Tuesday, 12 May 2015

CERPEN : SILUET SENJA DI PELABUHAN SUNDA KELAPA

Anggi.?

Langkah kakiku terhenti. Saat mataku menemukan sesosok gadis berambut panjang yang duduk di buritan sebuah kapal.

            “Anggita….”

            Aku memanggilnya sekali lagi. Memastikan, bahwa gadis kecil berambut panjang itu adalah Anggita. Adik tiriku yang sering kupanggil dengan nama panggilan ‘Anggi’.

            Anggi menoleh. Seharusnya dia terkejut. Seharusnya sorot matanya mengatakan sebentuk rasa keheranan, kenapa aku bisa menemukannya di sini?. Tapi tidak. Sorot matanya terlihat datar. Tak ada ekspresi apapun di wajahnya ketika dia menatapku.

            Angin pelabuhan bertiup rendah. Memainkan ujung rambut hingga membuatnya sedikit berantakan.

            Aku memutuskan duduk di sebelah Anggi. Mengikuti tatapan matanya yang menatap lekat jingganya senja di ujung barat.



            Beberapa menit, aku sengaja tidakmembuka pembicaraan. Aku lebih memilih diam. Aku tau semua keadaan ini. Aku tau maksud tatapan mata Anggi. Aku tau maksud sikap datar Anggi. Aku tau maksud sikap diam Anggi. Dan aku tau, apa yang harus kulakukan sekarang.

            Sejak tadi pagi, aku berkeliling hampir ke setiap sudut Jakarta untuk mencari Anggi. Selepas subuh, setelah teriakan Mama memanggil Anggi tidak mendapat sambutan dari Anggi, aku segera tersadar. Anggi kabur.

            Matahari perlahan jatuh. Semburat warna jingga, merah dan biru menjadi gradasi warna sunset yang cantik saat sinar matahari senja itu terhalang siluet kapal-kapal yang tengah bersandar. Anggi masih mematung. Hening masih menjadi jeda diantara kita.

            “Kakak tau. Sejak kecil Anggi selalu suka tempat ini. Jika Anggi sedih karena dimarahi Mama dan Papa, Anggi selalu duduk di sini. Sendirian. Menatap senja. Menikmati sunset.”

            Aku asal saja mencomot bahan pembicaraan. Hanya mencoba untuk memecah hening. Tapi sayang.!. Anggi ta kberkutik. Anggi tetap menikmati diamnya.

            “Atau… ketika kita sedang berlibur ke rumah nenek di kampung, ketika Mas Burhan bilang bahwa Jakarta itu macet, Jakarta sering banjir, dan Jakarta gudangnya masalah, Anggi selalu membantah.”

            Aku memasang wajah sok marah. Menirukan gaya Anggi kecil saat bertengkar dengan sepupu dan cucu-cucu nenekyang lain di kampung.

            “Kalian hanya melihat macet.! Kalian hanya melihat Banjir.! Kalian hanya melihat Jakarta gudangnya masalah.! Kalian tidak pernah melihat cantiknya sunset dan jingganya senja di Pelabuhan Sunda Kelapa, hah?!.”

            Melihat ekspresiku, Anggi hanya tersenyum lemah.

            Aku merangkul tubuhnya. Membelai lembut rambut panjang sebahu yang agak sedikit berantakan diterpa angin pelabuhan. Tak ada yang bisa kulakukan saat ini selain hanya dengan memberinya pelukan perlindungan seorang kakak.

            Perlahan Anggi menyandarkan kepalanya di bahuku.

            Hening masih berlanjut. Sepertinya, Anggi tidak mau banyak bicara untuk kali ini.

            Aku memeluknya lebih erat. Sebuah pelukan yang seakan ingin mengatakan ‘tak ada seorangpun kakak di dunia ini yang tidak ingin melihat adiknya bahagia. Tak ada satupun kakak di dunia ini yang tidak sedih saat melihat adiknya menangis.’

            Tapi apa mau dikata?. Saat kenyataan yang ada bagi Anggi bukanlah sebahagia yang kualami.

            “maafkan kakak, Anggi.. kalau…..”

            “Anggi yang seharusnya minta maaf, Kak. Anggi sadar. Anggi salah menempatkan perasan ini. Seharusnya bukan untuk kakak. Tapi untuk laki-laki lain.”

            Semburat jingga perlahan berganti kelabu, gelap, dan lima puluh empat detik yang indah, matahari lunas tumbang dikaki langit barat.

            Dua puluh lima tahun yang lalu. Saat aku masih berumur dua tahun, ketika kedua orang tuaku satu demi satu menjemput ajal tepat di depan mata kecilku. Dua timah panas Kalashnikov-47 dalam sepersekian detik merobek dada dan jantung ayah ibuku. Entah peluru milik siapa yang dengan tega melakukannya. Saat itu, aku baru saja keluar dari kamar. Sebelumnya, saat ayahku keluar rumah, aku masih nyaman dalam pelukan ibu.

            Suasana diluar rumah terdengar ribut dengan suara tembakan. Kata Ayah, terjadi adu tembak antara tentara Indonesia dengan anggota GAM di Aceh. Aku tak tau apa-apa. Aku masih berumur dua tahun.Yang kutau,  hanyalah suara rentetan senapan yang sesekali diselingi suara teriakan manusia saat Izroil mencabut nyawanya.

            Aku benar-benar berlindung di balik pelukan ibu. Tak lama dari itu, Ibu tiba-tiba melepas pelukannya dan langsung menghambur keluar setelah berpesan padaku agar jangan keluar kamar sebelum keadaan tenang.

            Aku tak tau lagi apa yang terjadi.Yang aku tau, aku meringkuk di balik pintu kamar dengan rasa takut yang mencekam. Tak lama berselang, setelah aku mendengar ibu memanggil namaku dengan suara keras bercampur kesakitan, aku berlari keluar kamar dan mendapati kedua orang tuaku terjatuh bersimbah darah. Meregang nyawa tepat di depan mata kepalaku.

            Sejak saat itu, aku tau, aku telah kehilangan mereka. Di umurku yang baru menginjak dua tahun, aku harus tetap melanjutkan hidup bergabung dengan beberapa pengungsi korban bentrokan TNI dan GAM lainnya di pengungsian. Aku hidup sebatangkara. Semua keluargaku habis diterjang peluru-peluru tajam. Entah peluru milik siapa. Bisa milik TNI, bisa juga milik GAM.

            Tanah Aceh yang menyimpan banyak kenangan. Dan tanah Aceh pula yang mengubur semua kenangan itu. Pertikaian. Perang. Darah. Dan apapun itu yang mengatasnamakan perjuangan kesejahteraan rakyat Aceh sekaligus tanah kelahiranku, tak ubahnya seperti neraka yang mengeksekusi hampir sebagian nyawa rakyat sipil di Aceh yang tak tau apapun.

            Tak lama aku hidup di pengungsian, Seorang prajurit TNI datang menjengukku. Sekaligus mengatakan bahwa dia ingin mengangkatku sebagai anaknya dan dibawa pulang ke Jakarta sebulan setelah masa tugasnya di Aceh selesai. Dia mengatakan bahwa istrinya tak kunjung hamil. Dia ingin mengangkatku sebagai anak pancingan agar istrinya segera dikaruniai momongan.

            Di usiaku yang masih dua tahun, aku tak mungkin bisa mengambil keputusan sendiri. Aku tak cukup usia untuk berfikir lebih matang. Aku mengikuti saja perintah seorang ibu asuh yang mengurusi aku di pengungsian. Di tengah ketidakmengertianku saat itu, aku melihat ada secuil harapan pada tatapan matanya yang lembut. Ada sepotong impian pada pelukannya yang hangat. Dan ada secercah harapan yang dia tawarkan saat dia memanggilku dengan panggilan ‘Adrian’. Nama yang diberikan padaku saat itu juga.

            Sejak saat itu, aku meninggalkan Aceh. Tanah rencong dengan segala kenangan yang tertinggal dan tidak akan pernah kubawa lagi. Aku mengikuti ayah angkatku ke Jakarta. Kota baru dengan sejuta harapan cinta dan masa depan yang lebih baik.

            Memang benar. Jakarta bagiku benar-benarmenjanjikan semuanya. Aku tinggal dengan keluarga yang begitu bahagia. Keluarga yang sudah menikah lima tahun namun belum juga kunjung dikaruniai anak. Ayahku seorang anggota TNI yang sering bertugas ke beberapa daerah di Indonesia. Aku sering menghabiskan masa kecilku di rumah bersama ibu angkatku. Karena begitu baiknya keluarga ini padaku, sampai-sampai aku tak pernah menganggap mereka ayah dan ibu angkat. Aku selalu menganggap mereka ayah dan ibu kandung. Aku mendapat kehidupan yang baik. Gizi makanan yang cukup. Baju dan pakaian yang selalu baru. Mainan dan teman bermain yang menyenangkan. Dan juga pendidikan terbaik yang aku dapatkan sampai ke tingkat Sarjana di sebuah perguruan tinggi negeri terbaik di Jakarta.

            Dua Tiga tahun setelah kedatanganku di keluarga ini, akhirnya apa yang diharapka ayah dan ibuku terkabul juga. Ibu mengandung seorang bayi perempuan yang lahir Sembilan bulan kemudian. Bayi itu sangat cantik. Bayi imut nan lucu yang diberi nama “Anggita Permata Sari”. Kami sekeluarga sepakat memanggilnya Anggi.

            Kehadiran Anggi di tengah-tengah keluarga kita, bukanlah sebuah ancaman bagi anak angkat sepertiku. Aku tak perlu merasa cemburu jika ibuku terlalu memanjakan Anggi. Aku paham. Aku mengerti. Karena Anggi masih kecil sehingga perlu banyak curahan kasih sayang. Curahan cinta dan kasih sayang kedua orang tua angkat padaku tak pernah merasa terkurangi. Anggi benar-benar sudah kuanggap sebagai adik kandung yang selayaknya mendapat kasih sayang, cinta dan juga perlindungan dariku sebagai kakak laki-lakinya.

            Perjalanan hidupku dengan Anggi selama ini tak pernah ada masalah. Anggi adalah adik yang baik bagiku. Prestasi sekolahnya sangat menonjol. Dia supel. Banyak teman. Tapi kebanyakan teman-temannya perempuan. Tak banyak teman laki-laki Anggi yang main ke rumah. Apalagi sampai Anngi keluar rumah dengan hanya alasan jalan-jalan dijemput teman laki-lakinya. Karena masalah itulah, aku diberi amanah penuh dari kedua orang tuaku untuk menjaga Anggi. Selain tugas sekolah dan kuliah, tugasku yang lain hanyalah menjaga Anggi.

            Sekian tahun dalam kebersamaan kita, akhirnya Anggi tau bahwa aku bukanlah kakak kandungnya. Entah dari siapa beritaitu bisa sampai ke Anggi. Itu tak penting bagiku. Karena, setelah Anggi tau yang sebenarnya tentang statusku, tak sedikitpun perasaan dan kasih sayang Anggi padaku berubah. Anggi tetap menganggapku kakak laki-laki yang akan selalu melindunginya.

            Hingga akhirnya, malam itu, apa yang dirasakan Anggi saat ini ternyata tidak seperti apa yang kurasakan.

            “Pokoknya Kak Adrian ga boleh nikah.! Titik.!”

            Aku, Papa, dan Mama saling tatap saat melihat Anggi yang selama ini menurut tiba-tiba berubah menjadi Anggi dengan emosi tidak terkendali.
            “Anggi.. sekalipun Kak Adrian menikah, dia tetap jadi kakak kamu. Dia tetap akan menjadi pelindungmu. Kamu masih bisa bermain dan bercanda dengannya.”

            Anggi tak bergeming. Permasalah tak semudah yang kita bayangkan.

            “Ma.. Pa.. kalian bilang. Bahwa Kak Adrian bukan kakak kandung Anggi. Jadi, boleh saja kan? Kalau Anggi suka sama Kak Adrian. Boleh saja kan? Kalau Anggi cinta sama Kak Adrian melebihi cinta seorang adik dengan kakaknya?”

            Aku menelan ludah. Sempat takpercaya dengan pengakuan Anggi.

            “Tapi, Gi…”

            Mama ternganga. Terdengar sulit untuk melanjutkan pembicaraan.

            Aku masih mencoba menegakkan badan. Mencoba berfikir lebih jernih lagi dengan semua kejadin yang tiba-tiba hadir tanpa prediksi.

            “Anggi ga bisa melihat Kak Adrian menikah dengan wanita lain. Batalkan pernikahan Kak Adrian dengan Kak Mayang? Atau Anggi yang akan pergi dari rumah ini?”

            Aku baru tersadar. Anggi salah mengartikan kasih sayangku selama ini. Apakah ini? Yang menjadi alasan bahwa Anggi tak pernah terlihat membawa teman laki-lakinya ke rumah yang menegaskan bahwa dia tidak memerlukan teman laki-laki layaknya gadis remaja pada umumnya?

            Dia menyukaiku?

            Anggi menginginkanku dalam artian menjadi pendamping hidupnya? Menjadi suaminya?

            Aku berharap, bahwa semua ini takmasuk akal. Tapi, setidakmasukakal apapun aku mencoba untuk mengingkarinya, aku harus mengakui, hal ini bisa saja terjadi. Cinta, kasih sayang dan juga perlindungan yang selalu kuberikan pada Anggi selama ini, bisa saja memberikan tawaran perasaan nyaman bagi Anggi. Dia tak perlu mencari laki-laki lain diluar. Dia telah dapatkan utuh dariku. Hingga perlahan, rasa itu menyublim. Menjadi sebuah ketinggian rasa yang tak terdevinisi. Bahkan tanpa Anggi sadari. Saat arti seorang kakak bukan lagi teman bermain. Bukan lagi sang pembela ketika Anggi bertengkar dengan teman-temannya. Bukan lagi tempat curhat segala bentuk gundah batin. Atau pula tidak hanya sebatas cerita remeh temeh anak-anak. Lebih dari semua itu.

            Mama menolehku dengan pandangan bertanya. Apa yang harus Mama lakukan?Adrian?

            Aku menggeleng. Adrian juga tidak tau. Harus berbuat apa. Kejadian ini terlalu sederhana jika hanya dianggap sebatas egoisme masa remaja menjelang dewasanya Anggi.

            Senja semakin matang. Langit ta klagi berwarna jingga. Namun telah menjadi sedikit gelap.

            “Gi, maafkan Kakak…”

            “Anggi yang seharusnya minta maaf. Perasaan ini…..”

            Aku membelai rambut panjang Anggi. Angin malam di pelabuhan semakin bertambah kencang memainkan anak rambut.

            “Kakak tau. Anggi tak pernah memintaperasaan itu. Anggi tidak memang tidak bisa menolaknya. Tapi bukan berarti Anggi tidak bisa melepaskannya pelahan.”

            Anggi menggeleng sambil menyeka air matanya yang sejak tadi perlahan turun. Seperti tidak mau menerima apapun penjelasanku.

            “Pulanglah, Gi.! Percayalah. Anggi tidak akan pernah kehilangan kakak.”

            “Tapi Anggi akan kehilangan separuh hati Anggi. Dan itu sangat sakit.”

            “Kehilangan justru akan membuatmu lebih kuat.”

            Anggi terdiam.

            “Kakak sempat kehilangan semua saudara-saudara kakak di Aceh. Bahkan ayah dan ibu kandung kakak meregang nyawa di depan mata kepala kakak sendiri. Banyak alasan yang mungkin bisa kakak gunakan untuk menangis. Lemah. Berputus asa. Tapi, justru dengan kehilangan itulah kakak berjanji untuk lebih memperkuat diri kakak agar bisa menjadi manusia yang lebih kuat.”

            Anggi tak menjawab.

            “Gi, kamu lihat matahari itu?” Aku menunjuk ke barat. Menunjuk langit yang telah gelap. “Bagi matahari sendiri,tidak ada istilah sunset ataupun sunrise. Dia tetap ada setiap saat. Setiap waktu. Tak berubah bentuk. Saat matahari terbenam, tak tampak oleh mata kita, Bukannya dia pergi meninggalkan kita, bukannya kita kehilangannya. Tapi justru kitalah yang belum mengerti arti kehilangan tersebut.”

            Anggi menunduk.

            Aku tau. Sepanjang apapun aku mencoba memberi penjelasan, kehilangan apalagi harus melihat orang yang kita cintai menikah dengan orang lain, akan tetap terasa sangat menyakitkan. Aku hanya berharap, Anggi akan mengambil sikap untuk mengikhlaskan diri, menerima keadaan, menarik nafas lebih dalam, merenung lebih lama, dan membiarkanku menjalani pernikahan bersama Mayang tanpa meninggalkan rasa kehilangan pada Anggi.

            Anggi bangkit. Kemudian berlari sekencang mungkin menyusuri jalan beraspal di sepanjang tepian Pelabuhan Sunda Kelapa.

            “Anggiiiii……”

            Percuma. Anggi tak sedikitpun mendengarkan teriakanku.

            Sakit itu tetap ada.





Jakarta, 2 November 2013



Indahnya menikmati senja di Pelabuhan Sunda Kelapa :)
           

No comments:

Post a Comment