Tuesday, 12 May 2015

CERPEN : IBU, SEBUAH BUKTI CINTA TANPA KATA CINTA

Ramadhan hari - 1

            Hening Di Ujung Senja.

            “Pak, sudah dapat kabar dari Wisnu? Lebaran ini mau pulang apa ndak?"

            Suamiku diam tak membalas. Justru malah asik menyalakan lampu teplok yang hampir habis minyaknya. Tapi aku tak peduli dengan diamnya.

            “Katanya, Wisnu lebaran ini mau pulang.”

            Aku terus bertanya bahkan seandainya suamiku tak mau menjawab.

            Lampu teplok menyala lembut. Sedikit menerangi kerjaku menyiapkan menubuka puasa di dapur. Seperti biasanya. Suamiku selalu meminta dibuatkan air cincau manis. Campuran dari segelas air putih, sedikit cincau hitam dan duas endok gula putih. Campuran air cincau yang terasa dingin menyegarkan ini cukup untuk mengganjal perut suamiku saat mengerjakan shalat magrib sebelum menyantap menu makan utama.

            “Ndak tau, Bu. Berdoa saja. Semoga Gusti pangeran mengabulkan.”

            Pendek. Tak banyak retorika. Namun cukup membuatku terdiam.

            “Lima menit lagi adzan. Bu.”



            Dari nada bicaranya, suamiku memang terkesan mengingatkan. Agar aku lebih cepat lagi dalam menyajikan menu sederhana buka puasa ini. Sebenarnya aku paham maksud suamiku. Bahkan tanpa harus diingatkanpun aku tau, adzan magrib dan waktu berbuka puasa sebentar lagi. Namun bukan itu yang dimaksud suamiku.

            Dia hanya menginginkan aku tidak berbicara masalah Wisnu lagi. Tak perlu mengingat lagi sesuatu yang memang tak perlu untuk diingat. Sekalipun itu berbicara tentang seseorang yang selama ini amat kurindukan kehadirannya. Amat kuharapkan kedatangannya.

            Anak kami satu-satunya. Wisnu Wardana.
           
            Ramadhan hari – 7

            Setelah sahur saat menanti adzan subuh.

            Entah berapa tahun lamanya kamar ini kosong. Bukannya tak terhitung. Tapi aku memang tak mau menghitung. Karena, sekalipun kulitku yang dulu halus sekarang telah mengeriput, sekalipun tulangku yang dulu kuat, kini hampir rapuh termakan usia, aku masih menginginkan waktu tak berputar sedikitpun. Aku masih menginginkan waktu kembali seperti beberapa tahun yang lalu saat Wisnu masih bersamaku.

            Kamar ini masih sama seperti beberapa tahun yang lalu saat Wisnu masih tidur di dalamnya. Tak berubah sedikitpun. Sekalipun hanya sekedar mainan kelereng Wisnu yang berpindah beberapa senti. Semua masih sama. Tak ada barang yang berpindah. Apalagi berubah.

            Tiap hari, sebelum tidur dan setelah bangun tidur, aku selalu menyempatkan masuk ke kamar ini. Dalam tatapanku yang hampir mengabur karena usia tua, aku masih selalu ingat. Di kamar ini, aku mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan Wisnu. Aku berani bertaruh nyawa untuk seorang bayi mungil yang bahkan tak pernah sedikitpun berkorban untukku. Tapi, entah rasa sayang yang berdasarkan dari apa, aku rela melakukannya.

            Di kamar ini, pertama kali tangisdan tawa Wisnu pecah. Tangis yang membuat hatiku bahagia. Wisnu lahir lengkap tanpa kurang suatu apapun. Tangis yang membuatku bahagia. Karena lengkap sudah aku sebagai perempuan. Sekarang, aku menjadi seorang ibu. Tangis bayi kecil yang aku yakin, akan memberiku ribuan kekuatan untuk menghadapi beban hidup seberat apapun.

            Adzan subuh mengalun lantang dari masjid di seberang jalan.

            Air mataku menetes. Aku benar-benarmerindukan anakku.

            “kalau Wisnu sudah sukses, Wisnu akan kembali pulang. Bapak sama Ibu akan naik haji. Wisnu yang membiayai”

            Aku masih ingat. Itulah janjinya. Ketika tas rangsel sederhana dan kumal menemani kepergiannya.

            “Kamu mau kemana?”

            “Kang Parmin ngajak Wisnu merantau. Katanya gajinya gedhe. Ke Negara tetangga. Naik kapal.”

            Aku terdiam. Bisa naik haji adalah cita-citaku dari dulu. Tapi, jika itu harus ditebus dengan kepergian Wisnu, separuh lebih dari isi hatiku jelas menolak.

            “Jauh sekali, Le?”

            Wisnu mengangguk.

            “Ndak apa-apa Bu. Yang penting ibu bisa naik haji sama bapak.”

            Sembilan bulan Wisnu dalam kandunganku, Sembilan bulan kita bernafas bersama, bergerak bersama, dan merasa bersama, dan setelah aku melahirkannya, Wisnu hidup berdampingan menjadi pelengkapku sebagai seorang ibu dan perempuan.

            Namun sekarang, dia berpamitan untuk pergi.
           
            Ramadhan hari – 14

            Entah seperti apa wajah anakku sekarang. Apakah Wisnu masih susah bangun pagi? Apakah Wisnu masih tidak suka makanan pedas? Apakah Wisnu masih tidak bisa mencuci pakaian sendiri?. Apakah wisnu telah menikah? Apakah Wisnu telah berputra? Apakah wisnu telah berubah menjadi seorang tentara seperti apa yang selalu dicita-citakannya selama ini?

            Tidakkah dia rindu dengan masakan ibunya? Tidakkah dia rindu dengan belaian tangan ibunya? Tidakkah dia ingin tau, tangan ibunya yang selama ini halus sekarang sudah keriput? Tidakkah dia ingin tau, tulang ibunya yang dulu sanggup menggendongnya berjalan sampai berkilo-kilo untuk menemukan dokter terdekat saat dia sakit kini tak sanggup lagi meski hanya sekedar membawa air di ember?.

            Dan tidak rindukah dia dengan semuanya?

            Enatahlah.!

            Air mataku tak lagi menetes. Namun telah membanjir. Perih yang selalu mengatasnamakan kerinduan pada anakku ini ingin sekali terobati. Namun bisa mengobati dengan cara apa?.

Ramadhan hari – 21

“Masih saja membuatkan baju untuk Wisnu, Bu?”

Suamiku bertanya sambil menguap. Aku hanya mengangguk. Tak menjawab. Malam hampir saja larut. Lampu teplok yang hampir kehabisan minyak meliuk-liut diterpa angin malam yang masuk menyusup disela-sela rumah dinding bambu kita.

“Sudahlah, Bu. Tidak ada gunanya. Wisnu tak mungkin ingat sama kita. Wisnu tak mungkin pulang. Ikhlaskan saja.! Kubur mimpi kita bisa naik haji. Hadapi kenyataan bahwa kita orang miskin. Bahkan hanya untuk bisa pergi ke kota kecamatan saja kita harus jalan kaki atau naik sepeda pinjaman. Bagaimana bisa pergi haji yang katanya naik pesawat terbang.”

Pandangank umengabur. Kali ini bukan karena mata tuaku. Namun karena, retina mataku tertutuprapat oleh genangan air mata yang kutahan agar tidak segera tumpah di depansuamiku. Aku bisa saja mengubur mimpiku untuk naik haji. Tapi bisakah aku mengubur mimpiku untuk kembali bertemu dengan anakku?.

Ibu mana yang bisa mengikhlaskan anaknya begitu saja. Pergi lama bertahun-tahun tidak pulang tanpa kabar.

“Kali saja lebaran minggu depan Wisnu pulang.”

Suamiku terdengar membuang nafas jengah. Mungkin lelah menghadapi semua sikap konyolku. Sikapku yang selalu memmupuk harapan kelak suatu saat anakku akan pulang memelukku.

“Ibu selalu bilang seperti itu terus. Tapi nyatanya apa?. Berapa tahun penantian kita? Berapa tahun kita memupuk harapan agar Wisnu bisa pulang ke rumah?. Tapi apa nyatanya? Bahkan sekrang Wisnu berada di mana saja kita tidak tau.”

Airmataku sempurna tumpah. Tubuhku menggigil. Mulutku gemetar. Tak tau harus menjawab apa kalimat suamiku. Aku tau. Suamiku hanya bicara kenyataan. Sedangkan kuakui, aku tak berani menerima jika kenyataan itu benar. Aku masih berharap Wisnu akan pulang. Aku masih berharap aku masih bisa melihat badannya yang kekar, melihat anak dan istrinya jika mungkin sekarang dia telah menikah. Dan aku masih bisa berharap sehari saja bisa memeluknya sekalipun keesokan harinya Gusti yang maha pemilik segala bentuk kehidupan akan memanggilku untuk selamanya.

Ramadhan Hari terakhir

Saa ttakbir menyebut Asma-Nya lantang dikumandangkan.

Aku kembali membuka kamar Wisnu. Sengaja membiarkan diriku bertahan dalam tangis kerinduan. Suamiku pergi ke masjid. Entah ini malam takbir yang keberapa tanpa adanya Wisnu di sisiku.

Disini, beberapa tahun yang lalu. Dan lagi-lagi aku tak mau menghitung dengan angka. Wisnu mencoba baju baru lebarannya. Baju baru yang kujahit sendiri. Baju baru yang meski tak mahal harganya, namun aku puas bisa membuatkannya.

Kini, sekian tahun setelah kepergiannya, aku terus saja membuatkan baju baru untuknya. Memang terdengar konyol. Tapi hanya dengan seperti itu aku masih terus memupuk harapan. Kelak, Wisnu akan pulang. Besok Wisnu akan kembali untukmenghapus air mataku. Menghapus semua kerinduan yang entah dengan cara apa aku mengobatinya.

Tidak ada cara lagi.

Kecuali, Wisnu hadir dan mendekapku dalam pelukan hangatnya.

Merengkuh tubuh ibunya yang telah rapuh termakan usia.



Puluhan Tahun Yang lalu.

Sebuah berita yang serta merta menjadi headlin news di media manapun.

Dilaporkan, Jum’at dini hari sebuah kapal yang diduga mengangkut TIK illegal Karam. Sebanyak 95 penumpang kapal jenis pum-pum yang karam Perairan Pulau Carey, Kuala Langat, Selangor, Malaysia, pada Rabu (18/6) dini hari kemarin dinyatakan meninggal. Mereka yang sebagian besar berasal dari Jawa telah diidentifikasi.

Seperti diberitakan Antara, tragedi itu terjadi ketika kapal kayu itu baru berlayar 200 meter dari dermaga ilegal di Sungai Air Hitam.

Para penumpang yang di duga merupakan pekerja tanpa izin (PATI) itu dalamperjalanan pulang ke kampung halaman menjelang bulan Ramadan.

Kepala Operasi APMM Klang, Lt. Mohd Hambali Yaakop seperti dikutip media lokal, Kamis mengatakan, penyebab karamnya kapal yang biasa digunakan untuk mengangkut bawang itu kemungkinan karena kelebihan muatan, bocor atau melanggar beting pasir yang banyak terdapat di sekitar lokasi kejadian.

"Lokasi tersebut memang dikenali sebagai jalan tikus untuk PATI wargaI ndonesia menyelundup keluar dari negara ini secara ilegal," katanya
.

Seorang laki-laki, yang tubuhnya terapung-apung di laut nyaris kehabisan nafas. Dia sadar, pintu gerbang kematian telah terbuka lebar untuknya. Dan siap menyambutnya tanpa ada pilihan untuk menolak.

Satu kata yang sempat terucap, hingga akhirnya nafas itu tak pernah ada lagi.

“Ibu, maaf. Wisnu belum bisa membiayai ibu naik haji. Semoga Allah mempertemukan kitadi surga-Nya."

Andai saja dia bisa bertahan lima menit saja, tidak akan ada seorang perempuan tua yang tiap hari harus menangis memndam kerinduan pada anak laki-lakinya. Lima menit saja. Kapal penyelamat tim SAR mungkin akan sampai dan menyelamatkannya.





Semarang, 28 Juni 2014


Saat hatiku penuh dengan emosi, aku akan menulis apapun untuk melampiaskannya :')

No comments:

Post a Comment