Tuesday 12 May 2015

CERPEN : DIALOG MALAM



“Pokoknya ibu ndak setuju..!!! Titik…!!!” suara ibu meninggi.
Menatap satu demi satu orang-orang yang berada di hadapannya. Pertama Bapak, kemudian Hasyim, adek kandungku. Dan terakhir, pandangan matanya di tancapkan erat pada kedua mataku. Seakan ingin mengatakan bahwa ibu ingin menekankan ketidaksejuannya ini padaku.
            Reflek, aku menunduk. Tidak berani sedikitpun membalas pandangan mata ibu. Malaikat lembut yang sekarang duduk di hadapanku, kurasa berubah seperti pohon kaktus yang kaku.
“Bu… cobalah sedikit berfikir kalau…..” Belum sempat Bapak menyelesaikan kalimatnya, dengan sigap ibu memotong,
“Kita ini orang jawa. Mbok ya patuh pada adat jawa…!!!”
            Suara ibu semakin meninggi. Bahkan, Bapak yang kita kenal tegas di keluarga saja, kali ini terdengar sedikit mengalah.
“Dan kamu, Ratih…!!!”
Aku tetap menunduk, tidak berani sedikitpun memandang wajah Ibu. Meski Ibu menyebut namaku.
“Ibu ndak mau sekali lagi mendengar kamu memberi izin pada adekmu untuk menikah dulu….!!!”


            Tubuhku kaku. Lidahku kelu. Sedikit demi sedikit keringat dingin mengucur membasahi kening dan jilbabku. Sedangkan pandangan mataku tetap menunduk. Kurasa, ruang keluarga rumahku malam ini berubah layaknya ruang pengadilan. Dan aku duduk di kursi pesakitan. Sedikit kulirik Hasyim yang duduk di sebelahku. Sikapnya tidak jauh beda denganku. Duduk diam. Hanya saja, dia masih kuasa untuk menatap wajah ibu. Atau, lebih tepatnya menatap kemarahan ibu.
            “Bu…” Kucoba membuka suara.
“Apa ada aturan tertulis, yang menyebutkan bahwa kalau Hasyim nglangkahi atau lebih dulu menikah daripada Ratih akan terjadi bahaya…????”
Kucoba sedikit membuka fikiran ibu. Ya..!!! Hanya sedikit. Karena, kita semua tau, kalau ibu telah mengambil keputusan, sulit untuk di ganggu gugat.
“Ya ndak ada…!!!”
“Terus, kalau Ibu saja sudah menjawab ndak ada, kenapa ibu tidak mengizinkan Hasyim untuk menikah dulu…??? Ratih ndak apa-apa kok. Mungkin, memang Hasyim yang ditakdirkan untuk menikah dulu.”
            Sedikit ada kekuatan untuk menatap wajah ibu. Mengeluarkan argument-argumen yang mungkin saja bisa sedikit membuka fikiran Ibu. Atau bahkan mungkin bisa membuka pintu izin ibu.
            “Benar kata Ratih Bu…. Jangan percaya pada tahayul. Haram hukumnya…”
Bapak berusaha untuk menyetujui argumenku.
“Bapak ini gimana sichhh….???? Kok malah ikut-ikutan pendapat Ratih…????”
            Ah,,, ternyata dugaanku salah. Suara Ibu semakin meninggi. Yang menandakan, kemarahannya semakin bertambah.
“Ratih itu anak perempuanmu Pak….!!! Umurnya sudah cukup untuk menikah. Tapi, kenapa sampai sekarang belum menikah…??? Eeeeehhhh,,,, malah adeknya dulu yang minta izin untuk menikah.”
Pandanganku kembali menunduk. Pikiranku kacau. Aku berharap Ibu tidak mengeluarkan kalimat yang mungkin bisa sedikit mengiris perih batinku.
“Apa kata orang Pak…???? Teman-teman sebayanya saja sudah banyak yang punya anak. Sedangkan Ratih, Ibu lihat punya pacar saja belum. Apa mau dikatakan perawan tua…???”
            Tubuhku lemas. Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi. Hampir saja, sebuah cairan bening tumpah dari kedua mataku. Tapi buru-buru kutahan. Kugigit bibir bawah erat-erat. Mencoba menahan agar air mata ini tidak mengalir.
            ‘Perawan tua’. Frase yeng kurasa terdengar menyakitkan. Jika seandainya yang mengucapkan itu orang lain, mungkin aku masih mengabaikan. Tapi, sekarang, kata itu keluar dari lisan ibu. Kupejamkan mataku. Mencoba untuk mengabaikan apa yang baru saja terlontar dari ucapan ibu. Ingin rasanya saat itu juga air mataku tertumpah. Tapi, tidak. Aku harus kuat. Aku tidak boleh menangis.
            “Ibu, setiap manusia yang lahir di dunia ini, Allah telah bertanggung jawab untuk rizkinya. Termasuk jodohnya. Ratih yakin, Allah sudah memberi Ratih jodoh. Tapi, mungkin sekarang Allah belum berkenan mempertemukan. Karena Allah menunngu waktu yang paling tepat.
Batinku berbicara. Ingin rasanya suara itu kudengarkan pada ibu. Tapi, tidak…!. Biarkan aku mengatakan itu pada batinku sendiri. Karena, aku tidak mau, untaian kalimat itu akan memicu tumpahnya air mataku di hadapan Ibu, Bapak dan Hasyim. Aku harus kuat. Meski batinku ciut. Dan dadaku terasa sesak.
            “Nduk,,,, Dalam adat jawa, tidak baik, seorang adek lebih dulu menikah sebelum kakaknya menikah. Apalagi kamu perempuan. Sedangkan adekmu laki-laki. Apa kamu mau, nanti jalan jodohmu seret gara-gara di dahului sama adekmu…???”
            Kurasa, ada sebongkah batu besar yang menindih dadaku. Sesak dan bertambah sesak. Bibir bawahku semakin erat kugigit. Mencoba sebisa mungkin untuk menahan air mata.   
“Dan kamu Hasyim….!!!”
Sekarang,,,, suara ibu berganti menuju Hasyim. Hasyim tersentak. Tapi masih bisa menatap wajah ibu. Meski pandangan Hasyim sendiri masih terlihat agak ketakutan.
“Apa kamu ndak bisa menunda pernikahanmu…???? Sampai Mbakmu ini dapat jodoh. Atau kamu ikut mencarikan. Biar Mbakmu ini cepet nikah.”
            “Bu… Hasyim sudah meminta izin pada Mbak Ratih untuk menikah dulu. Dan Mbak Ratih pun mengizinkan.” Hasyim mencoba membuka suara.
Sedangkan batinku menjawab. Cukup suara batin.
Dek,,, tanpa meminta izin pun, Mbak akan mengizinkan
“Bukannya Hasyim mau menasehati ibu. Demi Allah, tidak Bu… Tapi, Hasyim hanya mencoba untuk mengaplikasikan ilmu yang telah Hasyim tau. Ilmu yang Hasyim dapatkan karena kerja keras Bapak dan Ibu untuk menyekolahkan Hasyim selama ini.”
            “Ayo Dek,,, Mbak percaya kamu mampu meluluhkan hati Ibu.” Batinku terus bergeming.
“Bu,,, menurut hadis Rasulullah, ada tiga hal yang apabila waktunya sudah datang tidak boleh ditunda-tunda lagi. Yang pertama, shalat lima waktu. Yang kedua menguburkan jenazah, dan yang ketiga menikah.”
Suara Hasyim pelan tapi terdengar mantap.
“Nah,,, sekarang, posisinya, yang lebih dulu dipertemukan dengan jodoh adalah Hasyim dulu. Baru, mungkin Mbak Ratih menyusul. Berarti, karena Hasyim memang telah siap menikah, bisa jatuh hukum ‘wajib’ untuk menikah. Karena itu harus disegerakan.”
            Kulirik Hasyim. Wajahnya begitu tenang. Dalam kekalutan seperti ini, aku belum bisa setenang Hasyim. Mungkin inilah yang menyebabkan Allah belum rela untuk mengizinkanku menikah. Bisa saja dalam pandangan Allah, aku belum dewasa. Aku belum bisa seperti Hasyim yang begitu tenang dalam keadaan segmenting apapun. Meski umurnya dua tahun lebih muda daripada aku.
            Kulihat, Ibu terdiam. Mungkin saja mencoba untuk mencerna kalimat Hasyim yang baru saja terdengar. Sedangkan Bapak hanya bisa tersenyum kecil sambil mengangguk-anggukan kepala. Menandakan setuju dengan penjelasan Hasyim. Tapi, tak kudengar, Bapak mengeluarkan suara tanda setuju atau apalah. Yang kulihat, Bapak kemudian mengambil secangkir kopi yang terhidang di meja. Menyeruputnya sedikit. Ada nafas kelegaan yang kulihat di raut wajahnya yang telah menua.
            Suasana kembali hening. Aku tidak lagi mendengar suara Ibu sepetinggi tadi. Aku hanya melihat Ibu menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Pandangannya menerawang. Sesekali mengamati nyala lampu di ruang keluarga ini.
            Sejujurnya, aku bisa menterjemahkan maksud ibu. Di rumah ini, hanya ada empat orang. Bapak, Ibu, aku dan Hasyim. Aku adalah anak pertama. Disusul Hasyim. Adek laki-laki semata wayangku. Usia Hasyim terpaut dua tahun dariku. Setelah aku dan Hasyim bekerja, kami pindah dari rumah ibu ke kota tempat kita bekerja. Sebulan sekali aku pulang menengok Ibu dan Bapak. Sedangkan Hasyim lebih beruntung. Hasyim bisa pulang seminggu sekali setiap akhir pekan untuk menengok Bapak dan Ibu. Karena, kota tempat Hasyim bekerja lebih dekat jaraknya ke rumah dari pada aku.
            Umurku memang sudah cukup untuk menikah. Bahkan, teman-teman SD ku telah banyak yang punya anak lebih dari satu. Di desaku, memang jarang yang setelah lulus SMA melanjutkan ke perguruan tinggi. Tapi, Alhamdulillah, aku dan Hasyim mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan hingga meraih gelar sarjana.
            Posisi Bapak sebagai ketua RT sekaligus ta’mir masjid di masjid depan rumah kita, membuat Bapak dan Ibu banyak dihormati masyarakat. Karena itu, tak jarang Bapak dan Ibu mendapat pertanyaan dari tetangga, kapan aku mau menikah?.
            “Ibu sama bapak sampai malu sama tetangga. Sering ditanya. Kapan kamu mau nikah..???”
Sebuah kalimat yang selalu terdengar di telingaku setiap aku pulang.
Inggih Bu,,, mohon restunya saja. Semoga Ratih didekatkan dengan jodoh.”
“Lha tapi, Ibu tidak pernah melihatmu membawa teman laki-lakimu ke rumah. Apa kamu ndak punya pacar…????”
Pertanyaan Ibu yang seperti ini terkadang membuatku tersenyum geli.
“Ibu ini takut lho… kamu ini kan perempuan. Ndak baik kalau nikahnya telat. Apa kata tetangga nanti…?”
Ndak apa-apa Bu…  Tidak usah hawatir… kalau waktunya sudah tiba, pasti Ratih nikah juga. Tinggal nunggu lampu hijau dari Allah.”
“Kamu ini belum pernah jadi seorang ibu. Jadi, belum bisa merasakan kehawatiran Ibu.”
            Padahal Ibu, jika Ratih bisa bicara, mungkin Ratih jauh lebih hawatir daripada apa yang Ibu rasakan. Hatiku terus bergeming dibalik ‘senyum terpaksa’ yang sering kuhadirkan di hadapan ibu. Sebuah senyum untuk sedikit menghibur Ibu. Sekaligus menutupi kegetiran hatiku.
            Bayangan membangun sebuah rumah tangga terkadang mencandai hatiku. Menata hari demi hari bersama belahan jiwa yang telah Allah pilihkan untukku. Tapi entah kapan, semua itu terwujud dalam dunia nyata. Saat satu demi satu undangan pernikahan temanku menghampiri. Yang pada akhirnya, terkadang muncul sedikit rasa iri di hatiku. Merasa iri karena Allah belum juga memberiku kesempatan seperti mereka.
            Di tengah hatiku yang semakin gundah, tiba-tiba aku mendengar cerita dari Hasyim kalau dia ingin segera menikah. Jika boleh jujur, bohong kalau aku mengatakan bahwa hatiku tidak merasa perih. Seharusnya, aku dulu yang mengungkapkan rencana itu. Seharusnya aku dulu yang berkesempatan menikah baru Hasyim.
            “Maafkan Hasyim Mbak… Hasyim tidak akan memaksakan jika Mbak tidak merestui. Hasyim juga mengerti perasaan Mbak…”
Aku hanya bisa tersenyum mendengar kata-kata Hasyim. Aku tau, dia berkata seperti itu semata hanya karena dia ingin menjaga perasaanku saja.
            AllahuRabby,,, kenapa orang lain begitu Engkau permudah..??? Sedangkan aku….??? Banyak sekali jalan berliku yang harus aku tempuh. Sedangkan sejauh apa dan sampai kapan, hanya Engkau yang tau. Jujur, ingin sekali aku menceritakan gelisah hatiku ini pada orang lain. Tapi dengan siapa?. Dengan Ibu, aku tidak mau menambah kehawatiran beliau. Cukuplah, aku menampakkan sikap ‘santai’ dan seakan tidak terbebani dengan statusku sekarang. Meski di hatiku yang terdalam aku juga gelisah. Bahkan, mungkin jauh lebih gelisah dari apa yang Ibu rasakan.
            Bercerita pada Hasyim. Ah,,, ini jauh tidak mungkin. Karena, jika aku mencoba jujur, aku takut, dia akan mengurungkan kembali niatnya untuk menikah. Hanya demi menjaga perasaanku saja. Meski di satu sisi aku juga iri dengannya, tapi aku tidak mau gara-gara aku dia menunda niatnya untuk segera menyempurnakan agama ini.
            Bercerita pada Bapak, juga tidak mungkin. Bapak yang kukenal selama ini, adalah seorang sosok yang sangat kami hormati. Aku tidak pernah bercerita tentang perasaanku pada beliau. Karena, sebagai seorang wanita, aku lebih banyak bercerita pada ibu. Ada perasaan sungkan jika aku bercerita pada Bapak. Apalagi ini menyangkut masalah hati dan perasaan.
            Mungkin, bisa saja aku bercerita pada teman atau sahabat. Tapi, ini juga kuurungkan. Karena, aku sudah tau jawaban mereka. Hanya menyuruh sabar. Dan memang itu yang seharusnya kulakukan. Jika sekarang itu sudah bisa kulakukan, kenapa aku harus menceritakan masalahku pada mereka?. Yang pada akhirnya, aku hanya bisa menyimpan gelisah ini sendiri.
            “Menikahlah Dek,,,!! Mbak bahagia mendengar ini. Bahkan, tanpa meminta persetujuan pun, Mbak akan izinkan.”
Kutekan perasaanku. Kubungkus  rapi rasa gelisah hatiku dengan senyum. Kuabaikan semua iri yang tiba-tiba hampir saja menyulut keegoisanku. Dan satu janji hatiku.
Aku harus bahagia…!!!!!
“Makasih Mbak…” Hasyim berlalu dengan senyumnya. Membalikkan punggungnya dengan menyisakan dua butir air mata yang perlahan jatuh di pipiku. Tanpa dia tau.
            Ya Allah,,, aku tau, sekarang Kau hanya mengujiku. Menguji apakah aku berhak untuk mendapatkan yang terbaik dari-Mu atau tidak. Tapi, sekuat apa aku menyimpan ini semua?. Sejauh mana lagi Kau menghendaki kakiku untuk terus melangkah pada jalan yang penuh liku ini. Pada jalan yang hanya Kau beri rambu-rambu petunjuk dengan iman. Pada jalan yang hanya bisa dilalui dengan kendaraan sabar. Dan pada jalan yang berawal dengan niat ikhlas karena-Mu dan bermuara akhir pada ridho-Mu.
            “Tapi Ibu ndak setuju…!!! Ibu baru merestui Hasyim untuk menikah setelah kamu, Mbakyu nya menikah dulu..!!”
Dan penolakan itu justru ada pada Ibu.
“Kalau sampai lama Ratih belum dapat jodoh, apa Hasyim juga di suruh menunggu Bu…??? Kan kasihan Hasyim juga..”
“Hush….!!! Ngomong kok sak karepe dewe…!!! Jangan bilang gitu…! Bilang kalau kamu segera menikah..! Karena omongan adalah doa.”
Ya…!!! Hati kecilku membenarkan omongan Ibu. Bicara adalah doa.
“Kata orang jawa, kalau anak perempuan dilangkahi nikah oleh adek laki-lakinya, jodohnya bakalan susah. Ibu ndak mau itu terjadi sama kamu…!”
“Lho… itu kan hanya kata budaya…Tidak ada dalam Alquran maupun hadis. Jadi, tidak wajib untuk mempercayai. kalau kita percaya, pasti akan terjadi. Tapi, kalau kita tidak percaya, ya tidak akan terjadi. Allah kan tergantung dari prasangka hamba-Nya.”
            Terus kucoba membujuk Ibu. Untuk mengizinkan Hasyim menikah dulu. Tapi, usahaku belum juga menemui titik terang. Akhirnya, malam ini kita sekeluarga berkumpul untuk membicarakan masalah ini. Setelah sebelumnya aku dan Hasyim sempat berdialog dengan Bapak. Tadinya, pendapat Bapak juga sama dengan Ibu. Karena, Bapak dan Ibu dibesarkan dengan adat jawa yang masih agak kental. Sama seperti aku dan Hasyim. Bedanya, aku dan Hasyim dapat terbuka fikirannya setelah mempelajari bahwa mempercayai tahayul, khurafat dan peramal itu tidak boleh dalam islam.
            Agak lama juga berdialog dengan Bapak. Tapi, Alhamdulillah, Bapak masih bisa mengerti tentang ini. Meski dengan agak sedikit berat hati, akhirnya Bapak mengizinkan juga. Itupun setelah beliau memastikan bahwa hal itu tidak menjadi masalah bagiku.
            “Bagaimana Bu…???” Tanya Hasyim dengan hati-hati. Sedangkan aku dan Bapak hanya bisa berdoa dalam hati. Semoga pintu hati ibu tebuka. Karena, ridho Allah tergantung dari ridho kedua orang tua. Terutama ridho Ibu
Sementara itu, Ibu masih belum menjawab. Tubuhnya masih menyandar di sofa. Sedangkan tatapan matanya lurus ke bawah. Terlihat jelas kalau ibu berfikir darii wajahnya yang sudah banyak ditumbuhi keriput.
            Suasana kembali sepi. Detik demi detik berlalu. Sedikit kulirik Hasyim. Pandangannya erat menatap wajah ibu yang mulai menua. Hasyim seakan tidak sabar menanti jawaban ibu. Aku maklum dengan sikap Hasyim. Karena, yang dia perlukan adalah ridho ibu. Hanya itu. Suara cangkir kopi yang berbenturan dengan cawan terlihat jelas saat Bapak meletakkan cangkir kopinya setelah sedikit penyeruput kopi itu.
            Sedangkan aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Keegoisanku kembali muncul. Rupanya, syetan mencoba menemukan titik kelemahanku. Di satu sisi, rasa iri itu kembali datang. Tapi, di sisi lain, mau tidak mau aku harus ikhlas melihat adekku menikah dulu. Ini adalah ujian iman bagiku.
            “Ibu tetap ndak setuju…!!!” Tegas dan tak terbantahkan.
            Reflek, pandangan kami langsung menuju ke arah Ibu. Wajah Ibu serasa seperti magnet yang begitu menghipnotis fikiran kami. Hening dalam keterpakuan.
Bapak tidak bisa berbuat apa-apa. Sirat wajahnya menunjukan kepasrahan.
“Tapi Bu……” Hasyim mencoba membujuk.
Kali ini dengan mimik wajah yang tidak setenang tadi. Tatapan matanya erat tertuju pada Ibu.
            “Pokoknya Ibu ndak merestui Hasyim menikah dulu sebelum Ratih menikah. Karena, Ibu ndak mau jodoh Ratih susah gara-gara di langkahi sama adeknya…!!!”
Sekali lagi, nada itu tegas dan tak terbantahkan.
“Sudah malam.. Ibu tidur dulu..” Sambil berlalu dan meninggalkan kami bertiga yang masih mematung.
            Bapak terlihat pasrah dengan nafas yang sedikit menurun dari ketegangan. Sedangkan Hasyim terkulai lemas menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa.
“Maaf Le,,, Bapak tidak bisa berbuat banyak. Kalian berdua tentunya sudah tau bagaimana watak Ibumu. Keras dan tegas…”
Kami hanya bisa terdiam mendengar ucapan Bapak. Entah bingung, atau memang tidak ada daya untuk sekedar mengeluarkan kata-kata. Sedikit kualihkan pandangan pada Hasyim yang masih lemas. Bibirkupun rasanya masih terkunci.
            Maafkan Mbak, Dek… Sebenarnya Mbak tidak mau menjadi batu sandungan bagimu untuk segera menikah. Mbak tidak ingin menjadi kabut jika Mbak sebegitu pekatnya yang akan menghalangi pandanganmu. Dan Mbak juga tidak ingin menjadi kerikil jika mbak sebegitu kasarnya. Sehingga akan menghalangi langkahmu untuk beribadah pada Allah dalam indahnya pernikahan. Jika boleh jujur, Mbak juga menyimpan iri. Kanapa Allah lebih mengizinkan kamu untuk bertemu dengan jodoh?. Sedangkan Mbak yang umurnya lebih tua dari kamu, sampai sekarang belum juga ada tanda-tanda mau menikah.
            Dalam diam, Hasyim sempat mengarahkan pandangannya padaku. Sejenak, mata kami beradu. Entah apa kata hatinya, aku tidak tahu. Beberapa detik kemudian, Bapak menyusul langkah Ibu ke kamar. Meninggalkan aku dan Hasyim yang masih duduk terpaku.
            Dialog malam ini masih menyisakan tanya yang menggantung. Hanya ada dua harapan. Berharap Ibu akan terbuka pintu hatinya. Mengizinkan Hasyim menikah lebih dulu daripada aku. Atau berharap, Allah akan segera mendatangkan seorang belahan jiwa yang telah di janjikannya padaku. Sehingga, pernikahanku akan menjadi kunci pembukanya pintu gerbang pernikahan Hasyim.
            Malam semakin larut. Kali ini, tinggal aku yang masih duduk mematung di ruang keluarga. Setelah Ibu dan Bapak, sekarang gantian Hasyim yang melangkah menuju kamar. Dengan membawa rasa kecewa yang menggantung di wajahnya.

No comments:

Post a Comment