Tuesday, 12 May 2015

CERPEN : SETANGKAI CINTA ALI DAN FATIMAH


 "Ali, kalau kamu tidak segera melamarnya, bisa kupastikan Fatimah akan jadi milik orang lain…”
Suara Rangga geram melihat ekspresi mukaku seakan menyerah begitu dengan keadaan.
“Kamu mencintai Fatimah kan…????!!!”

Aku hanya mengangguk.

Hampir dua puluh tiga tahun aku mengenal Fatimah. Seorang remaja tanggung yang baru saja lulus SMA. Gadis manis anak Kak Mahmud, saudara sepupu laki-laki dari ayahku. Semenjak ayahku meninggal, Kak Mahmud memintaku untuk tinggal bersama keluarga ini. Semua biaya hidup dan pendidikanku juga Kak Mahmud yang membiayai.

Sejak aku tinggal disinilah, hari-hariku banyak kuhabiskan untuk bermain dengan Fatimah. Tidak hanya bermain. Tapi juga belajar. Fatimah yang aku kenal selama ini adalah gadis yang cerdas, sopan, shalehah, menurut pada orang tua, dan cantik tentunya. Gadis remaja yang santun dan tidak banyak bergaul dengan teman laki-laki.

Dari kecil, Kak Mahmud mendidik Fatimah dengan baik. Meski Fatimah yang aku kenal tidak banyak mempunyai teman laki-laki, tapi, bukan berarti Fatimah tidak banyak yang menyukai.

Kedudukan Kak Mahmud, ayah Fatimah sendiri adalah seorang ulama yang banyak mengisi kegiatan kajian di Masjid. Sudah tentulah Fatimah, seorang gadis yang cnatik, cerdas, sekaligus anak ulama ini banyak diincar oleh laki-laki di luar sana untuk menjadi istrinya.

“Tapi Rangga, apa aku pantas, menyimpan sebentuk perasaan cinta ini untuk Fatimah…????”


“Kenapa kamu merasa seperti itu…?”
“Siapalah aku..??? Dari kecil, aku memang mengenal Fatimah. Dari kecil, aku hidup seatap dengan Fatimah. Dari kecil, Kak Mahmud lah yang membiayai hidupku. Aku merasa tidak pantas membalas kebaikan Kak Mahmud dengan diam-diam mencintai Fatimah. Putri kesayangannya. Sedangkan aku sendiri tau, bahwa di luar sana, banyak sekali laki-laki yang jauh lebih baik dan lebih shaleh daripada aku yang juga menginginkan Fatimah sepertiku.”

Rangga menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Ali, tidak ada patokan mana yang salah dan mana yang benar dalam perasaan. Tidak ada vonis yang jelas pada perasaan. Tidak ada warna yang jelas dalam perasaan. Apalagi cinta. Menurutku, tidak ada yang berhak menyalahkan jika kamu mempunyai perasaan cinta pada Fatimah. Kamu juga tidak pernah meminta itu pada Tuhan kan?”

“Aku tau Rang,,, Tapi…….”
Rangga menepuk pundakku.
“Tapia pa Li…??? “
Wajahku terlihat pias. Ragu-ragu menjawab pertanyaan Rangga.
“Apa Fatimah juga memiliki perasaan seperti apa yang aku rasakan…???”
Aku menatap wajah Rangga dengan serius. Mencoba mencari jawaban itu. Sedangkan Rangga hanya tersenyum kecil.
“Kamu pernah menanyakan itu pada Fatimah sendiri…?”
Aku menggeleng.
“Kenapa..??”
“Karena aku tau, jawabannya adalah ‘tidak’.”
“Berarti, kamu sendiri yang mengambil keputusan untuk meng-endingkan cerita ini sampai di sini.”
Dahiku mengernyit. Tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Rangga.
“Maksudmu…???”
Rangga memegang kedua pundakku. Menatap wajahku dengan tatapan tajam. Meyakinkan.
“Kamu sudah siap menikah…?”
Aku melepaskan pegangan kedua tangan Rangga di pundakku. Mengalihkan pandagan ke arah lain. Ada sedikit ragu yang menggantung.

“Kalau kamu siap, bicara baik-baik sama Pak Mahmud. Aku kira, orang sebijak Pak Mahmud, tidak akan pernah menyalahkan perasaan cintamu pada Fatimah.”

Aku hanya tediam. Di satu sisi, aku menyetujui usul Rangga. Kesempatan masih terbentang luas. Selama ini, meski banyak kabar yang kudengar tentang banyaknya laki-laki yang membicarakan Fatimah, Tapi aku belum pernah mendengar bahwa sudah ada laki-laki yang berani melamar Fatimah. Minimal, aku sudah tahu, Fatimah belum ada yang menghitbah. Jika aku tidak segera menjemput kesempatan ini, tidak menutup kemungkinan, kesempatan ini akan segera diambil orang lain.

Tapi, sisi lain hatiku sedikit menolak usul Rangga. Bagaimana jika Kak Mahmud dan Fatimah sendiri mengira aku telah lancang dengan sikapku?. Berani menaruh perasaan cinta yang tidak semestinya pada Fatimah. Saudara yang seharusnya lebih pantas untuk kuanggap sebagai keponakan.

Mencintainya hanya sebatas saudara. Tidak lebih dari itu.
Dua sisi hatiku berebut memberi usul pada logika.
“Tapi, semua terserah padamu, Li….”

Aku masih terdiam.

“Kalau menurutku, semua keputusan itu beresiko. Tinggal bagaimana kamu berani menanggung resiko dari keputusanmu. Jika kamu berani menanggung resiko patah hati ketika Fatimah menikah dengan orang lain, ya urungkan saja niatmu untuk melamar Fatimah. Tapi, jika kamu tidak bisa menghadapi resiko itu, kuatkan tekadmu dengan menghadapi resiko yang ada, anggapan bahwa kamu tidak tau diri dengan memiliki perasaan cinta itu pada Fatimah. Dengan segenap keberanian, mintalah pada Pak Mahmud untuk bisa melamar Fatimah.”

Aku kembali menatap mata bening Rangga. Sahabat yang selalu punya ide kreatif setiap aku membutuhkan. Aku mengangguk mantap. Mengambil sebuah keputusan dengan keyakinan yang sebetulnya hanya kupaksakan.

Baiklah…!!!!
                                                                              ******
Sore yang hampir jingga. Ketika aku menemani Kak Mahmud membersihkan kebun bunga kecil di depan rumah kita.
“Tidak usah merasa grogi seperti itu. Kakak juga pernah muda. Pernah merasakan seperti apa yang kamu rasakan.”
Seulas senyum bijaksana yang kukenal dari Kak Mahmud selama ini. Meskipun aku memanggil dengan sebutan Kakak, Tapi sebetulnya usia Kak Mahmud jauh lebih tua daripada aku. Karena, Kak Mahmud adalah keponakan dari ayahku.

“Kakak mengerti perasaanmu, Li…. Tapi…..”
Gerakannya yang tadi mengayun sabit kecil membersihkan rumput, kini terhenti. Konsentrasi pada aku yang sejak tadi mematung di depannya. Wajah dan tubuhku terasa kaku. Menahan malu dan mencoba menebak. Kira-kira, jawaban apa yang akan diberikan Kak Mahmud.

“Tapi,,, dua hari lalu, Syidiq juga mengutarakan niat dan maksudnya yang sama denganmu pada Kakak. Mengajukan pinangan untuk Fatimah.”

Tubuhku yang sejak tadi mematung kaku, kini melemah seketika.
Syidiq…????

Seorang ulama teman Kak Mahmud yang sering menggantikan Kak Mahmud mengisi kajian saat Kak Mahmud berhalangan hadir. Terkadang juga menggantikan Kak Mahmud menjadi imam masjid saat Kak Mahmud sedang pergi ke luar kota.

Tulangku serasa rapuh. Hingga hampir saja tubuhku limbung meski hanya diterpa angin sepoi senja yang bertiup lirih. Rasa percaya diri dan keteguhan niat untuk melamar Fatimah seketika sirna.
Siapalah aku jika dibandingkan Mas Syidiq. Batinku memaki.

Aku tertunduk. Tidak berani menatap Kak Mahmud.
“Ali….”
Tangan Kak Mahmud pelan menyentuh bahuku. Mencoba memberikan sedikit dukungan. Matanya tajam menatap wajahku yang sejak tadi menunduk. Tapi tak sedikitpun aku berani menatap wajah lembut Kak Mahmud. Ada sedikit retak yang menyayat perih hatiku.

Aku terlambat….!!! Batinku terus menghardik.

“Ali, Kakak tau perasaanmu. Tapi cobalah untuk berkhusnudzon pada Allah. Kamu orang baik. Kakak yakin, jodohmu kelak pun orang baik. Meski mungkin bukan Fatimah.”
Aku tetap menunduk. Hatiku terlanjur perih.

“Tak selamanya, mendung selalu berakhir dengan hujan. Dan tak selamanya juga hujan selalu menjanjikan pelangi…”
Dahiku mengernyit. Kepalaku yang tadinya menunduk sekarang agak berani untuk tegak. Mengarahkan pandangan pada wajah Kak Mahmud.
Maksudnya…????
Kak Mahmud seakan mengerti maksud tatapanku.
“Syidiq hanya baru mengajukan lamaran. Semua keputusan ada di Fatimah. Karena, Fatimahlah yang akan menjalani pernikahanmya.”
“Tapi Kakak setuju…???”
Aku tau, pertanyaanku terkesan menyergap. Terburu-buru dengan luapan emosi hatiku.
Kak Mahmud hanya tersenyum kecil. Senyum yang seakan mengatakan Ali, kamu terkesan kurang dewasa.

“Aku sudah lama mengenal Syidiq. Orangnya baik.”
Kak Mahmud melepaskan tangannya yang sejak tadi berada di pundakku. Kemudian, membalikkan badan sambil tersenyum. Meninggalkan aku yang masih mamatung dengan pandangan yang masih bertanya-tanya.

Sebenarnya Kak Mahmud menerima pinangan Syidiq untuk Fatimah atau tidak?.

                                                                                  ******
Setiap malam pasti menyimpan kisahnya sendiri. Seperti malam ini. Bulan tak berani menampakkan dirinya secara penuh. Hanya mengintip di balik awan tipis. Bintang yang biasanya hadir berkerlip layaknya hiasan yang menyulam hamparan langit, kini hanya bisa dihitung dengan jari.
Aku menyandarkan tubuh di sebuah kursi rotan yang agak sedikit reot di teras rumah. Angin sepoi kecil sesekali hadir membelai wajah.

“Fatimah mana Li…???”
Suara lembut Kak Mahmud yang tiba-tiba hadir di belakangku sentak merobek lamunanku.
“Mmm… mungkin masih di masjid Kak…”
Kak Mahmud tersenyum kecil. Mengerti dengan ekspresi wajahku yang terlihat kaget dengan kehadirannya.
“Bagaimana tes wawancara kerjamu dua hari yang lalu?”
“Alhamdulillah, tadi sore sudah ada pengumuman.”
“Lalu…?”
“Ali diterima. Tapi, mungkin penempatan di luar kota.”
Kak Mahmud mengangguk kecil. Mengerti.
Lha rencananya bagaimana?. Mau diambil?”
“InsyaAllah Kak… mohon doanya saja. Sudah saatnya Ali mencari nafkah sendiri. Tidak terus-terusan menjadi beban Kak Mahmud.”
“ya… ya… ya… Sudah berapa kali Kakak bilang. Sama sekali Kakak tidak pernah merasa terbebani dengan kehadiranmu. Kakak hanya mencoba menjalankan amanah dari almarhum Ayahmu. Kapan rencana untuk berangkat?”
“rencananya minggu depan.”
“Oh,,,, ya sudah. Sebagai orang tua, Kakak hanya bisa mendoakanmu. Semoga, kamu bisa menjadi seorang anak seperti apa yang diinginkan almarhum ayahmu.”
Aku mengangguk kecil. “Terima kasih Kak…”
                                                                                       ******
Menjalani hidup di kota lain.

Hari-hari pertama sedikit agak berat. Terutama tidak adanya kehadiran sosok ayah seperti Kak Mahmud. Meskipun hanya tersenyum kecil, Kak Mahmud selalu menghadirkan kedamaian. Tutur katanya lemah lembut dan menyejukkan, cukup menjadi bahan kerinduan tersendiri bagiku. Nasehat-nasehatnya yang penuh dengan semangat, kurasakan sebuah kekuatan tersendiri untukku menjalani hidup selama ini meski tanpa ayah dan ibu kandung.

Rangga. Seorang sahabat yang selama ini selalu hadir layaknya saudara kandung. Kini masih tertinggal di kota lama. Hanya semangat dan sebuah doa yang sempat diucapkannya ketika Rangga mengantarku di terminal.

“Li,,,, semoga ini yang terbaik. Semoga, kamu mendapatkan yang lebih baik daripada Fatimah.”
Aku tersenyum kecil. Menganggukkan kepala. Sedangkan hatiku hanya bisa meng-aminkan sambil menahan perih ketika Rangga menyebut nama ‘Fatimah’.

Dan satu lagi. Fatimah yang sekarang masih tertinggal di kota lama. Melanjutkan hidup. Dan mungkin juga sedang merencanakan pernikannya dengan Syidiq. Tidak ada hal yang pantas ditolak dari seorang Syidiq. Kesalehannya tidak banyak diragukan. Bahkan beberapa kali aku mendengar Kak Mahmud menyanjung kesalehan Syidiq.

Di hari-hari terakhirku di kota lama sebelum aku berangkat, aku memang sama sekali tidak pernah mendengar Kak Mahmud menyinggung tentang pinangan Syidiq terhadap Fatimah. Padahal, biasanya, Kak Mahmud sering sekali meminta pendapatku meski untuk memutuskan hal kecil. Apalagi jika itu mengenai Fatimah. Putri kesayangannya.

Tapi, aku fikir, itu hanya sebuah sikap Kak Mahmud untuk menghormati perasaanku saja. Siapa tau, di belakangku Kak Mahmud sudah menimbang banyak hal. Siapa tau juga, sekarang Kak Mahmud telah menerima pinangan Syidiq. Bahkan juga, mungkin telah ditentukan hari pernikahannya.
Wajahku pias seketika. Beban berat, helaan nafas panjang, seakan menggantung di langit-langit kamar. Tak banyak yang bisa ku lakukan. Ikhlas menerima takdir. Itulah jalan terang yang harus kutempuh. Jika aku ingin keluar dari semua ini. Takdir bahwa cintaku pada Fatimah hanya cukup sampai di sini. Takdir bahwa Fatimah hanya digariskan menjadi adek perempuan bagiku. Tidak lebih.

Tuuuttt…
Sebuah pesan singkat masuk di handphonku. Dari Rangga.
Ali,,, Takdir tidak mungkin salah menulis. Meski kita tidak bisa membaca, esok takdir akan berkata apa. Pinangan Syidiq ditolak oleh Pak Mahmud.

Langit-langit kamar yang tadinya berat oleh gantungan beban batin dan helaan nafas panjangku, seketika berubah ringan. Ada sedikit embun yang terasa menetes tepat di ulu hatiku. Sejuk.
Kak Mahmud menolak pinangan Syidiq untuk Fatimah?. Benarkah?
Sekali lagi, kubaca ulang pesan singkat itu.
Tapi, meskipun kubaca ratusan kali, isi pesan dari Rangga itu tetap sama. Hatiku buncah seketika. Bahagia terlihar berbinar di mataku.
Kesempatanmu masih ada, Ali…

Hatiku bersenandung.

Esok, atau beberapa hari lagi, aku akan mencoba menanyakan ini pada Kak Mahmud. Kalau perlu, niatku untuk melamar Fatimah yang sempat retak dulu, bisa kuulangi lagi.
Batinku mengembang. Wajah piasku kini berubah riang. Senyum kecilku tersungging. Esok pasti ada kesempatan.
                                                                                    ******
Hampir tiga bulan aku hijrah ke kota lama. Waktu training kerjaku telah usai. Kini, aku dinyatakan telah resmi menjadi karyawan tetap di tempat kerjaku sekarang. Di akhir bulan ketiga masa trainingku ini, aku menyempatkan untuk pulang ke rumah Kak Mahmud sejenak. Ada sedikit rasa rindu yang menyeruak.

“Bagus banget Kak…. Fatimah suka.”
Aku tersenyum saat Fatimah berlenggok di depan kaca. Mematut-matut wajahnya dengan jilbab yang baru saja kubelikan khusus untuknya.
“Fatim,,, bantu ibumu dulu sana. Banyak sekali oleh-oleh dari Ali yang harus dibereskan.”
Kak Mahmud berkata pada putrinya.
“Yaaaa… Ayah…!! Fatim kan masih kangen sama Kak Ali.”
Jawabnya mencoba mengelak. Meski akhirnya Fatimah menuruti saja kata ayahnya.
Angin malam mengalun sepoi. Menelisik telinga. Memainkan ujung rambut yang sedikit tergerak. Malam yang kurindukan setelah tiga bulan pergi ke kota baru untuk mengadu nasib. Akhirnya, aku mempunyai kesempatan untuk sejenak kembali. Meski hanya dua hari liburan di rumah Kak Mahmud. Rumah yang mengajariku tentang kehidupan.
“Bagaimana kerjaanmu Li…?”
Kak Mahmud memecah kebisuan yang sejak tadi menyekap kita. Fatimah sedang ada di belakang. Membantu ibunya membereskan oleh-oleh yang kubawa.
“Alhamdulillah Kak,,, sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan.”
Kak Mahmud mengangguk-angguk kecil.
“Kak… beberapa minggu yang lalu, Ali dapat berita dari Rangga. Kalau Kak Mahmud menolak lamaran dari Syidiq untuk Fatimah.”
Dengan sedikit keberanian, aku mencoba bertanya masalah itu pada Kak Mahmud. Dan seperti yang kukira. Kak Mahmud hanya menanggapi pertanyaan itu dengan senyuman kecil. Lama tidak ada jawaban. Aku tidak berani bertanya lagi.
Kak Mahmud menyeruput secangkir kopi yang telah disediakan istrinya. Kemudian, Pelan menghela nafas panjang. Dan menghembuskannya secara perlahan.
“Rangga tidak bohong. Berita itu memang benar. Fatimah sendiri yang menolak. Kakak hanya menyetujui keputusan Fatimah.”
Aku tersenyum kecil. Masih ada kesempatan. Fikirku singkat.
“Tapi,…..”
“Tapi kenapa Kak..???” Wajahku mendadak tegang.
“Baru seminggu yang lalu, ada seorang pemuda yang juga mengajukan lamaran utnuk Fatimah. Namanya Umar.”
Wajahku bertambah tegang. Raut mukaku serius menunggu penjelasan Kak Mahmud selanjutnya.
“U..U…Umar kakak kelasku di kampus…???” Tanyaku sedikit tegang.
Kak Mahmud mengangguk pelan. Iya.

Aku menyandarkan punggung di sandaran kursi. Untuk yang kedua kali, aku terlambat.
Kutatap langit malam dengan tatapan hambar. Malam yang seharusnya indah. Bulan sabit menggantung kecil di hamparan langit. Bintang gemintang seakan mewarnai sulaman langit yang terlihat gagah.


Ingin rasanya aku meyakinkan diriku. Bahwa apa yang kudengar dari Kak Mahmud baru saja hanyalah sebuah guyonan. Tapi, sepertinya ini memang serius. Syaifudin Umar. Kakak kelas dua tingkat di kampusku dulu. Seorang mahasiswa yang kukenal aktif di berbagai organisasi. Mahasiswa lulusan terbaik seangkatannya yang sempat menjadi presiden BEM. Ketua rohis universitas yang banyak menorehkan prestasi hampir di segala bidang. Mahasiswa yang terkenal pemberani. Lantang dalam berorasi saat kegiatan aksi berlangsung. Baik di dalam kampus maupun di luar lingkungan kampus.

Bahkan, dari perantara aku lah, umar mengenal Fatimah. Masih ingat dua tahun yang lalu. Ketika Umar secara tidak sengaja bertemu Fatimah saat aku mengajak Umar bermain ke rumah Kak Mahmud seusai kuliah. Sempat beberapa kali Umar bertanya tentang Fatimah. Tapi, sedikitpun aku tidak pernah menaruh curiga. Tidak pernah terbersit di fikiranku sedikitpun. Bahwa Umar juga mempunyai niatan yang sama denganku. Sama-sama menginginkan Fatimah.

“Aku tau perasaanmu, Ali….”
Untuk kesekian kali, Kak Mahmud mencoba membesarkan hatiku. Sedangkan aku sendiri hanya bisa terdiam.
“Ali,,, masih ingat kalimat Kakak dulu kan..???”
Dahiku mengernyit. Mencoba mengingat-ingat nasehat Kak Mahmud yang mana yang dimaksud barusan.
“Tak selamanya, mendung selalu berakhir dengan hujan. Dan tak selamanya juga hujan selalu menjanjikan pelangi…”
Setelah Kak Mahmud mengucapkan kalimat itu, Kak Mahmud beranjak dari duduknya. Meninggalkanku yang masih mematung dengan berbagai pertanyaan yang berkecamuk di otak.
Apa maksud kalimat itu?
                                                                                         ******
Dua hari kulewatkan di kota lama. Berharap liburanku kali ini memberikan secercah harapan perasaanku pada Fatimah. Berharap, kuncup yang sempat terenggut itu, bisa sedikit mekar. Tapi, harapan itu sekarang hanyalah sebuah cerita fiksi belaka. Cerita fiksi dimana aku menjadi penulisnya. Terserah aku mau menulis jalan cerita itu seperti apa. Bahkan meng-endingkan cerita itu sekehendak hatiku. Mengakhiri semua ini dengan mempersunting Fatimah.

Tapi, sayang…!!!. Ini adalah cerita nyata. Takdir yang telah digelar Allah. Tidak mungkin untuk ditarik lagi. Jika pinangan Syidiq terhadap Fatimah dulu hanya sekedar membuat hatiku retak, pinangan Umar terhadap Fatimah kali ini cukup membuat hatiku patah.

“tenang Ali,,, Fatimah tidak tahu perasaanmu padanya. Kakak Janji. Akan menjaga rahasia ini.”
Kalimat terkhir dari Kak Mahmud ketika mengantarku di terminal beberapa hari yang lalu. Kembali aku meninggalkan kota lama itu dengan hati yang perih. Syukurlah, jika Fatimah tidak tahu tentang perasaanku padanya.
                                                                                          ******
Hari berjalan menyusun minggu. Minggu menyatu menggenapkan bulan. Sudah hampir tiga bulan sejak kepulanganku dari kota lama. Aku lebih suka menenggelamkan diri dalam kesibukan bekerja. Sedikit demi sedikit mengikis bayangan Fatimah yang sesekali masih sering datang. Dari bayangan-bayangan ketika kecil kami sering bermain bersama. Sampai sebuah bayangan bahwa senyum Fatimah tersungging cantik saat bersanding dengan Umar di pelaminan.

Entah kenapa, sampai sekarang Fatimah tidak pernah cerita padaku tentang Syidiq dan Umar yang sempat menyampaikan niat pinangan padanya. Padahal, sejak kecil, Fatimah selalu antusias untuk menceritakan semuanya padaku. Bahkan sebelum Fatimah bercerita pada ayahnya tentang sesuatu yang dialami. Fatimah selalu menceritakan semuanya dahulu padaku.

Tapi, sudahlah…!!! Bukankah itu malah lebih baik untukku?. Hatiku tidak perlu menahan perih yang lebih dalam dengan mendengar semua curhat-curhat Fatimah tentang Syidiq dan Umar. Mungkin Fatimah merasa, ini hanyalah sebuah urusan intern di keluarga intinya. Tidak perlu untuk melibatkan aku.
“Tok… tok… tok…. Mas Ali,,, ada tamu mencari Mas Ali di luar…”
Suara ibu kos tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
“Siapa Bu…???”
“Namanya Pak Mahmud. Katanya sepupumu.”
Kak Mahmud..??? Ada keperluan sepenting apakah hingga perlu menemuiku di sini?.
“Oh iya Bu… minta tolong tunggu sebentar..”
Hatiku masih diliputi segudang tanda tanya. Ketika aku bergegas keluar untuk menemui Kak Mahmud di ruang tamu rumah kontrakanku. Tapi, aku segera menepis segala fikiran burukku saat malihat senyum kecil dan wajah teduh Kak Mahmud menyambut. Ada kerinduan yang tiba-tiba menyeruak.

“Kok Kakak tidak memberitahu dulu kalau mau ke sini?. Ada keperluan apa?”
Sapaku setelah mnegucap salam dan mencium tangannya seperti biasa.
“Cuma main. Tadi pagi ada acara mengisi ceramah di daerah dekat sini. Acaranya mendadak. Kakak hanya menggantikan teman yang tiba-tiba harus absen untuk mengisi kajian di sini. Sekalian saja main ke sini. Kakak kangen padamu.”
Aku hanya bisa tersenyum kecil menanggapi jawaban Kak Mahmud. Ingin rasanya menumpahkan Kerinduan pada Kak Mahmud yang selama ini terpendam’
“Fatimah tidak ikut?”
Hanya sekedar pertanyaan basa-basi.
Kak Mahmud menggeleng. Tersenyum kecil.
“Tidak. Menemani ibunya di rumah.”
“Umar…????”
Eh,,, aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Kenapa pertanyaan itu tiba-tiba muncul begitu saja?. Tapi, mau gimana lagi?. Pertanyaan itu sudah terlanjur keluar. Dan Kak Mahmud juga sudah terlanjur mendengarnya. Jadi, tidak mungkin untuk kutarik lagi.
“Tak selamanya, mendung selalu berakhir dengan hujan. Dan tak selamanya juga hujan selalu menjanjikan pelangi…”
 Satu kalimat yang menjadi teka-teki bagiku. Kini kembali dari lisan Kak Mahmud.
“Maksud Kakak…???”
“Coba kamu artikan sendiri.” Jawabnya ringan.
“Ada hubungannya dengan Fatimah?”
Pertanyaanku terkesan memburu. Tapi, tak apalah. Aku pikir, Kak Mahmud cukup bijak untuk memahami semua ini.
“Fatimah tidak memberikan jawaban tentang lamaran Umar padanya. Tapi, Kakak cukup tau apa yang di inginkan Fatimah.”

“Jadi, Fatimah hanya diam?”
Kak Mahmud hanya mengangguk.
“Kak Mahmud berarti setuju dengan Umar…???”
Kak Mahmud juga hanya mengangguk.
Kali ini, hatiku benar-benar patah. Bisa kutangkap maksud anggukan Kak Mahmud. Jika Fatimah diam dan Kak Mahmud juga setuju, berarti, sudah ada kata sepakat antara Umar dan Fatimah.
“Tapi, Kakak tidak menerima lamaran Umar.”
Wajahku yang tadinya menunduk, langsung tegak menatap mata Kak Mahmud. Tidak mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan Kak Mahmud.
Tidak menerima?. Apa maksudnya?
Sedangkan Kak Mahmud seperti biasa. Tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Seakan menertawakan wajahku yang terlihat pias.
“Ali,,, Jika Fatimah hanya diam, dan aku setuju, bukan berarti, ada penerimaan kan?.”
“Tapi Kak….”
“Sudahlah Ali…. Suatu saat kamu akan tau jawabannya. Yang pasti, sekarang aku ataupun Fatimah sendiri tidak menerima lamaran Umar untuk Fatimah.”

Aku menelangkupkan kedua telapak tanganku pada wajah. Menutupi mimik mukaku yang membiaskan rasa syukur. Hatiku yang tadinya teramat patah, rasanya tertambal kembali. Seperti kepingan-kepingan puzzle yang tadinya tercerai berai, kini telah menyatu lagi. Membentuk motif sebuah harapan. Harapan bahwa Fatimah adalah tulang rusukku yang pernah terputus. Dan suatu saat tulang rusuk itu akan menyatu lagi padaku.
                                                                                ******
Menjalani kehidupan di kota baru, adalah bentangan waktu yang terasa berjalan semakin cepat. Pekerjaan kantor dan adaptasi dengan lingkungan, mengharuskanku untuk cepat dalam melangkah. Tidak terasa, hampir satu tahun aku berada di sini. Sesekali, aku masih sering pulang ke rumah Kak Mahmud untuk sekedar menengok mereka. Setelah ayah dan ibuku meninggal, hanya keluarga Kak Mahmudlah yang kumiliki.

Hal yang paling menyenangkan ketika pulang adalah melihat keriangan Fatimah saat menerima oleh-oleh dariku. Fatimah telah tumbuh dewasa. Meski terkadang, sisa-sisa kemanjaan masa kecilnya masih sering terlihat. Entah kenapa, samapai sekarang, aku belum berani untuk menghitbah Fatimah secara terang-terangan. Meski sebenarnya, Kak Mahmud sendiri sudah tau tentang perasaanku pada Fatimah.

Sejak penolakan lamaran dari Umar, aku tidak pernah lagi mendengar Fatimah di khitbah laki-laki lain. Aku hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk segera melamar Fatimah.
“Melamun saja Li…???” Suara Usman mengagetkanku.
“Eh,, ???“
 Aku tersenyum ganjil. Salah tingkah melihat Usman menangkap basah aku saat melamun. Usman adalah salah satu tetangga Kak Mahmud yang kebetulan, baru tiga bulan ini bekerja di tempat yang sama denganku.
Dengan santainya, Usman duduk di sampingku saat istirahat siang di kantor. Tidak sengaja, mataku menatap sebuah buku yang sedang di bawanya. Judul buku yang cukup menarik. KADO PERNIKAHAN UNTUK ISTRIKU. Dahiku mengernyit. Penasaran dengan buku yang ada di tangannya.
“Bagus juga bukunya. Persiapan mau nikah ya..??” Godaku dengan senyum nakal.
“Oh..? Eh,,, hanya sedikit persiapan.”
Jawabnya santai sambil berusaha menyembunyikan raut mukanya yang terlihat kaget.
“Sudah ada rencana menikah…??”
“Baru mengkhitbah. Doakan diterima.”
Aku mengangguk. Lalu tersenyum.
Dengan sikap yang begitu bersahabat, Usman menepuk pundak kiriku.
“Teman, sepertinya kita akan menjadi saudara ipar.”
Aku menoleh. Lekat menatap wajahnya dengan tatapan heran dan sedikit tidak mengerti.
“Pak Mahmud belum cerita padamu ya?”
Aku menggeleng. Belum.
“Sebenarnya, dari dulu aku mencintainya. Dan begitu berharap dia akan bersedia menjadi pendampingku kelak.”
Ada sedikit perasaan agak tidak enak yang tiba-tiba menyergap perasaanku.
“Iya Ali…. Dia adalah Fatimah. Keponakanmu. Anaknya Pak Mahmud.”

Matahari di luar sana bersinar teramat terik. Tapi entah mengapa, aku merasakan ada sekawanan mendung pekat yang tiba-tiba mengungkungku. Halilintar yang menyambar terasa merobek-robek lembutnya langit. Tidak hanya Syidiq dan Umar. Usman pun ternyata begitu menginginkan Fatimah. Dan untuk yang kesekian kalinya, aku terlambat lagi.

Palan, aku mengutuk diriku sendiri. Seharusnya aku belajar dari peristiwa Syidiq dan Umar. Dua kali terlambat. Dan dua kali kembali mendapat kesempatan. Tapi, aku tidak cukup berani untuk segera mengutarakan niat dan maksudku secara jelas.

Dan sekarang,,,, perih tidak hanya sekedar mematahkan ataupun meretakkan hatiku. Tapi benar-benar menghancurluluhkan perasaanku. Usman yang terlihat amat dewasa, bagiku cukup pantas jika bersanding dengan Fatimah. Tak hanya sekali. Dulu, aku sering mendengar bahwa Kak Mahmud begitu bangga dengan Usman. Seorang pemuda yang berhasil membawa kemajuan bagi kampong kami. Pemuda dengan segudang aktivitas di karang taruna. Pernah juga beberapa kali mendapat amanah untuk menjadi ketua remaja masjid di masjid daerah kami.

Tubuhku lemas seketika.
Ya Allah,,, beginikah cara-Mu untuk mengajariku artu kata keikhlasan? Beginikah cara-Mu untuk mengajariku tentang kata kesabaran?. Dan beginikah cara-Mu untuk mengajariku tentang arti kata cinta yang sebenarnya?.
                                                                                   ******
Cerita tentang Fatimah memang harus segera kututup. Tidak ada lagi harapan. Tidak ada lagi kesempatan. Mungkin, Allah memang menakdirkanku cukup sebagai saudara. Tidak lebih. Tadi siang di kantor, aku hanya bisa menjadi pendengar yang baik bagi cerita Usman tentang Fatimah. Sesekali, aku hanya bisa tersenyum menanggapi ceritanya yang terkadang terlalu bersemangat. Harus kuakui, cinta Usman terhadap Fatimah memang begitu besar. Dan mungkin, rasa cintaku terhadap Fatimah tidak seberapa jika dibandingkan cinta Usaman terhadap Fatimah.

Malam ini, kututup mendung hatiku dengan menenggelamkan diri dalam lantunan ayat-ayat Alqur’an. Sudah saatnya kukembalikan cinta ini pada-Nya. Kutitipkan akhir cerita ini pada sang penulis takdir.

Sebuah pesan singkat masuk di handphoneku. Dari Kak Mahmud.
Ali,,, pulanglah..!!! ada sesuatu yang ingin Kakak bicarakan padamu.
Mataku tertegun saat membaca pesan singkat dari Kak Mahmud.
Ada sesuatu? Tapi apa?
Tidak ada pilihan lain. Aku harus menyempatkan waktu untuk pulang.
                                                                                     ******
Malam kesekian, ketika Allah masih memberiku kesempatan untuk hidup. Serta kesempatan untuk mensyukuri nikmat-nikmat yang terkadang diberikan-Nya tanpa kuminta.

Langit malam terlihat jelas. Bintang gemerlap, elok saling berlomba memamerkan keindahannya. Purnama sempurna membulat. Bulan Seakan sengaja di letakkan di tengah untuk menambah indahnya sulaman langit malam ini.

Sekian tahun hidup satu atau dengan Fatimah, baru kali ini aku melihat Fatimah dengan segala kesempurnaan yang diciptakan Allah untuknya. Sekian tahun tinggal serumah dengan Fatimah, baru kali ini aku bisa memasuki kamar pribadinya. Wajah Fatimah terlihat memerah. Diam menahan malu. Sedangkan aku sendiri duduk kaku di pojok kamar. Diam-diam memperhatikan sendu wajah Fatimah yang teramat indah untuk hiasan di malam ini. Jauh lebih indah daripada bulan yang sempurna purnama di atas sana.

Malam yang bagiku dulu hanya sebuah mimpi.
Malam pengantinku dengan Fatimah.
“Kak Ali,,, Kakak tau ga?, dulu Fatimah sebenarnya telah menyukai seorang laki-laki. Fatimah sukaaaa…. Sekali. Tapi, Fatimah malu untuk mengungkapkannya.”
Senyumku yang sejak tadi tersungging, kini tiba-tiba meredup seketika. Tak dapat kupungkiri, ada aroma cemburu yang mungkin tercium oleh Fatimah. Tapi, sebaik mungkin untuk kusembunyikan di hadapannya.
“Mmmm… ka… kalau boleh tau, siapakah laki-laki yang bisa mengambil hati Fatimah?. Aku fikir, laki-laki itu teramat beruntung.”
Sebuah pertanyaan yang kurasa terlalu kaku untuk kutanyakan di malam pernikahan kita. Sedangkan aku sekarang telah resmi menyandang status sebagai suami Fatimah.
Fatimah tersenyum geli. Seakan mengerti dengan apa yang kurasakan.
“Dan laki-laki yang beruntung itu, sekarang sedang berada di hadapan Fatimah.”

Sepertinya, sejuta bintang di langit atas, sekarang berduyun-duyun pindah ke kamar ini. Bunga setaman enggan mekar di luar sana. Mereka hanya ingin mengepakkan mahkota keindahannya di kamar ini. Entah dengan apa aku harus melukiskan apa yang sedang kurasa sekarang. Yang pasti, hanya sebuah kalimat cukup untuk mewakilkan.
Maka, nikmat tuhanmu yang manakah yang akan kamu dustakan?

Tirai kamar tertutup. Sempurna merayakan keindahan malam yang tak akan pernah kulupakan seumur hidup.

                                                                               ******
“Wajah pengantin baru yang merah… “
Senyum Kak Mahmud menyapa menggodaku saat sarapan pagi ini. Aku membalasnya dengan senyum kecil Yang agak malu-malu.
“Inilah yang aku maksudkan. Tak selamanya, mendung selalu berakhir dengan hujan. Dan tak selamanya juga, hujan selalu menjanjikan pelangi. Hanya Allah yang tau, esok akan terjadi apa.”
Jelas Kak Mahmud sambil sedikit menyeruput kopi yang disediakan istrinya.
“Dari dulu, meski Fatimah tidak pernah bercerita padaku tentang perasaannya, aku tau, Fatimah sangat menyukaimu. Dia menyimpan perasaan padamu dengan begitu rapat di sudut hatinya.”
Oh..?? Ternyata…?? Mataku berbinar terang.
“Karena itu, aku tidak menerima pinangan Syidiq, Umar maupun Usman untuk Fatimah. Karena aku tau, Fatimah teramat menyukaimu. Meski tidak pernah terkatakan.”
Fatimah yang tidak sengaja mendengar pembicaraan kita, terlihat semu memerah.

Sepertinya, memang tidak ada yang sederhana jika menyangkut masalah cinta.


Diinspirasi dari cerita cinta Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra

No comments:

Post a Comment