Tuesday, 12 May 2015

CERBUNG : SUJUD CINTAKU DI MIHRAB TAAT (3)




……. Jika kita tidak bisa menolak sesuatu, bukan berarti kita harus menerimanya seratus persen. Termasuk cinta,hati dan perasaan …….

            Lima tahun di Seoul, bukan berarti aku melupakan Jakarta. Tempat kelahiranku. Dari balkon lantai dua rumah yang terletak persis di depan kamarku, aku bisa menyaksikan kerlip lampu padatnya kota Jakarta. Jakarta yang mungkin memang tak seindah kota Seoul. Ibu kota Korea Selatan. Namun, bagiku, Jakarta tetap kota magnet yang selalu menarik rasa rindu untuk bertemu.

            “Melamun saja, Do…?”
            Suara Mama mengagetkanku. Dengan segelas susu hangat berada di tangannya.

            “Mama kira kamu sudah tidur. Tapi, sewaktu Mama naik, dan melihat lampu kamarmu masih menyala, Mama tau kamu pasti belum tidur. Sengaja Mama bawakan susu hangat kesukaanmu.”

            Aku membalas senyum Mama. Senyum yang masih sama. Sama seperti tiga puluh tahun yang lalu. Saat aku masih berumur lima tahun. Sebelum tidur, Mama selalu menyempatkan menengokku dikamar. Membawakan segelas susu, mengingatkanku sikat gigi. Sampai membacakan dongeng sebelum tidur saat malam telah larut, namun aku belum bisa juga untuk memejamkan mata.



            “Makasih Ma.”
            Aku menerima segelas susu putih hangat dari tangan Mama. Hal yang tak pernah kudapatkan saat aku tinggal diSeoul. Dan hal yang selalu kurindukan setiap malam sebelum waktu tidur tiba.

            “Bagaimana rencanamu ke Amsterdam? Jadi?”
            “Jadilah Ma.” Aku meletakkan susu hangat yang tinggal separuhnya di meja kecil dekat tempat tidur.
            “Sesuai rencana awal, Edo akan berangkat setelah pesta pernikahan Evan. Jadi, tiga bulan ini Edo bisa menghabiskan waktu bersama Mama di Jakarta”

            “Baiklah. Mama hanya bisa mendoakan,semoga semuanya berjalan dengan lancar. Oh ya, Do.. boleh Mama tanya sesuatu?”
            Aku mengangguk. “Boleh aja, Ma..”

            “Usia kamu sekarang 35 tahun. Usia yang cukup matang untuk menikah. Kapan rencanamu menyusul Evan?”

            Pertanyaan yang kesekian kali dari Mama. Aku menghela nafas panjang. Menghembuskannya pelan. Kapan menikah?.Pertanyaan yang selama ini tidak hanya terlontar dari lisan Mama, Papa ataupun Evan. Tapi juga dari teman-temanku. Baik teman-teman SD, SMP, SMA, Kuliah,maupun teman-teman sekantor di Seoul. Karena begitu seringnya, terkadang aku hanya menganggapnya seperti angin lalu. Kujawab sekenanya. InsyaAlloh segera setelah tuhan mengizinkan. Ya, doakan saja secepatnya. Kalau memang sudah waktunya, pasti ada undangan nyebar. Tenang saja, kalau memang menikah, kamu orang pertama yang akan kuundang. Atau jawaban-jawaban lain yang terkadang membuat mereka malas untuk bertanya lebih lanjut.

            Tapi, kali ini beda. Penanyanya bukan teman SD, SMP, SMA, kuliah, ataupun teman sekantor. Tapi langsung dari Mama. Wanita terindah dalam hidupku. Jikalaupun Mama bertanyanya lewa ttelephone, sms, BBM, ataupun chatting, tanpa bertatap muka secara langsung,mungkin aku masih bisa sedikit mengelak. Tapi, kali ini beda. Tatapan mata Mama benar-benar melumpuhkan otakku. Menjerat lidahku hingga terasa kaku.

            Aku menelan ludah.

            “Sebenarnya, Mama kurang setuju kalau Evan menikah dulu sebelum kamu. Tapi, sepertinya Evan benar-benar menginginkan pernikahan ini dilangsungkan secepatnya. Alasannya, dia sudah mengenal Elen selama enam tahun”

            Elen..???Nama itu.

            Ah..!!! Sudahlah. Aku baru mengenalnya. Baru bertemu dengannya dua kali. Perasaan apapun yang menggodaku setiap kali aku bertemu dengannya mungkin hanya emosi sesaat.

            “enam tahun? Cukup lama juga ya Ma? Kok Evan ga pernah cerita?”

            Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Bingung sendiri dengan sikapku yang tiba-tiba gugup. Seharusnya aku menanggapi cerita mama tentang calon adik iparku ini dengan antusias. Antusias karena dia adalah calon iparku. Calon istri Evan, adek kandungku. Bukan sebagai… Ah..!! Sudahlah..!!!.

            “Iya. Memang cukup lama. Elen dulu teman sekantor Evan. Tapi, semenjak mereka memutuskan bertunangan dan merencanakan sebuah pernikahan, Evan meminta Elen untuk berhenti dari kerjaannya. Evan lebih menghendaki kalau Elen menjadi ibu rumah tangga saja. Dirumah. Mengurus rumah dengan sebaik mungkin.”

            Aku mengangguk-angguk sok paham. Meski jika aku boleh jujur, sekali saja Mama menyebut nama Elen, seperti gema yang memantulkan nama Elen lebih banyak lagi.

            “Dan Elen menyetujui permintaanEvan?”

            Ah..!!! kenapa aku menyebut nama itu di lisanku sendiri?. Tapi tanggung. Sudah terlanjur keluar.

            “Iya. Elen mengikuti saja apa permintaan Evan. Mungkin Elen memang benar-benar mencintai Evan.”

            Ingat Do..!! Kalimat Mama Barusan. Mungkin Elen memang benar-benar mencintai Evan. Catat…!!! Benar-benar mencintai Evan. Adek kandungmu sendiri.

            “Evan beruntung bisa mendapatkan hati Elen.”

            Nah Loh..!!! Ngomong apaan sich, kamu Do? Lha terus, parameter keberuntungannya  apa? jika kamu mengatakan bahwa Evan beruntung mendapatkan Elen. Kamu bertemu dengan Elen saja baru dua kali. Mendengar cerita tentang Evan dan Elen juga, baru beberapa menit yang lalu dari Mama.

            Bingung dengan perasaanku sendiri.

            “Elen cantik. Lembut, Penurut, dan terlihat keibuan.”

            Aku menghela nafas panjang. Paling tidak, jawaban Mama baru saja bisa menutupi semua keganjilan sikapku. Keganjilan sikap yang sebenarnya menelikung dan membingungkan diriku sendiri.

Elen cantik. Lembut,Penurut, dan terlihat keibuan.

Mungkin.

Hahahaha…aku menertawakan diriku sendiri.

“Ooohhh… Mama di sini ya? Tadi Evan cari-cari gaada. Ternyata ngumpet di sini sama Bang Edo.?!”

Evan tiba-tiba muncul di balik pintu kamar. Senyumnya yang has. Senyum yang tidak berubah semenjak kecil. Senyum adekku semata wayang yang sangat aku cintai. Evan yang umurnya tujuh tahun di bawahku. Sejak kecil memang agak nakal. Kenakalan anak-anak yang terkadang sampai membuat konflik kecil di antara kita. Konflik yang berujung adu jotos. Penyelesaian masalah ala laki-laki. Bagi siapayang menangis, dialah yang kalah. Perjanjian yang aneh juga. Tapi itu nyata adadalam cerita kecil kita.

Dan dari sekian pertengkaran itu, kebanyakan aku selalu menang. Karena Evan selalumengakhirinya dengan menangis, memanggil mama. Tak peduli dia akan kalah. Yang penting baginya, pelukan mama adalah segala-galanya. Tinggal aku yang akhirnya merasa cemburu karena mama lebih memilih menggendong Evan daripada memelukku.

“Tadi Evan nyari Mama di dapur. Tapi Mamanya ga ada. Ada telephone dari tante Ita. Tapi, karena tadi Evan cari Mama kemana-managa ada, Evan minta tante Ita buat telephone Mama tiga puluh menit lagi”

“Oh,ya udah, Mama telphoen balik aja Tante Ita. Paling juga mau bahas baju pengantinmu.”

Mama bernjak pergi. Meninggalkan aku dan Evan berdua di kamar.

“Woi..!!! Nikah juga, Lo..!!!”

“Hahaha… Bang Edo juga sich, ditunggu ga jalan-jalan.”

“Gue mencoba jadi Abang yang baek buat Lo.. mengizinkan Lo nikah duluan.”

“Mau minta langkahan apa nich..??”

Kagak.. Ga penting. Lo nikah aja gue udah seneng. Doain aja gue cepet nyusul. Kata Mama, ni umu rudah kelewat bates dalam standar rata-rata usia nikah.”

“Iyalah Bang. Abang itu udah 35 taon. Kalau di kampung, mungkin udah punya anak tujuh.”

“Hahaha… Sholeh juga Lo, jadi adek.! Makany aitu. Bingung gue lama-lama. Iya kalo umur gue panjang. Kalo umur gue Cuma sampai empat puluh taon, Cuma lima taon gue ngrasain manisnya pernikahan.”

“Iya kalo pernikahan Abang manis terus. Kalo banyakan paitnya??”

Reflek langsung kupukul bahunya dengan bantal. Hahaha… dia tertawa puas setelah mengerjaiku. Kugelitik pinggangnya.

“Ampuuunnn… Bang… Mamaaaa…. Bang Edo nakal. Tolonoooonngggg….”

“Hahaha… rasain Lo..!!! ga sopan juga sich, Lo.Sama orang tua. Ngomong asal aja”

Evanmencoba lari menghindar. Dengan mimik muka yang selalu meledek.

“Awas Lo..! Kalo ketangkep. Hahaha….”

“Hayo kalo bisa..!!!”

Kami terus berkejaran di lantai dua rumah. Mama memperhatikan kita dari bawah sambil geleng-geleng kepala.

Saat-saat seperti inilah yang sering aku rindukan saat aku jauh darinya. Canda tawanya. Kalimat-kalimat gokilnya yang selalu bisa mematahkan semua omonganku.

Gue selalu sayang sama Lo, Van.

                                                                              ******

Pagi yang indah di Jakarta. Pagi yang selalu kurindukan saat di Seoul.

“Pagi amat, Lo berangkat ke kantor, Van?”

Aku mengambil sedikit nasi goreng untuk sarapan pagi ini. Evan dengan pakaian kerja rapi, duduk di sebelahku. Sedangkan Mama selalu duduk di tempat yang sama setiap sarapan di meja makan selama tiga puluh lima tahun. Mama duduk dihadapanku, sedangkan Papa sebagai kapala rumah tangga duduk di paling ujung menghadapi kita semua.

Enggak. Cuma pengen lebih lama di meja makan bersama kalian saja.”

“Iya, Do… meskipun kalian waktu kecil suka bertengkar, semenjak kepindahanmu ke Seoul, Ivan selalu kangen sama kamu.”

Mama nyeletuk dengan kedua tangannya cekatan mengambil sepiring nasi untuk papa.

“Tul..”Jawab Evan mantap.

“Do.... Papa mau tanya. Emang di Seoul ga ada wanita yang kamu sukai? Ingat umur, Do… kamu itu sudah tiga puluh lima tahun. Waktu Papa seumuranmu, kamu sudah tujuh tahun. Dan Evan baru saja lahir. Sudah pantas kamu untuk menikah.”

Aku tersedak kehabisan kata.

Satu pagi yang selain kurindukan, namun juga terkadang tidak kuinginkan.

“Iya, Bang…!!! Gadis-gadis di Korea lumayan cantik-cantik. Masa satu aja, Lo ga bisa dapetin. Cemen, Lo..!”

“Gadis cantik di Korea emang banyak, tapi yang gadis cantik yang suka sama gue tuh ga ada.!”

Jawaban final. Berharap sarapan di pagi yang indah ini tidak dirusak hanya dengan sebuah pertanyaan Kapan gue nikah?

“Ya sudah. Kamu nyari jodoh di Jakarta saja. Mama akan bantu carikan. Sebelum kamu pergi ke Amsterdam, Mama usahakan kamu sudah dapat calon pendamping.”

“Lha memang Mama mau cari kemana?” Pertanyaan Papa dengan retorika protes.

“Tadi malam, Tante Ita telephone. Mau ngenalin keponakannya sama Edo. Coba kenalan dulu, Do… siapa tau cocok.”

Oww… tadi malam tante Ita telephone untuk membicarakan masalah ini. Kirain mau nego baju pengantin Evan.”

“Nah..!!! usul bagus, Ma.. Evan setuju sama Mama. Papa sendiri gimana?” Evan dengan semangat ’47.

“Papa ikut Mama sajalah. Namanya juga usaha.”

Ok, Besok kita ke butik Tante Ita lagi. Nge-fixedkan baju pengantin Evan. Sekalian kita ketemu Arinda.”

“Owww…namanya Arinda?. Cantik ga Ma?”Sekarang Evan dengan semangat ’48.

“Belum liat fotonya. Tapi, kata Tante Ita, cantiknya sebelas dua belas sama Elen.”

Degggg….!!!

Elen. Nama itu kembali di sebut. Menimbulkan sedikit desir di ulu hati.

“Berarti cantik, Bang… okelah. Evan ikut rencana saja. Biar Evan atur buat pulang cepet. Sekalian ntar Evan ajak Elen.”

“Jangan…! Jangan ajak Elen..!” pintaku mantap.

Reflek.Tidak sengaja. Tapi percuma. Sudah terlanjur keluar.

“Kenapa?” Evan bertanya heran.

Eng… enggak.. maksud gue, ga enak kalau ajak Elen. Ini acara gue.”

yaelah Bang… tadi Mama kan udah bilang, kalau Sekalian nge-fixedkan baju pengantin Evan”

Aku hanya bisa mengangguk pasrah.

Van, Jika dari awal gue tau apa yang akan terjadi dengan perasaan gue sekarang, mungkin gue bakalan pulang tepat dihari pernikahanmu. Yang meski perasaan ini akan tumbuh, mungkin hanya beberapa jam, beberapa menit, atau beberapa detik saja.

Perasaan untuk Elen. Calon pendamping hidup Lo.

Akhirnya gue akan menemukan sebuah parameter kenapa Lo beruntung karena bisa mendapatkan Elen. Bukan karena Elen cantik, Lembut, Penurut, dan terlihat keibuan. Tapi karena, Lo lebih duluan kenal Elen daripada gue.



Bersambung........

No comments:

Post a Comment