Tuesday 12 May 2015

CERPEN : KESET DAKWAH

Aku berdecak kagum. Masjid depan rumahku terlihat megah dan indah. Masjid yang dulu berukuran kecil. Untuk menampung jamaah dengan masyarakat kampung yang terhitung cukup banyak. Sekedar jamaah shalat isya dan magrib saja, jumlah jamaah sudah sampai di serambi masjid. Apalagi jika digunakan untuk shalat idul Fitri. Jumlah penduduk bisa bertambah dua kali lipat. Karena, arus mudik dari kota berdatangan.
            “Alhamdulillah,,, Pak Ahmad yang menyumbang paling banyak untuk pembangunan masjid ini. Kira-kira sampai Sembilan puluh persen dari total biaya pembangunan masjid.”
            Sapa Bapak ketika aku sedang takzim memperhatikan kubah masjid yang terlihat kokoh.
Sembilan puluh persen?. Aku tertegun mendengarnya. Bagiku, jumlah sembilan puluh persen adalah angka yang cukup fantastis jika dilihat dari bangunan masjid yang jauh lebih indah jika dibandingkan dua tahun yang lalu.
            “Selebihnya, kita mintakan sumbangan dari masyarakat sekitar.”
            Bapak kembali melanjutkan penjelasannya.


            Posisiku yang sedang kuliah di luar kota, memang jarang sekali pulang. Jadi, tidak begitu tau, proses perkembangan pembangunan masjid yang hanya berjarak sepuluh meter dari rumahku. Aku hanya sedikit tau perkembangan itu dari Bapak. Yang kebetulan, Bapak adalah ta’mir masjidnya. Jadi, tau dan faham betul seluk beluk pembangunan masjid yang berlangsung selama dua tahun itu.
            Aku hanya mengangguk. Mencoba untuk paham dengan penjelasan Bapak.
            Pak Ahmad. Hampir seluruh kampung tau siapa beliau. Orang kaya yang senang sekali membantu masjid di desa kami. Tidak hanya masjid. Tapi juga sarana prasarana desa lainnya. Kekayaannya melimpah. Tapi, sifat dermawannya juga tidak kalah melimpah. Bahkan tidak hanya itu. Sudah tidak terhitung, berapa kaum fakir miskin yang tiap bulan mendapat jatah beras dan kebutuhan pokok lainnya.
            “Alhamdulillah,,, masyarakat kampung ini sudah mengerti arti pentingnya dakwah islam.”
            Kata Bapak lagi, sambil meletakkan peci tuanya di atas meja. Bapak baru saja pulang dari masjid. Menjadi imam shalat ashar. Tugas utama seorang ta’mir masjid.
            “Kalau Bapak ini, belum bisa bantu banyak kalau masalah keuangan masjid…”
Senyum kecil Bapak mengembang. Sadar dengan keadaan keuangan keluarga kami.
“Tapi Bapak kan sudah menjadi ta’mir masjid. Menjadi imam di masjid. Itu sudah salah satu bentuk dakwah yang bisa Bapak lakukan. Seperti Kang Aan. Yang terbiasa bertugas membersihkan masjid. Seperti juga Ustdz Amir. Yang selalu mengisi kajian rutin di masjid. Semua memiliki peran untuk mengambil bagian dari dakwah.”
Dengan sedikit argument aku menyanggah kalimat Bapak. Bapak hanya mengangguk-angguk. Mengerti.
            “Kamu sendiri bagaimana nduk…???”
Tanya Bapak sambil menyeruput kopi yang baru saja kuhidangkan. Tugasku ketika pulang. Menyuguhkan kopi untuk Bapak. Menggantikan tugas ibu.
            Aku duduk di bangku kayu sebelah Bapak.
“Alhamdulillah kuliah lancar Pak… Seminggu lagi ujian akhir semester.”
Bapak tersenyum.
“Baguslah kalau begitu. Masih ikut organisasi Kerohanian Islam di Kampus..??”
Aku mengangguk. “Alhamdulillah masih, Pak….”
Bapak kembali mengannguk-angguk. Dari mimic mukanya, mencoba untuk mengerti apa yang kubicarakan.
            “Aida….” Suara ibu tiba-tiba memanggil
            “Iya Bu…” bergegas aku berlari memenuhi panggilan ibu. Meninggalkan Bapak yang masih asik dengan kopinya.
“Minta tolong antarkan beras ini ini ke rumah Bu Minah.”
Kata ibu sambil menyerahkan bungkusan plastik hitam yang berisi beras beberapa kilo.
“Siap Bu…” Tanpa banyak bicara, aku langsung menuju rumah Nek Minah.
            Nek Minah. Seorang janda berusia sekitar enam puluh tahun. Salah satu tetangga kita yang tinggal kira-kira seratus meter dari rumahku. Tinggal sendirian di rumah kecil dan teramat sederhana yang dibangun warga secara gotong royong.
            Setau aku, Nek Minah hanya tinggal sendirian. Tapi, dari cerita ibu, sebenarnya Nek Minah mempunyai seorang suami yang sudah meninggal ketika aku masih berumur tiga tahun. Juga mempunyai seorang anak yang entah dimana keberadaannya sekarang. Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, dengan sisa-sisa tenaga dari tubuhnya yang telah renta, Nek Minah mencoba mencari rizki dengan berjualan sayuran yang dia ambil sendiri dari kebun. Hasil dari berjualan itu memang tidak seberapa. Karena itu, tetangga sekitar masih sering membantunya dengan memberi beras dan kebutuhan pokok lainnya.
            Jalan menuju rumah Nek Minah tidak terlalu bagus. Masih berupa jalan tanah yang becek ketika habis hujan. Kali ini aku harus berkali-kali membersihkan telapak sandalku yang terkena lumpur dan tanah liat. Karena, tadi malam hujan deras mengguyur kampung kami. Sedangkan sepanjang hari ini, dari pagi sampai sore, matahari sempurna tertutup mendung. Enggan menampakkan sinarnya di hari-hari pertengahan musim hujan seperti ini.
            Setelah melewati kebun singkong dan tanah perkuburan warga, sampailah aku pada sebuaah rumah dengan dinding bambu sederhana beratap rumbia. Rumah yang terletak di sebelah barat tanah perkuburan. Agak sedikit jauh dari perkampungan penduduk pada umumnya.
            “Aida….???? Masuk nduk…”
            Seorang nenek tua dengan tongkat tergenggam erat di tangan segera keluar dari pintu rumahnya ketika melihatku datang. Bahkan belum sempat aku berucap salam, Nek Minah telah menyambutku dengan senyum ramahnya yang has.
“Assalamu’alaikum… Ini Nek, ada titipan dari ibu.”
“Wa’alaikumsalam… Ibumu ini selalu repot-repot. Bilang terima kasih sama ibumu. Dan juga sampaikan maafku. Nek Minah belum bisa membalasnya.”
Katanya sambil mengusap ujung jilbabku.
“Masuk dulu nduk…”
            Dengan tubuhnya yang telah renta, Nek Minah selalu mencoba untuk menyambut setiap orang yang datang ke rumahnya dengan seramah mungkin. Meski hanya sekedar membersihkan kursi bambu di depan rumah untuk tempat duduk bagi tamu yang berkunjung di rumahnya. Atau, mrnyuguhi segelas air putih yang selalu ia sediakan dari kendi tanah liat yang cukup segar untuk dinikmati airnya.
            Angin sepoi dari tanah perkuburan di samping rumahnya bertiup dingin. Aku merapatkan jilbabku yang sedikit bergeser karena diterpa angin. Tidak sengaja, aku mengarahkan pandangan ke dalam rumah. Ada sebuah mesin jahit tua. Di atasnya, ada beberapa serpihan kain perca yang beragam warna dan corak. Sedikit penasaran, aku menuju ke dalam rumah. Mendekati mesin jahit tersebut. Nek Minah baru saja masuk ke dapur. Meninggalkanku sendirian di ruang tengah.
            Dahiku mengernyit. Setiap kali aku pulang mudik, sering sekali ibu memintaku mengantar sesuatu ke rumah nek Minah. Tapi, baru kali ini aku melihat mesin jahit ini digunakan. Biasanya, mesin jahit ini hanya tergeletak di pojok ruangan. Kata nek Minah, mesin jahit ini peninggalan ibunya dulu. Jadi, memang sudah teramat tua.
            Di tengah rasa penasaran yang menggelayut, tidak sengaja aku menemukan sebuah motif keset yang belum jadi. Sepertinya, kain perca ini disusun sedemikian rupa, sehingga menjadi keset yang bisa digunakan untuk membersihkan kaki. Tapi, yang menjadi pertanyaanku sekarang, kira-kira siapa yang sengaja membuat keset ini?.
            “Aida, minum dulu nduk…”
            Tiba-tiba Nek Minah muncul dari dapur dengan membawa kendi air dan dua buah gelas kosong. Lamunanku tersentak. Nek Minah tersenyum saat memergokiku dengan mimik wajah yang terkejut. Sedangkan tanganku masih memegang motif keset yang belum jadi.
            Kepalang tanggung. Nek Minah sudah melihatku memegang keset itu. Tidak ada salahnya jika aku bertanya.
“Ini keset kaki ya Nek…??? Siapa yang buat..?”
Nek Minah tersenyum Kedua tangannya lincah menuang air dari kendi itu ke dalam gelas kecil. Kemudian menyerahkannya padaku. Aku menerimanya dengan dahi yang masih berkerut. Penasaran. Ingin segera mendengar jawaban dari Nek Minah.
            “nenek yang membuatnya.”
Aku meminum seteguk air itu. Segar membasahi tenggorokan.
“Nenek..? Untuk apa Nek?”
Bukankan rumah nenek tidak berlantai ubin atau keramik?
            Nek Minah tersenyum. Mengerti dengan nada pertanyaanku.
“Aida,,, nenek sudah tua. Mungkin sebentar lagi, jatah hidup nenek di dunia ini segera berakhir…Uhuk.. uhuk…”
Aku segera menuangkan air ke gelas satunya. Kemudian memberikannya pada Nek Minah yang sepertinya agak sulit berbicara karena terhalang batuk tuanya.
            “Nduk…” Nek Minah meneruskan penjelasannya.
“Aida, Jadilah kamu orang yang pinter. Orang pinter itu banyak gunanya. Tidak seperti nenek ini. Nenek sudah tua. Sudah pikun. Nenek menyesal, kenapa waktu masih muda dulu tidak mau belajar.”
Aku takzim mendengarkan cerita Nek Minah.
“Andai nenek bisa kembali menjadi muda lagi, dan mata ini bisa terang membaca tulisan, nenek ingin sekali belajar membaca Al’quran. Biar bisa ngaji. Tapi, sepertinya sudah telat. Nenek hanya bisa menghafal beberapa surat pendek saja. Bekal untuk shalat.”

“Aida, Nenek miskin harta. Jadi, tidak bisa membantu masjid seperti Pak Ahmad. Nenek juga miskin ilmu. Alias orang bodoh. Jadi, tidak bisa mengisi pengajian seperti Ustadz Amir. Nenek juga sudah renta. Tidak bisa membantu membersihkan masjid seperi kang Aan. Tapi, Nenek ingin sekali seperti mereka. Mempunyai kesempatan untuk bisa membantu masjid. Itung-itung ikut andil dalam menyebarkan agama Allah.”

“Hanya dengan ini yang bisa nenek lakukan…”
Sambil menunjukkan motif keset yang belum jadi.
“Mungkin, dengan ini, orang-orang yang shalat di masjid bisa membersihkan kaki setelah wudhu. Memang mungkin apa yang nenek lakukan ini tidak begitu berharga jika dibandingkan dengan apa yang telah disumbangkan pak Ahmad dan yang lainnya untuk masjid. Tapi, hanya ini yang bisa nenek lakukan.”
“nenek hanya ingin, di akhirat kelak, ketika orang-orang saling membanggakan diri di hadapan Allah dengan apa yang telah mereka lukukan untuk agama-Nya, nenek bisa ikut membanggakan diri juga. Meski hanya dengan keset ini”

Aku tertegun. Penjelasan yang teramat sederhana dari Nek Minah. Tapi, terasa cukup menampar fikiranku. Angin senja membasuh kampung. Dingin menyusup di sela-sela dinding bambu rumah Nek Minah.

Belajar dari Nek Minah. Usia senja dengan segala keterbatasannya. Masih sempat berfikir tentang dakwah dan kontribusinya. Memang benar. Jika dakwah hanya bicara, niscaya, dunia hanya butuh lisan. Tidak perlu anggota badan yang lain. Seperti Nek Minah. Mencoba mencari inisiatif agar orang-orang yang berjamaah di masjid merasa nyaman dengan kaki yang bersih.

Pandanganku menerawang. Angin senja terus membasuh tanah perkuburan. Hingga masuk ke rumah Nek Minah dan menerpa ujung jilbabku. Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah juga tidak menciptakan sebuah makhluk tanpa guna apapun. Manusia diciptakan lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Kita bisa memanfaatkan apapun yang kita bisa untuk mengayunkan langkah dakwah.

Dan Allah, membeli perniagaan itu dengan Syurga-Nya.

No comments:

Post a Comment