Tuesday, 12 May 2015
CERBUNG : SUJUD CINTAKU DI MIHRAB TAAT (8)
……. Jika hidup adalah sebuah proses belajar, mungkin aku memang harus belajar hal yang paradoks dalam satu waktu. Belajar untuk mencintaimu sekaligus belajar untuk melupakanmu …….
“Apa? Hari ini? Apa tidak bisa ditunda besok? Besok pagi-pagi dengan pesawat paling pagi saya bisa langsung ke Tokyo…. Tapi, ini hari minggu…. Ok. Baiklah. Atur semua akomodasinya. Dua jam lagi saya sampai bandara.”
Aku menutup sejenak Koran pagi yang sedang kubaca. Mengernyitkan dahi dan mengalihkan pandangan pada Evan yang sedang gusar sejak lima menit yang lalu. Gerak tubuhnya tak bisa diam. Berkali-kali memencet HP. Menghubungi beberapa orang yang berbeda dengan nada keberatan namun tak bisa menolak.
Setelah mematikan telephon terakhirnya, Evan nampak benar-benar menekuk muka dengan lipatan yang kusut. Kemudian menghempaskan tubuhnya di sofa dengan hembusan nafas kesal.
“Kenapa Lo?”
Evan melirikku sebentar dan menatapku dengan pandangan seadanya. Seakan tidak menghiraukan pertanyaanku karena fikirannya sibuk berada ditempat lain.
Aku mengendus nafas pelan. Setelah menyadari Evan sama sekali tidak menghiraukan pertanyaanku. Malah kembali memencet HP, mencoba menghubungi seseorang, namun akhirnya kembali mematikan HP setelah tidak ada jawaban dari yang dihubunginya.
“Gue harus ke Tokyo hari ini.”
Akhirnya Evan menjawab pertanyaanku.
Aku kembali melipat Koran yang sebenarnya sudah kubuka kembali sesaat setelah aku menyadari Evan tidak mempedulikanku tadi.
“Ada kecelakaan Proyek pembangunan hotel di Tokyo. Salah satu arsitek dari tim kita ada yang terjatuh dari lantai tiga. Lukanya cukup parah. Ini sedang dirawat intensif di rumah sakit. Dimungkinkan perlu waktu beberapa bulan untuk penyembuhan dan pemulihan. Sementara gue diminta menggantikan sebelum dapat penggantinya.”
Aku melipat Koran lebih rapi lagi dan meletakkannya di atas meja.
“Harus berangkat hari ini?”
“Mm.” Evan mengangguk dengan nada lemah.
“Sedangkan hari ini, gue ada janji sama Elen. Ke percetakan untuk memesan kartu undangan, lihat-lihat konsep design gedung untuk resepsi pernikahan, dan beberapa hal kecil lainnya untuk persiapan pernikahan kita dengan wedding organizer.”
“Tidak bisa ditunda?”
Evan menggeleng.
Kemudian menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Pandangan matanya mendongak ke langit-langit rumah. Wajah lemah dan lelah jelas terlihat dari ekspresinya.
“Entahlah.! Akhir-akhir ini, gue kurang bisa ngerti dengan sikap Elen. Sikap Elen yang seperti musim pancaroba. Tidak bisa ditebak. Aneh. Dan mau ga mau, gue harus menuruti semua kemauannya. Demi -----“
Aku mengernyitkan dahi saat Evan tiba-tiba ragu untuk melanjutkan ceritanya.
“Demi keutuhan hubungan kalian?”
Aku mencoba meneruskan setelah lama Evan nampak ragu untuk melanjutkan.
“Demi tetap berjalannya rencana pernikahan kita”
Aku terkesiap. Tidak menyadari sebelumnya bahwa Evan akan menjawab dengan kalimat yang jauh lebih parah dari yang kuduga. Diksi dan nada bicaranya seakan menunjukkan Evan berada pada posisi yang kalah.
Evan menyisir rambutnya dengan jari. Gerak tubuh yang lemah dan hampir menyerah.
“Gue harus bersiap ke bandara.”
Dia bangkit dari kursi, mengambil handuk dan berjalan menuju kamar mandi. Namun, sebelum kakinya memasuki pintu kamar mandi, langkahnya tiba-tiba berhenti.
“Bang, gue boleh minta tolong ga?”
Aku menghentikan gerakanku menengguk segelas teh.
“Mm.. bilang aja. Apa yang bisa gue bantu? Kalau sanggup, apapun akan gue lakukan buat Lo. Kalau gue ga sanggup, ntar coba gue cari cara lain.”
“sementara, selama gue di Tokyo, Bang Edo temenin Elen buat mengurus semuanya.”
Apaaa…??? Seteguk teh yang baru saja kuminum hampir saja membuatku tersedak.
Suaraku tergagap. Bingung harus menjawab apa.
“Mm.. emang Mama ga bisa?”
“Gue ga enak sama Mama. Mama kan udah usia lanjut. Takut kelelahan. Lagian, Bang Edo di Jakarta kan ga terlalu banyak kegiatan.”
Aku tertegun sejenak. Ingin sekali rasanya meralat kembali kalimat yang baru saja kukatakan. bilang aja. Apa yang bisa gue bantu? Kalau sanggup, apapun akan gue lakukan buat Lo. Kalau gue ga sanggup, ntar coba gue cari cara lain.
“Bisa kan?”
Wajah Evan jelas terlihat merajuk.
Aku mengangguk sekenanya.
Dengan senyum yang mengembang, Evan berjalan ke arahku dan kemudian menepuk bahuku.
“Makasih, Bang. Gue selalu tau, Bang Edo adalah Abang terbaik sedunia. Ntar gue kasih tau Elen. Selama gue di Tokyo, untuk mengurus persiapan pernikahan, Elen akan ditemani Bang Edo.”
Aku menelan ludah. Dan kembali mengangguk sekenanya dengan senyum manis yang dipaksakan.
*********
“Nak Edo, hati-hati di jalan ya…”
“Iya Tante. Maaf, kita pergi dulu. Kalau urusan hari ini sudah selesai, saya langsung antar pulang Elen.”
Aku berpamitan pada Mamanya Elen setelah menjelaskan duduk perkaranya. Kenapa harus aku yang mengantar Elen hari ini. Tak perlu banyak penjelasan. Karena, mungkin tadi sebelum Evan berangkat ke Tokyo sudah menjelaskan semuanya ke Elen dan Mamanya.
Hari ini. Untuk pertama kalinya aku pergi berdua dengan Elen. Tak banyak kalimat yang bisa kuungkapkan untuk mendiskripsikan perasaanku. Bukan karena hanya sedikit yang kurasa. Tapi, justru karena terlalu banyak yang kurasa hingga membuatku bingung harus bercerita seperti apa.
“Kita kemana, Elen?”
Aku telah siap dengan stir mobil. Kemudian melirik Elen yang duduk di bangku depan sebelahku. Ah.! Baiklah.!
Terserah orang mau bilang bahwa aku driver pribadinya Elen. Tak apa. Jika itu adalah hal yang paling bisa membuatku bahagia.
“Pertama, Kita ke tempat wedding organizer dulu. Kemarin dari WO udah bilang hari ini kita mau survey gedung untuk resepsi. Mungkin agak butuh waktu yang cukup lama. Jika masih ada waktu, mampir ke butik Tante Ita dulu. Ada yang perlu dibicarakan. Soalnya kemarin ------“
Belum sempat Elen menlanjutkan omongannya, terdengar sebuah ringtone dari Handphone Elen.
“Hallo, iya. Ini masih On The Way…. Oh? Gitu?”
Elen melirik ke arahku dengan kening berkerut dan tatapan ragu.
“…. Oh, baiklah. Kira-kira berapa lama?.... ok. Kita bisa nunggu. …. Sama-sama”
“Dari WO katanya ada acara mendadak.Dan mungkin mereka bisa ketemu kita sekitar tiga jam lagi.”
Jelas Elen setelah menutup telphonnya.
“Terus, kita mau balik ke rumah lagi? Atau -----“
“Jangan..! jangan balik ke rumah lagi. Enaknya ngapain ya? Mmmm….”
Elen mengernyitkan dahi. Seperti mencari sebuah ide untuk mengisi waktu selama tiga jam ke depan.
“Hari ini, Bang Edo ada acara?”
Aku menelan ludah. Konsentrasi menyetirku agak buyar. Saat mendengar Elen menyebut namaku dengan panggilan ‘Bang Edo’. Entah hanya perasaanku sendiri atau bagaimana, aku kurang tau. Yang pasti, panggilan itu terdengar janggal di telingaku.
Aku menggeleng kecil.
“Aku telah menerima amanah dari Evan untuk menggantikannya menemanimu mengurus semua persiapan pernikahan kalian selama Evan berada di Tokyo. Jadi, semua waktuku hari ini hanya untuk menemanimu.”
Aku kembali menelan ludah. Dan rasanya, ludahku begitu pahit. Saat menyadari baru saja mengucapkan ‘persiapan pernikahan kalian’.
Elen tersenyum manis.
“Kita sudah pamit sama Mama mau keluar. Kalau balik lagi ke rumah rasanya aneh. Mmmm…. Enaknya kemana ya?”
Entah aku yang salah? Atau Evan yang terlalu melodramatis dalam menanggapi permasalahannya dengan Elen selama ini?. Aku kira, Elen tidak seperti apa yang diceritakan Evan. Elen gadis yang periang. Sepertinya tidak ada masalah dengan hubungan mereka. Di wajah Elen tidak sedikitpun terlihat gurat-gurat masalahnya hubungannya bersama Evan. Buktinya, saat ini Elen bisa tersenyum lepas. Wajahnya terlihat gembira. Jauh berbeda sekali dengan Evan yang sepertinya terlalu menganggap serius masalah hubungannya dengan Elen.
“Bang Edo suka minum kopi?”
Aku mengangguk.
“Karena WO nya di daerah Kemang, sambil nunggu, kita ke kedai kopi daerah Kemang saja.. Tempatnya enak. Dan ada beberapa pilihan varian kopi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesias eperti kopi Bali, Jawa, Aceh, Toraja dan lain sebagainya.”
Mata Elen terlihat mengerjap-ngerjap. Berharap aku mengatakan bahwa idenya memang bagus dan patut dicoba.
“bagimana?”
Elen meminta pendapat. Atau, lebih tepatnya memaksaku untuk menyetujui usulnya.
Aku hanya mengangguk menyetujui.“Baiklah.”
Aku mengarahkan mobilku sesuai petunjuk Elen.
*********
“Bang Edo belum pernah ke sini?”
Aku menggeleng. Belum.
“Udah berapa lama di Seoul Bang? Sampai ga tau tempat nongkrong seenak ini.?!”
Sambil menunggu pelayan menghampiri kita, aku sempatkan melihat-lihat sejenak kafe kopi ini. Kafe kopi yang tidak terlalu luas. Namun cukup bersih dan nyaman. Bangunan kafe yang banyak didominasi bahan kayu ini terlihat sangat higienis dan membuat betah siapapun pengunjung yang datang.
“Bang Edo mau pesen apa?”
Pertanyaan Elen sempat mengalih kanpandanganku yang beberapa saat sempat mengagumi kafe ini, pada selembar buku menu yang dibawa oleh salah satu pelayan. Aku menerima satu buku menu dan membacanya sekilas untuk menentukan pilihan menu yang ada.
“Menu yang paling aku suka di sini itu Mocca Float dan roti bakar.”
Celoteh Elen mencoba menjelaskan padaku dengan pandangannya yang sedikitpun tidak beralih dari buku menu yang dibacanya.
“ya udah Mbak. Aku pesen Mocca Float satu dan roti bakar coklat keju satu.” Jelasnya pada seorang pelayan, “Bang Edo pesen apa?”
Aku mengernyitkan dahi. Masih mencari-cari menu yang pas untukku.
“Mmm.. aku pengen secangkir black coffe dan roti bakar keju aja satu.”
Dengan cekatan pelayan segera mencatat pesanan kita.
Sejenak aku kembali mengamati kaf eini. Tempat ini cukup menarik untuk kongkow bersama teman-teman. Design bangungan dan interiornya unik. Pintu dan jendelanya berukuran besar dan tinggi, serta dilengkapi kaca bermotif bunga. Yang lebih unik lagi dinding ruangan dihiasikain batik klasik dan teko serta cangkir. Lukisan dan pernak-pernik lokal juga menghiasi ruangan, lampu gantungnya unik era 40-an seolah-olah bangunan ini berdiri sejak puluhan tahun silam. Kedai kopi ini seluruhnya terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama dan kedua untuk bersantai sambil menikmati kopi, lantai ketiga untuk kantor. Musik diputar di kedai ini seputar lagu-lagu tempo dulu.Tempat yang cukup asik untuk bernostalgia.
“Kamu sering ke sini?”
Iseng aku bertanya pada Elen.
“Mm”
“Sama Evan?”
Elen terlihat tersentak. Tapi buru-buru mengangguk.
Susana hening sejenak. Sepenggal nada piano akustik terdengar mengalun memberikan intro lagu dari Daniel Bedingfield, If You Are Not The One.
Elen sedang sibuk dengan gadgetnya. Jujur, aku ingin sekali melampiaskan efek alunan piano akustik If You Are Not The One Danie lBedingfield ini dengan lekat menikmati paras Elen. Tapi tidak.! Aku menepuk pipiku sendiri. Menyadarkan bahwa apa yang aku inginkan hanya mencoba membangun mimpi pada fondasi yang telah rapuh.
Terpaksa aku mengalihkan pandanganku pada beberapa lukisan cantik yang tergantung di dinding café serta beberapa hiasan cangkir dan vas bunga yang terletak manis di beberapa sudut ruangan.
“Gimana acara perkenalan Bang Edo dengan keponakan Tante Ita tadi malam?”
Aku tersentak.
“Bb… Baik..”
Entah kenapa, aku merasa jaringan sel kulitku seperti bekerja bakti memproduksi keringat dingin yang kurasa terlalu berlebihan. Hingga suaraku terdengar tergagap.
“Maaf. Elen agak ga enak badan. Jadi, ga bisa ikut”
Aku mengangguk maklum
“Tak masalah.”
Entah kenapa, tiba-tiba terlintas difikiranku untuk bisa membantu Evan. Mencoba mencari teka-teki dari semua cerita gundah hati Evan tentang hubungannya dengan Elen.
“Elen, boleh aku tanya?”
“Mm.Tanya aja ga papa. Soal apa?”
“Mmmmm… Soal… soal -----“
Belum sempat aku menyelesaikan kalimat yang tiba-tiba membuatku ragu, seorang pelayan datang dengan membawa pesanan kita.
"Terimakasih, Mbak..”
Aku menatap segelas black coffe dan satu porsi roti bakar kejupesenanku. Tampilan roti bakar keju dengan taburan meses dan parutan keju sejenak bisa melupakan kalimat yang masih menggantung dan belum sempatku utarakan kepada Elen. Roti dengan olesan mentega yang agak berminyak cukup bisa mengundang selera makanku.
Kusempatkan sedikit melirik Elen yang masih sibuk dengan Float Moccanya. Float Mocca yang dipesannya tadi disajikan dalam gelas besar dan dingin dengan ditaburi cream coklat dan coklat bubuk sepertinya cukup bisa sejenak melupakan kalimatku yang masih menggantung. Elen seperti tak ambil pusing dengan kalimat yang belum kuselesaikan tadi.
Tapi salah. Sepertinya dugaanku tidak seratus persen benar.
Setelah mengunyah sepotong roti bakar, dan meneguk sedikit Float Moccanya, Elen kembali teringat kalimat tersebut.
“Mau ngomong soal apa?”
Mata, tangan dan perhatian Elen masih tak beranjak dari kesibukannya memotong roti bakar di piringnya dengan pisau dan garpu.
“Mmmm… soal.. soal…”
Aku sedikit meneguk black coffe. Sengaja mencari jeda untuk sekedar mengusir rasa takut dan keraguan hati.
“Masalah Evan.”
Elen tersentak. Berhenti sejenak dari kesibukannya memotong roti.
“Evan..?” dahinya berkerut tajam. Akumulasi ekspresi kaget dan penasaran.
“Mm” aku mengangguk.
Elen kembali meneruskan potongan rotinya yang sempat tertunda. Memasukkan potongan kecil roti itu ke mulutnya dan mengunyahnya pelan.
“Kamu benar-benar mencintainya?”
Elen tersentak kaget. Reflek dia menghentikan kunyahannya. Sedangkan retina matanya tajam menatapku.
“Eh? Mmm… Maksudku….”
Suaraku gagap. Dalam hati aku memaki diriku sendiri. Memberi sebuah pertanyaan tanpa prolog pada perempuan adalah kesalahan terfatal.
“Mmm.. maksudku, apa kamu benar-benar menyukainya? Benar-benar yakin? Akan menghabiskan sisa umurmu bersamanya?”
Aku menelan ludah. Berharap aku tidak menggunakan pilihan kalimat yang salah dalam hal sesensitif ini.
Elen memainkan pipet minumannya. Mengaduk Float Moccanya sebentar kemudian menyedot dan meminumnya pelan.
Aku masih menahan nafas.
Beberapa detik, waktu seperti beku dalam diam. Kami sibuk dengan fikiran masing-masing. Hanya nada-nada terakhir piano akustik If You Are Not The One Daniel Bedingfield yang menjadi bingkai suara beberapa pengunjung kafe dan pelayan-pelayan yang masih sibuk mondar-mandir melayani para pengunjung.
Secangkir black coffe dan roti bakar keju dengan mentega yang meleleh di hadapanku benar-benar tak lagi mengundang selera.
Elen terlihat meletakkan garpu dan pisaunya di piring rotinya yang masih tersisa separoh. Aku yakin, pertanyaan yang baru saja kuajukan padanya juga sedikit pengurangi nafsu makannya. Elen menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi.
“Entahlah.”
Nada suaranya terdengar lemah dan menyerah.
Aku terkesiap. Jawaban Elen diluar dugaanku. Tadinya aku menduga Elen tidak akan pernah mau menjawab pertanyaanku. Sekalipun dia menjawab, Mungkin dia akan menjawabnya hanya dengan senyum.
Tapi nyatanya?
Jawaban yang menurutku terlalu jujur dan terlalu berani jika diucapkan didepanku. Kakak kandung Evan, calon suaminya. Adrenalin rasa penasaranku seperti diproduksi lebih banyak dari biasanya.
Baiklah.!
“Kenapa?”
Elen hanya menggeleng pelan. Mungkin tidak menemukan kalimat yang pas untukmenjelaskan.
Hening kembali menjadi jeda antara kita.
“Kalau kamu belum bisa mencintainya? Kenapa mau menikah dengannya?”
“Apakah semua alasan menikah hanya karena cinta?”
Sedetik dua detik, tak ada sedikitpun kalimat yang bisa kugunakan sebagai jawaban.
“Kalau semua alasan menikah hanya karena cinta, mungkin, anak SD yang baru saja mengenal cinta pertamanya pada lawan jenis akan memutuskan untuk menikah saatitu juga.”
Aku meneguk sedikit black coffe. Masih mencoba mencerna uraian penjelasan Elen.
“Kita boleh saja menentukan pernikahan dengan siapapun. Tapi, tidak akan pernah bisa menentukan bisa jatuh cinta dengan siapa.”
Aku menghirup nafas dalam-dalam. Dan mengeluarkannya perlahan.
Dengan sedikit kekuatan yang ada, aku menatap lekat mata Elen. Memaksanya pula agar Elen membalas tatapanku. Mencoba mencari sebuah jawaban dari pertanyaanku padatiap inci di matanya. Sejenak tatapan kita bertemu.
Jantungku berdetak lebih kencang. Nafasku memburu, hingga mungkin Elen pun merasakannya.
Sejenak aku menikmati saat-saat seperti ini.
Elen akhirnya menyadari. Gerakan wajahnya seolah ingin menghindar dari tatapan tajam mataku. Dengan gerakan cepat namun lembut aku memegang dagunya. Tak sedikitpun aku mengizinkannya melepas tatapanku.
Elen nampak terdiam. Entah apa yang difikirkannya.
Matanya sayu. Tapi tidak berlangsung lama. Tiba-tiba ada segumpal cairan bening menggenang di matanya.
“Ada cinta lain di hatimu?”
Takada jawaban. Hanya setetes air matanya yang menjawab.
Bersambung.................
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment