Tuesday, 12 May 2015
CERBUNG : SUJUD CINTAKU DI MIHRAB TAAT (5)
……. Berharap cinta di matamu,seperti membangun mimpi pada fondasi yang telah rapuh…….
“Lagi menikmati hujan, Van?”
Aku sedang berdiri di dekat jendela kamar, menatap rinai hujan di luar, Bang Edo tiba-tiba datang mengagetkanku dari belakang.
Aku menoleh sebentar ke belakang. Melihat Bang Edo yang sedang berdiri di pintu kamarku dengan pandangan seadanya. Dan tersenyum seadanya.
“Gue boleh masuk ga?”
“Masuk aja Bang.”
Bang Edo masuk, kemudian berdiri di sebelahku. Mengikutiku menatap lamat-lamat rinai hujan di luar jendela.
“Lo dapat tugas dari bos Lo? Ngitungin jumlah air hujan yang turun malam ini?”
Dengan pandangan yang masih terus menatap hujan. Aku tersenyum seadanya. Agak kurang berminat menanggapi obrolannya.
“Cuma pengen melihat hujan aja, Bang”
“Van,Lo tau ga? Kenapa orang-orang pada lari ketika hujan datang. Lari menyelamatkan diri dari guyuran hujan dan mencari tempat berteduh?”
Aku tetap terdiam. Menggeleng pelan. Masih malas dengan semuanya.
“Takut basah, kali.?!”
Kujawab seadanya. Dengan nada ringan. Bang, gue lagi bête. Males buat bercanda. Berharap Bang Edo mengerti dengan sikap tubuhku. Kalau aku lagi ingin sendiri. Tidak mau diganggu.
“Karena, hujan itu datangnya kroyokan. Coba datangnya satu-satu. Orang tidak akan pernah takut sama hujan. Hujan datang, ya di hadapi saja.”
Kembali lagi aku tersenyum seadanya. Ga lucu.
Bang Edo kembali menepuk bahuku pelan. Menoleh padaku. Dan menatap wajahku lamat-lamat. Sepertinya mengerti dengan sikap diam dinginku.
“KenapaLo? Keliatan bête gitu?”
Aku menggeleng pelan. Menatap ke langit-langit kamar. Mengambil nafas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat .Berharap semua ganjalan hati menguap saat itu juga.
“Elen, Bang.”
Jujur, aslinya aku benar-benar tak ingin cerita. Ingin memendamnya sendiri. Atau lebih tepatnya menyelesaikan ini dengan logikaku sendiri. Tapi sudah terlanjur.
“Kenapa dengan Elen?. Kalian lagi bertengkar?” Tatapan mata Bang Edo menyelidik.
Aku menggeleng. Entahlah.
Bang Edo mengernyitkan dahi. Terus? Kenapa keliatan bête?.
Aku tak berselera untuk langsung menjawab. Hening sejenak diantara kita dengan diselingi suara rinai hujan yang menjadi latar.
“Tadi gue ke rumahnya. Bilang sama dia kalau besok malam gue mau ngajak dia ke butiknya Tante Ita. Mau nge-pas baju pengantin kita sama nemenin Bang Edo kenalan sama keponakannya Tante Ita. Tapi…......”
Lidahku tiba-tiba kelu.
“Tapi kenapa?”
“Elen bilang katanya dia lagi tidak enak badan.”
Bang Edo Nampak terdiam. Menganggguk-angguk kecil seperti mengerti dan memahami apa yang dirasakan Elen.
“Kalau sakit jangan dipaksa. Biarkan dia istirahat.”
“Tapi…….”
“Tapi kenapa, Van?”
“Rasanya ada yang janggal dengan sikap Elen akhir-akhir ini. Terutama setelah kita bertunangan”
Bang Edo menepuk pundakku pelan. Tepukan seorang sahabat yang menenangkan.
“Paling Cuma firasat Lo aja Van. Apapun yang terjadi, Elen adalah tunangan Lo. Calon istri Lo. Lo harus mencoba menanamkan kepercayaan penuh padanya.”
Kembali aku menghirup nafas dalam-dalam. Memenuhi alveolus paru-paruku dengan oksigen. Kemudian menghembuskannya pelan. Entahlah. Memang ada yang mengganjal dengan sikat Elen akhir-akhir ini. Sikap Elen yang tidak terlalu antusias dengan rencana pernikahan kita.
“Mungkin Bang. Hanya sebatas firasat. Firasat yang benar-benar mengganggu. Firasat yang seperti rahasia. Rahasia diriku yang tersimpan dalam tubuhku sendiri”
Bang Edo terdiam.
Rinai hujan di luar terdengar mereda. Menyisakan rintik kecil yang lembut berjatuhan.
“Bang, boleh tanya?”
Bang Edo mengangguk. Tatapan mata dan gerakan tubuhnya seakan memberi peluang padaku untuk bercerita semuanya.
Sejenak kembali kuambil sikap diam. Mencoba mengatur serat-serat kusut kalimat yang sejak tadi ingin tertumpah begitu saja. Tapi sayang. Kalimat yang sejak tadi kucoba untuk merangkainya pelan-pelan, kini pecah berkeping-keping.
Aku menggeleng.
“Kalau Lo mau cerita, cerita aja, Van. Gue akui, gue memang belum pernah punya pengalaman dengan perempuan. Tapi, setidaknya, saat Lo mencoba menceritakanmasalah Lo, menceritakan sesak hati Lo pada orang lain, hati Lo bisa sedikit lega. Meski tanpa ada solusi sedikitpun yang Lo dapat.”
Hatiku ragu.
“Gue tau. Menurut John Gray dalam bukunya ‘Men Are From Mars Women Are FromVenus’ laki-laki diibaratkan seperti planet Mars yang yang terdapat banya ksekali goa-goa. Dan pada saat-saat tertentu, planet mars terlihat sepi. Karena para penghuninya, laki-laki itu masuk goanya masing-masing. Para pria sangatlah sensitive terhadap kemampuan dirinya, integritas, pengakuan, dan kepecayaan. Ketika mereka mendapati masalah dalam kehidupan terutama yang menyangkut tentang hal-hal sensitive mereka, mereka akan cenderung lari dari dunia nyataya itu hubungannya menuju dunianya sendiri.”
Dengan setia aku menunggu penjelasan dari Bang Edo.
Hal-hal seperti inilah yang paling aku suka darinya. Bang Edo memang tidak banyak pengalaman terhadap cinta lawan jenis. Kecuali hanya satu hal. Beberapa cinta terpendamnya pada beberapa wanita yang tidak pernah diungkapkannya. Namun, pengetahuan tentang relationship bisadiacungi jempol.
Kegemarannya membaca banyak buku membuat dia bisa menjadi tempat curhat yang menyenangkan. Meski dia seorang sarjana seni arsitektur, tapi pengetahuannya tentang dunia psikologi lumayan luas.
“Mereka tidak lari dari kenyataan,mereka hanya berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri. Akan sangat jarang menemukan seorang laki-laki berkumpul bersama teman-temannya berbagi kisah dan mencari solusi bersama. Itu bukanlah peduduk Planet Mars. Mereka meyakini kemampuannya sendiri. Mereka tahu bagaimana mencari solusi dari masalahnya sendiri.”
Sekali lagi, aku masih mengambilsikap diam. Membiarkan Bang Edo menjelaskan sebagian dari teorinya John Gray yang sepertinya, sangat amat dia kuasai.
“Kalau Lo memang mau cerita, pasti dengan senang hati bakalan gue dengerin. Tapi, kalau Lo belum siap, atau bahkan mau memendam sesak itu dalam goa Lo sendiri, ya terserah Lo. Gue Cuma.....…..”
Belum selesai Bang Edo ngomong, reflek aku menyahut.
“Menurut Abang, beda antara cinta dan keegoisan itu apa?”
Mata Bang Edo nampak sedikit mengedip kaget. Pandangan yang sejak tadi menatap lurus sisa-sisa titik hujan, sekarang menoleh padaku. Beberapa detik pandangan itu kosong. Namun akhirnya tersenyum simpul.
“Kalau menurut gue, cinta dan keegoisan itu hampir sama. Sama-sama ingin memiliki. Bedanya, kalau cinta diikuti dengan pengertian, sedangkan keegoisan hanya disertai dengan keangkuhan”
Sorot mataku menatap lamat-lamat mata Bang Edo. Kuamati hampir tiap sel retina matanya. Ada senyum kebanggaan dan kelegaan di hatiku.
Bang Edo yang tidak hanya seorang kakak. Namun juga bisa menjadi psikolog dadakan saat diperlukan. Pengetahuannya yang bijaksana tentang cinta dan kehidupan, memang patut dibanggakan. Seperti menemukan trio filsuf Yunani. Socrates, Plato dan Aristoteles.
“Lo mau bukti dari quote gue tadi?”
Dengan cepat aku mengangguk.
“Lo pandang Mama. Lo liat Papa. Kasih sayang yang mereka berikan selama ini bisa dikatagorikan cinta. Bukan keegoisan.”
Aku mengernyitkan dahi. Kenapa?
“Lo liat contoh kasus gue. Mama dan Papamemang memiliki gue. Tapi, apa mereka pernah angkuh? Melarang gue pergi ke Seoul? Meskipun hati mereka benar-benar berat melepas gue pergi ke Seoul dulu, dan pergi ke Amsterdam kelak, tapi mereka selalu mencoba mengerti tentang keinginan gue. Mereka ga pernah angkuh buat mengikat gue agar gue selalu di dekat mereka setiap saat. Ada di sisi mereka setiap saat. Itulah cinta. Ingin memiliki. Namun diserati dengan pengertian”
Aku mengangguk paham.
Meski tanpa Bang Edo berikan lagi contoh dari devinisi keegoisan, aku langsung bisa menyimpulkan. Tapi, aku masih ingin Bang Edo bercerita banyak.
Bang Edo menarik nafas panjang. Kemudian menghembuskannya perlahan.
“Kalau keegoisan, ini mungkin bisa Lo lihat pada kasus-kasus sepasang kekasih. Yang mengatakan cinta pada kekasihnya tapi mengikatnya erat-erat. Menginginkannya untuk terus di sisinya tanpa mau mengerti tentang apa yang diinginkan kekasihnya.”
Aku mengangguk mantap.
“Van, cinta sejati itu melepaskan. Ini logika sederhana. Kalau Lo mengikat erat-erat, coba rasakan ulang. Tanyakan pada hati kecil Lo yang paling dalam. Ini benar cinta atau keegoisan. Kalau benar-benar cinta, Lo ga akan takut untuk melepaskannya.Yakinlah..!! Kalau dia cinta sejatimu, akan ada jalan takdir bagi kalian untuk bertemu lagi, entah bagaimana caranya, itu adalah mutlak hak prerogative tuhan untuk mempertemukan kalian.”
Aku mengangguk lebih mantap lagi.
“Evan ngerti, Bang. Mungkin, sebelum Evan melangkah ke Pelaminan dengan Elen, Evan harus merenung kembali.”
Bang Edo tersenyum simpul. Menepuk bahuku. Mencoba menenangkan.
Aku membalas senyumnya.
Ada sedikit kelegaan. Tapi juga,masih ada segumpal pertanyaan ganjalan tentang sikap Elen yang mesti harus kuselesaikan.
Sikapku pada Elen, sebuah devinisi kongkret tentang cinta? Atau hanya sebatas keegoisan.
Entahlah..!
Bersambung.........
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment