Tuesday, 12 May 2015
CERBUNG : SUJUD CINTAKU DI MIHRAB TAAT (1)
…....... Sebuah perjalanan hati, bukan berarti tanpa resiko –dee--…......
Mungkin inilah devinisi kongkret kata penyesalan.
Senja masih luka dengan jingganya. Jingga yang tak biasa. Jingga yang pedih. Dan jingga yang tak pernah memberi kesempatan pada matahari untuk sebentar saja kembali menghangat. Yang ada, hanyalah kesempatan bagi matahari untuk tenggelam.Meyusun gelap.
“Maaf, Elen. Semuanya sudah berakhir. Bukankah kamu sendiri yang menginginkan ini?”
Evan menatap mantap. Mantap untuk menyudahi semuanya. Mantap untuk menganggap semua adalah masa malu. Masa yang paling jauh. Masa dimana kita tidak mungkin bisa kembali lagi ke sana. Dengan apapun usaha yang akan kita lakukan. Bukan kita. Lebih tepatnya, aku. Untuk memperbaiki semuanya. Memperbaiki hubunganku dengan Evan yang telah kucabik-cabik sendiri.
“Kamu masih mencintaiku, Van..?”
Pertanyaan yang memelas.
Tapi percuma..! Evan mamatung kuat seperti karang. Yang tidak mungkin kutembus hanya dengan riak kecil lelehan air mataku. Air mata yang bagi sebagian perempuan adalah senjata paling ampuh untuk menakhlukan ego dan emosi laki-laki.
“Aku tau, aku salah, Van. Aku tau, dulu aku egois. Meninggalkanmu. Menghianatimu. Menghianati cinta kita. Janji kita. Dan kemudian lebih memilih Edo. Kakak kandungmu sendiri.”
Evan tetap setia dengan diamnya. Seperti bongkahan es batu besar yang tidak mungkin dilelehkan hanya dengan api lilin kecil.
Terlihat sekali rahang Evan mengeras. Menahan emosi.
“Aku sadar, Van. Semua telah terlambat. Seharusnya dari dulu aku berfikir sampai sejauh ini. Aku dibutakan oleh ego.”
“Terus,setelah Edo mencampakkanmu, kamu balik padaku?”
Pertanyaan yang menusuk. Tapi hati kecilku membenarkannya.
“Kamu tau, Elen?. Bagi laki-laki, cinta tidak hanya sekedar hati. Tidak hanya sekedar perasaan. Tapi juga harga diri”
Pelan. Namun tegas. Tak ada lagi tempat bagiku di hatinya.
Tanpa sepatah kata lagi, Evan memalingkan badannya dan beranjak pergi.
Meninggalkanku yang masih mencoba memelas dengan tangisku. Membiarkanku meratapi semuanya dengan kata penyesalan.
Bagi laki-laki, cinta tidak hanya sekedar hati. Tidak hanya sekedar perasaan. Tapi juga harga diri
Dan harga diri adalah harga mati untuk sebuah simbol maskulinitas.
*********
Malam pertunangan yang sederhana. Pertunanganku dengan Evan. Seorang laki-laki sederhana yang kukenal dengan cara yang sederhana juga. Dari awal berkenalan,hingga sampai pada titik episode pertunangan ini, telah menembuh rentang waktu selama enam tahun.
Enam tahun untuk tiga fase. Enam tahun untuk tiga episode. Dan enam tahun untukmengawali semuanya. Bukan hanya mengawali untuk senyum kebahagiaan layaknya sebuah pasangan muda yang menapaki jalan untuk menuju pelaminan. Tapi juga mengawali tangis perih untuk sekeranjang kerikil yang nantinya akan kami hadapi untuk sebuah perjalanan hidup yang bernama “pernikahan”.
“Elen, terima kasih untuk semuanya. Untuk luasnya hatimu yang masih bisa memberiku sedikit ruang.”
Aku mengangguk. Bahasa yang sederhana. Tak banyak diksi melankolik yang bisa Evan berikan untukku.
“terimakasih juga untuk cincinnya.”
Aku tersenyum ringan. Menatap cincin manis kecil yang melingkar di jari maniskiriku. Tiga bulan lagi, pernikahan kita akan dilangsungkan.
Enam tahun, bukan waktu yang pendek untuk sebuah tahap mengenal seorang Evan. Tapi, bukan juga waktu yang lama untuk mengenal seorang Evan sebagai calon pendamping hidup. Karena bagiku, meski di sisa usia yang nantinya akan kita jalani bersama pasangan hidup, selama itulah kita akan selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa tiap hari adalah kelas dengan mata pelajaran yang hampir sama. Pelajaran mengenal sifat dan karakter pasangan hidup kita.
Dua tahun pertama awal perkenalanku dengannya, tak ubahnya seperti hari-hari sebelum aku mengenal Evan. Ada atau tidak ada dia, tak penting bagiku. Evan Setiawan. Karywan baru di kantor tempatku bekerja. Tidak ada yang special dari seorang Evan. Sesosok laki-laki kalem yang apa adanya. Tak ada hal lebih yang bisa kulihat darinya. Karena, itu di mataku, dia hanya teman kantor biasa sepert laki-laki di kantorku lainnya. Tidak lebih.
Dua tahun berikutnya. Tak ada hujan, tak ada mendung, dan tak ada juga banjir. Tak ada sebab dari semuanya. Evan yang selama ini kukenal dingin, hari ini memberikan sebuah kejutan. Buah dari ruang dinginnya. Seikat bunga edelweiss tergeletakmanis di atas meja kerjaku “Selamat Ulang Tahun, Elen. Semoga panjang umur. –Evan—“
Aku tersenyum pias. Akumulasi perasaan antara heran, bingung, dan tak habis fikir .Saat kulihat, nama Evan tertera di kartu ucapan kecil yang terselit di ikatan edelweiss itu.
Sok Romantis.
Dantak perlu banyak diskripsi. Itulah awal mula karier cinta kita mulai start. Dua tahun yang seperti cinta anak SMA. Mengalir begitu saja. Tak ada tujuan. Menjalani hari dengan status bahwa Evan adalah kekasihku. Meski aku juga belum sepenuhnya mengerti. Arti kata kekasih di sini itu apa?.
Dua tahun terakhir, jika dihitung mundur dari sekarang. Evan berani bercerita lebih lanjut tentang keluarganya. Begitu juga denganku. Hanya untuk arti sebuah kata “serius”. Serius untuk menjalani hubungan lebih serius. Pada tahap yang lebih serius. Dan untuk tujuan yang serius pula. Pokoknya, inti dari semua ini adalah serius. Serius untuk melabuhkan cinta kita pada sebuah tahap yang bernama pernikahan. Yang pada akhirnya nanti, aku baru menyadari. Bahwa pernikahan bukanlah sebuah pelabuhan. Melainkan dermaga awal. Dimana kita akan mengarungi bahtera lautan yang disebut rumah tangga. Dengan segala badai godaan yang tak henti-hentinya menyapa. Yang di dalamnya hanya ada dua pilihan. Selamat atau karam di tengah perjalanan.
Dan tepat di hari ini, kedua keluarga berkumpul. Untuk merayakan pesta pertunangan kita.
“Untuk Elen sama Evan, selamat atas pertunangan kalian. Semoga semuanya berjalan lancar sampai pernikahan nanti”
Kalimat tante Ana, ibu Evan, seakan mewakili semua tamu undangan yang hadir. Memberi selamat atas pertunangan ini. Awal yang indah. Aku hanya bisa tersenyum mengaminkan.
“Oh iya, Van. Edo kakakmu sudah sampai mana? Dia akan datang malam ini kan?”
“Iya,Ma… katanya, sekitar jam 12 siang tadi baru dari bandara Seoul. Pesawatnya baru mau berangkat. Paling satu jam lagi, sampai.”
Edo Setiawan. Kakak kandung Evan semata wayang yang selama ini hanya baru ku dengar namanya dari cerita Evan. Dan kulihat fotonya yang di pajang di dinding ruang tamu rumah Evan. Foto keluarga “Setiawan”. Nama belakang yang sama diberikan pada kedua anaknya oleh Om Setiawan. Ayah Evan.
Konon ceritanya, Edo sudah lima tahun di Seoul. Dari awal mengambil gelar magister sampai lulus dan bekerja di Seoul juga. Pulang hanya jika ada acara-acara keluarga yang penting. Bahkan lebaran pun, tak ada libur baginya. Jadi, tida kbisa mudik seperti perantau lainnya.
Kalau dilihat dari fotonya, wajahnya tak beda jauh dengan Evan. Hanya sedikit lebih tinggi. Rambutnya agak ikal. Turunan dari ibunya. Tidak seperti Evan yang berambut lurus. Karena menurun ayahnya. Kulit Edo juga kelihatan lebih bersih daripada kulit sawo matangnya Evan. Kata tante Ana, kalau masalah kulit, itu hanya faktor geografis. Evan yang selama hidup tinggal di Jakarta, dan Edo yang telah lima tahun di Korea, tentu agak sedikit berbeda.
Dan….....
“Selamat Evaaannn…. Maaf, aku telat”
Seperti sebuah opera. Baru saja aku fikiranku menarasikan tentang Edo, dengan nafas yang masih memburu, dan bau parfum AC taksi yang masih menempel di bau badannya, Edo datang dan langsung memeluk tegas tubuh Eva. Pelukan hangat ala laki-laki. Pelukan keakraban dan penghargaan.
“Makasih, Bang.. kenalkan. Ini Elen. Calon istriku”
Untuk pertama kalinya. Mata Edo menatap manis.
“Edo…”
“Elen..”
Keduatangan kita saling menjabat. Kedua mata kita saling manatap. Seperti menyediakan sebuah ruang, bagi piano klasik memainkan perannya. Sedetik. Dua detik.Tiga detik. Hingga lupa, sekarang detik keberapa. Mata Edo indah bening menatapku. Atau lebih tepatnya melumpuhkanku.
Dari titik inilah, semuanya bermula.
Aku, dia dan perasaanku.
Aku, Edo, Evan, dan keegoisanku.
Bersambung......
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment