Tuesday 12 May 2015

CERPEN : PERMINTAAN IBU


“Dengarkan permintaan ibu Nak….!!! Manikahlah dengan Elisa…!!!!!!!!”
Suara ibu parau. Sedangkan tatapan matanya lekat jatuh tepat di retina mataku. Tatapan mata yang sungguh tajam. Setajam permintaannya kali ini. Sedangkan aku hanya bisa terdiam tanpa bisa melakukan apapun.
“Asrul… Pak Mahmud benar-benar menginginkanmu untuk jadi menantunya. Menjadi istri Elisa…..!!!!!!!”
Dan untuk kesekian kalinya aku hanya terdiam dalam tundukku. Benar-benar tidak tahu harus menjawab apa mengenai semua bahan pembicaraan ibu.
“Anggap saja ini permintaan ibu yang terakhir. Dan ibu sangat berharap kau bisa melakukannya.”
Kata-kata ibu menutup pembicaraan malam ini. Kemudian beranjak dari duduknya dan berlalu dengan meninggalkanku yang masih terus duduk terdiam. Tanpa bisa mengeluarkan satu katapun dari lisanku.


Terkadang, ingin sekali aku menyalahkan nasib. Bahkan menyalahkan tuhan sekalipun. Kenapa Dia menciptakan takdir kehidupanku dan keluargaku seperti ini???. Tidakkah aku berhak menikmati hidup seperti manusia lainnya?. Yang bisa hidup dengan kecukupan materi. Sehingga bisa membeli apapun yang aku inginkan. Bahkan bisa membeli cinta.
Kurebahkan tubuhku di atas dipan sederhana tanpa kasur. Hanya beralaskan tikar yang sudah banyak robek di beberapa bagian. Angin malam terasa dingin membelai kulitku. Masuk ke dalam kamar dengan menyusup di sela-sela dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Ingin rasanya aku tidur pulas malam ini. Sejenak melupakan sebuah persoalan rumit yang membelanggu fikiranku. Tapi mata ini rasanya enggan terpejam. Meski berulang kali terus kucoba untuk memejamkannya.

Miskin. Status itulah yang rasanya pantas kusandang sepanjang usia. Dari aku lahir hingga sekarang. Hidup dengan materi yang pas-pasan. Bahkan teramat sering kekurangan. Aku hanya tinggal berdua dengan ibuku di sebuah rumah kecil yang teramat sederhana peninggalan almarhum ayahku. Penghasilan ibu sebagai pembantu rumah tangga di rumah Pak Mahmud hanya bisa mencukupi kebutuhan makan sehari-hari. Sedangkan pendidikanku yang hanya lulusan SMA hanya mampu bekerja sebagai tukang ojek. Sedikit membantu ibu mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Beberapa kali sempat muncul niat di hatiku untuk mengadu nasib di kota. Berharap bisa mendapat kehidupan yang lebih baik. Tapi, melihat kondisi ibu yang sering sakit-sakitan, aku tidak tega meninggalkannya sendiri. Karena, hanya aku yang dimiliki ibu satu-satunya. Ayah sudah meninggalkan kita untuk selamanya saat aku masih duduk di bangku SMP. Jadilah, aku hanya bisa seperti ini. Dari pagi sampai sekitar ashar, aku memanfaatkan sepeda motor butut peninggalan almarhum ayahku untuk menarik ojek. Sedangkan sorenya, aku menyempatkan diri mengajar baca tulis Al-qu’an di sebuah masjid dekat rumahku.

Prestasi sekolahku tergolong bagus. Bahkan, sewaktu lulus SMA, aku menjadi lulusan terbaik di SMA yang terbaik pula di kabupaten tempatku tinggal. Sajak SD sampai SMA, aku selalu masuk tiga besar di sekolah. Bahkan sempat juga aku mendapat predikat siswa teladan di SMA.

Tapi, kembali lagi aku harus menepis semua impianku untuk melanjutkan ke perguruan tinggi setelah lulus SMA. Karena factor ekonomi yang tidak pernah mendukung sama sekali. Setelah ayah meninggal, kami banyak berhutang budi kepada keluarga Pak Mahmud. Yang tidak lain adalah majikan ibu. Sehari-hari, ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumahnya. Pak Mahmud banyak sekali membantu kita. Bahkan semua biaya sekolahku selama ini juga karena kebaikan Pak Mahmud yang mau menanggung semua biaya pendidikanku. Mungkin, seandainya tidak ada Pak Mahmud, aku sudah putus sekolah sejak SD.

Selain biaya pendidikanku, biaya pengobatan ibu juga di tanggung oleh Pak Mahmud. Beberapa kali ibu masuk rumah sakit karena menderita tumor di kandungannya. Sehingga perlu banyak dana untuk biaya rumah sakit. Di sinilah Pak Mahmud sangat berperan penting. Ikhlas membantu pengobatan untuk ibu.

Pak Mahmud adalah pengusaha kaya di desaku. Yang hanya mempunyai anak perempuan tunggal. Yang bernama Elisa. Dia seumuranku. Tapi, Elisa jauh lebih beruntung daripada aku. Sekarang dia telah meraih gelar sarjananya di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Hidupnya serba berkecukupan karena harta yang berlimpah dari ayahnya.
“tidakkah kau mau membalas budi semua kebaikan Pak Mahmud selama ini dengan menikahi Elisa?. Pak Mahmud sendiri yang bilang pada ibu agar kau menikah dengannya” Kata-kata ibu selalu terngiang di fikiranku.
“Tapi bu,,, coba bandingkan..!! Aisyah dengan Elisa…!!! Aisyah gadis desa yang masih santun dengan tata krama dan budi pekerti agama. Pakaiannya sopan dan anaknya shalehah. Sedangkan Elisa…. Ibu bisa lihat sendiri kan????? Pakaiannya menutup aurat saja tidak.” Kucoba untuk memberikan alasan kenapa aku tidak berkenan untuk menikah dengan Elisa.

Aisyah. Entah kenapa nama itu terdengar indah ditelingaku. Nama yang teramat sederhana, seperti nama salah satu istri Rasul. Dia seorang guru ngaji di TPQ tempatku mengajar. Penampilannya sederhana. Layaknya gadis desa lainnya. Tapi, dimataku Aisyah terlihat anggun dan santun. Sesantun akhlaknya. Banyak sekali pemuda di desaku yang mendambakan bisa melamar Aisyah untuk menjadi istrinya. Termasuk aku.

“Sungguh, Aisyah ingin sekali menjadi bidadari yang mendampingi sisa hidup Abang. Apapun adanya Abang…” Kata Aisyah suatu saat.
Sebuah jawaban ketika sempat kuutarakan maksudku untuk melamarnya. Sungguh sebuah kebahagian tersendiri bagiku. Perasaanku tersambut olehnya.
Tapi, apalah arti kebahagiaan itu. Jika aku tidak berhak memilih apa yang kuinginkan. Ketika semuanya dapat terbeli dengan uang. Bahkan cinta sekalipun. Dengan alasan balas budi, ibu memintaku untuk memenuhi permintaan Pak Mahmud. Menikahi Elisa. Dengan kata lain, Pak Mahmud bisa membeli perasaanku dengan uangnya. Dengan kebaikan materi yang selama ini dia berikan untuk aku dan ibuku.
“Asrul,,, Pak Mahmud sangat terpesona dengan kesalehanmu. Dan beliau teramat ingin bisa mempunyai menantu sepertimu…”
“Tapi Bu… Ibu bisa menilai sendiri Elisa seperti apa??? Jauh sekali dari kata shalehah. Ibu tidak mau mempunyai menantu seperti Aisyah????”
“Nak,,, sekarang ibu Tanya. Tujuan menikah apa????”
“Ibadah Bu…”
“Bukankah ibadah, jika kau bisa memperbaiki akhlak Elisa???. Bukankah ibadah jika kau membalas budi kebaikan Pak Mahmud yang selama ini diberikan pada keluarga kita???? Dan bukankah ibadah jika kau menyenangkan hati ibumu????”
“Tapi Bu… apakah ada jaminan jika Elisa kelak bisa menjadi istri yang baik??? Menjadi wanita shalehah dan sebaik-baik perhiasan dunia????????????”
Kuhela nafas panjang dengan fikiran yang sedikit terkotori oleh emosi, lalu kulanjutkan,,,
“Rasul pernah berkata, wanita dinikahi karena empat hal. Karena kecantikannya, karena kedudukannya, karena kekayaannya dan karena agamanya. Maka pilihlah agamanya agar kita bisa selamat…”
“Dan dimata Asrul, kesalehan Aisyah lebih penting daripada membalas budi kebaikan Pak Mahmud selama ini…!!!!!” Jawabku tegas.

Sentak ibu memandangiku dengan sorot matanya yang tajam. Baru kali ini aku melihat ibu seperti ini. Ibu yang kukenal selama ini adalah ibu yang lembut. Ibu yang penuh kasih sayang terhadap aku, putra semata wayangnya. Dari tangan yang sekarang mulai keriput, aku belajar dan mengerti tentang arti kata cinta. Dari tubuh yang mulai lemah dan ringkih itulah aku belajar tentang arti kata pengorbanan.

Sesaat, kami terdiam dengan membawa argument yang terbungkus dengan emosi. Aku masih tetap dengan pendirianku. Mencoba menolak menikah dengan Elisa. Dan aku yakin, ibu juga masih tetap dengan pendiriannya. Berusaha membujukku agar bersedia menikah dengan Elisa. Jujur, hatiku perih. Saat kutatap wajah ibu.
“Ibu minta sekali ini saja Nak… setelah ini, ibu tidak akan meminta apa-apa lagi padamu. Ibu janji….” Suaranya tiba-tiba melemah dengan butiran air mata yang perlahan menetes.
“Ibuuuuuuuuu……….” Kuraih kaki ibu, hendak bersimpuh sujud di kakinya.
Sejenak kutumpahkan tangis dengan memegang erat kedua kaki ibu. Disinilah Allah meletakkakn syurga. Tapi, dengan keadaan seperti ini, mungkinkah kuraih syurga itu?.

“Bu… di satu sisi Asrul mencintai Aisyah. Dan ingin sekali menikah dengannya. Tapi, di sisi lain, Asrul juga ingin meraih ridha Allah. Karena ridha Allah tergantung dari ridho orang tua. Ridho ibu juga….”
Kulihat ibu tidak kuat menahan tangisnya. Tetes demi tetes air mata itu mengalir tak terbendung. Ibu yang kukenal selama ini adalah sosok wanita yang tegar. Meski kemiskinan dan kesempitan yang menghimpitnya, tak pernah sekalipun aku melihat ibu mengeluh ataupun menangis. Bahkan ketika ayah meninggal. Dengan tabah tanpa air mata, ibu berjalan ke pemakaman mengantarkan kepergian ayah untuk selama-lamanya. Dan baru kali ini aku melihat tangis ibu mengalir deras.

“Maafkan Asrul Ibu…., Bukan berarti Asrul tidak sayang pada ibu. Tapi sungguh… Asrul sangat mencintai Aisyah… Asrul hanya ingin restu dan izin dari ibu…” Pintaku memelas.
“Cinta….???? Kau lebih memilih mencintai wanita yang baru kau kenal daripada ibumu yang telah menjaga dan menyayangimu sejak lahir….????”
Deggg….!!!!!
Kalimat ibu cukup pedas mengena di labirin hatiku.
“Bu,,, tidak pernah terbersit sedikitpun di hati Asrul untuk mengganti cinta Asrul pada ibu dengan wanita lain. Cinta Asrul pada ibu tetap utuh tak terkurangkan sedikitpun.”
“Tapi apa yang kau katakan…..????!!!!!!! kau lebih memilih Aisyah daripada mendengar permintaan ibu.”
“Ingar Nak…..!!!!!!! jika kau hitung, lebih banyak mana, permintaanmu pada ibu, atau permintaan ibu padamu….???? Tapi kenapa ketika ibu minta sesuatu teramat sulit bagimu untuk mengabulkan….????????”
“Sembilan bulan ibu mengandungmu dengan susah payah. Ketika tiba waktunya melahirkanmu, ibu pertaruhkan nyawa ibu yang satu-satunya ini untuk membawamu ke dunia. Bisa dikatakan ibu rela mati asal kau bisa selamat lahir di dunia. Ibu rela mengorbankan nyawa ibu yang hanya satu-satunya ini untuk seorang bayi kecil yang belum pernah sekalipun berkorban untuk ibu…!!!!”

Suara ibu terus meninggi disertai tetes air mata yang mengalir tak terbendung. Sedangkan hatiku semakin perih. Tak berani kutatap wajah seorang mutiara lembut di hadapanku. Wajah penuh kasih yang cintanya padaku yang tak pernah bisa tergantikan oleh siapapun.

“Bu, tidakkah ada permintaan ibu yang lain selain permintaan agar aku menikah dengan Elisa????”
“Sekali lagi ibu minta hanya itu. Menikahlah dengan Elisa. Rubahlah Elisa agar bisa menjadi wanita yang shlehah.”
Kata ibu sambil menyeka air matanya. Kemudian berlalu dari hadapanku tanpa ada kata lagi.

Aku masih berdiri mematung. Kalimat demi kalimat yang baru saja ibu lontarkan padaku terasa masih segar membekas di telingaku. Aku dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan pertama, mengikuti keinginan ibu. Menikahi Elisa. Mungkin ini salah satu cara untuk terus membaktikan diriku pada ibu. Mengapai ridho Allah melalui ridho ibu. Mungkin itu sebuah kebahagiaan jika Elisa adalah seorang gadis yang shalehah. Tapi sayang…! Dalam pandanganku, Elisa yang kukenal selama ini teramat jauh dengan sosok seorang wanita yang shalehah. Menutup aurat dengan jilbab saja tidak. Pakaian yang sering dikenakannya terlalu membuka aurat. Bahkan dia dengan bangganya memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya benar-benar harus rapat tertutup. Dan boleh terlihat hanya di pandangan muhrim dan suaminya.

Mungkin Maksud pak Mahmud benar. Menikahkan Elisa denganku agar Elisa bisa menjadi lebih baik. Mendapat suami dan imam yang bisa membimbingnya. Tapi, apakah ada jaminan untuk itu???. Kalau Elisa bisa berubah lebih baik, memang sebuah ibadah bagiku. Tapi, jika yang terjadi malah sebaliknya. Elisa masih tetap dengan sifatnya yang sekarang. Yang ada, pernikahan hanya sebatas status. Tak pernah kutemui istilah ‘Baity Jannaty’ dalam rumah tanggaku. Bagaimana dengan anakku nanti???. Jika ibunya tidak memiliki criteria wanita shalehah?

Pilihan yang kedua adalah menentang keinginan ibu. Aku tetap menolak menikah dengan Elisa. Dan memilih Aisyah untuk menjadi istriku. Sedikit banyak aku sudah tau siapa Aisyah. Dalam pandanganku, Aisyah adalah wanita shlehah yang sederhana. Meski Aisyah tidak sekaya Elisa, dan pendidikannya juga tidak setinggi Elisa, tapi akhlaknya sungguh jauh di atas Elisa. Wanita seperti Aisyahlah yang kuinginkan. Dengannya aku bisa mengharapkan memperoleh perhiasan dunia yang terindah. Bersamanya ingin kudapatkan syurga di rumah tanggaku kelak. Yang akan mengantarkan kita ke syurga yang sesungguhnya sesuai janji Allah.

Gerimis hatiku tak dapat kuseka lagi. Dua orang wanita yang teramat indah di hatiku seakan datang dengan memberiku dua pilihan. Ibuku atau Aisyah. Tanpa sedikitpun memberiku pilihan yang ke tiga, ke empat, dan seterusnya. Suaraku seakan tersekat di kerongkongan mendengar permintaan ibu. Selama ini, ibu selalu memberiku keleluasaan dalam hidupku. Tidak pernah meminta sesuatu padaku. Dan sekarang, ibu meminta sesuatu yang teramat sulit terkabul oleh hatiku.
Tak selamanya mendung selalu berakhir dengan hujan. Dan tak selamanya pula hujan selalu menjanjikan pelangi. Semua masih menggantung.


Kamar kos,
10 November 20011, 00.12


(…..Yaya Hikmatul Qalam………)

NB : Dituliskan kembali dari penuturan seorang teman penulis. Dengan tokoh bukan nama sebenarnya. Bagi pembaca yang mau memberi saran, silahkan coment ya……

No comments:

Post a Comment