Aku berdecak kagum. Masjid depan rumahku terlihat megah dan indah.
Masjid yang dulu berukuran kecil. Untuk menampung jamaah dengan
masyarakat kampung yang terhitung cukup banyak. Sekedar jamaah shalat
isya dan magrib saja, jumlah jamaah sudah sampai di serambi masjid.
Apalagi jika digunakan untuk shalat idul Fitri. Jumlah penduduk bisa
bertambah dua kali lipat. Karena, arus mudik dari kota berdatangan.
“Alhamdulillah,,, Pak Ahmad yang menyumbang paling banyak untuk
pembangunan masjid ini. Kira-kira sampai Sembilan puluh persen dari
total biaya pembangunan masjid.”
Sapa Bapak ketika aku sedang takzim memperhatikan kubah masjid yang terlihat kokoh.
Sembilan puluh persen?.
Aku tertegun mendengarnya. Bagiku, jumlah sembilan puluh persen adalah
angka yang cukup fantastis jika dilihat dari bangunan masjid yang jauh
lebih indah jika dibandingkan dua tahun yang lalu.
“Selebihnya, kita mintakan sumbangan dari masyarakat sekitar.”
Bapak kembali melanjutkan penjelasannya.
Posisiku yang sedang kuliah di luar kota, memang jarang sekali pulang.
Jadi, tidak begitu tau, proses perkembangan pembangunan masjid yang
hanya berjarak sepuluh meter dari rumahku. Aku hanya sedikit tau
perkembangan itu dari Bapak. Yang kebetulan, Bapak adalah ta’mir
masjidnya. Jadi, tau dan faham betul seluk beluk pembangunan masjid yang
berlangsung selama dua tahun itu.
Aku hanya mengangguk. Mencoba untuk paham dengan penjelasan Bapak.
Pak Ahmad. Hampir seluruh kampung tau siapa beliau. Orang kaya yang
senang sekali membantu masjid di desa kami. Tidak hanya masjid. Tapi
juga sarana prasarana desa lainnya. Kekayaannya melimpah. Tapi, sifat
dermawannya juga tidak kalah melimpah. Bahkan tidak hanya itu. Sudah
tidak terhitung, berapa kaum fakir miskin yang tiap bulan mendapat jatah
beras dan kebutuhan pokok lainnya.
“Alhamdulillah,,, masyarakat kampung ini sudah mengerti arti pentingnya dakwah islam.”
Kata Bapak lagi, sambil meletakkan peci tuanya di atas meja. Bapak baru
saja pulang dari masjid. Menjadi imam shalat ashar. Tugas utama seorang
ta’mir masjid.
“Kalau Bapak ini, belum bisa bantu banyak kalau masalah keuangan masjid…”
Senyum kecil Bapak mengembang. Sadar dengan keadaan keuangan keluarga kami.
“Tapi
Bapak kan sudah menjadi ta’mir masjid. Menjadi imam di masjid. Itu
sudah salah satu bentuk dakwah yang bisa Bapak lakukan. Seperti Kang
Aan. Yang terbiasa bertugas membersihkan masjid. Seperti juga Ustdz
Amir. Yang selalu mengisi kajian rutin di masjid. Semua memiliki peran
untuk mengambil bagian dari dakwah.”
Dengan sedikit argument aku menyanggah kalimat Bapak. Bapak hanya mengangguk-angguk. Mengerti.
“Kamu sendiri bagaimana nduk…???”
Tanya
Bapak sambil menyeruput kopi yang baru saja kuhidangkan. Tugasku ketika
pulang. Menyuguhkan kopi untuk Bapak. Menggantikan tugas ibu.
Aku duduk di bangku kayu sebelah Bapak.
“Alhamdulillah kuliah lancar Pak… Seminggu lagi ujian akhir semester.”
Bapak tersenyum.
“Baguslah kalau begitu. Masih ikut organisasi Kerohanian Islam di Kampus..??”
Aku mengangguk. “Alhamdulillah masih, Pak….”
Bapak kembali mengannguk-angguk. Dari mimic mukanya, mencoba untuk mengerti apa yang kubicarakan.
“Aida….” Suara ibu tiba-tiba memanggil
“Iya Bu…” bergegas aku berlari memenuhi panggilan ibu. Meninggalkan Bapak yang masih asik dengan kopinya.
“Minta tolong antarkan beras ini ini ke rumah Bu Minah.”
Kata ibu sambil menyerahkan bungkusan plastik hitam yang berisi beras beberapa kilo.
“Siap Bu…” Tanpa banyak bicara, aku langsung menuju rumah Nek Minah.
Nek Minah. Seorang janda berusia sekitar enam puluh tahun. Salah satu
tetangga kita yang tinggal kira-kira seratus meter dari rumahku. Tinggal
sendirian di rumah kecil dan teramat sederhana yang dibangun warga
secara gotong royong.
Setau aku, Nek Minah hanya
tinggal sendirian. Tapi, dari cerita ibu, sebenarnya Nek Minah mempunyai
seorang suami yang sudah meninggal ketika aku masih berumur tiga tahun.
Juga mempunyai seorang anak yang entah dimana keberadaannya sekarang.
Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, dengan sisa-sisa tenaga dari
tubuhnya yang telah renta, Nek Minah mencoba mencari rizki dengan
berjualan sayuran yang dia ambil sendiri dari kebun. Hasil dari
berjualan itu memang tidak seberapa. Karena itu, tetangga sekitar masih
sering membantunya dengan memberi beras dan kebutuhan pokok lainnya.
Jalan menuju rumah Nek Minah tidak terlalu bagus. Masih berupa jalan
tanah yang becek ketika habis hujan. Kali ini aku harus berkali-kali
membersihkan telapak sandalku yang terkena lumpur dan tanah liat.
Karena, tadi malam hujan deras mengguyur kampung kami. Sedangkan
sepanjang hari ini, dari pagi sampai sore, matahari sempurna tertutup
mendung. Enggan menampakkan sinarnya di hari-hari pertengahan musim
hujan seperti ini.
Setelah melewati kebun singkong dan
tanah perkuburan warga, sampailah aku pada sebuaah rumah dengan dinding
bambu sederhana beratap rumbia. Rumah yang terletak di sebelah barat
tanah perkuburan. Agak sedikit jauh dari perkampungan penduduk pada
umumnya.
“Aida….???? Masuk nduk…”
Seorang nenek tua dengan tongkat tergenggam erat di tangan segera
keluar dari pintu rumahnya ketika melihatku datang. Bahkan belum sempat
aku berucap salam, Nek Minah telah menyambutku dengan senyum ramahnya
yang has.
“Assalamu’alaikum… Ini Nek, ada titipan dari ibu.”
“Wa’alaikumsalam…
Ibumu ini selalu repot-repot. Bilang terima kasih sama ibumu. Dan juga
sampaikan maafku. Nek Minah belum bisa membalasnya.”
Katanya sambil mengusap ujung jilbabku.
“Masuk dulu nduk…”
Dengan tubuhnya yang telah renta, Nek Minah selalu mencoba untuk
menyambut setiap orang yang datang ke rumahnya dengan seramah mungkin.
Meski hanya sekedar membersihkan kursi bambu di depan rumah untuk tempat
duduk bagi tamu yang berkunjung di rumahnya. Atau, mrnyuguhi segelas
air putih yang selalu ia sediakan dari kendi tanah liat yang cukup segar untuk dinikmati airnya.
Angin sepoi dari tanah perkuburan di samping rumahnya bertiup dingin.
Aku merapatkan jilbabku yang sedikit bergeser karena diterpa angin.
Tidak sengaja, aku mengarahkan pandangan ke dalam rumah. Ada sebuah
mesin jahit tua. Di atasnya, ada beberapa serpihan kain perca yang
beragam warna dan corak. Sedikit penasaran, aku menuju ke dalam rumah.
Mendekati mesin jahit tersebut. Nek Minah baru saja masuk ke dapur.
Meninggalkanku sendirian di ruang tengah.
Dahiku
mengernyit. Setiap kali aku pulang mudik, sering sekali ibu memintaku
mengantar sesuatu ke rumah nek Minah. Tapi, baru kali ini aku melihat
mesin jahit ini digunakan. Biasanya, mesin jahit ini hanya tergeletak di
pojok ruangan. Kata nek Minah, mesin jahit ini peninggalan ibunya dulu.
Jadi, memang sudah teramat tua.
Di tengah rasa
penasaran yang menggelayut, tidak sengaja aku menemukan sebuah motif
keset yang belum jadi. Sepertinya, kain perca ini disusun sedemikian
rupa, sehingga menjadi keset yang bisa digunakan untuk membersihkan
kaki. Tapi, yang menjadi pertanyaanku sekarang, kira-kira siapa yang
sengaja membuat keset ini?.
“Aida, minum dulu nduk…”
Tiba-tiba Nek Minah muncul dari dapur dengan membawa kendi
air dan dua buah gelas kosong. Lamunanku tersentak. Nek Minah tersenyum
saat memergokiku dengan mimik wajah yang terkejut. Sedangkan tanganku
masih memegang motif keset yang belum jadi.
Kepalang tanggung. Nek Minah sudah melihatku memegang keset itu. Tidak ada salahnya jika aku bertanya.
“Ini keset kaki ya Nek…??? Siapa yang buat..?”
Nek Minah tersenyum Kedua tangannya lincah menuang air dari kendi
itu ke dalam gelas kecil. Kemudian menyerahkannya padaku. Aku
menerimanya dengan dahi yang masih berkerut. Penasaran. Ingin segera
mendengar jawaban dari Nek Minah.
“nenek yang membuatnya.”
Aku meminum seteguk air itu. Segar membasahi tenggorokan.
“Nenek..? Untuk apa Nek?”
Bukankan rumah nenek tidak berlantai ubin atau keramik?
Nek Minah tersenyum. Mengerti dengan nada pertanyaanku.
“Aida,,, nenek sudah tua. Mungkin sebentar lagi, jatah hidup nenek di dunia ini segera berakhir…Uhuk.. uhuk…”
Aku
segera menuangkan air ke gelas satunya. Kemudian memberikannya pada Nek
Minah yang sepertinya agak sulit berbicara karena terhalang batuk
tuanya.
“Nduk…” Nek Minah meneruskan penjelasannya.
“Aida,
Jadilah kamu orang yang pinter. Orang pinter itu banyak gunanya. Tidak
seperti nenek ini. Nenek sudah tua. Sudah pikun. Nenek menyesal, kenapa
waktu masih muda dulu tidak mau belajar.”
Aku takzim mendengarkan cerita Nek Minah.
“Andai
nenek bisa kembali menjadi muda lagi, dan mata ini bisa terang membaca
tulisan, nenek ingin sekali belajar membaca Al’quran. Biar bisa ngaji.
Tapi, sepertinya sudah telat. Nenek hanya bisa menghafal beberapa surat
pendek saja. Bekal untuk shalat.”
“Aida, Nenek miskin
harta. Jadi, tidak bisa membantu masjid seperti Pak Ahmad. Nenek juga
miskin ilmu. Alias orang bodoh. Jadi, tidak bisa mengisi pengajian
seperti Ustadz Amir. Nenek juga sudah renta. Tidak bisa membantu
membersihkan masjid seperi kang Aan. Tapi, Nenek ingin sekali seperti
mereka. Mempunyai kesempatan untuk bisa membantu masjid. Itung-itung
ikut andil dalam menyebarkan agama Allah.”
“Hanya dengan ini yang bisa nenek lakukan…”
Sambil menunjukkan motif keset yang belum jadi.
“Mungkin,
dengan ini, orang-orang yang shalat di masjid bisa membersihkan kaki
setelah wudhu. Memang mungkin apa yang nenek lakukan ini tidak begitu
berharga jika dibandingkan dengan apa yang telah disumbangkan pak Ahmad
dan yang lainnya untuk masjid. Tapi, hanya ini yang bisa nenek lakukan.”
“nenek
hanya ingin, di akhirat kelak, ketika orang-orang saling membanggakan
diri di hadapan Allah dengan apa yang telah mereka lukukan untuk
agama-Nya, nenek bisa ikut membanggakan diri juga. Meski hanya dengan
keset ini”
Aku tertegun. Penjelasan yang teramat sederhana
dari Nek Minah. Tapi, terasa cukup menampar fikiranku. Angin senja
membasuh kampung. Dingin menyusup di sela-sela dinding bambu rumah Nek
Minah.
Belajar dari Nek Minah. Usia senja dengan segala
keterbatasannya. Masih sempat berfikir tentang dakwah dan kontribusinya.
Memang benar. Jika dakwah hanya bicara, niscaya, dunia hanya butuh
lisan. Tidak perlu anggota badan yang lain. Seperti Nek Minah. Mencoba
mencari inisiatif agar orang-orang yang berjamaah di masjid merasa
nyaman dengan kaki yang bersih.
Pandanganku menerawang.
Angin senja terus membasuh tanah perkuburan. Hingga masuk ke rumah Nek
Minah dan menerpa ujung jilbabku. Allah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya. Allah juga tidak menciptakan sebuah makhluk tanpa
guna apapun. Manusia diciptakan lengkap dengan kelebihan dan
kekurangannya. Kita bisa memanfaatkan apapun yang kita bisa untuk
mengayunkan langkah dakwah.
Dan Allah, membeli perniagaan itu dengan Syurga-Nya.
No comments:
Post a Comment