah jika harus terus menerus merasa bahwa gue yang disakiti. Dan gue juga lelah jika harus terus bertahan pada situasi yang ga jelas seperti ini. Tapi, di sisi lain, ga bohong juga kalau gue masih mencintai Elen.”

            Arinda menepuk pundakku.

            “Lo tau Van?, perjalanan hati bukan berarti tanpa resiko”

            Aku menarik nafas dalam-dalam. Berusaha memenuhi rongga dadaku dengan oksigen segar. Mungkin benar kata Arinda. Perjalanan hati bukan berarti tanpa resiko. Resiko tersesat, salah jalan, kehabisan bekal, terpeleset, terjatuh, terpelanting, dan resiko-resiko lainnya yang tidak bisa kita prediksi. Namun, apapun resiko yang akan kita hadapi nanti, hati selalu meminta untuk terus berjalan. Hati tak boleh berhenti. Hati tak boleh lelah. Karena, hati diciptakan tuhan sebagai metafisik alami yang akan selalu menemukan jalannya sendiri. Entah bagaimana. Entah berapa lama.

            “Entahlah Rin, gue bingung.”

            Reflek aku menyandarkan punggung di sandaran sofa. Seperti ada beban berton-ton yang sejak tadi dibebankan dipundak dan dadaku.

            “Rencana pernikahan Lo? Tetap lanjut?”

            Sebuah pertanyaan yang tidak ingin kudengar. Apalagi kujawab. Aku hanya menggeleng. Karena memang tidak tau harus menjawab apa. Tidak tau harus berfikir bagaimana. Dan tidak tau harus mengambil keputusan seperti apa juga.

            “Kalau Lo jadi gue, Lo mau ngapain?”

            Entah dapat fikiran darimana, tiba-tiba aku bisa bertanya seperti ini pada Arinda. Memang benar apa yang banyak diajarkan orang. Ketika kita tidak bisa menjawab sebuah pertanyaan hanya karena kita tidak tau memulai dari mana jalan yang akan kita lalui untuk berjalan mencari jawaban tersebut, kita bisa menggunakan pertanyaan itu untuk bertanya balik. Keuntungannya, jawaban dari si penanya bisa kita gunakan sebagai gambaran untuk kita menemukan jawaban atas pertanyaan itu.

            Arinda meletakkan telapak tangan kanannya di depan dada.

            “Van. Lo punya hati. Lo punya nurani yang akan selalu berkata jujur. Yang akan selalu membisikkan perkataan murni. Lo mungkin bisa berbohong padaorang lain. Tapi Lo ga akan pernah bisa membohongi hati Lo sendiri. Lo tanya pada hati kecil Lo sendiri. Kira-kira apa yang harus Lo lakuin. Kebaikan adalah apa yang membuat hati Lo tenang. Sedangkan keburukan adalah apa yang membuat hati Lo tidak tenang sekalipun orang lain membenarkanmu. Yang tau diri Lo, Lo sendiri. Lo adalah Lo. Dan gue adalah gue. Kita berbeda. Kita ga sama. Mungkin saja, solusi buat gue, tidak bisa diterapkan sebagai solusi buat Lo.”

            Mungkin benar apa yang dikatakan Arinda. Seharusnya aku bisa memutuskan sendiri. Yang tau seberapa besar kemampuanku adalah aku sendiri. Orang lain hanyalah system pendukung pengambilan keputusan. Sedangkan yang berhak memutuskan adalah aku sendiri. Jujur, aku masih mencintai Elen. Meski jelas-jelas di depan mataku sendiri dia menghianatiku. Apalah arti janji dan kesetiaan. Tidak ada sedikitpun yang bisa memaksa. Entah itu janji. Entah itu kesetiaan. Tidak ada. Sekalipun Elen tetap memilih bersamaku, tidak ada satupun orang yang berhak memaksa agar hati Elen tetap berada dalam genggamanku. Elen tetap bebas meletakkan hatinya pada genggaman tangan siapapun. Meski dia tidak sebebas meletakkan tubuhnya pada siapapun yang dia mau.

            Tapi, bagaimana dengan rencana pernikahan kita?

            “Yang gue pikirkan justru pada acara pernikahan kita yang tinggal sebulan lagi.”

            Arinda membenahi posisi duduknya. Sepertinya bersiap untuk menjelaskan sesuatu. Tapi ternyata dugaanku salah. Dia justru bertanya sesuatu yang membuatku hampir tak bisa berfikir lagi.

            “Elen masih tetap menginginkan pernikahan itu?”

            Aku menelan ludah. Terasa pahit sekali.

            “Mungkin seperti kata Lo tadi. Ternyata Edo menyukai Elen. Dan Elen pun mungkin menyambut kata cinta dari Edo. Kalau itu memang yang terjadi, untuk apa rencana pernikahan ini dilanjutkan?”

            Arinda mengangkat bahu. Entahlah..!

            Dadaku bertambah sesak. Ternyata, tidak ada yang lebih menyakitkan dari kepedihan yang tak dapat ditangiskan.
           
           
           
           
           


Bersambung...............

No comments:

Post a Comment