Tuesday, 12 May 2015
CERBUNG : SUJUD CINTAKU DI MIHRAB TAAT (6)
……. Sampai kapanpun dunia tidak akan pernah bisa mendevinisikan kata “cinta” secara pasti. Karena, cinta ada bukan untuk diartikan. Hanya cukup untuk dirasakan …….
“Van, tolong. Sekali ini saja. Biarkan aku istirahat. Aku hanya ingin sendiri.”
“Tapi Elen, Mama -----“
“Biar aku yang telephone mamamu. Minta maaf kalau malam ini aku ga bisa datang.”
Dengan cepat kuraih handphone di saku baju. Cekatan mencari nomor HP mamanya Evan. Bahkan, sebelum sampai aku menemukannya di memory card HPku, Evan buru-buru memegang tanganku. Dengan kibasan kecil agar aku mengurungkan niatku.
“Biar aku sendiri yang bilang sama Mama”
Aku menghentikan jari-jari dari bergerilya pada layar ponsel. Menuruti apa kemauan Evan.
“Kamu kenapa? Ada masalah?”
Telapak dan jemari tangan Evan lembut membelai rambutku. Satu hal yang paling kusuka. Belaian yang menenangkan. Belaian yang sejujurkan kurasakan sangat memanjakan. Tapi ----, Entahlah..!
Aku menggeleng.
“Aku hanya butuh sendiri dulu, Van. Hanya itu.”
“Tapi----“
“Kumohon Van. Suatu saat aku akan cerita. Tapi bukan sekarang.”
Aku menelan ludah. Tidak percaya pada kalimat yang baru saja kuucapkan. Evan semakin mendekat. Menatap wajahku lamat-lamat. Pandangan menelisiknya tepat jatuh di kedua retina mataku.
Maafkan aku, Van.
“Aku pernah ada salah padamu?”
Kening Evan berkerut. Wajahnya semakin mendekati wajahku. Hembusan nafasnya patah-patah terasa menampar wajahku. Sorot matanya menyimpan banyak tanya danketidakmengertian. Aku tau Evan bingung dengan semuanya. Tak sedikitpun paham dengan sikapku.
Mataku terasa panas. Sebenarnya aku tak ingin menangis. Sekalipun menangis, akus endiri juga bingung. Menangis untuk apa? Untuk hatiku yang telah berani menghianati cinta tulus Evan? Untuk aku yang tak sedikitpun mampu mengakui pada Evan bahwa sebenarnya tidak ada sedikitpun cinta untuknya? Atau bahkan, menangis untuk Evan bagaimana perasaan Evan jika akhirnya dia tau, bahwa hatiku ternyata tidak memilihnya? Hatiku yang ternyata jujur menginginkan Edo, kakak kandungnya sendiri.
Aku menggigit bibir bawah. Mencoba menahan sengguk, ingus, dan air mata yang seja ktadi terbungkus rapi dalam sesak. Sekali lagi, di hadapan Evan aku hanya bisa menggeleng. Mataku semakin terasa panas. Sekeras apapun aku mencoba menahan airmata itu agar tidak tumpah di hadapan Evan, aku tetap tidak bisa.
Air mata itu tetap jatuh.
Evan menatapku dalam kebingungan. Kemudian meraih dan memeluk tubuhku. Pelukan yang kurasa sangat menenangkan. Pelukan yang kurasa cukup mendamaikan. Pelukan yang kurasa lebih cocok diberikan seorang kakak pada adiknya. Bukan seorang laki-laki pada kekasih yang dicintainya.
Sedetik, dua detik aku nyaman dalam pelukan Evan. Namun akhirnya tubuhku tetap berontak untuk melepas pelukannya. Evan tak bisa berbuat apa-apa. Sorot matanya seperti dihadapkan pada rentetan huruf konsonan tanpa vocal. Hanya bisa menebak. Mengira-ngira. Meraba. Tak bisa membaca dengan pasti tentang sikapku.
Aku melepas pelukan Evan. Dengan berlari kecil dan air mata yang terus berjatuhan, aku meninggalkan Evan sendirian.
“Elen…!! Elen… kumohon -----“
Aku terus berlari menuju kamar. Kemudian mengunci kamar rapat-rapat. Suara Evan masih sayup-sayup terdengar. Di dalam kamar, aku mencoba menutup telinga serapat mungkin. Air mata tak pernah bisa kubendung lagi. Deras membanjir. Seperti bongkahan sesak yang akhirnya bisa mencair dalam tangis.
“Elen… ini Mama. Buka kamarnya, Sayang.. Mama pengen bicara sesuatu.”
Suara lembut Mama beradu manis dengan ketukan pintu kamarku.
Aku masih terdiam. Tak berniat membuka pintu kamar. Ada ketakutan kalau Evan sekarang berada di samping Mama. Di depan kamarku.
“Elen… Mama tau kamu ada di dalam. Evan sudah pulang. Buka pintunya sebentar.”
Aku tetap diam. Tak ada niat sedikitpun untuk membuka pintu. Aku hanya ingin sendiri. Tak ingin apapun. Bahkan hanya untuk mendengar sapaan, pelukan dan nasehat lembut Mama seperti biasa.
“Mama tau kamu di dalam masih menangis. Menangislah. Mama tidak pernah melarangmu menangis. Menangislah jika hanya itu yang kamu inginkan. Menangislah jika hanya dengan menangis membuat hatimu lebih ringan. Dan menangislah jika ternyata hanya air mata yang kamu butuhkan saat ini. Air mata yang bisa menjadi obat pertama. Obat yang paling manjur daripada kehadiran seorang psikolog dengan dengan harga konsultasi berapapun.”
Aku menyeka air mataku. Dengan sengguk kecil yang masih tersisa, kukuatkan tangan meraih gagang pintu. Membuka kunci pintu kamar. Berniat mengizinkan Mama masuk.
Mama berdiri di pintu dengan pandangan yang meneduhkan. Pandangan yang seolah mengerti apa yang sedang kualami saat ini.
“Mama boleh masuk?” Senyumnya mengembang. Senyum persahabatan
Aku mengangguk.
Aku kembali mengunci pintu kamar. Membiarkan Mama duduk di tempat tidurku Dan aku duduk disampingnya.
Mama membelai rambutku, membiarkan aku membenamkan diri dalam pelukannya.
“Elen, Jika kita bertanya, antara air mata dan senyuman, mana yang paling banyak kita perlukan?. Maka, jawabannya adalah air mata. Kita lebih banyak memerlukan airmata daripada senyuman. Air mata akan selalu ada, baik disaat haru kala bahagia. Maupun di kala sedih saat luka.”
Mama membiarkanku menumpahkan isak dalam peluknya.
“Disaat kita sedang berada pada kesedihan yang memuncak, tak ada yang bisa kita lakukan selain hanya menangis. Begitu pula saat haru datang di puncak kebahagiaan, saat senyuman tak lagi cukup untuk mengapresiasi rasa bahagia itu, maka, air mata yang akan berperan mengekspresikannya. Menangis bahagia. Kita bisa menangis saat bahagia, namun teramat sulit untuk tersenyum saat luka”
Berada di pelukan Mama, memang senyaman meringkuk di balik selimut tebal saat hujan deras.
“Kalian bertengkar?”
Aku menggeleng.
“Kalau begitu, siapa laki-laki itu, Elen?. Kalau Elen mau, cerita sama Mama. Jangan dipendam sendiri.”
Tak perlu bertanya, kenapa Mama tau apa yang kurasakan. Sembilan bulan dalam kandungannya, aku dan Mama bernafas bersama, bergerak bersama dan merasakans emuanya bersama. Darahnya mengalir dalam darahku. Begitu juga hati dan perasaannya. Menyatu. Seperti simpul utuh yang tidak mungkin terpisahkan.
Aku masih terdiam dengan sisa isak yang terasa masih sesak.
“Evan ga salah. Elen yang salah.”
“Kapan kalian bertemu?”
Aku menggeleng pelan. Berharap mengingkari semuanya. Mencoba mengingkari perasaanku. Mencoba mengingkari kehadiran Edo dalam hatiku.
“Saat acara pertunanganku dengan Evan.”
Kening Mama berkerut. Pupil mata Mama terlihat bergerak ke atas. Mencoba mengingat-ingat suatu memori yang mungkin masih bisa diingat.
“Sebelumnya kamu pernah bertemu dengannya?”
Akumenggeleng pelan.
“Hanya melihat fotonya. Dan sedikit cerita tentangnya dari Evan.”
Mata Mama terlihat membulat. Nafasnya tertahan. Seperti menemukan sebuah jawaban yang sama sekali tidak ingin diketahuinya.
“Dia----“
Aku mengangguk pelan.
“Edo”
Tak ada suara diantara kita. Mama kembali memelukku erat. Lebih erat lagi.
“Maafkan Elen. Tidak ada maksud Elen untuk menghianati Evan. Tapi rasa ini ----“
Mama mengangguk. Hanya mencoba mengerti. Selain mencoba juga untuk mengingkari. Masih berharap sampai detik ini jawaban apa yang didengarnya adalah salah.
“Kalau boleh Mama tau, apa yang kamu sukai dari Edo?”
Aku menggeleng lagi. Entahlah.!
Hening kembali menjadi jeda antara kita. Aku dan Mama sibuk beradu dengan perasaan masing-masing. Menerima. Mengingkari. Menerima. Mengingkari. Harus menerima ataukah harus mengingkari?.
Dadaku kembali terasa panas. Jika kata kebanyakan orang, indahnya cinta turun darimata ke hati, bagiku sekarang, sesaknya cinta mengalir dari hati ke air mata.
“Kamu benar-benar mencintai Edo?”
Mama kembali bertanya. Entah memastikan. Entah menafikan.
Aku mengangguk kecil.
“Seberapa besar?”
Aku menatap Mama. Mencoba mencari jawaban pada tiap sel matanya yang teduh dan bijaksana. Tapi, lagi-lagi aku hanya bisa menggeleng. Tak kutemukan jawaban. Yang ada hanya bahasa gerak perasaan yang semakin rumit.
“Cinta itu menyehatkan, Elen. Bukan menyakitkan. Cinta itu membebaskan. Bukan membelenggu. Dan kadar cinta itu adalah seberapa besar kamu bisa menghapus airmata itu. Bukan justru sebaliknya. Seberapa banyak air mata yang terakumulasi karenanya.”
“Elen harus bagaimana, Ma?”
Mata Mama menatapku tegas.
“Tidak ada jawaban yang pasti untuk perasaan. Tidak ada vonis yang benar atau salah untuk perasaan. Meskipun perasaan seperti matahri yang terang benderang, masih juga diperlukan ribuan kalimat penjelas.”
Mama menggenggam tanganku. Meletakkannya tepat di depan dadaku. Hingga aku bisa merasakan detak jantungku sendiri yang jelas tidak beraturan.
“Bertanyalah pada hati kecilmu. Jangan pernah mencari jawaban pada ego dan nafsumu. Kenapa harus hati kecil? Karena, Sekalipun kamu mencoba menutup telinga rapat-rapat, hati akan terus berbisik, berkata, berbicara, berteriak, menggaung dan menggema. Sehingga kita tidak akan pernah bisa mengabaikannya. Dan jalan satu-satunya yang bisa kita lakukan hanya menyerah untuk mendengarnya. Karena, sampai kapanpun naluri tidak akan pernah bohong.”
Aku memeluk Mama lebih erat lagi.
Bersambung.......
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment