Tuesday 12 May 2015

CERPEN : KAMAL KAMALIA


Tak banyak yang berubah dari putraku. Dia tetap Kamal yang dulu. Akhmad Kamaludin. Begitulah ayahnya dulu memberi nama. Atas  usulan kakeknya yang tidak lain adalah mertuaku sendiri. Buah hatiku yang terakhir kulahirkan dari kelima anak yang telah gusti Alloh amanahkan padaku. Tak terasa sudah dua puluh lima tahun lebih dia memberi warna pada hidupku. Pendar warna yang teramat indah. Layaknya pelangi yang menyapa setelah badai dan hujan menerpa. Badai atas perceraian antara aku dan suamiku sekitar dua puluh tahun yang lalu.


            Waktu itu, Kamal masih berusia lima tahun. Umur yang terlalu kecil untuk bisa mengartikan tentang kata perceraian. Meski itu dialami oleh orang tuanya sendiri. Badai yang datang tiba-tiba, seakan memporak-porandakan laju armada rumah tanggaku tanpa meninggalkan sisa. Kecuali puing-puing yang seakan tak lagi menyisakan harap akan utuh kembali. Setelah peristiwa perceraian itu, suamiku pergi entah kemana tidak pernah ada kabar. Kelima putraku awalnya mengikutiku. Tapi tak lama dari itu, mereka lebih memilih hidupnya sendiri-sendiri. Karena mereka menganggap mereka telah dewasa. Ada yang hidup jadi anak jalanan, ada juga yang hidup jadi buronan polisi. Keluar masuk penjara silih berganti dari satu daerah ke daerah yang lain. Tinggalah hanya Kamal yang selalu setia mendampingiku. Meski tak jarang kita harus tidur di emperan toko, mengais rizki dari sampah, atau paling bagus adalah menjadi tukang sapu jalanan.
            “Kamal ndak mau sepatu bagus. Kamal ndak mau baju bagus. Kamal ndak mau sepeda bagus. Yang Kamal mau Cuma emaaaakkkkk…. Pokoknya Kamal Cuma ingin emak sajaaaaaaaa…..!!!!”
Itu kata Kamal ketika ada seorang juragan kaya yang belum dikaruniai anak meminta Kamal untuk dijadikan anak angkat mereka. Jujur, sebagai ibu, aku tidak ingin lagi kehilangan Kamal seperti aku kehilangan anak-anakku yang lain. Tapi, aku juga tidak tega melihat Kamal harus hidup seperti ini. Bagaimana mau berfikir untuk masa depan, Lah wong untuk makan sehari-hari adalah hal yang paling sulit. Kamal harus jadi orang pinter. Sekolah setinggi mungkin. Meski aku teramat berat untuk berpisah dengannya, aku harus merelakannya. Demi masa depan putraku yang lebih baik.
Meski kucoba membujuk, Kamal tetap tidak mau berpisah denganku. Yang pada akhirnya, Kamal tetap memilih hidup denganku. Pahit manis getir kehidupan kita rasakan bersama. Dengan karunia gusti Alloh, kita berdua bisa menempati sebuh rumah kecil yang teramat sederhana di piggiran kota Semarang. Di sinilah aku dan Kamal menjalani hidup sehari-hari. Kerja siang malam untuk sekedar bertahan hidup. Meski mungkin orang lain melihat aku miskin, tapi aku merasakan aku benar-benar kaya. Jauh lebih kaya daripada orang gedongan yang tinggal di rumah mewah. Tapi hati mereka terasa sempit. Bagiku, Kamal adalah harta paling berharga yang Gusti Alloh berikan padaku. Dia tumbuh menjadi anak penurut, shaleh dan cerdas. Sebagian besar waktunya dia habiskan di masjid dekat rumah kita. Dia sering mengajar mengaji anak-anak TPQ di masjid itu meski tanpa bayaran. Di sekolahpun dia selalu menjadi siswa terbaik. Meski, tak jarang dia harus berjalan kaki pulang-pergi sekolah. Dengan jarak antara sekolah dengan rumah kita sejauh 3,5 km. Dia jalani itu dengan ikhlas.
“Yang penting bisa sekolah mak…” Celotehnya dengan senyum keihlasan.
            Bisa menyelesaikan sekolah sampai jenjang SMA saja sudah teramat beruntung. Tidak ada lagi mimpi bagiku untuk bisa membiayai Kamal sampai ke perguruan tinggi. Meski aku tahu, putra tercintaku teramat sangat menginginkan untuk bisa melanjutkan sampai gelar sarjana. Sempat beberapa kali aku berfikir, aku ingin menikah lagi. Tujuanku Cuma satu. Agar Kamal bisa mendapat kehidupan yang lebih baik. Aku tidak pernah berfikir untuk kebahagiaanku sendiri. Kebahagiaan Kamal adalah segala-galanya bagiku. Dia adalah kehidupanku. Dia adalah nafasku. Senyumnya adalah senyumku juga. Begitupun tangisnya. Aku akan rela meneteskan gerimis hatiku untuk bisa berbagi perasaan dengannya. Meski berulang kali aku menyembunyikan tangisku agar dia tidak melihatku menangis. Padahal hatiku akan jauh lebih menangis jika sekali saja aku melihat air matanya menetes di pelukanku.
            Tapi, berulang kali juga niat untuk menikah itu kuurungkan. Meski datang silih berganti laki-laki melamar. Rasanya masih terasa luka bekas perceraian dengan suamiku. Aku tidak ingin mengulangi lagi kegagalan yang kuanggap paling menyakitkan dalam kehidupanku. Jadilah, sampai sekarang aku hidup berdua dengan Kamal. Putraku semata wayang.
“Maaaaaaaaaak… , Kamal dapat beasiswa melanjutkan ke UNDIP.”
Katanya suatu saat sepulang sekolah. Dengan wajah berbinarnya, Kamal langsung memeluk dan bersimpuh di kakiku. Hal yang sering dia lakukan saat dia ingin menunjukkan keberhasilannya padaku. Air mataku tak bisa terbendung lagi. Doaku selama ini di kabulkan Gusti Alloh. Akhirnya, Kamal bisa juga melanjutkan ke perguruan tinggi dengan beasiswa.
Meski statusnya sebagai mahasiswa, Kamal masih seperti Kamal yang dulu. Penampilannya cukup sederhana. Bahkan jauh dari gaya hidup mahasiswa kebanyakan. Baju untuk kuliahnya juga cuma tiga potong. Awal masuk kuliahpun tidak pernah minta tas atau sepatu baru. Apa yang masih bisa di pakai, tetap dipakainya. Termasuk sepatu dan tas sejak SMA. Padahal tas dan sepatu itu dibalinya awal masuk SMA. Pernah aku menawarinya untuk beli tas dan sepatu baru sewaktu awal masuk kuliah. Tapi dia hanya menjawab “Ndak usah mak…., Kamal sudah cukup dengan ini. Mendingan uangnya untuk ditabung. Atau untuk beli baju baru emak saja. Sudah lima tahun Mak ndak beli baju baru.”

Perih hatiku mendengar jawaban itu. Bukannya aku sakit hati karena dia menolak pemberianku. Padahal uang itu aku kumpulkan dengan menahan lapar, haus dan panas saat aku bekerja sebagai tukang sapu jalanan. Tapi, gerimis hatiku itu timbul karena tanda syukurku Gusti Alloh benar-benar memberikan anugrah terindah berupa buah hati sesederhana Kamal. Memang, aku merasa sedih jika aku mengingat empat kakak Kamal yang sekarang entah dimana keberadaannya. Tapi, aku bersyukur karena Gusti Alloh masih mau menitipkan padaku seorang Kamal yang penurut.

Pagi sampai sore dia kuliah. Tak lupa juga, dia kerja paruh waktu menjadi cleaning service sebuah Mall di Semarang untuk menyambung hidup dan uang kuliahnya. Memang, untuk biaya kuliahnya ditanggung beasiswa. Tapi, ternyata masih banyak sekali uang yang dikelurkan untuk membuat tugas-tugas kuliahnya. Kalau ada waktu senggang, dia ikut bergabung di masjid untuk mengajar anak-anak TPQ belajar baca tulis Alqur’an. Setiap aku lihat, tidak ada waktu yang berlalu dengan sia-sia bagi Kamal. Tidak jarang juga, malam hari, banyak teman-teman kuliah Kamal main ke rumah. Kadang untuk membuat tugas, atau hanya sekedar mencurhatkan masalah pribadinya dengan Kamal. Pernah, suatu saat aku bertanya kepada salah satu teman Kamal yang bermain ke rumah, mengapa dia sering menceritakan masalahnya ke Kamal?.”Karena, Kamal adalah orang yang bijak dalam menghadapi masalah.” Itu kata mereka. Aku hanya bisa tersenyum kecil mendengar jawaban itu. Tumbuh kebanggaan dan rasa syukur yang teramat sangat, dengan kehadiran Kamal di hidupku selama ini. Ternyata dia tidak hanya sekedar lilin yang menerangi gelapnya kehidupanku selama ini.

Tapi dia adalah matahari yang bisa menerangi banyak orang. Alhamdulillah Ya Alloh….
Dari semester ke semester, prestasi akademik Kamal tidak pernah kalah dengan teman-temannya. Yang kuliah dengan berbagai fasilitas memadai dari orang tua mereka. Bahkan tidak jarang Kamal menduduki Indek Prestasi Akdemik terbaik di Fakultasnya. Meski itu hanya beberapa kali.
“Sulit bagi Kamal untuk menglahkan teman sekelas Kamal yang bernama Hilda. Dia mahasiswi yang cerdas banget. Selain cerdas, dia juga mudah bergaul dan disukai banyak teman. Dia teman satu organisasi Kamal di kerohanian Islam. Dan yang tidak kalah penting,,,,,, Hilda cantik. Heheheee”
Itu jawabannya ketika suatu saat pernah aku bertanya kenapa dia tidak bisa selalu menjadi yang terbaik seperti prestasinya sejak SD sampai SMA. Aku menangkap sesuatu yang beda dari senyum simpulnya ketika putraku menyebut nama Hilda. Sebagai seorang ibu, tentu aku bisa mengerti itu. Kamal sudah dewasa. Tidak pernah ada salahnya virus halus nan indah yang bernama Virus Merah Jambu itu menjangkiti hatinya.

“Kamal suka Hilda….??????”
Tanyaku suatu sore saat kita nenghabiskan waktu berdua. Meski umurnya hampir dua puluh lima tahun, tapi, di depanku, Kamal masih layaknya anak TK yang suka memnghabiskan waktunya untuk tidur di pangkuanku.
“Hehehe,,, ndak tau Mak….”
“Lho, kamu itu gimana to Le…? Lha hatimu seneng ndak, kalau ketemu sama Hilda?”
“Seneng Mak,,,, bahkan, kadang Kamal sampai gugup kalau ketemu sama dia”
“Lha terus,…???”
“Tapi,,, apa yo Hilda punya perasaan yang sama seperti Kamal? Dia anak pengusaha kaya dari Yogyakarya. Anaknya udah cantik, sholehah lagi. Banyak teman Kamal yang juga cerita sama Kamal kalau mereka suka sama Hilda. Sudah ada lima orang teman laki-laki Kamal yang curhat sama Kamal kalau dia suka sama Hilda. Kamal hanya bisa mendengarkan. Tanpa mereka tahu, Kamal juga menyimpan perasaan pada Hilda yang sama seperti mereka.”
“Kamu minder dengan keadaan kita…,,,???”
“Pertama jujur karena itu. Yang kedua,,,,,,,,”
“Yang kedua kenapa????
“Kamal kan pernah cerita sama Emak, Dalam panggung sandiwara cinta, kita hanya diberi dua pilihan. Bermain secara penuh dalam artian menikah atau tinggalkan hal-hal yang membuat Gusti Alloh murka pada kita.”
Aku tersenyum mendengar kata-kata Kamal. Ternyata dia masih bisa memegang erat kata-kata itu. Meski aku tahu, virus itu begitu erat memegang hatinya. Aku bisa melihatnya ketika senyum kecilnya menyinggung diantara rona wajah yang memerah. Ah, begitu indah aku melihat pribadinya.
“Kenapa kamu ndak nikah saja sama dia Le…..????” Kucoba menawarkan sedikit solusi.
Kamal tersenyum kecil. Sambil dibenahinya letak duduk, yang tadinya kepalanya berada di pangkuanku, sekarang dia bangun dan duduk di sampingku.
“Mak, tugas akhir Kamal belum selesai. Bentar lagi ujian sidang. Setelah lulus ujian sidang, Kamal langsung mengajukan untuk ikut wisuda. Target Kamal, Kamal harus lulus semester ini juga. Kamal ndak mau ngrepotin Mak lagi….”
Lah wong Cuma nikah saja kok… Emak pikir yo ndak sampai mengganggu kuliahmu.”
“Tadinya Kamal berfikir seperti Emak. Tapi ada alasan lain selain itu Mak,,,,”
“apa itu Le,,???”
Dia diam sejenak. Dengan pandangan lurus menerawang. Tak lama itu, dia menatap lekat wajahku sambil tersenyum simpul. Senyum itulah yang sering mengingatkanku pada suamiku. Bapak dia. Dari kelima anakku, hanya Kamal yang mirip dengan bapaknya. Tapi sudahlah. Aku tidak mau mengingatnya lagi. Laki-laki yang telah lama hilang dalam kehidupanku. Bahkan aku juga sudah menganggapnya tidak pernah hadir dalam kehidupanku. Apalagi berfikir untuk bertemu dengannya kembali.  Tapi jujur, ada satu yang aku inginkan. Sebelum aku menghadap Illahi, selain bisa melihat Kamal menikah, aku ingin bertemu dengan keempat anakku kembali. Yang entah dimana sekarang keberadaannya. Semoga Gusti Alloh masih melindungi mereka.
“Mak,,, kira-kira, seandainya suatu saat Kamal melamar Hilda, apa Hilda mau menerima Kamal?”
“Lha kenapa ndak mau? Mak pikir, kamu cukup ganteng juga.” Jawabku dengan sedikit bercanda.
Dia tersipu malu mendengar jawabanku.
“Kalau laki-laki yo mesti ganteng lah mak… Kalau perempuan barulah cantik seperti emak… hehehehe…”
“lha terus, apa yang kau takutkan?”
“Kehidupan kita kan pas-pasan. Bahkan terlalu sering juga dalam keadaan kekurangan. Apa yo mungkin, wanita secantik dan sesolehah Hilda mau hidup dengan laki-laki seperti Kamal?. Seandainya dia mau, apa yo mungkin orang tuanya memberikan izin putrinya menikah dengan laki-laki seperti Kamal? Itu mak, yang Kamal takutkan selama ini.”
Aku hanya bisa tersenyum mendengar jawabannya. Sambil kuraih pundaknya untuk ku rebahkan di pundakku. Setelah kepalanya menyandar di pundakku, kuusap pipinya. Saat-saat seperti inilah yang benar-benar membuatku takut kehilangannya. Kadang terbersit juga, jika kelak dia menikah, aku takut jika cintanya padaku terbagi dengan istrinya. Tapi, segera kutepis pikiran itu. Karena, menikah adalah fitrah setiap orang. Aku hanya bisa memohon kepada Gusti Alloh, kelak Kamal akan menikah dengan wanita yang sholehah lahir batin. Bisa menerima Kamal apa adanya. Tidak banyak menuntut. Dan juga, bisa mencintaiku layaknya dia mencintai ibunya sendiri.
“Kau sudah mencoba untuk mengajukan lamaran padanya?’
“Belum Mak…, Kamal malu dan takut…”
“Lha itu belum dicoba. Kok sudah mengambil kesimpulan seperti itu. Pernah kamu mencoba menanyakan, suami seperti apa yang dia inginkan?”
“Belum Mak,,,. Kamal jarang sekali berbicara dengannnya. Kecuali untuk masalah organisasi dan kuliah. Kebetulan, Hilda adalah ketua bidang Annisa di UKM Kerohanian Islam. Sedangkan Kamal adalah ketua umummya. Kita hanya berbicara untuk hal-hal penting saja. Hilda anaknya shalehah banget. Dan dia benar-benar menjaga hubungannya dengan lawan jenis. Kamal hanya sedikit tahu tentang dia dari teman-teman perempuannya. Tapi, setahu Kamal, dia belum menikah. Dan sekarang, dia juga sedang mengerjakan tugas akhir. Kemungkinan target lulus seperti Kamal. Akhir semester ini.”
“Kalau Mak boleh kasih saran, coba cari tahu dulu apakah dia sudah siap nikah atau belum. Kalau sudah, coba langsung ajukan lamaran padanya. Biar Mak yang mendukungmu dengan doa. Semoga Gusti Alloh merestui proses yang agung ini.”
Kembali lagi Kamal menatap lekat wajahku. Seakan menemukan sebuah keyakinan untuk melangkah mengejar mimpinya. Direbahkan kembali kepalanya di atas pangkuanku. Dengan senyum simpulnya, dia berkata “matur suwun Mak,,, mulai besok Kamal akan cari info. Sesuai apa yang diinginkan Emak. Doakan Kamal ya Mak…”
“Iyo Le… setiap langkah, Mak selalu mendoakanmu. Anak Mak yang terbaik…”
Memang sudah saatnya Kamal menikah. Umurnya memang belum genap dua puluh lima tahun. Tapi, melihat kedewasaan dan semangat hidupnya selama ini, tidak takut bagiku untuk melepasnya mengarungi rumah tangga. Toh, Kanjeng nabi awal menikah juga berumur dua puluh lima tahun. Jika memang apa yang diceritakan Kamal tentang Hilda selama ini benar, aku semakin mantap untuk mengizinkannya menikah dengan gadis itu. Beberapa kali Kamal bercerita tentang sosok perempuan teman sekampusnya yang dicintai itu. Gadis yang pandai, cerdas dan shalehah. Anaknya orang kaya tapi berpenampilan cukup sederhana.

Meski sama sekali Kamal belum pernah mempertemukanku dengan gadis itu, rasanya aku sudah merasa dekat dengannya. Sempat sekali Kamal menunjukkan foto Hilda. Memang lumayan cantik. Kalau lama-lama kupandang, wajahnya hampir mirip dengan Kamal. Dan satu lagi, nama panjang Hilda juga mirip dengan Kamal. Hilda Kamalia. Yah, doaku semoga mereka berjodoh. Kata orang, kalau wajah mereka mirip, berarti mungkin Gusti Alloh menjodohkan.
“Mak,,,, Alhmdulillah, Kamal sudah dapat jawaban atas lamaran Kamal pada Hilda…”
Katanya dengan mata dan wajah berbinar.
“Jawabannya apa Le? Pasti kamu diterima. Lah wong keliatan kamu senyum-senyum gitu…”
Kembali lagi dia merebahkan kepalanya di pangkuanku. Suatu hal yang paling dia suka saat menghabiskan waktu bersamaku.
“Untuk Hilda sendiri tidak ada masalah jika menikah denganku. Tapi…”
“Tapi kenapa Le?”
“Tapi, dia harus meminta dulu persetujuan dari orang tuanya di Yogya. Karena Hilda masih punya Bapak dan Ibu yang dihormatinya”
“Kalau itu ya harus to Le. Namanya menikah itu untuk seumur hidup. Tidak hanya untuk setahun dua tahun. Jangan lagi kamu gagal seperti Emak. Cukup Emak saja yang mengalaminya. Emak berharap tidak terulang lagi pada anak Emak.”
“Maafkan Kamal Mak,,, Bukannya Kamal mau membuka lagi luka lama Emak…..”
Wajahnya gugup, dengan sedikit ketakutan. Aku tahu Kamal. Hal yang paling dihindari olehnya adalah membuatku bersedih. Dia teramat menjaga perasaanku.
“Emak jangan sedih…, Emak sudah berjanji untuk mengubur luka lama itu.” Pintanya padaku.
“Emak ndak sedih Le, Emak hanya ingin mengingatkan kamu agar hati-hati dalam melangkah untuk menikah. Menikah itu sekali saja untuk seumur hidup. Jangan sampai rasa cinta membutakan mata kamu. Mak ndak ingin anak kesayangan Mak mengalami hal menyakitkan yang sama dengan Emak.”
“InsyaAlloh ndak Mak,,, Kamal juga sudah cerita semuanya tentang keluarga kita. Kalau dari Hilda sendiri tidak keberatan. Tapi Hilda mau konsultasi dulu sama orang tuanya.”
“Ya sudah, kamu berdoa saja sama Gusti Alloh. Jodoh sudah diatur oleh-Nya. Yang penting kamu sudah mau berusaha. Entah Gusti Alloh mengizinkan kamu menikah dengan Hilda atau tidak, itu terserah Gusti Alloh. Karena hanya Dia yang tau mana yang terbaik bagimu. Dan mana yang tidak baik bagimu. Jangan paksa Gusti Alloh dengan keinginanmu.”
Inggih Mak,, InsyaAlloh Kamal pasrah saja sama keputusan Gusti Alloh. Kamal mencoba belajar untuk ikhlas. Jika mungkin Hilda tidak berjodoh dengan Kamal, Ya sudah. Gusti Alloh sudah menuliskan, jodoh untuk Kamal. Tinggal menunggu waktu saja untuk dipertemukan pada waktu dan tempat terindah.”

Yah, begitulah Kamal. Hidupnya hanya untuk kata keikhlasan. Tidak pernah mengeluh meski menghadapi kehidupan yang teramat sulit. Tapi, usahanya untuk mendapatkan hidup yang lebih baik tak pernah surut. Memang kuakui, selama aku mengenal Kamal sejak lahir sampai sekarang, baru kali ini dia menceritakan padaku tentang seorang wanita yang disukainya. Karena itu, aku bisa mengambil kesimpulan bahwa Hilda memang bukan wanita sembarangan. Karena Kamal begitu mengaguminya. Bahkan sampai siap untuk menikahinya.

Dan kalau Hilda mau menerima Kamal apa adanya, berarti benar kata Kamal. Hilda memang gadis yang shalehah. Kamal bukan anak orang kaya. Hidup serba pas-pasan bahkan tidak jarang sering kekurangan. Entah apa yang menjadi alasan Hilda sehingga dia mau menerima Kamal dengan segala keadaannya. Aku hanya bisa menebak, kalau Kamal itu shaleh dan cerdas. Selebihnya, hanya hati Hilda sendiri yang tahu. Aku tidak mau menerka-nerka lebih banyak lagi. Biarkan Gusti Alloh yang menjawab semua ini dengan takdir-Nya.

“Mak, Hilda meiminta kita untuk datang ke Yogya menemui orang tuanya. Karena orang tuanya ingin berkenalan dengan kita…” Kata Kamal suatu sore sepulang dari Kampus.
“Lha memangnya Hilda sudah menceritakan keadaan kita yang sebenarnya kepada orang tuanya?”
“Kata Hilda sudah Mak,,,”
“Lha terus, orang tuanya mengizinkan?”
Kamal sedikit terdiam mendengar pertanyaanku. Sambil diminumnya segelas air yang sejak tadi berada di tangannya.
“Hilda sempat menceritakan pada Kamal. Awalnya orang tua Hilda agak keberatan dengan masa lalu keluarga kita.”
“Masa lalu keluarga kita? Maksud kamu Le???”
“Maaf Mak, orang tua Hilda agak keberatan kalau Kamal berasal dari keluarga bekas perceraian. Tapi, Hilda mencoba menjelaskan kepada kedua orang tuanya. Dan hasilnya, kita diminta datang dulu ke Yogya. Tapi belum tentu lamaran Kamal diterima. Kata Hilda, dia akan menuruti apa kata orang tuanya. Setelah semua usaha dilakukan.”
“Ya sudah Le, yang penting kalian sudah berusaha. Jika memang pada akhirnya nanti orang tua Hilda tidak merestui kalian juga, kamu juga harus ikhlas. Gusti Alloh sudah mempersiapkan untukmu yang terbaik. Atau mungkin dia jauh lebih baik daripada Hilda.”
“InsyaAlloh Mak. Kamal mencoba untuk selalu ikhlas dengan semua keputusan Alloh….”
“Lha kapan rencana ke Yogyanya?”
“Hilda minta kalau bisa ahad lusa. Sekalian Hilda juga mau pulang untuk menyelesaikan tugas akhirnya. Kamal ada sedikit tabungan untuk ongkos bis ke Yogya dan oleh-oleh untuk keluarga Hilda. Kita beli oleh-oleh yang sederhana saja. Wingko babat asli Semarang kan enak.”
“Ya sudah, terserah kamu saja. Mak juga ada sedikit kelebihan rizki. Mungkin bisa kamu gunakan untuk tambah-tambahan”
“Ndak usah Mak, simpan saja untuk Emak. Kamal kira, semua sudah cukup”
“Ya sudah, kamu mandi dulu. Persiapan untuk ke masjid shalat magrib. Emak mau nanak nasi dulu untuk makan malam.”

Kupandangi Kamal yang sedang berlalu dengan hati pilu. Gusti, perceraian memang tidak pernah Engkau haramkan. Tapi perceraian adalah sesuatu yang sangat Engkau benci. Aku mohon, biarkan aku saja yang merasakan perih itu. Jangan lagi Kau timpakan kebencian-Mu itu kepada Kamalku. Sungguh hamba tidak rela jika Kamal jug harus menaggung ini semua. Apakah perceraian itu merupakan hal buruk dan dirasa aib di masyarakat?. Sehingga rasanya, korban  perceraian harus diasingkan dan dianggap sesuatu yang harus dihindari. Karena takut menjadi penyakit menular yang akan menularkan kasus perceraian juga kepada anak-anak mereka.

Aku harap ini hanya lintasan pikiran yang harus secepatnya kubuang jauh-jauh. Gusti Alloh sudah mengatur semuanya. Satu pintaku Ya Alloh, jika memang Kamal dan Hilda berjodoh, pertemukan mereka pada waktu dan tempat terindah. Tapi, jika memang takdir-Mu mengatakan mereka tidak berjodoh, pisahkan hati mereka secara baik-baik. Sehingga tidak ada yang merasa tersakiti. Berikan Kamal pendamping hidup yang lebih baik daripda Hilda. Dan begitupun Hilda. Berikanlah Hilda imam yang mungkin lebih baik juga daripada Kamal. Berilah mereka keikhlasan untuk bisa menerima takdir-Mu.

Langit Yogya begitu cerah hari ini. Tak ubahnya secerah wajah Kamal. Putra tersayangku. Usahanya untuk memperistri Hilda tak pernah surut. Aku memakluminya. Mungkin Hilda begitu istimewa di hati Kamal. Karena memang baru kali ini aku mendengar Kamal memuja seorang gadis. Meski sebelumnya Kamal juga sudah banyak mengenal gadis secantik Hilda. Pernah juga ada anggota remaja masjid tempat Kamal mengajar TPQ yang aku rasa cukup cantik di pandanganku. Namanya Elisa. Ketika kucoba mengggoda Kamal dengan Elisa, Kamal hanya tersenyum kecil sambil menjawab,

“Elisa itu memang cantik Mak, tapi Kamal rasa, Kamal hanya menganggapnya sebagai teman yang baik. Tidak lebih dari itu.”
Dari Semarang, kita berangkat cukup pagi. Sehabis subuh dengan bis ekonomi yang cukup terjangkau. Sesampainya di terminal Jombor, kita langsung memilih Trans Jogja untuk menuju ke rumah Hilda di daerah Kota Gede. Benar kata Kamal. Orang tua Hilda adalah pengusaha kerajinan di kawasan Kota gede. Dari luar, rumah Hilda memang terlihat sangat mewah. Dengan ornament Khas Yogya. Di samping rumah, ada tempat pembuatan kerajinan sebagai usaha orang tua Hilda. Halamannya lumayan cukup luas. Dan mungkin jauh lebih luas bila dibanding dengan halaman rumahku. Sesampainya di halaman, kita sudah disambut oleh seorang laki-laki berpakaian celana panjang, baju batik lengkap dengan blankon penutup kepala. Kalau dilihat dari penampilannya, aku bisa mengira kalau dia salah satu pekerja di rumah Hilda.
Monggo mas, mau cari siapa?” sapanya dengan khas jawa yang masih kentel banget
“Saya temannya mbak Hilda dari Semarang. Bisa ketemu dengan mbak Hilda?”
“Oh, ini mas Kamal dan ibunya ya? Monggo mas, mbak Hilda dan Bapak serta ibu sudah menunggu di dalam”

Aku dan Kamal langsung mengikuti langkah laki-laki tersebut untuk masuk ke ruang utama rumah mewah itu. Jujur agak sedikit canggung. Karena memang baru kali ini aku menginjakkan kaki di rumah semewah ini. Setelah pintu diketuk, keluarlah seorang perempuan cantik yang pernah aku lihat difoto. Aku bisa menebak, dialah Hilda yang selama ini diceritakan oleh Kamal. Dengan balutan gamis warna merah hati dan jilbab lebar warna merah muda yang menjuntai ke bawah, Hilda tampak anggun. Senyumnya yang ramah berhias lesung pipi di kadua sisi pipinya menambah kesan cantik. Kulitnya yang tampak kuning langsat, bak putri keraton. Atau, mungkin lebih indah dengan sebutan bidadari syurga yang turun ke Yogya. Bidadari yang sempat menggoyahkan hati putraku. Pantaslah kalau sampai Kamal jatuh hati.

“Assalamu’alaikum… ini ibunya mas Kamal ya? Saya Hilda bu…” Sapanya dengan senyum ramah sambil meraih tanganku dan menciumnya.
Sesaat setelah mencium tanganku, diliriknya Kamal sambil menelangkupkan tangannya di depan dada. “Assalamu’alaikum mas, dari semarang jam berapa? Mari masuk, ibu masih di dapur. Bapak juga masih sibuk di sanggar.”
“Tadi habis subuh dari Semarang. Sampai jombor jam setengah sepuluh. Langsung menuju ke sini.”
Monggo duduk dulu. Maaf, keadaan rumahnya hanya seperti ini.’ Sambil meraih tanganku dan mempersilahkan kita duduk di ruang keluarga. Dari luar, rumah ini sudah tampak kelihatan mewah. Tapi dalamnya jauh lebih mewah. Dengan perabotan yang aku taksir nilainya bisa puluhan juta rupiah. Perabot yang sepertinya mustahil aku muliki dengan pekerjaanku sebagi tukang sapu jalan dan Kamal sebagai cleaning service. Sejenak ku sapu pandanganku di ruang keluarga rumah ini. Luasnya lebih luas dari luas rumahku keseluruhan. Itu hanya ruang keluarga. Belum ruang-ruang yang lain. Hampir mirip seperti keraton Yogya.
“Mau minum apa bu?” Tanya Hilda memecah lamunanku.
“Apa saja nduk…, tapi tolong jangan terlalu manis ya…”
“oh inggih bu, kalau mas Kamal mau minum apa?”
“Saya sama seperti ibu saja”
“Tunggu sebentar nggih, saya buatkan dulu. Sekalian saya panggil Bapak sama Ibu.”
Dengan langkah sigap, Hilda menuju ke ruang belakang. Aku dan Kamal duduk berdua di ruang Keluarga. Entah kenapa, ada kehawatiran yang tiba-tiba bergejolak di hatiku. Ketakutan yang memuncak memenuhi otakku. Meski segera rasanya aku ingin menepis, tapi jujur aku tidak bisa menyembunyikan detak jantungku yang terasa berlari semakin cepat. Terus kupandangi ruangan tempat aku dan Kamal duduk. Gusti,,,, aku mohon, semoga semuanya baik-baik saja. Apapun jawaban mereka nanti, itulah jawaban-Mu juga.

Tak lama, datang seorang perempuan paruh baya membawa dua cangkir teh dan dua toples makanan kecil. “Monggo mas…. Bu… diminum tehnya. Mbak Hilda baru memanggil Bapak yang sekarang masih di sanggar.” Sapanya sambil meletakkan minuman dan makanan kecil di depan mejaku.
Matur Suwun nggih mbak….”
Inggih Bu, dipun sekecaaken mawon
Kuminum sedikt teh yang dihidangkan untuk sedikit menghilangkan kecemasanku. Jujur, baru kali ini aku merasa segugup ini. Entah karena keluarga Hilda atau ada hal lain aku tidak tahu. Yang pasti, detak jantungku terasa berdegup semakin kencang. Tapi, aku tetap mencoba untuk menutupinya di depan Kamal.
“Mas Kamal… Ibu…. Kenalkan, ini Bapak Hilda dan ini ibu Hilda.” Sapa Hilda yang tiba-tiba memecah lamunanku. Disampingnya berdiri seorang perempuan dan laki-laki yang umurnya kira-kira seumuranku.

Deggg…. Serasa petir menyambar di tengah teriknya matahari saat kutatap wajah laki-laki yang Hilda kenalkan sebagai Bapaknya. Dua puluh tahun, wajah itu menghilang dari kehidupanku. Dan sekarang dia tiba-tiba hadir layaknya badai yang kembali akan memporak-porandakan kehidupanku. Dia adalah Mas Satriyo. Mantan suamiku. Bapaknya Kamal. Kutatap wajahnya lekat dengan pandangan yang belum bisa kueja. Antara kaget, bingung dan kebencian yang membuncah. Begitu juga mas Satriyo menatapku. Masih bisa kubaca pandangan kaget di wajahnya. Sejenak kami saling pandang dengan perasaan yang entah seperti apa mengartikannya aku sendiri juga tidak tahu.
“Mmm…Mariam…????”
“Mmm… Mas Satriyo…????”
Suasana hening sejenak. Dan aku yakin, semua yang berada di ruangan itu terlihat kebingungan mendengar pembicaraan yang baru saja terjadi antara aku dan Mas Satriyo.
“Mas bapaknya Hilda???” Tanyaku meyakinkan.
“Iya.. dan kau ibunya Kamal? Akhmad Kamaludin putra sulungku…?????” Tanyanya sambil mengalihkan pandangan ke arah Kamal dengan nada yang masih tergugup karena kaget.
 Aku hanya mengangguk. Suasana kembali terdiam dengan perasaan masing-masing. Aku dan Mas Satriyo memang kaget. Tapi akan jauh lebih kaget adalah Kamal, Hilda dan Ibunya Hilda. Selain kaget, aku yakin mereka juga tidak mengerti dengan kata-kata antara aku dan Mas Satriyo. Mas Satriyo langsung mengarahkan pandangannya ke arah Kamal.
“Ini Bapak Le…,,, Kamu sekarang sudah dewasa. Sudah gedhe. Padahal waktu Bapak meninggalkanmu dulu, kamu masih berumur lima tahun. Dan sekarang kamu sudah terlihat gagah….”

Kamal masih terlihat dengan diamnya. Aku melihat ada air mata yang tersimpan di balik kelopak matanya. Seakan air mata itu ingin tertumpah. Tapi Kamal masih mencoba menahannya.
“Peluk Bapak Le…,, ini Bapak. Dua puluh tahun Bapak menyimpan kerinduan pada kalian. Peluk Bapak sekarang…!! Bapak kangen sama kamu….” Katanya dengan merentangkan tangan dan nada yang tergagap karena mencoba menahan tangis. Tapi Kamal masih tetap terdiam mematung. Masih juga mencoba menahan air matanya yang sejak tadi serasa ingin tertumpah.
“Peluk Bapak Le…!! Bapak tahu, kamu selama ini pasti sangat marah sama Bapak. Atau bahkan saat ini kamu ingin memaki Bapak. Bapak akan terima semua makian kamu. Tapi tolong peluk Bapak sekarang..!!! Biarkan Bapak melepaskan kerinduan yang terpendam selama dua puluh tahun…” Dengan air mata yang sudah tidak bisa tertahan lagi, Mas Satriyo mencoba meraih tubuh Kamal yang masih diam mematung dan air mata tertahan berlinang.
Akhirnya, Kamal meraih pelukan Bapaknya dengan air mata yang tertumpah pelan ke pipi. Sejenak Mas Satriyo memeluk erat tubuh Kamal. Begitupun Kamal. Dengan air mata yang semakin deras, dia meluapkan kerinduan sesosok ayah yang selama dua puluh tahun ini tidak pernah didapatkannya. Sejenak kami biarkan mereka saling melepas kerinduan. Tangis dari keduanya makin menbanjir di pipi. Telihat kemudian Kamal membungkukkan badannya seakan ingin bersimpuh di kaki bapaknya. Tapi Mas Satriyo mencoba mencegah.

“Tidak pantas Bapak dapat simpuh hormatmu Le,,, Bapak terlalu banyak dosa dengan meninggalkan kalian. Benar kata Hilda. Kamu memang anak yang sholeh. BApak malu padamu Le.., Bapak banar-benar malu. Hiks..hiks…hiks…” Terdengar tangis kecil Mas Satriyo.
“Maafkan Kamal juga Pak…, Kalau selama ini Kamal sempat memendam benci sama Bapak. Meski dulu ketika bapak meninggalkan Kamal dan Emak, Kamal masih kecil. Dan belum mengerti bagaimana perihnya perasaan emak ketika Bapak meninggalkan kita, tapi dengan kehidupan kita yang selama ini, cukup menyuburkan benih-benih kebencian di hati Kamal. Emak mengorbankan semuanya untuk Kamal. Kita makan seadanya. Bahkan tidak jarang pula, dalam sehari kita hanya minum air putih. Karena Emak tidak punya uang meski hanya untuk sekedar makan. Kakak-kakak Kamal sekarang dimana keberadaannya kita juga tidak tahu. Satu per satu mereka pergi dari rumah dan tidak pernah pulang lagi. Kamal dan Emak teramat ingin mencarinya. Tapi, keterbatasan ekonomi membuat kita harus mengikhlaskan mereka untuk tidak bersama kita lagi. Hanya doa yang tak pernah lelah terucap. Semoga Alloh masih mengaruniakan nikmat keimanan dan kesehatan pada mereka.”
Mas Satriyo melepaskan pelukannya. Kemudian mereka duduk. Tapi tangan Mas Satriyo serasa tidak ingin melepas pundak Kamal. Dia masih ingin mendengarkan Kamal berbicara. Bahkan kalaupun Kamal harus memakinya, seakan dia ikhlas. Jika itu bisa menebus semua sakit hati Kamal selama ini.
“Kamal bisa sekolah selama ini juga karena kerja keras Emak. Menjadi pemulung ataupun tukang sapu jalanan. Dan sebagian lagi dari uang beasiswa. Apapun akan Emak lakukan untuk kebahagiaan Kamal. Andai Bapak bisa melihat kehidupan kita selama ini, mungkin Bapak tidak akan pernah tidak bisa untuk meneteskan air mata. Kita yang sering hampir mati karena kelaparan dan kedinginan tidur di jalanan. Emak yang sudah hampir lima tahun lebih ini tidak membeli baju baru. Sedangkan Bapak bisa hidup nyaman dengan rumah semewah ini. Bisa memberi Hilda fasilitas yang bagus dalam kuliahnya. Yang semua orang di kampus tahu, bahwa Hilda adalah anak orang kaya lagi terhormat……!!!!!!”

Suara lantang Kamal hampir meninggi, mengikuti gerak emosinya yang rasanya hampir tak tertahan. Aku mencoba untuk menahan emosinya. Karena aku tahu, Kamal yang kukenal selama ini adalah Kamal yang sabar lagi lembut. Tapi kenapa tiba-tiba dia seperti singa yang siap menerka mangsa yang ada di depannya. Tapi, Mas Satriyo mencegahku. Dia ingin mendengarkan apapun yang akan dikatakan oleh Kamal.

“Hilda si gadis yang benar-benar sholehah, Kamal kira dari keluarga bangsawan dan priyayi yang benar-benar terhormat. Tapi, ternyata Bapaknya tidak lain seperti pangeran yang tidak lebih terhormat dari budaknya…….!!!!!!!!!!!!!!!!” Teriak Kamal dengan mata yang memerah.
Semua seakan terdiam mendengarkan teriakan Kamal. Baru kali ini Kamal mengeluarkan semua unek-unek hatinya. Setelah semua yang ingin Kamal katakan, telah dirasa cukup, akhirnya Kamal terdiam. Sambil mencoba menenangkan emosinya yang masih meluap. Dan, gantian Mas Satriyo yang menjelaskan semuanya.
“Maaf Le,,, Bapak memang salah. Dulu, ketika Emak kamu hamil kamu, Bapak memang telah berbuat salah. Berselingkuh dengan seorang perempuan yang pada akhirnya aku berzina dengannya yang mengakibatkan dia hamil. Karena dia seorang anak gadis dari keluarga kaya dan terhormat, Bapak harus menikahinya. Demi menjaga nama baik keluarganya. Tapi, disisi lain, masih ada emakmu yang sedang mengandung kamu. Dan juga kakak-kakak kamu yang harus Bapak nafkahi. Bapak sudah meminta maaf sama Emakmu. Dan Emakmu juga memaafkan Bapak.”
Sambil menyeka air matanya, Mas Satriyo berhenti sejenak mengambil nafas untuk melanjutkan ceritanya.

“Hampir enam tahun, Emakmu berbagi keberadaan Bapak dengan madu dalam sebuah perkawinan poligami tanpa kamu tahu. Karena waktu itu kamu masih kecil. Hilda lahir lima bulan setelah kamu lahir. Karena itu, Bapak memberimu nama Akhmad Kamaludin. Dan Hilda dengan nama Hilda Kamalia. Tapi, karena bapak lebih condong ke istri yang kedua, ibumu meminta cerai karena merasa terdzolimi. Sungguh berat hati bapak untuk menceraikan ibumu. Tapi, memang jalan itu yang terbaik. Setelah perceraian itu terjadi, Bapak tidak pernah melihat kalian lagi. Karena Bapak masih harus punya tanggung jawab pada keluarga Bapak yang baru. Dan maaf, jika Bapak menelantarkan kalian. Sampai suatu saat Hilda menceritakan tentang lamaranmu padanya. Sempat memang, Bapak menolak. Karena waktu Hilda bercerita tentang kamu, Bapak berfikir tentang kenyataan pada hari ini. Tapi, Bapak mencoba menepis semua itu. Makanaya, Bapak meminta agar kalian datang ke sini. Dan ternyata, semua ketakutan Bapak terjadi juga.”

Panjang lebar Mas Satriyo menjelaskan. Dan semua yang ada di situ terdiam dengan perasaannya masing-masing. Aku tidak tahu harus berkata apa. Karena aku hanya bisa menangis dan meneteskan air mata melihat kenyataan dihadapanku. Aku masih merasa, semua ini seperti mimpi. Aku bisa lagi bertemu dengan Mas Satriyo setelah sekian tahun aku tidak pernah melihatnya. Dia memang tampak jauh lebih tua bila dibandingkan dengan terakhir aku berpisah dengannya dua puluh tahun yang lalu.
Kemudian, Mas Satriyo menoleh ke Hilda. “Hilda, sini nduk…!”

Hilda mendekat kea rah Mas Satriyo.
“Maafkan Bapak nduk, kalau dulu Bapak sempat tidak mengizinkanmu untuk menerima Kamal. Karena, dari ceritamu tentang Kamal, Bapak bisa menebak, bahwa Kamal adalah kakakmu. Sama ayah tapi beda ibu. Kamu sekarang sudah tahu semuanya. Bapak tidak perlu menjelaskan panjang lebar kenapa Bapak menolak. Ilmu agama kalian jauh lebih bagus daripada Bapak. Tidak baik jika rencana pernikahan ini dilanjutkan. Kalian akan bisa terus saling memiliki sebagai seorang saudara. Bapak minta, ikhlaskan hati kalian masing-masing….!!!”

Antara Kamal dan Hilda masih menunduk dengan perasaan masing-masing.
“Hilda, maaf  kalau Bapak meminta ibumu untuk menyimpan cerita ini darimu. Karena Bapak rasa, ini adalah aib. Bukankah kita harus menutup aib? Gusti Alloh saja menutup aib kita. Karena itu, maafkan Bapak ya Nduk.., Bapak masih bersyukur, meski Bapak bejat, Bapak masih punya anak-anak yang sholeh dan sholehah seperti kalian. Bapak mengerti tentang perasaan cinta yang kalian pendam di hati masing-masing. Tapi, cobalah sedikit demi sedikit, rubah perasaan cinta itu menjadi cinta antara kakak dan adek kandung.” Kata Mas Satriyo dengan memegang pundak Hilda dan pundak Kamal.

Sejenak Kamal memandang Hilda. Lekat dengan pandangan cinta. Ya… Cinta seorang kakak kepada adiknya. Begitu juga Hilda. Membalas pandangan Kamal bersama tumpahan air matanya.
“Kakak…” Hilda mencoba menyapa Kamal dengan panggilan barunya.
“Iya Dek,,,” Kamal membalasnya dengan senyum.

Sambil tersenyum, Kamal memeluk Hilda layaknya seorang kakak yang baru menemukan adik kandungnya. Hilda menangis kecil di pelukan Kamal.

Samar tedengar suara adzan menggema di masjid depan rumah Hilda. Lantunan asma Alloh berkumandang lantang memecah teriknya hati ini. Kamal Kamalia adalah cinta yang bersatu setelah sekian lama hati mereka terpisah. Aku hanya bisa berdoa, semoga Alloh memberikan mereka masing-masing dengan pendamping hidup terbaik.









No comments:

Post a Comment