Tuesday, 12 May 2015

CERBUNG : SUJUD CINTAKU DI MIHRAB TAAT (16)





....... Batas antara cinta dan keegoisan memang pudar, bias, bahkan nyaris tak terlihat ........


            “Do, Edo. . . . Kenapa melamun?”
            Aku melambaikan telapak tangan di depan muka Edo. Namun tak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari segelas jus jeruk yang sejak tadi tak sedikitpun disentuhnya.
            “Do. . . .”
            Wajahnya sempurna membeku. Tatapannya bias. Sepintas terlihat kosong, namun aku yakin ada fikiran yang menyesak. Baiklah. Aku memutuskan menunggu sampai Edo sadar dengan lamunannya.
            Semenit. Dua menit. Tiga menit. Hingga sekian menit kemudian pandangannya tak beralih sedikitpun. Hingga tiba-tiba.
            “Elen, kita menikah sekarang. Hari ini juga. Kamu siapkan saksi. Aku siapkan mahar dan penghulunya.”
            Aku menelan ludah. Sedikit tersedak karena kalimat Edo yang tiba-tiba keluar dari goanya tak pernah terbayangkan sedikitpun olehku.

            “Hari ini? Apa tidak terlalu cepat?. Bagaimana dengan orang tuamu?orang tuaku? Dan. . . .” Aku menelan ludah. Sedikit takut untuk menyebut namanya. “Dan. . . Evan?”
            Mendengar nama Evan kusebut, Edo menatapku lunglai. Seperti ada ribuan kubik air yang menyiram api semangat dan sikap egoisnya untuk tetap memilikiku.
“Kamu hanya perlu menyipakan wali yang bisa dilakukan sendiri oleh papamu. Cukup hanya papamu saja yang setuju tak jadi soal. Sedangkan aku sendiri, bahkan seluruh keluarga beserta seluruh orang di dunia ini kecuali kamu dan papamu tak setujupun aku tetap bisa menikah jika tuhan tetap menghendaki. Apalgi Evan.!”
            Aku menggigit bibir bawah. Ngeri mendengar semua ocehan Edo. Inikah cinta yang melumpuhkan segala logika?. Cinta atau keegoisan?. Entahlah Sepertinya batas antara cinta dan keegoisan memang bias. Bahkan nyaris pudar.
            “Kita akan menikah dimana?” Akhirnya aku menyerah.
            “Di Masjid dekat rumahmu. Sebaiknya jangan tunda pernikahan ini. Bukankah dalam agama tidak baik menunda pernikahan?”
Aku mengangguk menyerah dengan semua kalimat pembenaran Edo yang jika boleh kucerna, sungguh sarat dengan warna keegoisan.
            “Habiskan minumanmu. Kita langsung ke toko perhiasan. Membelikanmu sebuah cincin dan seperangkat alat shalat untuk mahar pernikahan kita nanti malam. Dan satu lagi. Kumohon segera telphon papamu. Beritahu tentang rencana pernikahan kita nanti malam. Katakan pada beliau. Tak perlu mempertimbangkan perasaan semuanya termasuk perasaan Evan. Hubunganmu dengan Evan telah berakhir. Tidak adalagi yang tersisa. Dan menikah denganku adalah pilihanmu sendiri. Pilihan kita. Apapun resiko yang akan kita hadapi di belakang nanti, semua akan kita tanggung bersama. Kamu siap, Elen?”
            Otakku tak sanggup berfikir. Keputusan ini bukan berarti tanpa resiko. Namun apapun resiko itu, inilah pilihanku. Menikah dengan Edo. Orang yang kucintai dengan tiba-tiba. Aku mengikuti saja apa kemauan Edo. Bahkan ketika dia erat memegang tanganku dengan sedikit menarik kasar lenganku ketika mengajakku untuk segera bergegas pergi. Aku menurut saja.
            Memasuki mobil Edo dengan hening yang sempurna membungkus. Edo menarik gas mobilnya dengan kasar. Membisu sepanjang perjalanan hingga mobil Edo memasuki sebuah toko perhiasan. Sedikit bertanya-tanyaa pada penjaga toko perhiasan tentang pilihan cincin pernikahan.
            Seharusnya moment ini kulewati dengan bahagia. Betah berlama-lama memilih sedetail mungkin tentang cincin pengikat yang akan dipakaikan Edo di jari manisku saat hari pernikahan kita nan sakral nanti. Tapi semuanya berlalu dengan segenap perasaan yang menggantung.
            Tak perlu menghabiskan banyak waktu. Edo hanya menunjuk sebuah cincin kecil yang sederhana dan memakaikannya di jariku.
            “Mau..?” Dan aku hanya mengangguk.
            Karena Edo tak mau membuang banyak waktu, Edo langsung meminta penjaga toko membungkus cincin itu, membayarnya, dan sekejap kemudian kita sudah meninggalkan toko perhisan tersebut.
            “Kita langsung membeli seperangkat alat shalat. Kamu sudah memberitahu papamu?”
            Aku hanya mengangguk kecil. Separuh anggukan untuk jawaban menyetujui rencana Edo membeli seperangkat alat shalat, dan separuh anggukan lagi untuk memberi jawaban bahwa aku telah menghubungi papaku.
            “Bagaimana jawaban papamu?”
            “Awalnya kurang setuju. Tapi aku membujuk. Akhirnya papa menyerah. Sebelum jam tiga aku sudah harus sampai rumah. Agar banyak waktu untuk mempersiapkan acara nanti malam.”
            “Baiklah. Di depan sana ada beberapa toko muslim. Kamu pilih saja sesuai keinginanmu. Tak sampai setengah jam, kita sudah bisa pulang. Langsung kuantar kamu kerumah. Dari rumahmu aku mampir ke rumah sebentar. Mengambil sedikit perlengkapan. Kuusahakan habis magrib aku sampai di rumahmu. Agar setelah isya acara ijab qabul bisa segera dimulai.”
            “Kamu sudah menelphon mama dan papamu?. Memberi tahu tentang rencana pernikahan kita?”
            “Kan aku sudah mengatakan. bahkan seluruh keluarga beserta seluruh orang di dunia ini kecuali kamu dan papamu tak setujupun aku tetap bisa menikah jika tuhan tetap menghendaki. Sesampainya di rumah baru akau akan memberitahu orang tuaku kalau aku akan melangsungkan pernikahan nanti malam di masjid dekat rumahmu.Terlepas apakah mereka menyetujui atau tidak, menerima atau tidak, pernikahan itu akan tetap terjadi.”
            Aku mengangguk pasrah. Tak bisa berkata apapun sekalipun di sudut hatiku yang paling dalam, aku melihat ada sikap Edo yang tiba-tiba berubah. Berubah menjadi lebih tegas. Atau bahkan cenderung sedikit kasar.

**********
            Semua terjadi dengan begitu sederhana. Tidak ada hiasan rumah yang menadakan bahwa malam ini salah satu penghuni rumahku ada yang akan menikah. Tak ada saudara lainnya. Yang ada hanya mama dan papa yang mengiringku menuju masjid dekat rumah. Di masjid sudah ada satu penghulu yang diminta dadakan oleh papa untuk menikahkan kami.
            Mama tak hentinya meneteskan air mata semenjak pertama kali menyapukan bedak dan riasan seadanya di wajahku. Siapapun ibu, pasti akan meneteskan air matanya ketika melepas putrinya menuju pelaminan. Menuju gerbang kehidupan dengan lembaran yang baru bersama pasangannya. Seharusnya air mata itu adalah air mata haru. Air mata kebahagiaan bahwa tugasnya sebagai orang tua telah selesai malam ini. Namun aku tahu, air mata itu adalah air mata kesedihan. Karena putrinya menikah dengan segenap ketidakjelasan.
            Tepat setelah shalat isya prosesi ijab qabul segera dimulai. Kehawatiranku tentang kedua orang tua Edo akhirnya tidak terjadi. Edo datang beserta kedua orang tuanya meski tanpa Evan. Entah dimana Evan sekarang.
            Kedua orang tua Edo mencoba untuk selalu tersenyum. Terutama Tante Ita, Mamanya. Senyum yang tersungging sungguh sempurna menutupi segenap gerimis batin yang terpaksa harus disimpannya rapat-rapat untuk beberapa jam kedepan. Bahkan Tante Ita masih bisa memberikan pelukan hangat dan menentramkan ketika mama tiba-tiba mendekapnya dengan tangisan yang tertumpah.
            Papa dan Om Setiawan, papanya Edo masih terlihat serius dengan tekhnik acara yang serba dadakan ini. Sesekali terlihat berkoordinasi dengan penghulu dan pengurus masjid yang dimintai tolong untuk menjadi saksi pernikahan nanti.
            Perasaanku bercampur dengan tak terdevinisikan. Di satu sisi bahagia. Namun tak bisa kupungkiri di sisi lain menyimpan kehawatiran yang memuncak. Kehawatiran apa?. Entahlah. Aku menarik nafas panjang, menghembuskannya perlahan. Mencoba mengusir segala sesak yang menyumbat.
            Urutan acara demi acara dimulai. Hingga sampailah pada acara puncak. Pak penghulu mengucap lantang kalimat “ijab” sambil memegang erat telapak tangan Edo. Mewakili papa meminta keseriusan Edo untuk segera menjawab dengan kalimat “qabul”. Edo mengucapkan kalimat itu dengan lantang tanpa hambatan apapun. Di menit selanjutnya, aku sah menjadi istri Edo saat para saksi dan wali memberi tahu bahwa pernikahan ini telah sah.
            Sebongkah batu yang rasanya sejak tadi menyumbat seluruh hati dan perasaanku, tiba-tiba terasa pecah berkeping-keping, melebur, dan memberikan perasaan lega luar biasa. Aku telah sah menjadi istri Edo Setiawan. Orang yang kucintai dengan tiba-tiba tanpa keraguan sedikitpun. Edo mencium keningku lama sambil lirih membisikkan doa. Entah doa apa aku tidak begitu mengerti.
            Setetes air mataku jatuh saat mama tiba-tiba menghampiri dan memelukku. Memberikan ucapan selamat yang disusul dengan pelukan Tante Ita. Senyumnya sungguh meneduhkan. Seakan memberi jaminan bahwa aku bisa masuk menjadi salah satu anggota keluarganya tanpa perlu disertai kehawatiran. Papa mencium keningku perlahan. Disusul kemudian Om Setiawan yang memberikan pelukan tak kalah menentramkan seperti apa yang dilakukan Tante Ita.
            Semua serba sederhana. Edo memakaikan cincin yang kita beli tadi siang dijari manis tangan kananku. Kuberanikan menatap binar matanya. Binar mata kebahagiaan. Binar mata kelegaan. Karena Edo telah berhasil menikahi wanita yang dicintai dan mencintainya meski harus dengan sedikit sikap egois merebutku dari Evan, adiknya. Kadang kala memang begitulah suratan tertulis. Semua sah dalam perang dan cinta. Termasuk merebut apapun dan merebut siapapun.
            Setelaha prosesi acara ijab qabul selesai, kami masih beberapa waktu di masjid. Sambil membantu pengurus masjid mengembalikan segala peralatan yang tadi digunakan untuk prosesi ijab qabul. Diam-diam mama memesan catering sederhana di rumah untuk suguhan keluarga Edo. Dan meminta kami semua berkumpul di rumah beramah tamah sambil menikmati sajian makan malam.
            Selang beberapa menit setelah acara selesai, tiba-tiba Arinda datang dengan membawa sebuah bungkusan kado.
            “Elen, selamat ya... Maaf baru tahu tadi sore kalau kalian malam ini menikah. Tante Ita yang menelphonku meminta menemani tante dan om ke acara nikahan kalian. Bukannya aku tidak mau. Tapi aku sudah terlanjur ada janji ke butik Tante Ana ketemu sama pelanggan. Jadinya baru sempat sekarang.”
            Aku mengangguk. Tak jadi soal.
            “Dan buat Lu, Do. Selamat ya... Semoga dikarunai sakinah, mawaddan dan penuh rahmat Allah. Dan cepat dikasih momongan.”
            Edo menyambut uluran tangan Arinda. “Makasih, Rin. Lu udah mau dateng ke acara kita aja gue udah seneng banget.”
            “Eh, iya. Ini ada titipan dari Tante Ana buat Elen.”
            Aku mengernyitkan dahi melihat bungkusan manis warna pink yang dibawa Arinda.
            “Apaan Rin?” Edo yang justru bertanya tidak sabaran.
            “Mm...  Maaf Do, gue hanya sebatas menyampaikan amanah dari Tante Ana. Ini baju pengantin Elen yang dulu pernah di pesan Evan sama Tante Ana. Alhamdulillah udah jadi. Siapa tau kalian bisa menggunakannya untuk acara resepsi nanti.”
            Edo menerima bingkisan itu dengan ragu-ragu sambil melirikku. Mencoba mencari jawaban pada retina mataku mengenai apa yang harus dilakukan dengan baju pengantin ini. Baju pengantin ini memang untukku. Tapi untuk resepsi pernikahanku dengan Evan. Bukan dengan Edo.
            “Terima saja Do, untuk acara resepsi nanti.” Arinda terus memaksa
            “Maaf, Rin. Bukannya kita gue ga mau menerima. Gaun itu Evan yang membeli. Itu milik Evan. Kembalikan padanya saja.”
            “Tapi gaun ini milik Elen.”
            “Milik Elen kalau Elen menikah dengan Evan. Tapi sekarang Elen menikah dengan gue. Lagi pula, kita tidak ada rencana untuk mengadakan resepsi. Cukup acara malam ini saja. Dan sedikit agenda untuk mendaftarkan pernikahan ini ke kantor urusan agama. InsyaAllah kami telah sah menjadi sepasang suami istri tanpa adanya pesta resepsi.”
            “Terus, setelah acara ini Lu langsung membawa Elen kembali ke Seoul?.”
            Mendengar pertanyaan Arinda, seperti ada ratusan volt arus listrik yang menyengat kulit Edo. Wajahnya kagetnya nyaris membuat keningnya berkerut tajam.
            “Belum tau. Mungkin bisa iya. Bisa juga tidak.”
            Edo menjawab singkat. Seperti memberi peringatan pada Arinda untuk tidak terus bertanya mengenai hal ini.
            Arinda akhirnya menyerah pasrah. Tak bisa lagi membujuk Edo untuk menerima bingkisan itu. Beberapa detik kemudian, hening membungkus kami. Tak ada percakapan lagi antara aku, Edo dan Arinda. Hingga tiba-tiba Tante Ita datang memecah mencairkan suasana.
            “Eh, kapan datang Rin?. Maaf Do, tadi sore mama telphon Arinda. Memberi tahu bahwa malam ini kamu menikah. Tapi Arinda tidak bisa datang bersama mama. Karena harus segera ke butik Tante Ana. Rin, yuk ke rumah Elen dulu. Ikut makan malam bersama kami.”
            “Baik, Tante. Lagi pula ada hal yang ingin Arinda bicarakan sama Edo.”
            Dahiku mengernyit. Lagi pula ada hal yang ingin Arinda bicarakan sama Edo. Hal lain apa? Kisah perjodohan mereka belum selesai?
            “Ya sudah, yuk, ke rumah Elen saja. Kita sama-sama bicara di sana.
            Benar kata mama. Ada beberapa sajian makanan sederhana yang telah dipesannya untuk acara malam ini. Menu yang sedehana. Namun cukup untuk menjamu keluarga kami, keluarga Edo dengan tambahan Arinda.
            “Do, gue mau ngomong sebentar sama Elu. Tapi jangan di sini. Penting.”
            Meski diucapkan dengan sedikit berbisaik, namun aku masih bisa mendengar apa yang dibicarakan Arinda pada Edo. Mata Edo menatap Arinda dengan sedikit keheranan. Namun Edo tidak banyak bertanya. Dia mengikuti saja langkah Arinda yang menarik tangannya menuju ke teras rumah.
            Rasa penasaranku membuncah. Mungkinkah kisah perjodohan mereka belum selesai?



Bersambung .................
           
           
           
           
           

No comments:

Post a Comment