Tuesday, 12 May 2015

CERPEN : BENING CINTA DI HATI SALMAN


“Melamun apa Sal????” Suara Mas Fauzan tiba-tiba mengagetkanku.
Aku hanya bisa tersenyum menanggapi tepukan tangannya di lenganku.
“Kangen keluargamu di rumah?”
Sekali lagi aku hanya bisa tersenyum kecil mendengar pertanyaan Mas Fauzan.
“Atau, kamu kangen sama kekasihmu di Jakarta? Hehehe….”
“Mas Fauzan ini ada-ada saja.” Akhirnya aku angkat bicara juga.
“Aku kan belum punya istri Mas,,,”
“Yah….. Kali saja kamu punya kekasih semacam ‘pacar’ di Jakarta”
“Hehehehe… memang islam memperbolehkan kita pacaran ???????” Kilahku menanggapi godaan Mas Fauzan.
“Siapa bilang ndak boleh??? Menurutku boleh-boleh saja. Tapi pacarannya setelah nikah. Hehehehe…”


            Begitulah Mas Fauzan. Sosok sahabat sekaligus saudara yang begitu hangat bagiku. Umurnya terpaut dua tahun di atasku, dan belum menikah. Semenjak kepindahanku di Semarang ini, dialah yang paling dekat denganku. Kita satu kantor dalam naungan tempat kerja di instansi Departemen Keuangan. Tadinya kantorku ada di tempat kelahiranku, Jakarta. Tapi, karena keputusan dari Departemen Keuangan sendiri, aku dipindahtugaskan di sebuah kota kecil ibu kota Jawa Tengah, Semarang. Sejak pertama di Semarang, aku langsung akrab dengan Mas Fauzan. Karena begitu akrabnya, aku sudah menganggapnya sebagai kakak kandung sendiri.
            Di mataku, Mas Fauzan begitu dewasa. Orangnya tenang tapi sedikit humoris. Tak jarang teman-teman sekantor mencari pemecahan permasalahan mereka dengan mendiskusikannya bersama Mas Fauzan. Termasuk aku. Terkadang, ada beberapa masalah pribadi yang aku bagikan padanya. Berharap dia akan memberikan solusi tentang apa yang sedang kuhadapi. Ataupun hanya menjadi pendengar yang baik atas segala gundah yang menggumpal di batin. Dan biasanya, setelah aku berbicara dengan Mas Fauzan, terasa batinku begitu ringan. Makanya, sering sekali aku menyebutnya sebagai psikolog dadakan dan gratisan.
            “Salman…. Kok terus melamun. Kalau ada masalah cerita donk…!!!!”
Aku kembali tersenyum kecil. Kemudian menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Seperti biasanya. Kali ini aku ingin menceritakan sesuatu padanya. Tapi entah kenapa ada rasa malu yang menghalangi keinginanku untuk bercerita padanya.
“Emmmm… sebenarnya ada sesuatu yang terfikirkan. Tapi aku malu menceritakannya.”
“Lha kenapa? Kamu berbuat dosa? Kok malu?”
“Justru jika hal ini tidak segera aku laksanakan, aku takut akan terjerumus ke lembah dosa.”
“Serius amat….!!! Kalau boleh tau, apa itu???. Tapi, kalau ndak boleh tau, ya sudah. Aku tidak memaksamu untuk bercerita.”
            Aku berfikir sejenak. Mencoba mengatur ritme diksi kalimat. Agar aku tidak merasa canggung untuk berbagi cerita dengan Mas Fauzan.
“Aku ingin menikah.”
Yup….!!!! Kalimat itu muncul dengan tiba-tiba.  Sentak terasa menghipnotis Mas Fauzan untuk menatapkan pandangannya lekat di wajahku. Sedangkan aku hanya bisa tertunduk dan kemudian membuang pandanganku lepas kedepan.
Sekarang, gantian Mas Fauzan yang tersenyum kecil. Entah senyum apa aku sendiri tidak mengerti. Yang pasti, ada sedikit rasa malu yang menyelimuti perasaanku setelah mengatakan ini padanya.  Dan sepertinya, Mas Fauzan mengerti tentang apa yang kurasakan.
“Salman…. Salman….” Sambil menepuk-nepuk pundakku,
“Nikah itu ibadah. Kenapa malu untuk bercerita?. Sepertinya umurmu juga telah matang untuk segera menggenapkan setengah dari dien ini.”
“Heheheh… iya Mas…”
“Sudah ada pandangan calonnya? Tapi, jangan minta untuk mencarikan ya… . Masalahnya aku sendiri juga belum menikah. Hehehehe….”
Aku kembali tersenyum kecil mendengar kalimat Mas Fauzan barusan.
“Bercanda…. Kalau memang kamu sudah ada pandangan, aku bisa membantumu untuk proses ta’arufnya.”
            Tawaran yang sungguh menarik hatiku. Memang begitulah Mas Fauzan yang aku kenal selama ini. Orangnya suka menolong. Tapi, bukankah dia juga belum menikah? Kenapa dia tidak segera mencari seorang gadis untuk menjadi istrinya. Aku fikir, Mas fauzan adalah sokok laki-laki yang ideal untuk menjadi seorang suami idaman. Shaleh, kerjanya mapan, dewasa, dan sifat kebapakan yang aku rasa selama ini cukup nyaman bagi seorang perempuan bila disampingnya. Sempat suatu saat aku lontarkan padanya pertanyaan itu. Kenapa dia belum juga menikah sampai saat ini. Jawabannya singkat.
            “Jangan tanyakan itu padaku. Tapi, tanyakan langsung pada Allah. Rizki, jodoh, umur dan mati, hanya Allah yang tahu. Sebenarnya aku sudah berusaha. Tapi, hanya Allah yang tahu, kenapa aku belum juga menikah sampai detik ini. Kamu tahu maksudku kan????”
            Jawaban yang sungguh mencerminkan sifat kedewasaan dan penggantungan harapan sepenuhnya pada Allah. Penulis sekaligus penentu takdir seluruh makhluk di dunia ini. Sebenarnya ada pertanyaan lain yang menyumbat di otakku. Selain faktor takdir Allah, mungkinkah ada faktor dari diri Mas Fauzan sendiri yang memang ada sesuatu. Karena tingginya kriteria untuk calon istrinya, atau mungkin peristiwa masa lalu yang menyebabkan sampai sekarang dia belum menikah. Patah hati misalnya.
Tapi,,, sudahlah….!!!! Sepertinya itu bukan menjadi urusanku. Aku yakin, Mas Fauzan punya alasan yang hanya hatinya sendiri dan Allah yang tahu.
            “Ada gadis yang menggoda hatimu???”
“Sebenarnya ada Mas… Tapi….”
“Tapi kenapa????”
“Aku tidak yakin apakah dia juga suka padaku atau tidak.”
“Sudah mencoba untuk menanyakan?”
“Belum….!!!!”
“Lha itu belum dicoba. Kok sudah nyerah????”
Aku tersenyum kecil mendengar jawaban Mas Fauzan yang langsung tembak. Tapi memang benar juga kata Mas Fauzan. Jodoh memang ada di tangan Allah. Tapi kalau kita tidak berusaha menjemputnya akan terus di tangan Allah. Tidak akan sampai ke tangan kita.
“Memang siapa dia??? Aku mengenalnya???”
“Iya… Mas mengenalnya.”
“Siapa…????”
“Safiyya….”
“Safiyya…???? Teman Mas di remaja masjid????” Pandangan Mas Fauzan lekat menatapku dengan kening yang agak sedikit berkerut.
“Iya Mas…”
“Hehehehe… tak kusangka, pertemuan kalian dua minggu yang lalu membawa kesan tersendiri di hatimu. Padahal aku hanya iseng mengenalkanmu padanya.”
Aku hanya bisa kembali tertawa kecil. Menandakan aku setuju dengan kata-kata Mas Fauzan barusan. Pertemuanku dengan Safiyya memang begitu singkat. Ketika itu, aku diajak Mas Fauzan untuk menghadiri kajian yang diadakan remaja masjid tempat Mas Fauzan. Waktu itu aku sempat melihat seorang gadis dengan balutan gamis hijau tua dan jilbab yang warnanya senada. Menjadi MC dalam acara tersebut. Gadis yang begitu anggun tapi masih terkesan sederhana. Iseng kutanyakan namanya pada Mas Fauzan. Setelah acara selesai, Mas Fauzan memberi kesempatan padaku untuk berbicara langsung pada Safiyya.
Entah kenapa, sejak saat itu wajah Safiyya begitu mencandai hatiku. Apalagi setelah aku tahu, bahwa Safiyya belum menikah. Sempat aku menceritakan pada ibuku di Jakarta tentang Safiyya. Dan tanggapan ibu singkat.
“Salman……, sudah waktunya kamu menikah. Kalau kamu telah menemukan yang menurut hatimu pas, kenapa tidak kamu lamar saja untuk jadi istrimu. Siapa tau, dia memang jodohmu.”
            Aku fikir, kata-kata ibu ada benarnya juga. Umurku telah lewat dua puluh lima tahun. Umur dimana ketika Rasul menikah dengan Hadijah. Memang sudah waktunya aku untuk segera menikah. Pekerjaan sudah lumayan mapan. Keinginan dan persiapan mentalpun telah mantap. Apalagi ketika ketemu dengan Safiyya. Setelah shalat istikarah dan beberapa pertimbangan kulakukan, akhirnya aku yakin untuk melamar Safiyya.
“Aku hanya baru bertemu sekali Mas. Waktu Mas kenalkan dua minggu yang lalu. Mungkin Mas tahu lebih banyak tentang Safiyya.”
“Dia wanita shalehah. Adek kelasku waktu duduk di bangku sekolah dasar. Dia asli Tlogosari-Semarang. Masih saudara jauh dengan ibuku. Dia anak kedua dari tiga bersaudara.”
“Masalah akhlak dan ketaqwaannya Mas…???”
“Salman,,, tingkat ketaqwaan seseorang itu hanya Allah yang tau. Jadi, aku tidak tahu persis bagaimana tingkat ketaqwaannya di hadapan Allah. Tapi, kalau kamu Tanya masalah akhlaknya, aku berani sedikit jamin. Dalam pandanganku, dia wanita yang baik. Pantas jika untukmu. Yang pasti, aku akan mendukungmu.”
            Jawaban Mas Fauzan sungguh melegakan hatiku. Aku berharap, jika Safiyya memang jodohku, semua proses pasti akan dipernudah Allah. Apalagi ada Mas Fauzan yang siap menolongku. Kutatap wajah Mas Fauzan lekat. Hatiku sungguh bergetar melihat ketulusannya.
Sepotong kalimat syukur terucap di hati,,,,
“Ya Allah,,, terima kasih untuk nikmat karunia seorang saudara seperti Mas Fauzan.”
            ‘Menikah’. Satu kata yang selama ini hanya menghiasi ruang lamunanku. Tapi, sebentar lagi, jika Safiyya mau menerimaku, akan menjadi kenyataan. Aku akan memiliki seorang pendamping hidup yang akan selalu setia untuk bersama mendayung sang waktu. Bersamanya, bisa kuhabiskan sisa umur ini dalam sebuah ibadah yang bernama pernikahan. Terbayang sudah, bagaimana Rasul pernah mengatakan bahwa kunci kebahagiaan seorang laki-laki itu ada tiga. Rumah yang lapang karena keimanan para penghuni di dalamnya. Kendaraan yang bisa mengantarkan kemanapun yang dia inginkan. Dan seorang istri yang shalehah yang apabila dia pandang menyenangkan, apabila dia tinggal pergi akan menjaga dirinya dan hartanya dengan sebaik mungkin.
            Dunia ini memang perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalehah. Aku berharap, perhiasan itu akan kumiliki pada diri istriku nanti. Pada diri Safiyya. Aku memang baru bertemu dan berkenalan dengannya satu kali. Tapi, beberapa informasi dari Mas Fauzan cukup membuatku yakin untuk mengajukan lamarannya.
            “Salman, aku telah menghubungi walinya untuk menyampaikan lamaranmu pada kedua orang tuanya. Mereka menyampaikan, kalau bisa minggu ini kamu dimintanya untuk menemui mereka?”
“Bagaimana tanggapan orang tuanya Mas…???”
“Alhamdulillah tanggapannya baik. Tapi mereka menyerahkan keputusan itu sepenuhnya pada Safiyya.”
“Mas sudah bicara pada Safiyya…?????”
“Belum….! Baru dengan orang tuanya. Tapi, kata orang tuanya, mereka akan segera mendiskusikan hal ini pada Safiyya.”
Awal yang cukup bagus. Semoga bisa berjalan dengan lancar.
“Ya sudah Mas,,, minggu ini aku akan menemui Safiyya dan kedua orang tuanya. Untuk menyampaikan maksudku. Tapi,,, aku boleh minta tolong lagi sama Mas Fauzan…????. Maaf ya Mas,, kalau aku sering merepotkan Mas Fauzan…”
Mas Fauzan tersenyum kecil sambil menepuk-nepuk pundakku.
“Salman… Salman… kita kan saudara seiman. Sudah sewajarnya jika aku membantumu. Kata Rasul,,, persaudaraan antar sesama muslim itu satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh merasakan sakit, anggota tubuh yang lain juga akan merasakan sakit. Sakitmu adalah sakitku juga. Begitupun bahagiamu adalah bahagiaku juga. Apa yang bisa kubantu untukmu????”
Ah….!!! Kalimat yang cukup menyejukkan hati pendengarnya.
“Gini Mas,,,, Mas Fauzan bersedia untuk menemaniku bertemu dengan orang tuanya Safiyya???? Aku malu jika harus datang sendirian.”
“Baiklah…!!! Aku akan menemanimu.”
“terimakasih Mas… Harus dengan apa aku membalas semua kebaikan Mas Fauzan yang selama ini selalu aku dapatkan???”
            Gantian Mas Fauzan yang tersenyum kecil. Senyum tulus yang mampu membuat siapapun terpesona dengan senyum simbul ketulusan itu.
“Doakan saja aku selalu mendapat yang terbaik dari Allah….”
“Pasti Mas….!!! Siapa menanam, pasti mengetam. Semua kebaikan yang Mas tanam selama ini, pasti akan Mas tuai dengan kebaikan juga. Itu janji Allah Mas. Janji Allah mungkin memang tidak datang dengan segera. Tapi akan datang dengan pasti….!!!!” Jawabku meyakinkan.
Mas Fauzan hanya menjawab doaku dengan senyum juga. Dan aku yakin, di dasar hatinya yang paling dalam, dia meng-aminkan semua kalimat doaku tadi. Dia merangkul pundakku penuh kehangatan. Sebagai seorang sahabat, juga sebagai seorang saudara.
Hari minggu yang telah dijanjikan kedua orang tua Safiyya akhirnya tiba juga. Ini adalah kali pertamaku datang untuk mengajukan khitbah pada seorang gadis. Lamaran untuk memintanya menjadi pendamping hidupku. Sebelum berangkat tadi, sudah kupersiapkan penampilan sebaik mungkin. Meski hanya penampilan biasa, tapi cukup sopan untuk datang ke rumah calon mertua. Baju koko warna biru muda yang kupadankan dengan celana panjang warna putih cukup membuat Mas Fauzan memuji penampilanku.
“Duh,,,, yang mau ketemu gadis pujaan. Hati-hati lho…..!!!! Jangan sampai Safiyya terkotori hatinya karena terpesona melihat penampilanmu…!!!”
“Ah…!!! Mas Fauzan ini berlebihan.. hehehe….” Jawabku dengan menahan rasa malu.
            Kedatanganku disambut hangat oleh kedua orang tua Safiyya. Selain kedua orang tuanya, Safiyya juga ikut berada di samping mereka. Dengan terus menampilkan senyum manisnya, Safiyya yang kulihat agak sedikit malu-malu mencoba menyapaku. Ini pertama kedua kalinya aku bertemu dengan Safiyya. Setelah beberapa waktu yang lalu aku berkenalan dengannya. Suasana saat ini tidak begitu canggung. Karena ada Mas Fauzan yang sudah akrab dengan Safiyya dan keluarganya. Setelah sedikit basa-basi sebagai prolog, Mas Fauzan segera memperkenalkan aku dan menyampaikan maksud kedatanganku sekarang.
            Ayah Safiyya mengangguk pelan setelah mendengar uraian Mas Fauzan tentang maksud kedatanganku mempersunting safiyya untuk menjadi istriku. Sedangkan Safiyya yang duduk di sebalah ayahnya hanya menundukkan pandangannya.
“Nak Salman,,, sebagai wali Safiyya, Bapak menyampaikan terima kasih atas niat yang sangat baik ini. Kalau bapak sendiri tidak keberatan untuk menerima Nak Salman sebagai menantu Bapak. Tapi, kembali lagi, yang menjalani pernikahan nanti adalah Safiyya. Jadi, keputusan menerima atau tidak, mutlak di tangan Safiyya. Biarlah Safiyya sendiri yang menjawabnya.”
Kulihat Safiyya masih menunduk. Sedangkan hatiku sungguh tidak  sabar untuk mendengar jawaban langsung darinya. Tak lama kemudian, Safiyya akhirnya membuka suara untuk berbicara.
            “Untuk semua yang ada di sini, Safiyya mohon maaf sebelumnya. Sebelum Safiyya menjawab, bolehkah Safiyya mendiskusikannya pada ibu dulu di dalam?. Ada sesuatu yang ingin Safiyya bicarakan berdua pada ibu.” Pinta Safiyya.
Aku bisa melihat ada sedikit rasa kaget dan heran pada wajah semua orang yang ada di sini. Tapi, kami tak ada alasan lain selain mempersilahkan Safiyya untuk berdiskusi dengan ibunya di dalam.
            Hampir tiga puluh menit kami menunggu hasil diskusi antara Safiyya dan ibunya. Rasa was-was, hawatir, deg-degan, cemas, dan harapan terus berkecamuk menguasai seluruh ruang hatiku. Tapi aku mencoba untuk tenang. Sambil menunggu Safiyya dan ibunya di dalam, aku, Mas Fauzan dan ayah Safiyya terlibat obrolan ringan di luar. Pembicaraan yang tidak ada hubungannya sema sekali dengan maksud dan tujuanku datang ke sini. Pembicaraan yang hanya untuk mengisi waktu sambil menuggu Safiyya keluar untuk memberi jawaban.
            Tak lama kemudian, Safiyya keluar bersama ibunya. Irama detak jantungku terasa semakin tak beraturan. Meski perasaan cemas menyelimuti batinku, terus kucoba membungkusnya dengan sikap tenang dalam senyum.
            Suasana kembali tegang saat ibu Safiyya memulai pembicaraan. Sepetinya mewakili Safiyya untuk menyampaian keputusan putrinya.
“Bismillah…. Nak Fauzan dan Nak Salman, disini ibu akan mewakili Safiyya untuk menjawab lamaran ini. Sebelumnya, ibu pribadi mengucapkan banyak terima kasih karena Nak Fauzan dan Nak Salman mau berkunjung dan bersilaturahim ke rumah kita. Apalagi, tujuan silaturahim ini ditujukan untuk mengikat tali persaudaraan dalam subah ibadah yang bernama pernikahan.”
Ibu Safiyya berhenti sejenak, mengambil jeda atas pembicaraannya. Sedangkan kami semua dengan tenang namun agak cemas mencoba mendengarkan sebaik mungkin apa yang akan beliau katakana.
“Tapi……”
Kulihat pandangan beliau menoleh pada Safiyya yang sekarang duduk di samping beliau.
“Semua keputusan ada di Safiyya yang akan menjalani pernikahan ini. Tadi Safiyya sudah menjelaskan pada ibu. Dari Safiyya sendiri mengucapkan banyak terima kasih untuk lamaran yang ditujukan padanya. Tapi, Safiyya minta maaf jika belum bisa menerima lamaran ini. Namun, jika ada lamaran lainnya, mungkin bisa Safiyya pertimbangkan.”
Semua masih hening dalam keheranan mendengar kata-kata dari ibu Safiyya. Terutama aku. Aku sama sekali belum mengerti dengan apa yang dimaksud beliau.
“Mungkin Safiyya bisa mempertimbangkan lagi jika yang mengajukan lamaran adalah Nak Fauzan sendiri. Bukan Nak Salman…”
Apa……????????
Jadi……????????
Mendengar kalimat terakhir dari ibu Safiyya, semua yang hadir di sini pasti mengerti maksudnya. Yang Safiyya inginkan bukan lamaran dariku. Tapi, lamaran dari Mas Fauzan sendiri. Sejenak langsung kutoleh Mas Fauzan yang duduk di sebelahku. Rasa kaget yang luar biasa kulihat menyelimuti wajahnya.
“Maaf Mas…” Akhirnya Safiyya membuka pembicaraan.
“Jika Safiyya boleh jujur, sejak kecil, Safiyya sudah mengagumi Mas Fauzan. Tapi Safiyya malu untuk menceritakannya pada siapapun. Safiyya hanya menyimpan perasaan ini rapat di sudut hati. Berharap mas Fauzan mau mengerti dengan apa yang Safiyya rasakan. Tapi ternyata sampai sekarangpun Mas Fauzan tidak mengerti juga.”
            Sejenak kami terpaku dalam diam dengan membawa perasaan masing-masing. Keterusterangan Safiyya yang begitu berani terkesan ironis. Ternyata Safiyya lebih menginginkan Mas Fauzan daripada aku. Sekarang aku dihadapkan pada dua perasaan yang bergejolak. Perasaan sebagai seorang sahabat pada Mas Fauzan dan perasaanku sendiri yang sebenarnya juga menginginkan Safiyya. Dimana, keduanya tetap mengatasnamakan cinta.
            Dalam heningnya diam, kulihat Mas Fauzan menoleh padaku. Sekali lagi, yang bisa kulakukan hanya senyum. Senyum untuk meringankan hatiku sendiri dan hati Mas Fauzan. Jika boleh jujur, aku dihadapkan pada sebuah perasaan dimana cinta dan persahabatan saling bergejolak merebutkan ruang dalam hatiku. Ada rasa malu yang membuncah. Tapi, apapun yang terjadi, aku harus punya kesadaran. Aku tidak punya hak apapun pada Safiyya untuk memaksa Safiyya agar mempunyai perasaan seperti apa yang aku rasakan. Aku tidak boleh egois dan mementingkan diriku sendiri. Selama ini, mas Fauzan banyak berkorban dan membantuku. Aku fikir, sekarang saatnyalah bagiku untuk membalas kebaikan Mas Fauzan. Meski dengan mengorbankan perasaanku yang sebenarnya teramat sulit. Tapi inilah persaudaraan. Inilah ukhuwah.
            Kurangkul pundak Mas Fauzan dengan tangan kananku. Dengan sepenuh kekuatan dan kesadaran, kucoba meyakinkannya.
“AllahuAkbar…..!!! Alhamdulillah Ya Allah…!!!!” Seruku tiba-tiba.
“Allah selalu mempunyai cara tersendiri untuk melukis takdir tiap hamba-Nya. Semua itu akan indah tepat pada waktunya. Safiyya,,, Mas Fauzan,,, mungkin dengan cara seperti inilah, Allah mempertemukan kalian pada sebuah ruang yang bernama jodoh. Semua mahar dan apapun yang telah kupersiapkan, aku serahkan semuanya pada Mas Fauzan. Jika Mas Fauzan berkenan, silahkan menikahi Safiyya dengan mahar yang telah kupersiapkan ini. Dan jika kalian berkenan juga, aku yang akan menjadi wali pernikahan kalian.”
“Tapi Salman…..” Mas Fauzan mencoba mengelak.
“Mas,,, insyaAllah aku ikhlas. Laksanakan sunnah Rasul ini secepatnya. Mungkin Safiyya memang bukan jodohku.”
Kemudian kotoleh Safiyya,,,
“Safiyya bersedia menikah dengan Mas Fauzan…????
“InsyaAllah dengan senang hati jika Mas Fauzan bersedia. Terimakasih untuk keikhlsan Mas Salman.”
            Mendengar jawaban dari safiyya, kulihat air mata Mas Fauzan menitik.
“Terimakasih Salman,,, darimu aku belajar manisnya kata ukhuwah. InsyaAllah aku bersedia menikah dengan Safiyya. Dan kamu juga harus berbahagia dengan pernikahan kita.”
“Pasti Mas,,, aku orang yang pertama bahagia karena pernikanmu dengan Safiyya.”
            Alhamdulillah,,, kuucap lirih di dalam kidung hatiku. Jujur, tidak mudah untuk melakukan ini. Aku telah melakukan sesuatu yang mungkin teramat sulit bagi orang untuk melakukannya. Aku masih bisa mengatur perasaanku untuk meraih kesadaran tinggi di tengah perasaan yang berkecamuk rumit, Malu, kecewa, sedih dan merasa salah memilih pengantar. Kunasehati hatiku sendiri, sejatinya tidak selamanya kita bisa memiliki apa yang kita cintai. Karena, semua yang ada di tangan kita, hanyalah sebagai titipan dari Allah.





Sinopsis Cerita Salman Al Farisi
Cerpen ini terinspirasi dari cerita salah satu sahabat Rasul yang bernama Salman Al Farisi. Salman yang berasal dari kaum Muhajirin dipersaudarakan dengan Abu Darda dari kaum anshar. Ukhuwah dan persahabatan mereka sungguh indah. Suatu saat Salman ingin menikah. Dan merasa telah menemukan seorang wanita muslimah dari kaum anshar.

Salman meminta Abu Darda untuk menjadi pengantar dan menemani Salman saat melakukan lamaran pada muslimah tersebut. Setelah sampai di rumah muslimah tersebut, Abu Darda mewakili Salman menyampaikan maksud untuk mengkhitbah wanita itu.

Lewat sang ibu, muslimah tersebut menjawab lamaran Salman. Sang ibu mengatakan bahwa putrinya tidak bisa menerima lamaran Salman. Namun, jika seandainya Abu Darda yang menyampaikan lamaran itu untuk dirinya sendiri, maka putrinya akan menerima lamaran Abu Darda.
Jelas sudah dari jawaban ibunya. Bahwa sang putri lebih memilih Abu Darda daripada Salman. Mendengar keterusterangan yang teramat ironis, ada perasaan malu, menyesal, merasa dihianati, dan segudang perasaan kecewa lainnya. Tapi, begitulah, Salman mengajari pada kita tentang arti kata ukhuwah. Dengan senang hati, Salman menyerahkan mahar yang akan digunakan untuk melamar gadis itu pada abu Darda. Dan mempersilahkan Abu Darda untuk menikah denga muslimah tersebut. Bahkan Salman menawarkan dirinya untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka. Subhanallah…. Cerita ukhuwah yang begitu indah.

No comments:

Post a Comment