Tuesday 12 May 2015

CERBUNG : SUJUD CINTAKU DI MIHRAB TAAT (2)




……. Hati tidak memilih. Hati dipilih. Karena hati tidak perlu memilih, ia selalu tahu kemana harus berlabuh…….



Sebuah pesan singkat masuk di Handphoneku. Dari Evan.

Elen, sekitar jam tujuh malam, aku menjemputmu. Kita mau ke butik tante Ita. Teman mama yang akan mendesign baju pengantin kita.

            Aku melempar begitu saja handuk diatas tempat tidur. Mandi pagi yang menyenangkan. Setelah bertahun-tahun selama masih disibukkan dengan aktivitas di bekerja di kantor, pergi pagi-pagi sekali dan pulang sudah agak larut malam, hanya seminggu sekali bisa menikmati memanjakan diri dengan mandi pagi sekitar pukul Sembilan. Di hari minggu. Atau di hari libur kantorku lainnya. Kantorku, yang dikatagorikan PMA, Penanaman Modal Asing, dimana pemiliknya adalah orang-orang dari Jepang yang terkenal disiplin tinggi. Selalu mengharuskan karyawannya untuk disiplin waktu. Harus sudah sampai di kantor lima belas menit sebelum jam masuk.

            Dengan kemacetan sekelas kota besarseperti Jakarta, memang perlu perjuangan keras untuk bisa datang tepat waktu dikantor. Tapi, setelah aku memutuskan untuk menerima tunangan Evan, yang berarti juga menerima Evan untuk menjadi suami sekaligus imam hidupku kelak, aku menuruti saja satu permintaan Evan.

            “Elen, aku masih bisa membiayai hidup kita. Hidupmu juga. Kelak, ketika kita sudah menikah, aku hanya minta, jalankan peranmu sebagai istri dan ibu rumah tangga yang baik. Biar aku yang mencari nafkah. Dan bertanggung-jawab atas semua ekonomi keluarga kita.”

            “Tapi, Van…”



            “Oke. Aku tau. Kamu bukan wanita rumahan yang terbiasa duduk diam di rumah tanpa aktivitas apapun. Tapi, peranmu sebagai ibu kelak sangat penting untuk anak kita. Aku hanya ingin anak-anak kita kelak tumbuh dalam asuhan ibunya. Aku berjanji, akan mencoba bekerja dan memenuhi kebutuhan keluarga kita sebaik mungkin.”

            Tak ada yang bisa kulakukan kecuali hanya mengangguk. Meng-iyakan saja permintaan Evan. Dan hasilnya, dua hari sebelum hari pertunangan kita, aku resmi mengundurkan diri dari kantor. Tiga bulan setelah hari pertunangan kita adalah hari yang telah ditentukan untuk hari pernikahan kita. Selama tiga bulan aku di rumah, Evan memintaku untukmengurus semua pernak-pernik yang berhubungan dengan pesta pernikahan.

            Dari mulai sewa gedung, Catering, kartu undangan, soufenir pernikahan, baju seragam keluarga, dan beberapa keperluan pesta pernikahan kita. Evan meminta agar aku turun tangan sendiri. Memastikan bahwa semua sudah sesuai dengan standar yang kuinginkan.

            Hanya memastikan semua persiapan berjalan dengan lancar. Meski sudah ada Wedding Organizernya, tapi, Evan masih tetap mau aku yang mengawasi. Namun, daris emua persiapan yang ada, hanya ada satu hal yang lebih banyak ditangani keluarga Evan. Terutama ibunya. Yaitu baju pengantin.

            “Mama sudah pernah janji sama tante Ita. Kalau anaknya menikah, baik aku ataupun Bang Edo, akan memesan baju pengantin dari butiknya Tante Ita. Secara, dari kecil, Tante Ita dan Mama adalah teman akrab.”

            Aku mengikuti saja apa yang diinginkan Evan. Beberapa hari yang lalu, catalog gaun pengantin dari butiknya Tante Ita sudah kuterima. Evan memintaku untuk memilih tiga gaun untuk satu hari pesta pernikahan kita nanti.

            “Kamu pilih saja yang sesuai keinginanmu. Untuk masalah harga, biar Mama yang atur.”

            Dan untuk kesekian kali, aku hanya bisa mengangguk. Menuruti. Meski aku nya juga tidak terlalu antusias.

            Ok,Van. Jam tujuh malam kuusahakan sudah siap. Kamu jemput aku ke rumah saja.
            Singkat. Aku membalas pesan Evan.

            “Ok,say… semoga ga macet. Love You… “

            “Love You too….” Aku membalas pesannya.

            Hambar. Datar. Bahkan terkesan hanya formalitas.


                                                                                      ********


            “BUTIK PENGANTIN TANTE ITA”

            Sebuah tulisan besar terpajang jelas di depan bangunan sebuah butik yang cukup artistik. Mungkin ini yang dikatakan Evan. Butik pengantin milik Tante Ita. Teman Mamanya. Butik ini jika dilihat dari depan tidak terlalu luas. Bahkan bisa disebut minimalis. Namun cukup elegant.

            Beberapa langkah setelah membuka pintu utama, kita akan dihadapkan pada interior butik yang manis juga. Konsep yang cukup bagus untuk interior. Konsep yang bisa mengundang pembeli untuk leluasa melihat-lihat seluruh produk yang ada. Pencahayaan dengan efek netral sangat pas untuk ruangan, karena pengaturan pencahayaan tidak merusak warna baju. Warna-warna pastel pada dinding menjadi paduan yang manis bagi barang-barang maupun furniture yang ada. Penataan dan Display barangnya juga tidak menumpukpada sisi tertentu. Cukup nyaman untuk dilihat.

            Benar-benar bisnis butik yang artistik.

            “Oohhh… ada calon pasangan pengantin, rupanya..??”

            Seorang perempuan perawakan tanggung dengan dandanan yang sepertinya selalu terjaga rapi, tiba-tiba datang menyambut kita.

“Ayo-ayo…masuk. Maaf, kemarin Tante ga  bisa datang ke pesta pertunangan kalian. Tante harus ke Singapore. Ngurus konsep butik di sana”

            Suara renyah, ramah dan sangat bersahabat sekali. Ramah untuk sebuah standar operating  procedure bagi seorang pelanggan. Atau lebih tepatnya calon pelanggan.

            “Iya Tante, ga papa. Kita tau Tante Ita sibuk”

            Evan menjawab dengan nada yang tak kalah ramahnya. Sebuah standar operating procedure bagi calon pelanggan. Atau, lebih tepatnya calon pelanggan dengan harga khusus. Kualitas barang pesanan sama, tapi dengan harga sedikit bisa dikurangi. Karena, kekurangan itu ditutup dengan senyum basa-basi dan keramah-tamahan yang menurutku terkadang terlalu berlebihan.

            “Elen sendiri gimana kabarnya? Calon pengantin perempuan itu jangan terlalu capek. Biar nanti di hari pernikahan bisa menjadi bidadari tercantik diantara tamu-tamu yang datang.”

            Sentak basa-basi awal Tante Ita mengagetkanku. Membuyarkan lamunanku.

            “eeh.? i.. iya… Tante. Alhamdulillah baik.”

            Aku sadar, suaraku gugup. SedangkanTante Ita tersenyum lebar mendengar jawabanku. Yang sekali lagi, hanya sekedar Service Smile untuk calon Customer.

            “Kemarin sudah terima katalognya ya? Sudah ada yang mau dipilih? Atau mau lihat-lihat dulu barang-barang yang ada didisplay? Meskipun barang yang ada di display, semuanya sudah ada di catalog, tapi, kalau melihatnya langsung kesannya beda.”

            “Boleh juga Tante.” Evan cepat membalas.

            “Evan yakin, Elen juga ingin memastikan secara langsung contoh bajunya. Iya kan, Elen?”

            Evan menyenggol lenganku. Meminta pendapat. Atau lebih tepatnya memaksa untuk menyetujui usul Tante Ita. Menyadari sejak tadi, aku tidak terlalu antusias dengan semuanya.

            Aku mengangguk kecil. Kemudian mengikuti langkah Tante Ita menuju ke sebuah Display di pojok ruangan. Sempat kulirik mimik wajah Evan. Raut mukanya heran melihatku sekaligus mencoba mencari jawaban. Elen, kamu kenapa? Sakit?.

            Entahlah.

            Dengan bahasa wajah juga aku mencoba menjawab.

            Butik Tante Ita memang tidak terlalu luas seperti butik-butik yang lain. Namun, penataan ruang, display barang dan furniturnya memang bagus. Sehingga pengunjung terkesan betah untuk berlama-lama. Ditambah lagi kelihaian Tante Ita dalammempromosikan barangnya, membuat pelanggan-pelanggannya, baik pelanggan yang sudah lama maupun pelanggan yang masih baru sepertiku bisa merasa terpanggil untuk membeli.

            “Gaun pengantin dengan warna putih seperti ini memang yang banyak laku. Kalau boleh tante sarankan, dengan poste rtubuh Elen yang semampai, Elen bisa gunakan yang model seperti ini. gaun pengantin modern ballgowns. model gaun pengantin modern yang dibalut lacea tau renda di seluruh bagian gaun akan tampak lebih klasik, namun terkesan anggun dan elegant. Selain itu model gaun pengantin modern dengan lace menunjukan sebuah selera yang berkelas dan sangat istimewa. “

            Aku mendengarkan saja, semua penuturan Tante Ita tentang produknya. Sesekali mengangguk, tersenyum, atau basa-basi dengan mncoba memasang pandangan penuh antusias.

            “Atau mau yang ini?” Tangan Tante Ita menyentuh dengan lembut satu gaun pengantin di dalam sebuah display. “ini model strapless sash. Modelnya sederhana. Namun masih tetap terlihat glamor dan mewah. Hiasannya tidak terlalu banyak. Hanya cukup di bagian dada. Nanti bisa ditambahkan tulle atau bahab jala pada bagian bawah gaun sehingga akan membuat model gaun pengantin tetap cantik, elegant dan bersahaja. Untuk menambahkan kesan girly bisa ditambahkan pita atau sash pada bagian pinggan gaun pengantin.”

            Pantas kalau bisnis butik baju pengantin Tante Ita merambah sampai ke Singapore. Selain lihai dalam mendesign, Tante Ita juga memegang sendiri konsep marketingnya. Keahliannya berbicara cukup bisa diacungi jempol.

            Sebuah intro lagu Richard Marx Right Here Waiting For You, Ringtone di Handphone Evan berbunyi. Satu panggilan masuk.

            “Bentar Tante, Mama telephone” Evan meminta Izin.

            Tante Ita mengangguk mantap. Isyarat Mengizinkan Evan untuk menerima telephone.
            Aku masih terus mendengarkan promosi Tante Ita tentang produk butiknya. Sedangkan Evan, menyingkir sebentar. Menerima telephone dari Tante Ana. Mamanya.

            “Mama sama Bang Edo dalam perjalananke sini. Mungkin setengah jam lagi sampai”

            Edo..??? Degggg…..!!!

            “Oh…??? Edo masih di Jakarta? Belum balik ke Seoul?” Tante Ita antusias Tanya.

            “Belum Tante. Rencananya, Bang Edo baru balik ke Seoul setelah acara pernikahan kita. Bang Edo akan dipindah kerja ke Amsterdam sama perusahaannya tempat dia bekerja. Tapi, setelah di Amsterdam,mungkin akan bertahun-tahun tidak pulang. Makanya, tiga bulan ini dia diberi waktu cuti. Sembari mempersiapkan kepindahannya ke Amsterdam.”

            Edo akan tetap di Jakarta selama tiga bulan?

            Keningku berkerut. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Dan senyum simpulku begitu saja tersungging tanpa kusadari. Senyum alami. Natural. Bukan senyum basa-basi seperti yang kusuguhkan pada Tante Ita dan Evan sejaktadi.

            “Bilang sama Abangmu. Kalau dia hanya focus pada Karier, kapan nyari jodohnya? Ini saja sudah dilangkahi sama kamu, adeknya.”

            Edo belum punya kekasih? Detakan jantungku berdetak jauh lebih cepat lagi.

            “Hahaha… tante bisa aja. Mama sampai berbusa mengingatkan. Tapi… Yah… kalau Bang Edonya sendiri ga jalan, mau apa coba?”

            “hahaha… iya bener. Edo kurang apa coba? Wajah ganteng. Otak cerdas. Kerjaan mapan? Terus, mau nunggu apa lagi?”

            “Ya nunggu calonnya dong, Tante. Kalaupun udah siap semua, tapi kalau calonnya belum ada, mau nikah sama siapa?’

            “Hahahahaha…..” Gelak tawa Evan danTante Ita lebih keras terdengar.

            Andaikan jantungku bisa kupegang, aku ingin memegangnya lebih erat. Agar tidak terlepas. Terlepas karena detakannya yang terlalu cepat.

            Edo.Tuhan, apa yang terjadi denganku sekarang?

            “Malam semua…..” suara Tante Ana, nyaring terdengar saat pintu depan Butik terbuka.

            “Panjang Umur… baru saja dibicarakan. Sekarang sudah datang. Gimana Mbak Yu? Sehat kan?”

            Tante Ita berjalan cepat segera menuju ke arah Tante Ana. Sebuah standar operating procedure sapaan hangat khas perempuan saat bertemu. Memeluk,cium pipi kanan, cium pipi kiri, dan beberapa kalimat basa-basi lainnya.

            “Alhamdulillah sehat.”

            “Eh, Edo. Tambah ganteng saja kamus ekarang. Tambah bersih. Putih. Gimana kabarnya, sayang?”
Kata‘sayang’ untuk sebuah panggilan seorang tante pada keponakannya.

            “Hehehe… Alhamdulillah baik, juga Tante. Tante ita gimana kabarnya? Makin lancar aja ini bisnisnya..?”
            “Ya. Beginilah nasib wirausaha. Harus pinter-pinter cari pelanggan. Malam ini Evan yang jadi pelanggan Tante. Habis Evan, nanti Edo yang gentian. Hahaha…”

Gelak tawa yang benar-benar terdengar renyah. Tanpa ada kesan basa-basi.

            Untuk kedua kali. Mata Edo menatapku. Mata yang bening. Seperti mata bayi. Teduh tanpa tendensi.

            Jika pertemuan pertama dulu hanya diiringi sebatas petikan piano klasik akustik. Sekarang, mata indah itu menatapku dengan sebuah nada piano harmonisasi chord. Tatapan mata indah yang membekukan hati. Tatapan mata indah yang selama ini kucari. Berharap aku menemukannya pada mata Evan. Tapi ternyata bukan. Mata itu milik Edo. Kakak kandung Evan.

           
            Pada titik ini, konflik batinku mulai menanjak.




Bersambung......

No comments:

Post a Comment