Tuesday, 12 May 2015
CERBUNG : SUJUD CINTAKU DI MIHRAB TAAT (4)
……. Bagiku, mungkin cinta itu seperti hujan. Yang tidak menjanjikan hanya turun di satu tempat. Yang tidak menjanjikan hanya hadir di satu waktu. Dan tidak pula mengikrarkan hanya jatuh di satu hati …….
“Aku agak ga enak badan, Van”
“Kenapa? Kamu sakit? Udah periksa kedokter?
“Ga papa. Cuma sedikit meriang. Ga perlu periksa ke dokter.”
Semoga Evan tidak tau. Kalau aku hanya berpura-pura. Tidak benar-benar sakit. Aku hanya mencari alasan agar aku bisa menolak ajakan Evan ke butik Tante Ita untuk melihat kembali design baju pengantin kita.
“Gini aja. Malam ini aku antar kamu ke dokter. Setelah dapat obat, minum obat, terus tidur. Kalau cuma meriang biasa, di kasih obat antibiotic beso kbisa sembuh.”
Aku tau, Evan tidak akan menyerah begitu saja dengan alasanku. Bagi dia, persiapan pernikahan kami begitu penting. Apalagi ini menyangkut gaun pengantinku.
Aku menarik nafas panjang.
Kalau seandainya ini hanya acaraku dengan Evan sendiri, mungkin aku akan ikut saja. Yang jadi masalah, acara ini melibatkan Edo juga. Acara perkenalan Edo dengan keponakannya Tante Ita.
Pertama kali dalam hidupku. Aku merasakan cemburu.
“Ayolah, Elen. Aku sudah janji sama Mama untuk mengajakmu. Setelah semuanya selesai, aku janji akan segera antar kamu pulang.”
Evan tersenyum merajuk. Dengan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah dari kedua tangannya tepat di atas kepala membentuk dua tanduk. Membentuk isyarat Suer.
Aku belum bisa berkata apapun.
Dari awal, aku tak pernah menjanjikan cinta dalam bentuk apapun pada Evan. Aku hanya mencoba untuk menjalani hubungan sebagaimana mestinya. Bagiku, tidak bisa bukan berarti berhenti untuk mencoba. Termasuk berhenti mencoba belajar mencintai Evan. Enam tahun bisa dikatakan waktu yang tidak sebentar. Enam tahun mencoba mengenal Evan, bukan lantas ada sebuah jawaban kalau ada cinta di hatiku untuknya.
“Evan anak baik, Elen. Tidak ada salahnya kalau kamu mencoba menerima lamaran Evan.”
Jawaban Mama saat aku mencoba meminta pendapatnya.
“Tapi, Ma… Elen….” Kalimatku menggantung.
“Ga ada cinta buat Evan?” Mama membelai lembut rambutku.
Aku mengangguk ragu.
Mama tersenyum mengerti.
“Elen….” Belaian dan sapaan lembut Mama saat itu terasa benar-benar melumpuhkanku.
“Umur kamu sekarang sudah berapa tahun? Sudah waktunya untuk menikah.”
“Tapi, Ma.. bukankah seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin?! Bukan karena ketakutan akan sepi.”
Aku mencoba memprotes.
“Elen,,, Terkadang memang ada sesuatu yang teramat sulit untuk dipaksakan. Namun layak untuk diberi sebuah kesempatan.”
Reflek, aku ingin menjawab omongan Mama. Tapi sayang. Yang keluar justru hanya sekedar hembusan nafas lemah dan menyerah.
“Atau mungkin…” Mata Mama tajam menyelidik “Ada laki-laki istimewa yang lain di hatimu?”
Sedetik dua detik aku tetap diam.Tapi akhirnya aku menggeleng. Tidak ada. Atau, lebih tepatnya belum ada.
“Kalau memang tidak ada, apa alasanmu menolak Evan?”
Aku masih tetap terdiam. Entahlah..!
“Ingat Elen..! Cinta sejati itu bukan tujuan. Cinta sejati itu hanya sebuah perjalanan. Cinta sejati bukan stasiun. Hanya sebentuk kereta yang akan mengantarkanmu pada sejatinya cinta.”
“Baiklah,Van. Akan ku usahakan besok untuk ikut. Tapi aku hanya mencoba mengusahakan. Tidak bisa janji.”
Evan menghembuskan nafas kecewa.
“Perlu kuantar ke dokter malam ini?”
Aku menggeleng. Tidak perlu.
“Malam ini aku hanya perlu istirahat saja.”
“Mau ditemani?”
Aku menggeleng lagi. Tidak perlu. Aku hanya ingin sendiri.
“Ya udah. Biar kamu bisa istirahat, aku pulang dulu.”
Evan mencoba tersenyum manis. Senyum manis untuk menutupi kekecewaan. Senyum manis untuk mencoba menerima. Karena aku tidak berjanji. Hanya mengusahakan.
“Hati-hati di jalan, Van.” Aku melambaikan tangan.
Evan hanya mengangguk. Kemudian kembali tersenyum. Membalikkan badan menuju ke mobil dengan langkah gontai menyimpan rasa kecewa.
Tak beberapa lama melepas Evan pulang, aku masuk rumah.
“Elen, tidak baik bersikap seperti itu”
Langkahku terhenti tepat di depan meja makan saat Mama tiba-tiba saja berkomentar. Aku tau, mungkin Mama tidak bermaksud menguping pembicaraanku dengan Evan. Tapi, Letak ruang makan dengan ruang tamu di rumahku cukup dekat. Jadi, apapun yang dibicarakan di ruang tamu, pasti akan terdengar sampai ke ruang makan. Termasuk Mama yang sejak tadi sibuk mempersiapkan makan malam.
“Kalian hampir menikah. Cobalah untuk sedikit memahami perasaan Evan. Evan sudah mempersiapkan semua ini hanya untukmu.”
Sambil berbicara, tangan Mama cekatan menuangkan sup kentang yang masih mengepul ke mangkuk untuk makan malam.
“Evan yang menginginkan pernikahan ini, Ma.. Bukan Elen.”
“Tapi kamu menyetujui rencana pernikahan ini. Kamu menerima pertunangan Evan.”
Aku hanya terdiam kalah.
Kalah dengan jawaban Mama. Kalahd engan keadaan. Kalah dengan perasaanku sendiri. Dan kalah dengan ketidakberdayaanku dulu untuk menolak ajakan Evan bertunangan.
“Siapa laki-laki itu, Elen?”
Seperti anak kecil yang tertangkap mencuri permen. Aku hanya bisa terdiam. Menunduk. Dan menggeleng kecil. Sorot mataku lekat menatap kotak-kotak keramik lantai.
Mama yang sejak tadi sibuk dengan meja makan, tiba-tiba menghentikan aktivitasnya. Mendekat padaku. Menatap wajahku lamat-lamat. Mencoba mencari jawaban pada tiap sel di mataku.
Aku tetap diam dan menggeleng.
Bagaimana aku bisa jujur pada Mama? .Kalau pada perasaanku sendiri saja aku tidak berani mengakuinya. Dan bagaimana aku bisa menyebut nama laki-laki itu di depan Mama?. Jika menyebut nama laki-laki itu di hatiku saja aku belum mampu.
“Mama seorang wanita, Elen. Jadi,serapat apapun kamu mencoba menyembunyikan, tatapan matamu tetap bisa menjadi mata kunci untuk Mama bisa menduga semuanya.”
Aku tau. Mama bukan sedang memvonis. Mama hanya berusaha untuk mencoba menyediakan waktu, hati dan telinganya untukku. Bagiku untuk menceritakan semuanya. Mama yang mencoba menjadi lembaran kertas putih kosong. Tempatku menulis segala bentuk kalimat resah. Mama yangmencoba menjadi selembar kanvas kosong. Tempatku melukis setiap bentuk warna gundah. Dan Mama yang mencoba menjadi sekotak ruangan kosong kedap suara.Tempatku menangis dengan segala raungan yang tidak akan di dengar oleh oranglain.
Tapi maaf, Ma.. Bukan sekarang waktunya. Mungkin besok, lusa ataupun saat semuanyas udah terlambat.
Bergegas aku meninggalkan ruang makan. Naik ke atas dengan langkah cepat menuju kamarku. Kemudian menguncinya rapat-rapat. Mengabaikan ekspresi wajah Mama yang masih bingung dengan dahi berkerut. Mengabaikan teriakan Mama agar aku makan malam dulu sebelum masuk kekamar tidur.
Sebuah pesan singkat masuk dihandphoneku. Dari Evan.
“Selamat tidur, Sayang. Love You”
Aku membalasnya dengan Emotion Smile. “Love You, too.”
Jawaban yang datar, hambar dan sekedar formalitas.
Aku membuka pintu balkon depan kamarku. Malam yang lembab. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.
Saat-saat sendiri seperti inilah yang aku sukai. Saat semua waktu mutlak milikku. Selama ini aku selalu mengira bahwa sendiri adalah obat yang paling mujarab untuk mengobati kesedihan. Meski terkadang, dengan menyendiri, kesepian justru seperti sel kangker yang tumbuh dan berkembang biak menjalar dengan ganasnya. Kesedihan itu justru akan bertambah.
Aku menatap lagit lepas. Hitam.Gelap. Kosong. Tak ada bulan. Apalagi bintang. Langit bermanja manis dengan mendungnya. Aku merapatkan jaket. Angin dingin di awal musim penghujan ini lembut menampar tubuhku. Memainkan ujung rambutku yang tergerai lepas di bawah pundak.
Aku tau, hujan akan segera turun.Tapi aku tak sedikitpun ingin beranjak dari balkon rumah dan memanjakan diri meringkuk dibalik selimut tebal. Aku lebih nyaman di sini. Sendiri.
Hingga akhirnya, setitik air hujan pertama turun dan segera diikuti titik-titik air hujan berikutnya. Aku memperhatikan ke jalan raya di depan rumahku. Orang-orang yang sejak tadi berada di jalan, segera berlari mencari tempat berteduh. Berlindung dari kejaran hujan. Tapi tidak bagiku. Aku masih tetap berdiri di balkon. Meski titik-titk air tampias dari genteng terasa mencubit wajahku.
Sebuah pesan singkat masuk ke handphone. Dari Evan lagi.
“Udah tidur, Say? Di sana hujan ga? Disini turun hujan agak deres.”
Aku tidak membalas pesannya.
Hanya berharap, Evan mengira aku sudah tidur.
Aku menatap hujan dengan nyaman. Meski sebagian bajuku sedikit basah karena terkena tampias air. Aku tetap berdiri di balkon rumah. Tidak beranjak sedikitpun.
Mungkin seperti inilah arti cinta bagiku. Cinta itu seperti hujan. Yang tidak pernah menjanjikan hanya turun di satu tempat. Yang tidak menjanjikan hanya turun di satu waktu. Dan tidak mengikrarkan hanya jatuh di satu hati.
Dia bisa turun dimana saja dan kapan saja. Tidak harus menuntut untuk meletakkannya pada satu perasaan. Termasuk cintaku pada Evan. Jikalaupun kelak cinta itu akan ada untuknya.
Aku menatap hujan yang semakin menderas. Rinai suaranya keras membentur apapun benda yang berada di bawahnya.
Edo.
Pelan. Aku mencoba mengucap nama itudengan hatiku.
Apapun yang terjadi, aku memang harus mengakuinya. Menerima perasaan ini. Menerima perasaan bahwa aku memang menyukai Edo. Menolak, menyangkal, menafikan hanya akan membuat hatiku lelah. Jujur pada hatiku sendiri. Mengakui pada perasaanku sendiri. Edo adalah Edo. Laki-laki biasa yang siapapun berhak untuk menyukainya.Termasuk juga diriku. Terlepas apakah dia kakak kandungnya Evan atau bukan.
Dia tetap Edo.
Bersambung.......
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment