Tuesday, 12 May 2015
CERBUNG : SUJUD CINTAKU DI MIHRAB TAAT (13)
……. Cinta bukanlah sebuah dependensi. Melainkan sebuah keutuhan yang terbagi –Dewi Lestari-- …….
Jika bisa dideskripsikan, entah sebesar apa kekuatan cinta itu berwujud. Jika seorang Julius Caesar dan Agustinus yang gagah perkasa tak berdaya di bawah tekanan cintanya terhada Cleopatra. Jika Adolf Hitler yang dianggap penjahat perang dengan rezim Nazinya tega membunuh orang-orang Yahudi pun sering tertunduk diam dan tidak berani menyahut saat bersitegang dengan Eva Braun, Istrinya.
Pun apabila Napoleon Bonaparte rela mengorbankan popularitasnya demi cintanya pada Margareth Yoseppian. Jika Senator Garry Hart dari partai demokrat di AS terpental dari pencalonan kursi kepresidenan karena cintanya pada Donna Rice. Jalaluddin Ar-Rummi rela menghambakan diri demi cintanya pada tuhannya. Atau bahkan, seorang Adam yang telah diberi hak oleh tuhan untuk menempati surga, berani mendekati buah terlarang atas permintaan Hawa yang semua itu tetap mengatasnamakan cinta.
Sekarang, di rumahku, Edo dan Evan, dua putra kandungku yang sangat kucintai harus rela menjadi bukti bahwa kekuatan cinta itu seperti pisau. Saat kita memegangnya erat-erat, dia akan berbalik menjadi melukai.
“Ma…”
Reflek aku langsung menutup buku harianku. Mas Setiawan suamiku tiba-tiba membuka pintu kamar dan masuk tanpa mau menengetuk pintu dahulu membuatku kaget. Menulis buku harian adalah hobiku sejak kecil. Semua orang yang dekat padaku pasti tau itu. Termasuk suami dan anak-anakku. Namun, tak dapat dipungkiri terkadang aku malu juga ketika ada yang sengaja membaca buku harianku. Karena itu, meski Mas Setiawan adalah orang terdekatku setelah aku menikah, dia masih menjaga hal privacyku tersebut. Tak mau membuka. Apalagi membaca. Tapi, apapun yang terjadi, meski aku telah mendapat jaminan itu, tidak serta merta aku meletakkan begitu saja buku harianku. Di kamar, Mas Setiawan memberiku laci khusus yang steril dari jamahan tangannya. Dengan kunci yang hanya aku sendiri yang punya hak untuk memegangnya. Di situlah aku meletakkan buku harianku. Hanya buku harian. Bukan barang lain. Karena, hanya hal itu ranah pribadiku. Selebihnya, aku memperbolehkan Mas Setiawan mengetahuinya.
“Mas Herman dan Mbak Heny sudah pulang Pa?”
Masih dengan wajah sisa kepanikan, aku mencoba untuk menguasai situasi.
“Baru saja.”
“Edo sama Evan?”
“Edo masuk ke kamar. Evan minta izin keluar sebentar. Katanya mau menenangkan diri.”
Aku menggigit bibir bawah. Tuhan, apa yang akan dilakukan bungsu tercintaku di luar?.
Aku bangkit. Memandang wajah kusut suamiku meski dengan senyum kecil yang terkesan dipaksakan, masih selalu mencoba mengatakan ‘semua baik-baik saja’.
“Maafkan sikap Mama tadi, Pa… Mama tau. Sikap pergi begitu saja tidak baik. Tapi Mama benar-benar tidak kuat melihat semuanya. Edo… Evan….”
Dadaku terasa sesak. Mataku terasa panas. Ibu mana yang sanggup menahan tangis melihat buah hati yang sama-sama dicintai merasa terluka. Merasa sakit. Memang, Edo dan Evan adalah laki-laki. Mungkin tidak akan serapuh perempuan. Tapi, tak dapat dipungkiri luka itu akan tetap ada.
Mas Setiawan memegang pundakku. Merengkuh tubuhku dalam pelukannya. Sebuah pelukan yang kusuka darinya sejak dulu. Pelukan yang mendamaikan. Pelukan yang meski terkadang tidak membuat airmataku terhenti, namun bisa membuat bebanku terasa terkurangi. Andaikan perempuan yang dicintai Edo bukan Elen, calon istri dari Evan, mungkin akan menjadi suatu hal yang membahagiakan bagiku. Edo akan segera menyusul Evan untuk menikah.
“Papa mengerti. Mungkin ketika Papa menjadi Mama, akan bersikap seperti itu.”
“Terus, keputusan dari pertemuan tadi apa?”
Mas Setiawan mengangkat bahu.
“Tidak ada keputusan. Belum ada solusi. Baik Evan, Edo maupun Elen sendiri masih kekeh dengan perasaan dan egonya masing-masing.”
Sudah kuduga. Cinta memang seperti batu karang yang kuat dan tak mudah teruntuhkan oleh apapun. Termasuk manusia seintelek dan sedewasa Edo. Logika yang terlumpuhkan. Dan kedewasaan yang terapuhkan. Mungkin benar. Dewasa dalam hal cinta, bukan hanya berarti pandai merelakan akan sesuatu hal terjadi begitu saja. Namun, dewasa dengan dapat cerdas dan bijak mencari solusi terbaik dalam kehidupan cintanya.
Aku melepaskan pelukan Mas Setiawan dan berbalik menuju keluar kamar.
“Mau kemana Ma?”
“Ke kamar Edo.”
Mas Setiawan mengangguk. Mempersilahkan.
Lampu kamar Edo terlihat menyala. Entah apa yang dilakukannya di dalam.
“Do.. ini Mama. Buka pintunya, Sayang.”
Pelan, aku mengetuk kamar Edo dan memanggilnya. Tak lama kemudian, Edo membuka pintu dengan wajah yang tetap dipaksakan untuk tersenyum.
“Udah tidur?”
Edo menggeleng malas, dengan senyum yang masih tetap terlihat mencoba dipaksakan.
“Boleh Mama bicara sebentar?”
Edo mengangguk sambil membuka lebar-lebar pintu kamarnya. Mempersilakanku untuk masuk.
Aku duduk di tepi tempat tidur. Sedangkan Edo menarik kursi, dan duduk di kursi tepat di depanku. Hal seperti inilah yang selalu mengingatkanku pada saat Edo masih kecil. Mengerti bagaiman aharus bersikap ketika aku ingin menasehatinya. Mendengarkan sebaik mungkin sampai aku selesai berbicara tanpa membantah sedikitpun.
“Do.. sebelumnya, maafkan sikap Mama tadi. Yang tiba-tiba harus pergi meninggalkan kalian tanpa pamit.”
Edo mengangguk.
“Iya, Ma.. Edo ngerti.”
“Do….” Aku membenahi posisi duduk. Menatap lamat-lamat wajah putra sulungku. Tekstur wajah kedewasaan yang selam aini kulihat, kali ini tampaknya sedikit memudar. Ada sedikit mendung egoisme yang menggantung.
“Boleh Mama tanya sesuatu?”
Edo mengangguk lemah dengan wajah yang sejak tadi tertunduk.
“Apa alasan Edo mencintai Elen?”
Sedetik, dua detik, tiga detik, aku menanti jawabannya. Hingga detik selanjutnya, Edo masih terdiam. Masih menunduk. Dan sepertinya memang tidak mau menanggapi pertanyaanku.
Aku masih menunggu. Meski akhirnya Edo hanya menjawabnya dengan gelengan kepala. Aku tidak tau pasti. Apa arti dari gelengan kepalanya tersebut.
“Entahlah Ma.. Edo juga tidak tau alasannya. Semua seperti datang begitu saja. Jika cinta itu seperti sebuah makhluk, sepertinya dia sudah lama mengintai Edo. Mendekati. Mengendap-ngendap. Hingga akhirnya menyergap tanpa memberi kesempatan untuk bisa melepaskan diri.”
Aku menelan ludah saat menatap Edo ketika mengalihkan pandangan, mendongak ke langit-langit kamar. Ada sebiji jagung cairan bening di sudut matanya yang sebisa mungkin untuk dia tahan. Terlihat sekali dia menggigit bibir bawah erat-erat. Mencoba sekuat tenaga agar tidakmenangis.
Seperti ada bara api panas yang sengaja diletakkan di dadaku. Seorang ibu mungkin bisa kuat tidak menagis ketika lapar menguasai perut. Ketika dompet tak terisi uang. Ketika tak ada uang, tiba-tiba tukang kredit datang menagih hutang. Tapi, seorang ibu tidak akan pernah bisa menahan tangis ketika melihat buah hatinya terluka. Ketika putra tersayangnya terlihat mencoba menahan tangis. Atau menangis bisu tanpa isak.
“Menangislah, Nak.. tuhan menciptakan air mata tidak hanya untuk wanita saja.”
Edo menyeka air matanya sebelum gumpalan bening itu terjatuh dan mengaliri pipi.
“Ma.. tolong jangan pernah meminta Edo untuk bisa berempati. Merasakan apa yang dirasakan Evan sekarang. Karena, tanpa diminta pun, sejak awal Edo sudah bisa merasakannya. Tapi, apakah Evan bisa dan mau berempati juga?. Merasakan bagaimana perasaan Edo. Merasakan apa yang sekarang Edo rasakan.?”
“Do.. dengar Mama..! Tidak ada sebuah cinta yang tanpa alasan. Kamu tidak akan pernah bisa begitu saja mencintai gadis gila yang telanjang di pinggir jalan. Akan selalu ada alasan yang menyertai. Cinta adalah sebuah akibat yang akan selalu didahului oleh sebab. Dan sebab inilah yang akan menjadikan sebuah alasan. Sebab yang fana akan mengakibatkan cinta yang rapuh. Sedangkan sebab yang abadi, akanmengakibatkan cinta yang abadi pula. Dan tidak ada satupun yang abadi di dunia ini selain tuhan maha kuasa yang tak akan rapuh oleh apapun.”
Edo masih terdiam. Mencoba mendengarkan sebaik mungkin. Sama seperti ketika dia masih kecil. Mendengarkan .Menurut. Tanpa ada sikap memotong sedikitpun.
“Cinta Edo pada Elen amat besar. Begitupun sebaliknya.”
“Sebesar apa? dan diukur dengan parameter apa?”
Edo terdiam. Entah tak ada jawaban atau justru malah dia merasa terhakimi.
“Do, menurut Mama, cinta itu tidak besar. Cinta itu juga tidak kecil. Cinta itu akan selalu cukup.”
Aku tau, statementku yang baru saja tak ada hubungannya dengan tujuan aku menemui Edo dan berbicara dari hati ke hati saat ini. Aku hanya mencoba aga rEdo tidak terus menerus memberikan pemakluman pada dirinya tentang cintanya pada Elen yang jelas-jelas tidak diletakkan pada tempatnya.
“Lepaskan Elen, Do..!”
Edo menggeleng.
“Elen juga mencintai Edo.”
“Itu karena kamu memberi ruang untuknya. Memberi kesempatan padanya.”
“Edo ga bisa, Ma. Edo mencintai Elen.”
Akhirnya, setitik air matanya jatuh.
“Hakekat cinta sejati itu melepaskan. Liat Mama..! Mama mencintaimu. Benar-benar mencintaimu. Tapi, apakah Mama bersikeras mengikatmu untuk selalu ada di samping Mama?. Tidak. Mama merelakanmu pergi ke Seoul. Ke Amsterdam. Meski jika boleh jujur, hati Mama juga menangis saat melepasmu di bandara. Itulah cinta, Nak…! Bukan keegoisan. Mama pernah bilang ini padamu. Hanya padamu. Tidak pernah pada Evan. Karena dari dulu Mama tau, kamu lebih bisa memahaminya daripada Evan.”
Edo bangkit dari duduknya. Menyeka segumpal air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Menuju balkon dengan pandangan lurus menatap langit lepas.
“Ma.. Jika cinta bisa memilih, Edo akan memilih untuk tidak jatuh cinta.”
“Do, jatuh cinta bukanlah sebuah pilihan. Dia hanya kesempatan. Sedangkan apakah kamu akan membiarkan hati dan perasaanmu tersebut untuk mengikutinya tau tidak, itu baru sebuah pilihan. Bertemu dengan Elen, tertarik padanya, hingga kamu merasa jatuh cinta padanya, itu hanya sebentuk kesempatan. Namun, apakah kamu akan menuruti perasaanmu, mengingkari segala kenyataan yang ada bahwa Elen telah menjadi milik Evan, itulah sebuah pilihan. Mama minta, cobalah kamu untuk berdamai dengan hatimu. Berdamai dengan kenyataan. Memang benar. Elen adalah segala tentang yang kamu inginkan selama ini. Kamu cari selama ini. Namun pahamilah. Bahwa Elen sekaligus sesuatu yang tidak bisa kamu miliki.”
Edo masih diam. Dan akupun mengikuti sikapnya. Diam hingga menunggu dia menjawab semuanya.
“Edo belum bisa, Ma.”
“Kalau kamu belum bisa, tidak usah dipaksa malam ini. Fikirkan baik-baik kalimat Mama tadi. Cobalah mulai malam ini kamu jangan berfikir tentang Elen lagi.”
“Sekalipun Edo berjuang keras untuk tidak memikirkannya, tapi tetap saja Edo harus berjuang keras untuk melupakannya.”
Aku menelan ludah. Tidak menyangka Edo akan memberi jawaban seperti ini.
“Ya sudah. Kamu fikirkan dengan lebih dewasa lagi. Mama keluar dulu. Selamat malam, sayang…”
Aku membalikkan badan hendak keluardari kamar Edo. Namun Edo masih tetap tidak mau menengok ke arahku. Tatapannya masih berada di luar jendela balkon kamarnya.
Baru beberapa langkah aku berjalan, Edo berteriak.
“Aku tetap akan mencintai, Elen Ma.Tidak boleh ada yang merenggut Elen dari Edo”
Langkahku sejenak terhenti.Tersenyum kecut meski tanpa sedikitpun menoleh
Tidak pernah ada yang terenggut. Semua orang punya keajaiban cintanya masing-masing.
Aku meneruskan langkahku. Meninggalkan Edo dengan segala kerumitan perasaannya malam ini.
Bersambung..................
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment