Tuesday, 12 May 2015

CERBUNG : SUJUD CINTAKU DI MIHRAB TAAT (15)




……. Apapun yang kau dengar dan katakan (tentang cinta), semua itu hanyalah kulit. Sebab, inti dari cinta adalah sebuah rahasia yang tak terungkapkan --Jalaluddin Ar-Rummi--  …….


            “Maafkan aku, Yong Mi. Selama aku diJ akarta, aku tidak mengaktifkan ponselku. Sehingga membuatmu harus repot-repot menyusulku ke Jakarta.”

            Yong Mi diam. Tak menjawab. Jelas sekali terlihat perasaan lelah yang tak bisa dia sembunyikan dari wajahnya. Perjalanan Seoul-Jakarta yang kurang lebih memakan waktu tujuh jam perjalanan udara, membuat rasa letih menggelayut di wajah ayunya.

            “Song Seung Hun, kau apa kabar?Sepertinya kau bertambah kurus.”

            Pipinya terlihat agak merah menggelembung. Sebuah pertanyaan yang aku tau, hanyalah sekedar basa-basi sederhana ketika hampir dua bulan lebih kita tidak bertemu. Atau, lebih tepatnya, kita nyaris tidak pernah berinteraksi lewat apapun.

            “Yong Mi, kau lupa?”

            Mataku mengerjap. Berharap Yong Mi ingat bahwa aku tidak terlalu suka jika dipanggil dengan nama Song Seung Hun.

            “Oh, maksudku Edo.”

            Jelas sekali Yong Mi manahan malu.

            “Edo, kau belum menjawab pertanyaanku. Bagaimana keadaanmu?”



            Aku menepuk dahi. Menyadari kebodohanku. Ternyata pertanyaan itu tidak sekedar basa-basi. Terlihat sekali di mata Yong Mi, sekilat tatapan kehawatiran dan ingin tahu tentang keadaanku.

            “Beginilah. Seperti yang aku lihat. Aku baik-baik saja. Bahkan teramat baik-baik saja. Mm… menurutmu aku bertambah kurus ya?. Mungkin juga. Sudah lama aku tidak menimbang berat badan.”

            Tak terhitung beberapa kali aku bertemu Yong Mi ke Seoul. Tapi entah kenapa, baru sekarang aku merasa gugup dan canggung dihadapannya.

            “Menurutku, di sini tidak sedingin di Seoul.”

            “Oh iya. Di Seoul sekarang sedang memasuki akhir musim dingin ya? Di Indonesia tidak seperti di Korea selatan yang mempuyai empat musim. Di Indonesia hanya ada dua musim. Musim kemarau dan musim penghujan.”

            “Oh.”

            Yong Mi terlihat mengangguk-angguk. Entah memang mengerti atau anggukan sok paham saja. Aku tau, Yong Mi baru pertama kali ini pergi jauh. Sendirian pula. Selama aku tau dari Dong Jung, Yong Mi tak pernah bepergian keluar Seoul. Apalagi keluar Korea Selatan. Tapi, sekarang, sepertinya dia memberanikan diri untuk menempuh perjalanan jauh. Tak tanggung-tanggung. Keberanian menempuh perjalanan Seoul-jakarta. Dimana, dia hanya mengenal bagaimana Jakarta dan Bagaimana Indonesia sebagian hanya dariku. Dan sebagian lain dia dengar dari berita Internasional di TV.

            “Yong Mi, kau sudah makan?”

            Dia mengangguk.

            “Tadi, sewaktu di pesawat.”

            “Mau makan lagi?”

            Yong Min menggeleng.

            “Nanti saja. Aku belum lapar. Lagi pula, kalau terlalu banyak makan, perutku terasa mual.”

            Aku menelan ludah. Mual?.

            “Kau tidak enak badan?.”

            Yong Mi menggeleng lagi. “Aku baik-baik saja.”

            “Kau mau menginap dimana?”

            Yong Mi menatapku kosong. Dengan ekspresi mulut yang sedikit membuka. Kemudian menggeleng lagi.

            “Aku belum tau. Edo… sebetulnya… sebetulnya tujuanku kemari------“

            Sekarang, berganti aku yang terdiam tegang. Perasaanku bercampur aduk. Akumulasi antara berharap ingin tau, namun juga ada sedikit ketakutan yang entah kenapa tiba-tiba membuncah. Peristiwa malam itu, di penginapan dekat Sungai Cheonggyecheon pada Seoul Lantern Festival. Dan sekarang… dia mengaku mual.

            Ah.! Tidak.! Aku menggeleng pelan. Membujuk diriku sendiri agar mengenyahkan semua ketakutan yang belum tentu terbukti.

            “sebetulnya----“

            Yong Mi terlihat gugup dan takut.

            Aku memasang wajah tegang. Siap mendengar apapun alasan kenapa Yong Mi mengerahkan segenap keberaniannya untukmenempuh perjalanan Seoul-Jakarta yang mungkin bermimpi untuk melakukan ini pundia tidak pernah.

“Aku hamil.”

Tubuhku terasa tidak punya tulang. Tiba-tiba Rapuh hanya dari dua kata yang baru saja diucapkan Yong Mi.
Ya.! Hanya dua kata. Tapi bagiku seperti mengandung konsekuensi seberat gunung atau bahkan lebih untuk menanggungnya.

“Apa?. Kau hamil?”

Dahiku berkerut. Kalimat pertanyaan itu terucap pelan. Pelan sekali. Bahkan terkesan kutujukan untuk meyakinkan diriku sendiri. Yong Mi terlihat menunduk lebih dalam. Matanya memerah. Seperti menahan bendungan air mata yang sejak tadi dicoba untuk menahannya.

“Yong Mi, kau tidak bercanda?”

Dia menggeleng. Setetes air matanya terlihat menetes pelan di pipi.

Dadaku bergetar. Jantungku berdetak serabutan. Yong Mi hamil. Aku menelan ludah. Terasa pahit. Pahit sekali. Sebuah berita yang sama sekali tidak kuinginkan. Apalagi ditengah perjuangan ilegalku untukmendapatkan Elen.

“Yong Mi, jangan katakan kalau kau hamil karena… karena…”

Lidahku tercekat. Kelu. Terasa sulit sekali meneruskan kalimat pertanyaan ketika dalam posisi ketakutan yang membuncah.

“Malam itu, Edo. Malam itu… bukankah kau masih ingat? Sungai Cheonggyecheon, Seoul Lantern Festival, Kyung Dong Jungdan kakakku Kim Soo Jin menitipkanku padamu. Lalu… Lalu hujan. Kemudian… kemudian kita… kita menginap di hotel. Dan….”

Dan aku menidurimu.

Hatikumelanjutkan sendiri kalimat Yong Mi yang terputus karena air matanya yang menderas. Kalimat itu memang tidak terucap. Tapi, aku yakin, Yong Mi pasti merasa aku mengingat semua kejadian itu. Kejadian bodoh yang pernah kulakukan seumur hidup.

Sejenak lengang. Hanya bunyi tangis Yong Mi yang sepertinya sekuat mungkin untuk dia tekan agar isak itu tidak terdengar lebih keras.

Aku menyisir rambut dengan jari. Otakku beku. Fikiranku buntu. Seperti ada hamparan lendir transparan yang terlihat lembut namun benar-benar kuat menutup jaringan otakku. Aku tak bisa berfikir sedikitpun. Seribu persen aku menyesali perbuatanku dulu. Tapi, penyesalan dan kata maaf saja tidak mungkin bisa cukup menyelesaikan masalah ini. Sekalipun Yong Mi menerima permintaan maafku, dan dia juga memaafkan, lalu, apa bentuk tanggungjawabku terhadap bayi yang dikandung Yong Mi. Bayi itu anakku. Hasil dosa terindah yang pernah kuperbuat dengannya.

Edo, Apa kamu benar-benar yakin? Bahwa pengakuan Yong Mi kalau dia hamil memang benar adanya? Atau, jangan-jangan dia berbohong?!.

Dahiku berkerut. Ada sisi lain otakku yang mencoba mencari celah jalan.

Dan sekalipun dia memang benar hamil, memangnya kamu percaya begitu saja? Janin yang dikandungnya sekarang memang darah dagingmu? Bisa saja Yong Mi melakukan juga denganl aki-laki lain. Tidak hanya denganmu.

Alibi selanjutnya di otakku sepertinya menguatkan. Fikiranku terasa semakin kusut. Sedangkan Yong Mi terlihat masih saja menunduk. Menikmati air mata yang sejak tadi membungkam mulutnya.

“Kakakmu tau, kau sekarang di sini?”

Yong Mi menggeleng.

“Aku hanya memberitahu Dong Jung kalau aku kemari. Tidak memberitahu yang lainnya.”

“Kim Soo Jin….” Ada sedikit keraguan untuk meneruskan pertanyaan itu. “Kim Soo Jin… Kakakmu…  ibumu… ayahmu… tau? Kalau kau ke sini?”

Yong Mi menggeleng lagi. Sepertinya dia memang tidak berani bercerita pada keluarganya tentang hal ini. Aku sendiri tidak bisa membayangkan. Seandainy akeluarga Yong Mi tau, terutama Kim Soo Jin, kakaknya. Kim Soo Jin  yang tak lain adalah gembong mafia sekaligus presiden republik geng begundal yang paling terkenal seantero Korea Selatan itu tidak akan pernah begitu saja melepaskan seorang yang telah melakukan kerusakan lahir batin terhadap adik perempuan satu-satunya.

“Yong Mi, kau boleh tinggal beberapa hari di Jakarta. Aku akan mencoba mencarikan hotel di sini untukmu tinggal beberapa hari. Aku berharap, masalah ini akan selesai tidak lebih dari satu minggu. Atau seluruh geng mafia anak buah Soo Jin akan dikerahkan kakakmu. Mengaduk-aduk dunia dan seisinya untuk mencarimu dimanapun kamu berada.”

Yong Mi nampak mengangguk. Sebuah anggukan keyakinan bahwa tingkah nekadnya untuks endirian ke Jakarta, melawan rasa takut tidak berakhir dengan sia-sia.

“Asal….” Aku masih memberi syarat.

Mata Yong Mi terlihat membulat. Keningnya berkerut.

“Asal kau jawab satu pertanyaanku.”

Aku terdiam sesaat, mengatur nafas dibawah tatapan tajam mata ingin taunya Yong Mi.

“Selain denganku, kau pernah tidur dengan laki-laki mana lagi?”

Reflek Yong Mi bangkit dari duduknya. Matanya merah menahan amarah. Sikap tubuhnya tegak. Sorot matanya setajam moncong senapan yang hendak memuntahkan ledakana munisi kemarahannya.

“Apakau bilang?! Aku? Aku pernah tidur dengan laki-laki mana selain denganmu?”

Bibir Yong Mi terlihat gemetar menahan air mata yang terlihat mendesak ingin tumpahdari matanya.

“Kau tau siapa kakakku? Kau tau siapa Kim Soo Jin? Kakakku sangat hati-hati sekali menjagaku. Dia tidak bisa begitu saja memberikanku pada sembarangan laki-laki. Karena itu selama ini aku tidak terlalu banyak keluar dengan teman laki-lakiku kecuali atas izin kakakku. Dan kenapa kakakku percaya padamu?. Karena kau teman Dong Jun. Dari cerita Dong Jun, kau orang baik. Tapi ternyata…..”

Kalimat Yong Mi memang menggantung. Tapi cukup jelas sekali aku bisa merasakan. Bahwa dimatanya aku tidak ada bedanya dengan laki-laki lain yang selalu haus akan tubuh manis perempuan.

“Selama hidupku, aku hanya baru melakukannya denganmu. Tidak pernah dengan yang lain. Aku bersumpah demi apapun.”

Suara Yong Mi melemah. Tubuhnya lunglai terduduk kembali di kursi. Air mata yang sejak tadi berusaha ditahannya agar tidak tumpah, sekarang bebas merdeka meluber, mengalir ke pipi dan dagunya.

Aku tertunduk lemas. Sembilan puluh persen otakku mengatakan pengakuan jujur Yong Mi bahwa dia pernah melakukannya hanya denganku memang benar. Tidak bisa kupungkiri gadis secantik Yong Mi banyak yang menginginkannya. Tapi, jika kulihat dari ketatnya perlindungan Kim Soo Jin, permata seindah Yong Mi pasti akan terjaga dengan baik.

Namun, selebihnya dari sisa otakku kembali mengingkari. Kita hanya melakukannyasekali. Hanya sekali. Itupun tidak sengaja. Mungkinkah-------

Sarafo takku kurasa semakin kusut.

“Kita hanya baru melakukannya sekali, Yong Mi.”

Suaraku terdengar lemah. Seperti menyerah pada satu titik awal pada sebuah kesulitan.

“Edo, aku bawa bukti kalau kau masih ragu.”

Yong Mi nampak membuka tasnya. Mengeluarkan secarik kertas yang terbungkus amplop putih. Kemudian dia menyerahkannya padaku dan kuterima dengan ragu-ragu.

“Ini hasil tes kehamilanku. Aku positif hamil.”

Tak perlu banyak waktu untuk membaca selembar kertas itu. Karena, jelas-jelas tertulis di situ bahwa Yong Mi memang positif hamil. Usia kehamilannya hampir tiga bulan.

Aku menelan ludah. Perasaanku campur aduk. Antara rasa percaya dan rasa memaksakandiri agar tidak percaya dengan penglihatanku sendiri.

“Kau bisa membacanya sendiri, Edo. Bahwa aku memang…..”

Belum selesai Yong Mi berkata, ada sebuah panggilan masuk di ponselku.

Elen?.

Dadaku seperti dihantam bom rakitan dengan daya ledakan sedang. Saat mengetahui bahwa yang menelphon adalah Elen.

“Iya…. Aku… aku sedang bersama teman. Di sebuah rumah makan dekat bandara. Ada… ada temanku dari Seoul yang mengunjungiku….”

Dahi Yong Mi berkerut tajam saat mendengarku berbicara dengan Elen di telphon. Dari cara memandangku raut mukanya, Yong Mi seperti menyimpan satu kalimat pertanyaan yang mungkin nanti, baru sedetik saja setelah aku menutup telephone, dia pasti segera memberondongku dengan ledakan pertanyaan itu.

“Mmmm… teman. Teman kantor…”

Ekor mataku melirik ke arah Yong Mi.

Enggak… hanya teman kantor. Ya udah, ntar malam aku jemput kamu ke rumah.”

Akus adar. Diksi bicaraku nanggung. Antara takut ketahuan Elen dan merasa tidak enak dengan Yong Mi.

“Dari siapa?”

Seperti dugaanku.

“Mmm…itu… itu dari teman.”

Aku gugup.

“Kenapa kau menyebut aku sebagai teman kerjamu. Bukankah kita….”

Sepasang kekasih?

Oh tidak..! Aku tidak pernah mengakuimu sebagai kekasihku. Bahkan berharap pun aku tidak pernah. Sekalipun kita pernah tidur layaknya sepasang suami istri. Jangan pernah harapkan cinta dariku. Aku tidak pernah merasa mencintaimu.

“Oh,Yong Mi. Sebaiknya kau kuantar mencari hotel di sekitar sini. Aku janji akan segera mencari jalan untuk memecahkan masalah ini. Sebelum semua keluargamu tau. Terutama kakakmu. Kim Soo Jin. Atau semua urusan bisa jadi repot.”

“Tunggu dulu. Kau belum mengatakan sesuatu padaku.”

Dahiku berlipat.

“Kau percaya? Bahwa janin yang kukandung adalah anakmu?”

Aku menghembuskan nafas lemah. Mengangkat bahu. Entahlah.!

“Sebaiknya kau istirahat dulu. Kau masih lelah. Aku janji, besok pagi-pagi akan kujempaut kau di hotel.”
Yong Mi tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia mengikuti saja apa yang aku sarankan.

Dalam perjalanan mengantar Yong Mi ke hotel, aku lebih banyak diam. Andaikan kedatangan Yong Mi ke Jakarta bukan untuk hal serumit ini, mungkin aku akan mengajaknya berkeliling Jakarta. Meski kota Jakarta tidak seindah Seoul, paling tidak, dia bisa menikmati musim penghujan yang hampir berada di ujung kehadirannya tahun ini. Sebuah musim yang tidak ada di Seoul.

Setitikgerimis kembali turun.

Ah.! Terkadang aku iri dengan hujan. Yang bisa turun kapanpun dan dimanapun. Alangkah indahnya jika bisa hidup seperti hujan. Dia ada, turun, menguap, bercanda bersama teman-temannya di awan. Dan kemudian turun lagi tanpa adanya beban.



Bersambung.........



No comments:

Post a Comment