“Kamu itu terlalu pemilih Ri….”
Celetuk Faza sambil meletakkan majalah keluarga islam yang sejak dari tadi dibacanya. Wajahnya berganti melempar pandang, di mataku.
“Mana ada manusia di dunia ini yang sempurnya….??? Rasul aja manusia paling mulia di hadapan Alloh tidak pernah mendapat istri yang sempurna”
Sejenak aku terdiam.
“Khadijah…??? Istri pertama beliau. Cantik, kaya, juga terhormat. Tapi ingat….!!!! Perbedaan umur mereka terlalu jauh. Ketika menikah, Rasul berusia 25 tahun. Sedangkan Hadijah sudah berumur 40 tahu. Janda lagi…!!!”
Aku masih diam dengan membawa tundukan kepala, menatap pandang ke lantai bawah.
“Aisyah….???? Cantik, cerdas, dan umurnya jauh di bawah Rasul. Tapi, Aisyah juga punya kelemahan. Pencemburu yang teramat sangat.”
Faza terus bercerita layaknya seorang ibu yang menasehati anaknya. Meski sebenarnya Faza adalah sahabatku sejak di kampus dulu. Sejak sepuluh tahun yang lalu.
“istri-istri beliau yang lain……???????? Kebanyakan janda…!!!”
Suara Faza agak keras. Bukan sebuah nada marah. Tapi penekanan.
Sedangkan aku masih tertunduk sepi.
Seperti itulah Faza dalam menasehatiku. Jika boleh jujur, hal terindah dari kata ukhuwah adalah ketika Alloh menciptakan Faza untuk menjadi sahabatku. Seorang muslimah yang cerdas dalam hal apapun. Waktu di kampus dulu, dia memang sahabatku. Tapi, sekaligus juga sebagai kompetitorku dalam bidang akademik. Semua prestasi yang aku dapatkan, tidak jauh dari dia. Banyak yang mengatakan kita punya banyak persamaan. Baik dari segi akademik maupun yang lain. Tapi, sekarang….., Faza jauh lebih beruntung daripada aku. Dia telah dikaruniai dua putri yang cantik-cantik dan kaluargayang harmonis.
Sedangkan aku????????????
Di umur yang hampir melewati seperempat abad ini, belum juga ada tanda-tanda untuk menikah. Bukannnya aku belum punya keinginan. Justru keinginan itu begitu kuat. Keinginan untuk segera menikah dan menyempurnakan separo dari agama ini. Keinginan untuk menjadi wanita seutuhnya dengan merasakan menjadi seorang istri, dan seorang ibu.
“Ingat umur Ri…!!!”
“Jodoh ada di tangan Alloh Fa…” Jawabku sedikit menyerah.
“Tapi, kalau kamu tidak berusaha menjemputnya, akan terus di tangan Alloh. Tidak akan pernah sampai ke tanganmu.”
Ku sandarkan tubuhku di sofa. Mencoba mendalami kata-kata sahabatku.
5 Tahun yang lalu….
Usiaku memang masih tergolong muda. Baru dua puluh tahun. Kuliah juga masih menginjak semester tiga. Tapi, bukan berarti aku masih belum tahu dalam semua urusan yang bernama “pernikahan”. Hampir semua teori yang berhubungan dengan pernikahan aku mengerti. Karena aku memang tipe seorang yang belajar sesuatu dengan cara visual. Terutama membaca. Bukan Riri, kalau tidak hobi dengan membaca. Meski tugas kuliah menumpuk, tak pernah terlewatkan barang seharipun tanpa membaca novel atau buku-buku non akademik.
Tepat di waktu itu, memang lagi marak-maraknya masalah nikah dini. Dan banyak sekali buku-buku yang mengkaji tentang itu. Baik dari yang pro maupun yang kontra. Sentak demam membacaku langsung mencari link pada masalah itu. Belum lagi banyak sekali rohis-rohis kampus di Semarang, kota tempat aku belajar sering mengadakan kajian maupun seminar tentang pernikahan. Terutama tentang tema yang lagi hot. Nikah Dini.
Bukan Riri, kalau tidak suka melamun. Dan dari lamunan itu, sering muncul beberapa tulisan. Tak jarang, hasil tulisanku menghiasi lembaran-lembaran media kampus.
“Waaahhh… mahasiswa ibu yang satu ini, udah indeks prestasinya tinggi, pinter nulis lagi….”
Sebuah pujian yang sering kudapatkan dari bu Elen. Dosen akuntansi keuangan, saat beliau selesai membaca beberapa tulisanku di media kampus.
“Subhanalloh ukhti Riri….., tulisannya menginspirasi banget. Di tunggu tulisan-tulisan yang lainnya ya….”
Tambah akh Danang. Ketua Rohis Fakultas Ekonomi di kampusku.
Wuiiiihhhh… hati perempuan yang mana yang tidak deg-degan. Dapat pujian dari seorang ikhwan yang jadi buah bibir di kampus. Udah pinter, prestasinya bagus dan….. ehm… lumayan guanteng.
“Mbak Riri,,,, saya suka sekali dengan tulisannya kemarin. Kok bisa ya…,, buat cerpen seperti itu….”
Tambah pak Ahmad, satpam parkiran di kampus mengomentari tulisanku suatu siang saat aku memarkir motor di parkiran.
“Ow ya mbak,,, sudah punya pacar belum? Kalau belum, bapak kenalkan sama anak Bapak. Sekarang kuliah di UNNES. Suka nulis juga seperti mbak Riri”
Sentak hatiku langsung menggerutu mendengar kalimatnya yang terakhir. Apa ya tidak kelihatan??? Aku kan pakai jilbab lebar..???!!! Masa ada, pake jilbab lebar kok pacaran….?????!!!
“Hehehehe… pengennya pacaran nanti kalau sudah nikah aja pak. Mari pak…”
Jawabku sambil berlalu dengan motor.
Sampai di kos, kurebahkan badanku di atas tempat tidur. Masih teringat dengan kata-kata pak Ahmad sekaligus jawaban yang kulontarkan.
Ehem…ehem…ehem…
Senyumku mengembang kecil membayang sesuatu yang selama ini belum pernah terbayangkan olehku.
Yup….. kira-kira, seuamiku nanti seperti apa ya????? Hehehehehe…
Entah sebuah obsesi atau hanya sekedar keinginan. Tiba-tiba sosok yang kuidamkan berkelebat di bayangku. Seorang ikhwan dengan fisik proporsional. Kulit putih bersih. Wajah yang terlihat teduh bersama kaca mata tipis dengan kesan agak cerdas. Dan… satu lagi. Ciri khas seorang ikhwan yang mungkin akan menambah sedap dipandang mata.
Jenggot.
“it’s very perfect…!!!” pikirku.
Sebuah harapan yang sempat menghampiri buku harianku hari ini. Sekaligus menjadi impian yang kelak suatu hari nanti akan menjadi kenyataan.
4 Tahun yang lalu….
Sebuah undangan pernikahan diberikan Faza untukku. Dua buah nama dalam undangan itu sangat aku kenal. Faza dan Danang.
Tanpa kutahu sebelumnya. Dua minggu lagi Faza sahabatku akan menikah dengan Akh Danang. Faza yang waktu itu baru menginjak semester lima. Dan Akh Danang yang kebetulan kakak kelas dua tingkat di atas kami telah siwisuda sarjana satu bulan yang lalu. Entah bagaimana proses ta’aruf mereka, aku tidak tahu. Karena Faza sama sekali tidak pernah menceritakan padaku.
“Maaf Ri, bukannya aku tidak mau berbagi cerita padamu. Tapi, bukankah kita disuruh untuk menyembunyikan ta’aruf dan mengumumkan walimahan????”
“Meski dengan sahabatmu sendiri????”
“Sekali lagi maaf Ri…., semua ini terjadi dengan cepat. Sampai sekarangpun aku belum percaya kalau aku akan menikah dengan Akh Danang. Proposal darinya tiba-tiba ditawarkan oleh murobi padaku. Karena memang semua sudah setuju, ya aku ikut saja. Aku selalu ingat kata-katamu. Tidak ada alasan kita untuk tidak nikah dini. Jika memang semuanya sudah siap.”
Mataku tertegun mendengar penjelasannya. Bukankah selama ini aku yang selalu bersemangat untuk menikah dini?. Aku yang selalu bersemangat untuk terus mengkaji dan menulis dengan tema nikah dini?. Tapi kenapa justru Faza yang lebih dulu mendapat kesempatan itu?. Dan satu lagi!!!!! diam-diam dalam hati, aku memimpikan sosok seperti Akh Danang untuk menjadi pendamping hidupku.
Tapi kenapa sekarang justru Faza yang lebih beruntung?. Padahal selama ini, Faza agak dingin jika kuajak bicara masalah nikah dini.
“Alloh sudah menulis di Lauh Mahfudz kapan kita akan menikah. Yang penting, sekarang kita perbaiki dulu diri kita dalam keimanan. Kalau kita ingin mendapat pasangan hidup yang baik. Alloh kan sudah berjanji, perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik. Begitupun sebaliknya. Jangan hanya menghayal terus…..”
Celoteh Faza saat itu. Sejenak aku mengiyakan untuk kalimat-kalimat awalnya. Tapi, kalau untuk urusan menghayal…. Ow..ow… bagiku, must go on… .
Apapun kenyataan yang kuhadapi, aku harus bahagia. Meski jika aku boleh jujur, aku menaruh iri pada Faza. Karena, ternyata Faza lebih dulu mendapat izin oleh Alloh untuk segera menikah di umurnya yang baru menginjak dua puluh satu tahun. Tak heran lagi, jika undangan pernikahan itu membuat hampir seluruh penduduk satu kampus gempar. Akh DAnang adalah sosok laki-laki yang banyak diimpikan oleh setiap wanita. Begitu juga Faza. Wajah lembut dan manis khas jawa memang menjadi daya tarik sendiri bagi laki-laki. Belum di tambah prestasi akademik yang indeks prestasinya nyaris tak pernah di bawah criteria coumloud.
Tapi terus kucoba menghibur diriku sendiri. Hanya Alloh yang lebih tahu, kapan kita akan menikah. Alloh lebih tahu tentang kesiapan kita untuk menikah daripada kita sendiri. Mungkin, di mata Alloh Faza lebih siap untuk menikah terlebih dahulu daripada aku. Sikap dewasa dan keibuannya jauh lebih baik bila dibandingkan denganku. Aku yang kadang masih manja dengan emosi yang meledak-ledak. Sedangkan Faza, jauh lebih tenang saat menghadapi masalah.
Satu catatan perbaikan diri yang harus kulakukan.
“Menjadi lebih dewasa…!!!!”
3 Tahun yang lalu….
“Dipelajari dulu proposalnya. Fotonya ada di belakang”
Kata ustadzah Ratna, guru ngajiku.
Dengan mengucap Basmalah, kubuka sebuah proposal dari seorang ikhwan yang aku sendiri belum tahu siapa dirinya.
“Ri, ada baiknya jika kamu mempelajarinya di rumah saja. Setelah kamu setuju dengan data yang ada di sini, kamu istikharah. Minta petunjuk pada Alloh.”
Tambah ustadzah Ratna. Saat baru saja kubuka lembar pertama dari tiga lembar Curiculum Vitae seorang ikhwan yang diberikan untukku.
“Ya sudah, ini Riri bawa dulu. Nanti Riri pelajari di kos.”
Kataku sambil melipat kembali proposal tersebut. Meski belum sempat kulihat fotonya, ku masukkan proposal itu ke dalam tas.
“Riri pulang dulu. InsyaAlloh Riri kasih jawaban secepatnya”
“Tidak usah buru-buru. Menikah itu untuk seumur hidup. Ambil keputusan yang tepat”
“insyaAlloh, Riri akan mencoba berfikir jernih.”
Setelah izin pulang dan mengucap salam pada ustadzah Ratna, kubawa langkahku menuju kos. Sesampainya di kos, tak sabar ku buka sebuah amplop besar warna coklat dari ustadzah Ratna. Dengan hati yang detakannya jauh lebih kencang, sedikit demi sedikit kubaca Curiculum Vitae seorang ikhwan.
Dari data yang ada, cukup masuk criteria juga. Tingkat pendidikannya setara denganku. Lulusan sarjana. Umurnya dua tahun di atasku. Bekerja pada sebuah perusahaan swasta di Semarang.
“Lumayan juga…” Fikirku singkat
“eittt,,, ntar dulu, masih ada foto yang belum kulihat” Bisik kecil hatiku
Hanya selang beberapa detik, yang tadinya senyumku sedikit panjang, tanpa sadar, kini senyum itu harus kulipat lagi. Setelah melihat foto yang terletak di paling belakang dari tiga lembar Curiculum Vitae yang ada di tanganku sekarang.
“Tak seperti apa yang kubayangkan….!!!!” Fikirku singkat.
Kuletakkan CV dan Foto itu di atas meja. Dengan sedikit lemas, tubuhku bergelayut manja di atas tempat tidur.
Kecewa…???? Mungkin iya.
Dari awal, sudah terbayang olehku sesosok ikhwan yang shaleh, dengan penampilan fisik yang proporsional, kulit putih bersih, ada kacamata tipis yang mengesankan’cerdas’, dan emmmmm….. jenggot tipis yang bikin mata sedap untuk terus memandang.”
Tapi yang kulihat….?????
Jauuuuhhhhh…….. dari apa yang kubayangkan…!!!
“Ingat Riri…!!! Yang penting kan shalehnya. Pertimbangan agama is number one…!!! Yang lain, nomor sekian…!!!”
Sisi putih hatiku mencoba membujuk.
Tapi, di sisi hitam, hatiku mencoba memberi pendapat.
“Tapi ingat juga…!!! Apa kata teman-temanmu nanti. Seorang Riri, mantan ketua Annisa, Pernah aktif di BEM, aktivis kampus dengan segudang prestasi, penulis yang tulisannya cukup enak di baca, sekaligus juga mahasiswa dengan predikat lulusan Coumloud dan terbaik Fakultas Ekonomi universitas negeri terkenal di Semarang.”
Ditengah perdebatan hebat dua sisi hati, aku teringat kata-kata Bu Wahyuni. Dosen sekaligus ketua program study Akuntansi yang selama ini cukup akrab denganku. Beliau menyampaikan ini sewaktu wisuda lulusan sarjana sebulan yang lalu.
“Wah,,, selamat ya Mbak… jadi lulusan terbaik. Sudah punya calon suami belum? Hati-hati kalau cari suami. Jangan salah pilih. Mbak Riri kan punya banyak kelebihan. Pasti akan dengan mudah mendapatkan apa yang diinginkan.”
Hanya dengan ucapan terima kasih dan senyum kecil aku membalas kata-kata Bu Wahyuni.
Tapi, sentak aku teringat sebuah Hadist Rasululloh. Sebuah hadist yang sangat popular dan sering kudengar selama aku mengikuti beberapa event seminar tentang pernikahan.
“Jika datang (melamar) kepadamu orang yang engkau senangi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan putrimu). Jika kau tidak menerima (lamaran)-nya niscaya terjadi malapetaka di bumi dan kerusakan yang luas. (HR At-Tirmidzi)”
“Ri…!!! Bukankah kamu tidak keberatan dengan agamanya???? Jangan hanya memandang fisik….!!!!”
Sebagian hatiku terus menasehati.
“Tapi ingat Ri…. Apa kamu tidak menginginkan seperti Faza??? Yang bersuamikan Akh Danang????? Ingat Ri….!!! Shaleh memang criteria utama. Tapi, criteria yang kedua, kamu harus yakin bahwa kamu bisa mencintainya. Bagaimana kamu bisa mencintainya jika dari sisi kecil hatimu ada perasaan malu jika kamu berjalan dengannya. Jangan mendzolimi diri sendiri. Yang pada akhirnya, akan mendzoliminya juga.”
Mataku terus terpejam mencari jawaban.
“Istikharah….!!!!!”
Dengan tiba-tiba, sisi abu-abu hatiku memberi jawaban. Abu-abu itu menjelma layaknya hakim yang menjadi penengah untuk menyelesaikan perang debat antara sisi putih dan sisi hitam di hatiku.
Cukup sudah waktu satu minggu untukku berfikir. Aku tidak ingin memperpanjang untuk memberi jawaban. Lebih cepet itu lebih baik.
Karena, jawabannya adalah “menolak…!!!”
Entah kenapa, tidak kutemukan jawaban “iya” dalam istikharahku.
“Mungkin belum jodoh” Fikirku singkat.
Dengan mantap, kujalankan motor menuju rumah ustadzah Ratna. Hanya untuk mengatakan “maaf, mungkin beliau bisa mendapatkan yang lebih baik daripada Riri”
Sebuah ungkapan halus sebagai kalimat ganti untuk kata “PENOLAKAN”
Ustadzah Ratna memahami alasanku. Wajahnya mengangguk kecil dengan disertai senyum tipis yang mengulum di bibirnya.
“Saya harap, ini keputusan yang terbaik. Kamu memang berhak untuk menolak jika hatimu tidak yakin.” Ungkap beliau lembut.
“Kalau mungkin ada proposal yang lain untuk saya, insyaAlloh saya masih menunggu. Anggap saja ini hanya untuk sekedar menyempurnakan ikhtiar.”
Satu harapan yang masih selalu ada untuk segera menikah. Menyusul Faza yang baru sebulan yang lalu melahirkan seorang putri mungilnya yang cantik. Buah pernikannya dengan Akh Danang.
Dan juga, sebuah harapan utnuk menemukan pangeran dambaan. Sesosok ikhwan yang shaleh, dengan penampilan fisik yang proporsional, kulit putih bersih, ada kacamata tipis yang mengesankan’cerdas’, dan emmmmm….. jenggot tipis yang bikin mata sedap untuk terus memandang.
Senyum tipisku tak terasa sedikit mekar menyambut bayangan yang baru saja hadir menghiasi fikiranku.. Dengan harapan, suatu saat akan aku temukan ikhwan dengan gambaran fisik seperti itu.
“Berdoa saja. Semoga Alloh segera mempertemukan dengan pemilik pasangan tulang rusukmu.”
Nasehat Ustadzah Ratna saat melepas kepulanganku.
Ini adalah pengalaman ta’aruf pertamaku. Ternyata tidak seperti apa yang selama ini aku bayangkan. Tidak semudah seperti apa yang selama ini aku fikirkan. Tidak sama dengan cerita pernikahan Faza dan Akh danang yang begitu mudahnya.
“Ah Riri,,, biarkan Alloh yang mengaturnya. Tugasmu hanya ikhtiar dan berdoa. Selebihnya, biar Alloh yang menjadi sutradara mutlak atas perjalnan ceritamu. Alur dan Endingnya telah Alloh tuliskan. Tugasmu hanya menjadi tokoh dalam cerita itu”
Hatiku terus menasehati.
Statusku berganti. Yang tadinya mehasiswa, sekarang berubah menjadi karyawan swasta. Alhamdulillah, aku diterima menjadi karyawan sebuah perusahaan telekomunikasi terbesar di semarang. Dengan posisi sebagai seorang Accounting. Sebuah posisi yang cukup menggiurkan dimata orang lain.
“Waahhh…. Selamat ya Ri…. Aku cukup iri sama kamu. Kamu bisa bekerja dengan posisi seorang accounting di perusahaan yang besar. Sedangkan aku, hanya menjadi ibu rumah tangga dan membuka usaha toko muslim kecil-kecilan.”
Kata Faza suatu saat. Aku menaggapinya dengan senyum. Jika boleh jujur, hati kecilku ingin mengatakan,
“Bagiku, kamu jauh lebih beruntung. Saat ini kamu telah menikah dan mempunyai seorang anak. Lengkap sudah kebahagiaanmu sebagai seorang perempuan. Lah aku,,, menikah saja bagiku sekarang masih mimpi.”
Begitulah jika aku melihat salah satu dari teman-temanku telah menikah. Satu sisi hatiku merasa bahagia. Tapi, tak bisa kupungkiri juga, sisi lain hatiku mearsa perih.Satu pertanyaan,
“Kapan tiba waktunya untukku…????????????”
2 Tahun yang lalu….
“Gimana kabarnya non…??? Masih sibuk kerja ya?”
Sebuah pesan singkat dari mbak Ayu. Kakak kelasku beda fakultas waktu kuliah dulu. Yang sekarang menjadi seorang dosen jurusan tekhnik elektro di sebuah universitas swasta di Semarang.
“Alhamdulillah baik mbak. Mbak Ayu sendiri gimana kabarnya? Keluarga di Kudus baik-baik juga kan? Suami dan anak-anak Mbak Ayu juga sehatkah?” Kubalas pesannya.
“Alhamdulillah semua baik-baik aja. Ow ya Ri… . keinginan menikah dini masih ada ga??? Hihihihi….”
Bagai tersengat lebah kurasa saat membaca balasan pesan itu.
“Kalau usia segini udah ga dini lagi kaleeeee…..!!!!!” Pikirku, nyengir..
Tapi, dengan tenang, kucoba membalas kembali pesannya.
“Rasul mengatakan, bukan ummatku jika tidak mengikuti sunnahku. Dan menikah adalah salah satu sunnah Rasul. Riri tidak mau tidak diakui ummat Rasul di akhirat nanti jika tidak menikah. Hehehehehe….”
“Makin pinter aja adek mbak yang satu ini. Gini, ada teman mbak Ayu yang meminta mbak Ayu untuk mencarikan calon istri. Setelah mendengar criteria keinginan teman mbak itu, mbak Ayu jadi teringat kamu. Beliau seorang ikhwan. Sekarang kerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta.”
“Terus mbak…??” Tanyaku antusias.
“Dulu semasa kuliah, beliau memang termasuk sepuluh lulusan terbaik di Fakultas. Mbak Ayu berfikir, pas untuk seorang Riri yang kaya dengan prestasi.”
Berasa di atas angin saat membaca pesan singkat mbak Ayu baru saja.
“Yes….. . Sebuah kesempatan datang lagi…!” celetukku dalam hati
“Ya udah mbak, Mbak Ayu saja yang atur untuk proses ta’arufnya. Riri ngikut aja.”
“Okelah kalau begitu. Ntar Mbak Ayu kirim CV dan fotonya di email Riri. Setelah Riri merasa cocok, Riri kirim ke email Mbak Ayu CV dan foto Riri.”
“InsyaAlloh Mbak… Makasih sebelumnya”
Proses ta’aruf yang kedua. Tidak seperti yang pertama dulu. Agak sedikit slow. Tapi, harapanku tetap sama. Ikhwan dengan tubuh proporsional, berkulit putih bersih, kaca mata dan sedikit jenggot tipis penghias wajah.
Anganku sudah terbang melayang membayangkan. “Ah,,, semoga yang ini langsung klik. Celetuk hatiku, singkat.
Setelah kubuka yahoo, cursor komputerku langsung terarah pada kotak email. Cek inbox, ada sebuah surat masuk dari Mbak Ayu. Tak sabar lagi, langsung kubuka dan ku doanload sebuah lampiran yang menyertainya.
Dengan berucap ‘Bismillah’, mulai kuteliti satu demi satu data yang ada pada Curiculum Vitae.
“Lumayan masuk juga” pikirku singkat bersama senyum kecil yang mengulum di bibir.
“Deg….!!!!!!” Jantungku berdetak agak sedikit naik disertai senyum di bibirku yang semakin lebar.
Naaaaaahhhhhhh…………!!!! Tepat seperti apa yang kubayangkan. Alloh tergantung pada prasangka hamba-Nya. Dan beginilah hasilnya ketika aku berprasangka baik pada Alloh. Berprasangka bahwa ikhwan yang dikenalkan oleh Mbak Ayu seperti apa yang kudambakan. Tubuh proporsional, berkulit putih bersih, kaca mata dan sedikit jenggot tipis penghias wajah. Selembar foto yang terselip cukup membuat hatiku berbunga.
Langsung kusambar handphone dari dalam saku gamisku. Mengirim sebuah pesan singkat ke Mbak Ayu. Yang isinya, bahwa aku cocok dengan proposal yang ada.
“Kamu ga istikharah dulu Ri…?????” Balas Mbak Ayu yang aku tahu, mungkin agak keheranan.
Jujur agak bingung mau membalas apa. Memang kusadari, sikapku terkesan tergesa-gesa. Tapi, bukankah istikharah dilaksanakan jika hati kita ragu?. Atau mungkin jika ada dua pilihan yang ada di hadapan kita?. Toh, hatiku telah mantap.
“InsyaAlloh Riri mantap Mbak…”
“tapi ingat Ri,,, Kamu harus siap dengan segala resiko. Semisal ikhwan tersebut menolak.”
Deg…!!!. Kata-kata Mbak Ayu membuat semangatku yang tadinya berapi-api kini mulai meredup. Aku tahu, menerima atau menolak adalah hak setiap orang. Dulu aku juga pernah menolak. Jika mungkin ada kemungkinan terburuk aku tertolak, biar itu bisa kujadikan pelajaran. Memang perlu kelapangan dada saat kita berada pada posisi tertolak. Apalagi dia yang kuidamkan. Tapi, seberapapun perasaan yang kita gunakan untuk berlapang dada, perasaan tidak nyaman dan tidak PD pasti tetap ada.
“Tenang Riri… Alloh tergantung dari perasaan hamba-Nya. Berpositif thinking saja..!!! kamu pasti akan diterima.” Hiburku dalam hati.
“Tidak apa-apa Mbak…. Riri tau itu. Ini sekalian Riri kirim ke Email Mbak Ayu, CV dan Foto Riri.”
“Ya sudah kalau kamu yakin. Setelah CV dan Foto kamu Mbak terima, segera akan Mbak kasih kabar selanjutnya.”
“Terima kasih banyak Mbak….”
“Iya sama-sama”
Hampir seminggu aku menunggu berita dari Mbak Ayu. Perasaanku tidak menentu. Tapi aku coba terus untuk berpositif thinking pada Alloh. Aku harap, tahun ini juga aku akan menikah. Dan tahun ini juga Alloh akan menitipkan janin kecil di rahimku. Aku ingin segera menikah. Dan aku ingin segera jadi seorang ibu. Menjadi wanita sempurna layaknya Faza dan wanita lainnya.
Handphone yang kuletakkan di atas meja kantorku bordering. Sebuah pesan singkat masuk. Dari Mbak Ayu.
“Assalamu’alaikum Riri cantik… MAaf, ini Mbak Ayu ganggu ga?”
“Wa’alaikum salam… InsyaAlloh ga ganggu kok Mbak… ini juga tidak terlalu banyak kerjaan di kantor. Gimana Mbak? Sudah ada kabar????”
Aku tahu, Mbak Ayu akan tersenyum kecil membaca balasan pesanku. Yang terkesan terburu-buru. Tapi, tak apalah….!!! Jujur aku memang tipe orang yang sulit menyembunyikan rasa cemasku. Meski dalam seminggu ini perasaan hatiku diliputi ketidakpastian, kecemasan, atau perasaan lainnya yang aku sendiri sulit untuk menjelaskan. Aku hanya bisa menunggu sms dari Mbak Ayu. Aku tidak berani terlebih dahulu menanyakan pada Mbak Ayu.
“Alhamdulillah tadi pagi sudah ada jawaban. Ikhwan itu memutuskan untuk berlanjut ke tahap selanjutnya. Dalam artian, kalian berdua ketemu.”
“Alhamdulillaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhh……”
Bisikku panjang dalam hati. Andai saat itu aku berada di ruangan terbuka dan tidak banyak orang, mungkin aku akan berlonjak-lonjak lagaknya anak TK yang dapat nilai sepuluh untuk mata pelajaran matematika.
“Tapi ingat…!!! Pada tahap inipun masih ada kesempatan untuk menolak. Baik dari Riri sendiri maupun dari pihak ikhwan. Siapa tahu, diantara kalian ada yang merasa tidak cocok.”
Bibirku yang tadinya senyum kecil, kini meredup kembali. Kumantapkan lagi hatiku. Mungkin dari diriku sendiri sudah merasa sreg. Tapi bagaimana dengan ikhwannya?. Kemungkinan menolak pasti ada. Pertanyaan demi pertanyaan dihatiku seakan menyambut rasa takut yang tiba-tiba menggelayut. Ketakutan jika aku yang tertolak.
Ah…!!! Sudahlah….!!! Aku hanya perlu berpositif thinking sama Alloh. Toh,,, selama ini apa yang kusangkakan tentang Alloh benar. Selama aku berkhusnudzon.
“Ok Mbak… . Riri ikut Mbak Ayu saja untuk proses pertemuannya.”
“Ya sudah. Minggu ini gimana? Kamu libur kan?. Tadi Mbak Ayu sudah Tanya ke ikhwannya. InsyaAlloh minggu ini dia bisa.”
“Baiklah. Minggu ini saja. Sekitar habis dzuhur Riri bisa”
Seperti waktu yang telah kita sepakati bersama, minggu siang selepas dzuhur Mbak Ayu menjemputku. Tempat pertemuan kita untuk proses ta’aruf lanjut ini adalah di rumah Mbak Ayu. Sesampainya di depan ruman Mbak Ayu, dari luar, aku bisa melihat ada dua orang laki-laki yang berada di ruang tamu. Yang satu aku kenal, suaminya Mbak Ayu. Dan yang satunya lagi, meski sedikit samar, aku bisa menebak bahwa dia adalah seorang ikhwan yang akan dikenalkan padaku.
“Assalamu’alaikum….” Sapa Mbak Ayu.
“Wa’alaikum salam….”
Cessssssss….!!! Layaknya setetes embun dingin menetes di dasar hati saat kutemukan pandangan matanya jatuh tepat di retina mataku. Dengan sigap dan reflek, langsung kutundukkan pandangan.
“he’s very perfect… Tubuh proporsional, berkulit putih bersih, kaca mata dan sedikit jenggot tipis penghias wajah” kalimat itu mencandai hatiku.
Dengan pandangan yang terus tertunduk, entah karena malu atau karena hal lain, aku duduk di sebelah Mbak Ayu. Basa-basi sebentar membuka pembicaraan kita.
“O ya Ri… Kenalkan..!!! ini lho yang namanya Irham. Dan ini yang namanya Riri…”
Suara Mbak Ayu mulai mengenalkan masing-masing dari kita. Aku sedikit melirik ke arah Akh Irham. Yang aku tahu dari CV, nama lengkapnya Muhammad Irham Saputra ST. Pandangan yang kuarahkan hanya sebentar. Mungkin kira-kira hanya dua detik. Setelah itu, kembali kutundukkan wajah menghadap ke meja. Alhamdulillah, meja ruang tamu rumah Mbak Ayu terbuat dari kaca. Jadi, meski malu, sedikit kunikmati wajahnya dari kaca meja tersebut.
“Ehem…ehem…ehem… Jaga hati Riri….!!! Dia belum halal untukmu. Tidak baik mencuri kesempatan untuk terus menikmati wajahnya berlama-lama. Toh, kalau memang jodoh, sebentar lagi kamu bisa menikmatinya. Bahkan sampai melotot sekalipun.”
Hatiku terus menasehati.
Ta’aruf yang tadinya kurasa serba canggung dan serba tegang, lama-lama mencair. Mungkin dari sikap Akh Irham sendiri yang terkesan agak humoris. Semua data yang kuinginkan telah mendapat jawaban semuanya dari Akh Irham. Entah apa yang ada di fikiran Akh Irham tentang aku, aku sendiri tidak tahu. Yang pasti, senyumnya selalu mengembang saat proses ta’aruf yang hanya berlangsung sekitar satu jam itu.
“InsyaAlloh saya akan kasih tahu jawabannya satu minggu lagi. Riri sendiri mau minta waktu berapa minggu?” Kata Akh Irham
Pandanganku langsung tertegun. Bingung mau menjawab apa. Karena aku sendiri sudah tahu jawabannya. Pastilah dengan senang hati aku akan menerima. Tidak ada alasan bagiku untuk menolak. Tapi, mau bisa apa lagi?. Harus ada jeda waktu. Paling tidak, ada rasa untuk jaga emage sedikit.
“Satu minggu saya kira juga cukup” Jawabku sekenanya.
“Baiklah…!!! Jika memang ada saling ketercocokan antara kalian, semoga bisa dilanjutkan untuk ke proses selanjutnya. Tapi, jika ada salah satu yang tidak cocok, semoga tidak hanya sampai di sini persaudaraan kita. Masih ada tali silaturahim sebagai sesama saudara seiman yang bisa kita rajut.”
Nasehat suami Mbak Ayu mengakhiri proses ini. Setelah berucap salam, ku minta izin untuk pulang. Sepanjang perjalanan pulang, berbagai perasaan menyelimuti hatiku. Senang, takut, hawatir, ga PD, dan berbagai macam perasaan lainnya.
“Tenang Riri… Jawabannya akan datang seminggu lagi.” Hatiku mulai menghibur.
Sesampainya di kos, kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Memejamkan mata, mencoba ikhlas dengan semua jawaban yang akan Alloh beri satu minggu lagi.
Seminggu kulalui dengan perasaan tak menentu. Harap-harap cemas. Antara yakin dan tidak. Doa terus terlantun. Dengan harapan, keinginanku tercapai. Handphone yang kuletakkan di atas meja kerja bordering. Sebuah pesan singkat masuk di HPku. Dari Mbak Ayu.
Dengan mengucap Basmalah, perlahan kubuka isi pesan dari Mbak Ayu. Aku yakin, pesan itu memberi kabar mengenai jawaban dari Akh Irham.
“Assalamu’alaikum… . Riri lagi sibuk ya? Maaf, Mbak Ayu baru sempat sms. Dari tadi pagi jadwal ngajar padat banget. Tadi malam, Irham sudah memberi tahu Mbak Ayu tentang hasilnya. Secara umum, Irham suka dengan Riri. Tapi, Irham minta maaf. Jika belum bisa melanjutkan proses ini ke jenjang selanjutnya….”
Aku menghentikan membaca pesan Mbak Ayu. Sekedar menenangkan hatiku.
“Riri akhwat yang baik. InsyaAlloh akan mendapat pendamping hidup yang lebih baik daripada Irham. Dan Irham sendiri tidak menjelaskan alasan apa yang menjadikan dia memutuskan untuk tidak melanjutkan proses ini.”
Aku masih terdiam menggigit bibirku. Entah diam apa aku belum bisa menjelaskannya. Tanganku basah dengan keringat dingin. Belum sempat aku membalas sms dari Mbak Ayu, sudah ada lagi sms kedua dari Mbak Ayu.
“ini masalah hati Ri… tidak perlu di jelaskan. Biarkan hanya Irham dan Alloh yang tahu alasan apa yang sebenarnya Irham rasakan.”
Bibirku kelu. Air mataku jatuh bersama harapan yang telah mencair. Dan sebentar lagi akan pergi. Memang tidak ada cinta yang kurasakan sejak pertemuan ta’aruf itu. Tapi, sosok ikhwan seperti Akh Irhamlah yang sangat aku dambakan. Dan kini, meski Mbak Ayu mengungkapkannya dengan bahasa yang halus, tetap saja aku masih bisa menangkap bahwa kalimat itu adalah kalimat ‘penolakan’ dari Akh Irham.
Rasanya aku belum bisa membalas sms dari Mbak Ayu. Adzan dzuhur perlahan terdengar mengalun dengan lantangnya. Kulangkahkan kaki menuju masjid di depan kantor. Aku ingin mengadukan kegundahan hatiku di hadapan sang penentu takdir seusai shalat dzuhur nanti.
Dan Sekarang….
“Bukankah kau ingin segera menikah…..????????!!!!!!!!!!”
Sergap Faza dengan pandangan yang gemas tepat di mataku. Tapi, wajahku terus menunduk. Mencoba memecah kekerasan sifat yang selama ini aku simpan. Hampir dua tahun ini, aku masih berkutat dengan masalah jodoh. Bekali-kali aku telah mencoba untuk terus mengayunkan langkah mencari sesosok makhluk bernama laki-laki yang telah Alloh janjikan untuk berjodoh denganku. Sampai sekarang aku tidak tahu siapa dia dan dimana keberadaannya. Tapi aku tahu, dia diciptakan Alloh utnuk berjodoh denganku. Silih berganti mereka datang di kehidupanku. Yang kusangka itu adalah jodohku. Tapi, berulang kali pula mereka harus menyerah kalah. Entah aku yang menolaknya ataupun aku yang ditolak mereka.
Aku tahu, itu hal yang wajar dalam proses ta’aruf. Tapi, aku juga seorang perempuan yang mempunyai perasaan kecewa. Sudah beberapa kali aku menghadiri undangan pernikahan dari teman, sahabat, ataupun saudara. Andai menghadiri undangan walimahan bukan sebuah keutamaan, mungkin aku tidak akan menghadiri semua undangan-undangan itu. Sebagai wanita, jujur hatiku teramat perih melihat ini semua. Satu pertanyaan yang akan selalu ada.
“Kapan tiba waktuku untuk menikah????????????”
“Ri….!!!” Panggil Faza menyentakkan lamunanku.
“Iya Fa… jujur aku teramat sangat ingin menikah. Menikmati hidup sepertimu.”
“Tapi, selama kamu belum bisa merubah keinginanmu, mungkin akan teramat sulit untukmu mewujudkan keinginan mulia ini.”
“Maksudmu keinginan yang mana?”
“Kriteria calon suamimu yang menurutku fisicly banget.”
“Salahkah aku mempunyai keinginan seperti itu Fa?”
“Setiap orang berhak untuk punya keinginan. Tapi ingat…!!! Apa yang menurutmu baik, belum tentu baik juga menurut Alloh. Siapa tahu, apa yang menurutmu tidak baik, justru itulah yang terbaik menurut Alloh. Alloh maha mengetahui. Sedangkan kamu tidak.”
“Menurutmu, apa yang harus kulakukan sekarang????”
Pandangan Faza yang tadinya lekat menatap wajahku, sekarang beralih pada sebuah tas warna coklat miliknya. Terlihat dia mengeluarkan sebuah amplop coklat besar.
“Di dalam ini ada proposal seorang ikhwan. Dia sudah mengenalmu. Dan merasa cocok dengan kepribadianmu.”
Aku menerima amplop itu dengan mimik wajah keheranan. Tanpa pikir panjang, langsung kubuka. Dua lembar Curiculum Vitae dan sebuah foto dari dalam amplop itu dengan sigap kuamati.
Yup…..!!! Aku tak perlu membaca lebih jauh data yang ada di situ. Dengan membaca nama lengkap dan nama panggilan, pandangan mataku langsung tertuju pada foto. Hanya butuh waktu satu detik untukku bisa mengenali pemilik Curiculum Vitae itu. Seorang yang tiap hari aku temui di kantor. Seorang yang seringkali menjadi teman disaat aku harus tugas luar kota untuk keperluan kantor. Dialah yang sering kupanggil Mas Faqih. Seorang driver kantor yang sudah hampir tiga tahun ini kukenal.
“Dari mana kamu dapat CV ini Fa?” Tanyaku dengan muka keheranan.
“Mas Faqih adalah teman satu kajian dengan suamiku. Beberapa hari yang lalu, Mas Faqih sempat minta tolong sama suamiku agar dicarikan wanita yang bisa di jadikan istri. Setelah berembug denganku, aku menyarankan untuk ta’aruf denganmu saja.”
Aku masih terdiam dengan pandangan yang kosong. Rasa heran yang sejak tadi membekas di wajah belum hilang juga. Tiba-tiba aku dikejutkan suara Handphone Faza bordering. Sebuah pesan masuk di Handphonnya.
“Maaf Ri… anakku nangis. Suamiku memintaku untuk segera pulang. Saranku, kamu istikharah lagi aja. Semua keputusan ada di tanganmu. Aku pulang dulu ya… Assalamu’alaikum”
Faza dengan tergesa-gesa melangkah pulang. Setelah kuantar dia sampai depan pintu, aku kembali duduk di sofa. Fikiranku melayang pada sesosok laki-laki yang hampir tiap hari kutemui. Wajah teduhnya tiba-tiba hadir di lamunanku. Aku masih ingat kata-kata Mbak Nining teman sekantorku sekitar seminggu yang lalu.
“Aku yang pertama kali tidak rela jika ada seorang perempuan yang menyakiti dan mempermainkan hati Faqih.”
Seorang teman sekantor yang akrab dipanggil Mbak Nining yang menduduki jabatan sebagai manager marketing di kantorku begitu terpesona dengan seorang driver seperti Mas Faqih. Yah…!!! Aku tahu. Mungkin, dia hanya seorang sopir yang tidak punya jabatan keren seperti yang lainnya. Dia hanya lulusan SMA yang tidak mempunyai kesempatan untuk melanjutkan sampai bertitel sarjana seperti yang lainnya. Tapi, satu yang selalu menjadi daya tarik dari Mas Faqih selama ini. Akhlak yang benar-benar sedap untuk dipandang. Tingkah laku dan tutur katanya yang lembut nan sopan membuat siapapun terpukau. Prinsip islam yang selalu mewarnai hari-harinya. Sikap tangguh yang hanya takut pada Alloh. Dan juga, Shalat yang selalu tepat waktu.
Satu hal yang paling aku suka jika harus tugas luar kota dan kebetulan yang menjadi drivernya adalah Mas Faqih. Aku tidak perlu mengingatkan agar berhenti pada salah satu masjid sepanjang jalan yang kita lewati. Untuk shalat jika sudah tiba waktu shalat wajib. Karena, dengan sendirinya Mas Faqih akan segera mencari masjid terdekat. Dan berusaha agar tidak ketinggalan shalat berjamah.
Sekarang, orang yang banyak dikagumi oleh teman-teman sekantor, kini menawarkan dirinya untuk jadi pendamping hidupku. Kembali lagi, dua sisi hatiku beradu argument. Keegoisanmu mulai muncul.
“Ri… apa kata orang nanti. Kamu kan sarjana penuh dengan prestasi? Masa mau nikah hanya dengan seorang sopir? Masih banyak laki-laki shaleh yang sepadan denganmu.”
“Ingat Ri….!!!! Pernah sekali saja Mas Faqih melakukan suatu hal yang meurutmu sebuah keburukan?. Kesalehan dan kebaikan akhlaknya sudah diakui seluruh karyawan di kantor. Apalah arti pandangan manusia. Yang penting pandangan Alloh. Bukankah orang yang paling baik di sisi Alloh itu orang yang paling bertaqwa? Dan syurga juga dperuntukkan bagi orang-orang yang beriman. Carilah yang terbaik menurut pandangan Alloh. Bukan menurut pandangan manusia.”
Entah kenapa, aku merasa begitu mantap untuk menerima Mas Faqih. Rasanya, aku mengurungkan niatku untuk berfikir ulang. Aku takut, niat baik ini akan kembali terkotori oleh alasan-alasanku yang masih berorientasi pada duniawi. Langsung kuambil Handphone di saku. Yup…!! Menelphone Faza sekarang juga. Mengabarkan bahwa aku menerima Mas Faqih.
“Kamu sudah yakin Ri…???” Tanya Faza dengan nada agak keheranan.
“InsyaAlloh aku yakin Fa… minta tolong kamu dan suamimu untuk mempercepat proses ta’arufnya ya…. Kalau bisa dalam bulan ini juga aku menikah.”
Entah kenapa hatiku benar-benar sudah yakin dengan Mas Faqih. Kesalehannya sudah diakui banyak orang. Meski mungkin dari tingkat pendidikan dan kedudukannya di kantor jauh lebih baik aku, tapi, untuk masalah keimanan, aku banyak belajar darinya. Dan kuharap, aku bisa terus belajar sampai akhir hidupku. Menjadikannya imam dan pendamping hidup dunia akhirat.
Tidak perlu proses ta’aruf yang terlalu rumit seperti sebelum-sebelumnya. Karena, cukup bagiku mengenal selama tiga tahun. Begitupun dengan Mas Faqih sendiri dalam mengenalku. Kalaupun kadang ada sesuatu yang kurang cocok sedikit, selama itu bukan menyangkut hal akidah, aku maklum. Karena tidak ada manusia yang sempurna. Menerimanya berarti menerima semua kelebihan dan kelemahannya. Aku yakin, di matanyapun aku punya kelemahan. Meski dulu, sering kudengar dia memujiku untuk masalah kecerdasan.
Proses persiapan pernikahan berjalan dengan lancar, Meski di awal ada sedikit sandungan masalah persetujuan dari kedua orang tuaku. Mereka agak kurang setuju dengan pekerjaan dari Mas Faqih. Tapi, aku terus mencoba meyakinkan kedua orang tuaku. Bahwa hal utama dalam pertimbangan calon suamiku adalah masalah iman. Selama keimanannya baik, aku tidak keberatan. Meski sebelumnya, seperti kata Faza, criteria yang kuinginkan terkesan fisicly banget. Tapi, akhirnya aku tersadar bahwa itu salah. Agak menguras tenaga untuk mengadakan pendekatan kepada kedua orang tuaku, toh, akhirnya mereka luluh juga.
Hal yang paling unik, adalah ketika aku menyampaikan undangan pernikahan kepada teman-teman di kantor. Aku yakin, hampir sebagian besar dari mereka terkejut mendengar rencana pernikahanku dengn Mas Faqih. Aku hanya menanggapi dengan senyum. Jika mereka Tanya “Kok bisa? Kapan pacarannya????”
“Hehehehehe…. Katrok juga” Fikirku singkat.
Mana ada Riri pacaran? Islam kan tidak mengajarkan.
Proses pernikahan berjalan dengan lancar. Hanya berselang satu bulan dari pertama aku menyatakan untuk menerima Mas Faqih. Aku tahu, keluargaku benar-benar disibukkan dengan persiapan pernikahanku. Maklumlah, hanya satu bulan waktu yang ada. Sedangkan yang harus mereka persiapan adalah dari hal catering sampai urusan baju pengantin. Untunglah, semua keluarga saling bantu membantu. Termasuk juga sahabatku, Faza dan suaminya. Kebetulan, suami Faza, Akh Danang adalah teman dari Mas Faqih. Mereka tampak dengan senang membantu persiapan pernikahanku dengan Mas Faqih semampu mereka.
Ijab Qabul berlangsung hikmad. Mitsaqon ghalidza yang disebut Alloh dalam firman-Nya di surat An-nisa ayat 21, akhirnya kudengar juga. Mahar pernikahan teruncap indah dari lisan Mas Faqih. Mahar sebuah hafalan surat At-tahrim yang kuminta, terlantun merdu dan fasih. Mengantarkan sahnya rukun pernikahan. Statusku berubah sudah.
Ya…!!! Sekarang aku telah menikah. Menjadi istri dari Mas Faqih. Kulihat ada titik air mata dari orang-orang yang meghadiri prosesi akad nikah kami. Pernikahan yang terkesan sederhana. Tapi aku harap terlihat indah di mata Alloh.
Ini adalah pertama kalinya aku sekamar berdua dengan seorang suami. Orang yang tadi pagi sebelum akad nikah masih asing bagiku, kini terasa begitu dekat. Kemarin, untuk sekedar menatap saja, aku masih malu. Tapi sekarang, telapak tanganku begitu erat di genggamnya. Meski terkesan agak malu, tubuhku begitu nyaman menyandar dipelukannya.
“Kau wanita cerdas dengan berbagai prestasi yang kau raih. Tapi kenapa kau hanya menjatuhkan pilihanmu padaku? Yang statusnya jauh di bawahmu. Padahal, kau bisa terima salah satu dari beberapa laki-laki mapan dan terhormat yang datang melamarmu, daripada aku”
Kata-katanya memecah kebisuan kami.
Meski agak malu, kucoba menatap matanya kuat-kuat. Dengan tatapan mata penuh cinta.
“Sebagai wanita, aku memang tidak sebaik Hadijah. Tapi, izinkan aku untuk mencontoh Hadijah, dengan menerimamu. Menerima dengan segala kelemahan dan kelebihanmu. Masih ingatkah bagaimana Hadijah dilamar laki-laki yang kaya lagi terhormat? Tapi, justru Hadijah menerima seorang Muhammad karena akhlaknya. Bagiku, tak ada pernikahan tanpa laki-laki saleh sepertimu.”
Kulihat senyum Mas Faqih mengembang. Disertai sebuah kecupan manis keningku.
“Karena aku tidak ingin membanggakanmu di hadapan manusia. Tapi, aku ingin membanggakanmu di hadapan Alloh. Dengan kegantengan akhlakmu, dengan kekayaan imanmu, dan dengan ketinggian derajat, harkat dan martabatmu di hadapan Alloh. Sungguh, aku mearsa cerdas menikah denganmu. Meski mungkin, ada sebagian orang di sekitarku membodohkanku.”
Aku tahu, bulan di langit luar sedang mengintip kemesraan kita. Dan aku juga tahu, bulan menatap iri mendengar kidung kasih yang terlantun diantara dua hati. Hatiku dan hati Mas Faqih.
Hatikupun bersenandung lirih…
“Saat cinta menjatuhkan pilihan-Nya padamu.”
Malam semakin meredup. Bersama doa yang mulai terlantun. Doa layaknya sepasang manusia yang memadu cinta dalam halalnya sebuah pernikahan.
No comments:
Post a Comment