Tuesday, 12 May 2015

CERPEN : UNGU VIOLETTA


Entah kenapa aku begitu menyukai warna ungu. Warna yang tidak banyak disukai oleh orang lain. Biasanya, warna yang banyak disukai seorang perempuan adalah pink. Sebuah simbul kefeminismean begitu kental dalam warna pink ini. Identik dengan sifat wanita yang cenderung lembut. Sedangkan bagi laki-laki, lebih cenderung pada warna biru. Yang identik dengan sifat maskulin.
            ‘Ayu Violetta’. Itu adalah nama lengkapku. Nama yang diberikan kedua orang tuaku ketika aku lahir. Violetta berasal dari kata violet. Warna ungu yang beraksen ungu tua. Tapi, bukan berarti, kesukaanku pada warna ungu karena kata ‘violetta’ mengekor pada nama lengkapku. Aku suka ungu karena aku benar-benar menyukainya. Tapi, jika aku sempat bertemu dengan seseorang yang mengenakan pakaian warna ungu, sebuah kesan elegan, tegas, namun penuh kelembutan dan kasih sayang.
            Berbagai berita miring tentang warna ungu sering kali kudengar. Dari sebuah berita di Thailand bahwa warna ungu digunakan pada saat berkabungnya para janda. Dari sinilah kesan bahwa warna ungu banyak disebut orang sebagai warna ‘janda’. Beberapa orang malah berpendapat bahwa Ungu adalah campuran warna panas dan dingin, sebagai refleksi dari merah dan biru, karena itu warna ini merupakan refleksi dari kehangatan dan kesejukan.


            Entahlah…!!!! Aku tidak begitu tau. Sempat suatu saat aku bertanya pada mama. Kenapa kata ‘violetta’ mengekor di nama lengkapku. Dari penjelasan mama, sewaktu mama mengandungku, papa yang bekerja sebagai seorang wartawan ditugaskan untuk meliput berita di wilayah Mesir. Tarutama di kawasan Alexandria. Dari sinilah papa sangat terpesona dengan cerita Ratu Cleopatra.
            Tertulis dalam sejarah, Pada masa itu, kekaisaran Romawi sangat berambisi untuk menguasai Mesir, negeri yang kaya dan subur. Cleopatra, sang ratu Mesir, berupaya dengan segala cara untuk melindungi Mesir dari penguasaan Romawi. Karena tahu tentara Mesir tidak akan mampu melawan tentara Romawi, maka Cleo mendekati jenderal pemimpin Romawi, Julius Caesar. Caesar terpikat dan jatuh cinta setengah mati kepada Cleo. Ia menikahi Cleo, meskipun sesungguhnya ia sudah punya isteri di Romawi bernama Calpurnia.  Karena cinta dan kekagumannya kepada Cleo, Caesar membiarkan Cleo tetap menjadi ratu di negerinya sendiri.
Setelah terbunuhnya Caesar oleh Senat Romawi, Cleo merasa harus mencari pelindung lain agar ia bisa tetap menjadi ratu di Mesir. Pilihannya jatuh pada Mark Antony, teman dari letnan Julius Caesar. Antony adalah kapten pasukan kavaleri. Dialah yang mengontrol seluruh wilayah Mediterania.
Ketika tahu Antony akan datang menemuinya, Cleo mempersiapkan penyambutan yang istimewa, yang tidak akan pernah dilupakan oleh Antony. Kapal kerajaan dilapisi emas, sehingga akan berkilauan bila terkena sinar matahari. Layar berwarna ungu terbuat dari sutera dan telah direndam dalam wangi-wangian sehingga angin menghembuskan aroma wangi sepanjang aliran sungai. Dayung berkilau perak menggerakkan kapal, sementara para pendayung bergerak seirama suara flute.
            Kata ‘Ayu’ pada awal nama diberikan papaku agar kelak wajahku secantik Ratu Cleopatra. Sedangkan kata ‘Violetta’ diambil dari warna ungu kesukaan Cleopatra. Yang dijadikan warna layar  terbuat dari sutera yang dijadikan untuk penyambutan istimewa bagi Antony.
Terserahlah….!!! Apapun sejarah namaku, yang pasti, kesukaan pada warna ungu tak ada hubungannya sama sekali dengan namaku. Dan sekali lagi kujelaskan, bahwa aku menyukai warna ungu karena aku benar-benar menyukainya. Karena, di mataku, warna ungu adalah warna yang indah dan lembut.
            “Ayu,,, kok ngelamun? Mau ke kantin ga?” Tanya Khansa mengagetkanku.
“Makasih Sa,,, aku belum lapar kok. Kamu duluan aja kalau udah lapar”
“Yakin kamu ga lapar?”
“Ntar aja aku ke kantinnya. Kamu duluan aja.”
Ok, ya udah. Aku ke kantin dulu ya…”
“Iya…”
            Khansa adalah teman sekaligus sahabat dekatku. Di sekolah ini aku tidak terlalu banyak teman. Karena aku tipe anak pendiam. Aku lebih nyaman dengan kesendirianku. Daripada harus bermain dan bercanda bersama teman-teman yang lain. Aku lebih suka berimaginasi dengan khayalan dan lamunanku. Aku lebih suka berada di kamar berjam-jam meski hanya sekedar membaca ataupun mendengarkan music. Selera musikku mungkin juga berbeda dengan teman-teman yang lain. Aku lebih menyukai music bernuansa melankolis daripada bernuansa rock.
            Begitu pula untuk masalah rekreasi atau sekedar melepas lelah. Aku lebih suka menghabiskan waktu sepanjang hari di perpustakaan. Duduk menyendiri di sudut ruangan untuk membaca sebuah novel. Daripada berjalan-jalan ke mall atau pusat perbelanjaan lainnya.
            Introvet. Kata itu yang pernah ku dengan dari bu Ida, guru Bimbingan dan Konseling di sekolahku. Aku tipe orang yang Introvet dan tertutup. Salah satu factor penyebabnya mungkin karena aku anak tunggal di keluarga. Aku tak punya saudara kandung. Di rumahku hanya tinggal tiga manusia. Aku, mama dan papa. Sedangkan papa sendiri yang berprofesi sebagai seorang wartawan sering tugas ke luar kota bahkan ke luar negeri untuk jangka waktu yang lama.
            Jika aku boleh jujur, di dunia ini rasanya aku hanya punya dua teman. Mama dan Khansa. Tapi entah kenapa aku tidak begitu tertarik untuk curhat kepada salah satu di antara mereka jika aku sedang ada masalah. Kepada mama ataupun kepada Khansa. Aku lebih suka menuangkan segala gundah hatiku pada sebuah buku harian. Ada kepuasan tersendiri jika aku menulis. Dengan menulis, aku merasa bisa mengungkapkan sesuatu yang tak bisa terucap dengan lisan.
            Seperti inilah aku menghabiskan waktu istirahat. Hanya duduk sendiri menikmati angin di depan kelas. Kebetulan kelasku menghadap pada sebuah bangunan mushala sekolah. Mushala yang ketika waktu istirahat banyak digunakan oleh siswa untuk melaksanakan shalat dzuha. Sebetulnya, akhir-akhir ini aku sedang asyik memperhatikan sesosok siswa kelas dua. Kakak kelasku. Meski sebetulnya aku tahu namanya, tapi aku tidak tertarik untuk menyebut dia dengan namaya. Tapi aku lebih sering memanggilnya dengan sebutan ‘Si Ungu’.
            Kata sebutan ini bukan berarti kata sapaan saat aku memanggilnya. Karena, tak sekalipun aku pernah bertutur kata dengannya. Aku hanya menggunakan sebutan ‘Si Ungu’ ini saat aku menuliskan namanya di lembaran-lembaran buku harianku. Jujur, sebetulnya, ingin sekali aku berkenalan dan bersahabat dengannya. Tapi, sudahlah….!!!! Aku lebih nyaman meletakkan wajahnya hanya dalam bayanganku saja.
            Secara sepintas, dia memang seperti siswa laki-laki lain di sekolah ini. Tapi entah kenapa aku begitu tertarik dengan keteduhan wajahnya. Wajah polos tapi mengesankan nyaman bagi yang memandang. Jauh dari kesan keangkuhan dan kesombongan.
            “Hayo…. Ngelamun lagi ya??!!” Suara Khansa mengagetkanku.
“Hehehehe….”
“Kok ga ke kantin?”
Ga lapar Sa….”
Hallo… kamu liat apa Yu…????”
Ternyata Khansa tau kalau aku sedang tidak konsentrasi dengan kehadirannya. Mataku masih tertuju pada Ungu yang duduk menyandarkan badan di depan mushalla. Sepertinya dia baru saja selesai shalat dzuha. Sisa kesegaran air wudhu masih terasa melekat di wajah sejuknya.
Ga liat apa-apa Sa…”
“Kakak kelas dua itu ya????”
Ga kok…” Jawabku mencoba menepis.
“Yu… sampai kapan kamu akan terus jadi anak yang tertutup?”
Aku masih tetap terdiam. Tak ingin sedikitpun menceritakan apa yang kurasa pada Khansa.
“Kamu memang tidak pernah cerita. Tapi aku tau Yu… mata kamu lain ketika memandangnya.”
“kamu sok tau Sa…”
            Ungu beranjak pergi dari mushalla. Mataku masih lekat mengikuti langkahnya. Tak peduli Khansa sedang memperhatikan arah mataku. Sesekali Khansa memperhatikan juga arah Ungu berjalan. Seiring sejalan simetris dengan tatapan mataku tertuju.
“Dia siswa teladan di sini Yu…”
“Aku tau.”
“Banyak gadis yang suka sama dia.”
“Aku juga tau.”
“Dan banyak yang kecewa karena cinta mereka tak tersambut olehnya.”
“Dan itu aku juga tau. Karena itu aku tau diri.”
            Setelah tak tampak lagi ungu dalam pandanganku, aku beranjak pergi juga. Membalikkan badan menuju ke kelas. Tak sedikitpun kupedulikan teriakan Khansa yang terus memanggilku.
“Yuuuu…. Kamu beneran ga jadi ke kantin?”
Ga lapaaaaaaaarrrrr……..”
            Seperti itulah hari-hari yang kulalui di sekolah. Fikiranku hanya dipenuhi satu nama. Ungu, Ungu, dan hanya Ungu. Sering sekali aku mendengar orang lain memanggil dengan nama panggilannya. Tapi aku lebih suka menyebutnya dengan panggilan ‘Ungu’. Setiap pagi sebelum masuk jam pertama pelajaran, aku sering melihatnya duduk di depan kelasnya. Siang diwaktu istirahat mataku terus tertuju pada mushalla yang tak pernah lekang menampilkan wajah teduhnya. Selepas shalat dzuha, tempat yang sering dikunjungi adalah perpustakaan. Terkadang juga sesekali kulihat dia bersama teman-temannya makan di kantin.
            Yang bisa kulakukan tiap hari hanya diam memperhatikannya. Meski jauh di sudut hati, aku teramat ingin bisa sekali saja bertutur sapa dengannya. Sejenak saja berharap bisa duduk berdua meski hanya sekedar berbincang mencairkan diam lisanku yang selama ini membeku. Tapi kapan…???????
            Aku tak punya banyak keberanian untuk mengungkapkan. Aku sadar siapa diriku. Aku mungkin bukan sosok terbaik yang pantas untuk mengaguminya. Banyak gadis lain di sekolah ini atau bahkan di luar sana yang mengharap sambutan atas perasaan yang tersimpan rapat di hati mereka. Aku hanya gadis kerdil yang tak punya banyak kelebihan. Aku hanya seputik melati kecil yang berharap dapat meraih anggun dan indahnya cahaya sang bulan.
            “Mau kemana Yu…???” sapa Khansa
“Ke Perpustakaan.”
“Dia lagi?’
“Mungkin.”
“sampai kapan kamu akan bertahan diammu?”
“Sampai aku sanggup mengungkapkannya.”
“Jika kamu tidak sanggup???”
Aku terdiam mendengar pertanyaan Khansa.
“Jangan kau sakiti persaanmu sendiri dengan sikap diammu Yu…!!!. Mau kubantu?”
“Tidak. Terima kasih.”
Aku berlalu dan meninggalkan Khansa yang masih mematung melihat sikapku.
            Di perpustakaan aku melihatnya duduk menyendiri. Perhatiannya tertuju pada sebuah buku di hadapannya. Sikapku masih tetap seperti biasa. Duduk memperhatikan teduh wajahnya dari kejauhan. Berharap dia tidak tahu, kalau aku sedang memperhatikannya. Atau bahkan teramat sering memperhatikannya. Lisanku masih kelu dalam diam.
“Ungu… sampai kapan kau akan terus membuatku seperti ini?’
Pekikku dalam hati.
Rasanya, saat itu aku ingin sekali mendekat dan mengajaknya berkenalan. Menatap wajahnya dari jarak dekat. Menikmati tutur suaranya yang teramat sopan saat berbicara pada siapapun. Tapi, lagi-lagi langkahku tak berani untuk beranjak. Tubuhku hanya mematung pasrah pada keberanian yang tak kunjung datang. Sampai akhirnya, kulihat Ungu beranjak dari duduknya. Mengembalikan buku di tempatnya, kemudian keluar. Bersama waktu istirahat yang telah usai. Untuk kesekian kalinya aku hanya bisa diam tanpa kata apapun.
Seminggu ini aku tak melihat Ungu di sekolah. Hari pertama dan kedua saat Ungu tak kulihat, ada gusar yang kurasa. Ada sesuatu yang rasanya hilang.
“Dia sakit Yu… sudah tiga hari ini dirawat di rumah sakit.”
“Sakit apa Sa..???”
“Kata Hafsah, dia sakit tifus.”
Aku terdiam. Ada hawatir yang tiba-tiba menyelinap.
“Kamu ga ingin menjenguknya Yu…???”
“Dia tak mungkin mengharap kedatanganku.”
“Tapi apa salahnya kalau kamu datang sekedar menjenguk.”
“Di rumah sakita mana?”
“Rumah sakit yang dekat dengan sekolah kita. Tadi, waktu aku di kantin, aku dengar, anak-anak OSIS mau pada jenguk. Kamu ikut sekalian aja. Ntar aku temenin.”
            Bersama anak-anak OSIS????. Oh Tidak…!!! Aku minder jika barengan dengan anak-anak aktivis dan penuh prestasi seperti mereka. Aku hanya siswa yang tak benyak kelebihan.
Ga usahlah Sa… aku sama sekali tidak ada keinginan untuk menjenguknya.”
“Kamu yakin…???”
Aku hanya bisa mengangguk. Dan kemudian berlalu dari hadapan Khansa.
            Sepulang sekolah, hatiku galau. Perasaan untuk ke rumah sakut menjenguk Ungu begitu kuat. Tapi aku tak ingin bareng dengan rombongan anak-anak OSIS. Apa mungkin minta tolong Khansa?. Ah… rasanya juga tidak mungkin. Tadi pagi aku sudah mengatakan bahwa aku tidak akan menjenguk Ungu. Bayangan wajah Ungu mengendap-endap di otakku.
            Ya…!!! Aku ingin menjenguk Ungu. Aku ingin menatap wajah teduhnya. Aku ingin melihat keadaannya. Dan jujur… aku rindu padanya.
“Yu… Ayo naik… malah ngelamun. Mau pulang ga????”
Teriak Khansa dengan sepeda motor yang telah siap di depanku.
“Emmmm… kamu pulang sendiri aja.!!”
“Lha terus kamu mau naik apa?”
“Aku mau di jemput papa. Hari ini papa janji mau menjemputku.”
“Beneran…???” Tanya Khansa agak heran.
“Iya… Beneran.”
“Ya udah ati-ati ya….!! Aku pulang dulu.”
Khansa berlalu dari hadapanku setelah melambaikan tangannya.
            Dengan langkah sigap, aku segera menyeberang jalan depan sekolah. Menuju sebuah rumah sakit terdekat. Seperti kata Khansa tadi pagi. Ungu di rawat di sebuah rumah sakit dekat sini. Hanya perlu wakti lima belas menit untuk berjalan kaki menuju rumah sakit itu. Sesampainya di depan rumah sakit, aku melihat rombongan pengurus OSIS telah datang terlebih dahulu. Aku tak ingin masuk bersama mereka. Karena aku tak ingin, kedatanganku diketahui oleh orang lain.
            Untuk mencari ruang tempat Ungu dirawat, aku harus menanyakan kepada resepsionis rumah sakit.
“Oh, di ruang Anggrek kelas satu. Ikuti saja rombongan anak-anak SMA yang itu.”
Kata resepsionis sambil menunjuk rombongan OSIS yang mungkin saja tadi juga bertanya ke sini.
“Oh ya Mbak… terima kasih.”
Aku berlalu dan memilih untuk duduk sebentar di loby. Dengan tujuan, aku akan masuk setelah rombongan anak-anak OSIS keluar.
            Hampir tiga puluh menit aku menunggu. Akhirnya, aku melihat anak-anak OSIS keluar rumah sakit. Aku sengaja sembunyi agar mereka tidak melihatku. Setelah kurasa aman, perlahan, aku berjalan menuju ruangan tempat Ungu dirawat. Sesampainya di depan pintu, aku tak berani masuk. Dari luar, aku bisa melihat Ungu tertidur. Ditemani seorang perempuan yang aku yakin perempuan itu adalah ibunya.
            Tubuhnya terlihat lemas dan memucat. Tapi teduh wajahnya tak pernah pudar. Aku tak ingin Ungu tahu kalau aku datang untuknya. Aku hanya ingin melihat keadaannya. Tidak ingin menampakkan diriku dihadapannya.
“Teman sekolahnya anak saya ya???? Masuk saja…!!!”
Suara perempuan yang dari tadi menunggui Ungu tiba-tiba mengagetkanku. Tubuhku agak gemeteran. Karena aku merasa tertangkap basah. Tapi aku hanya bisa tersenyum.
“Saya ibunya. Masuk saja tidak apa-apa. Kebetulan ibu mau keluar sebentar. Tidak ada yang menjaga anak ibu. Ibu minta tolong, sebentar saja untuk menjaga anak ibu. Sekitar tiga puluh menit saja. Bisa kan….????”
Apa….?????????
Aku bingung mau berbuat apa. Ingin rasanya kabur agar  Agar Ungu tak melihatku. Aku tak mau malu.
“Tadi teman-temannya juga pada datang. ,Mau Ya… bantu ibu sebentar. Ibu ada sedikit keperluan keluar. Tadinya ibu mau minta tolong sama suster. Tapi, karena sudah ada kamu temannya, ibu minta tolong kamu saja ya…”
“Kok ibu tahu kalau saya temannya.”
“Lha ini lokasi sekolahnya sama dengan anak saya…”
Aku tak bisa mengelak lagi. Karena dia langsung menarik tanganku untuk masuk ke dalam.
“Nak… kebetulan ini ada temanmu. Ibu minta tolong buat temani kamu sebentar. Ibu sudah ditunggu ayah di rumah nenek. Ibu tinggal dulu ya….!!!! Assalamu’alaikum…”
Katanya sambil mencium kening anaknya dan kemudian berlalu.
            “Emmm Ma..ma..af kak… ta..tadinya mau jenguk saudara di sini. Tidak sengaja ketemu ibu kakak di depan.”
Kataku dengan nada yang terdengar agak kaku.
“Oh… ga apa-apa. Kakak yang minta maaf karena ngrepotin. Kamu satu sekolah denganku ya?”
“I.. iya… ga papa Kak. Panggil saja aku Ayu. Aku siswi kelas satu.”
“Ow gitu??? Kok Kakak ga pernah liat kamu ya?”
“Emmm… aku jarang main sama teman-teman. Makanya, jarang yang kenal aku.”
“Ya…ya…ya…”
            Entah mimpi apa aku semalam. Tanpa sengaja mendapat kesempatan yang selama ini aku inginkan. Perasaanku tak menentu. Senang bercampur grogi. Aku tak berani menatap lama-lama wajahnya. Karena, saat berbicara denganku, tak sedikitpun matanya menatap mataku. Seakan dia mencari pandangan lain tanpa mau mengurangi kesan kesopanan yang selama ini selalu dia tampakkan. Pantas, jika banyak gadis yang menaruh hati padanya.
            “Ow ya,,, tadi namanya siapa? Kakak lupa.”
“Ayu kak… Lengkapnya Ayu Violetta. Tapi panggil saja Ayu.”
“Violet… sama seperti warna tas dan tali rambutmu.”
Cesssssss….
Seperti layaknya embun yang menetes sejuk di dasar labirin hati. Saat kudengar cara menyapa serta cara berbasa-basinya. Sedangkan aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum kecil. Wajah teduhnya terus mencandai hatiku. Sejenak, keinginan untuk mengatakan apa yang selama ini kurasakan muncul tiba-tiba. Terserah dia akan mengatakan apa tentang sikapku. Aku hanya ingin mengurangi sedikit beban batin. Karena, jika lama kusimpan, aku takut akn mengendap dan mengerak di dasar hati.
            Ah… tapi tidaklah. Aku tidak siap dengan kemungkinan terburuk. Aku takut, setelah aku megatakan semuanya, dia hanya tersenyum kecil. Sedangkan hatinya berkata,,
“Gadis bodoh….!!!”
Tidak Ya Tuhan… aku tidak mau mengatakannya. Bertemu dan bisa berbicara langsung dengannya saja adalah hal terindah yang kudapatkan saat ini. Biarkan aku menyimpannya dalam hati. Aku takut jika aku mengatakan, justru akan mengeruhkan semuanya. Izinkan dia menjadi Ungu yang hanya bisa berperan pada sandiwara fiksi dalam setting hayalanku.
            Seminggu berlalu dari pertemuanku dengan Ungu di rumah sakit. Makin hari hatiku makin tak menentu. Malam ini, Kutenggelamkan tubuhku dalam lamunan. Siang tadi, aku melihat Ungu telah masuk sekolah. Aku berharap, tak ada yang tau kalau aku sempat bertemu dengan Ungu di rumah sakit. Terutama Khansa. Aku tak mau Khansa tau. Memang tak ada alsan bagiku kenapa aku tak ingin Khansa tau. Aku hanya ingin menyimpan ini semua sendiri. Biarkan ini hanya menjadi cerita dalam serpihan-serpihan diary hidupku. Tanpa orang lain tau. Dan ternyata benar. Tak ada yang Tanya padaku tentang kedatanganku di rumah sakit.
            Sempat muncul pertanyaan di otakku. Kenapa Ungu tak cerita kepada teman lain?. Oh….!!!! Mungkin aku memang tidak penting baginya. Sehingga, kedatanganku bukanlah sebuah peristiwa istimewa. Sehingga tak perlu diceritakan kepada orang lain.
            Yup…!!! Tiba-tiba, ada sebuah ide yang muncul di fikiranku. Mengirim surat untuknya. Jika memang benar aku tak penting baginya, aku tak perlu hawatir. Karena, dia tidak akan mempedulikan apa yang kuperbuat. Karena tidak peduli, maka dia tidak akan cerita kepada yang lain. Aku hanya ingin satu hal. Sedikit mengurangi semua beban yang terus mengendap, Agar sedikit lebih ringan. Terserah dia mau mengekspresikan bagaimana. Yang penting, aku sudah mencoba melakukan apa yang kubisa.
            Segera kuambil kertas dan pena. Menuliskan apapun yang ingin kuucapkan.

            Teruntuk Kakak….
Teriring rasa takut yang mengental, kucoba menuliskan semuanya. Menuliskan sesuatu yang tak bisa kuucap dengan lisan.
Mungkin, saat Kakak membaca surat Ayu ini, Kakak sedang disibukkan dengan segudang agenda. Karena itu, bersama kata ‘maaf’, Ayu selipkan juga kata ‘terima kasih’. Maaf karena Ayu telah mengganggu Kakak. Dan terima kasih karena Kakak masih menyisihkan waktu Kakak untuk sekedar membaca tulisan Ayu.
Kak, jika Ayu boleh jujur, waktu di rumah sakit kemarin, sebenarnya Ayu memang sengaja datang untuk Kakak. Karena Ayu ingin sekali melihat keadaan Kakak. Ayu hawatir. Tapi Ayu tak berani jujur. Karena itu Ayu sengaja berbohong untuk sebuah alasan kenapa Ayu bisa sampai di rumah sakit itu.
Tadinya, Ayu hanya ingin melihat keadaan Kakak dari luar kamar tempat Kakak dirawat. Tapi, tiba-tiba ibu Kakak melihat kedatngan Ayu. Pas kebetulan ibu Kakak mau ada keperluan. Kemudian, ibu Kakak maminta Ayu untuk menggantikannya  menjaga Kakak.
Ayu seneng Kak… bisa bertemu dan berbicara langsung dengan Kakak. Meski hanya tiga puluh menit. Paling tidak, itu bisa menjadi obat atas apa yang Ayu rasakan selama ini. Sudah lama, Ayu mengenal Kakak. Tapi Ayu tidak punya keberanian untuk sekedar menyapa atau mencoba mengawali perkenalan. Karena Ayu malu sekaligus sadar siapa Ayu.
Mungkin, surat ini adalah surat yang kesekian kalinya dari para gadis yang menaruh perhatian pada Kakak. Karena, Ayu yakin, siswa secerdas dan sesoleh Kakak, pasti akan mendapat tempat tersendiri di hati seorang gadis. Seperti Kakak yang selalu mendapat tempat teristimewa di hati Ayu.
Entah darimana Ayu harus memulai mengucapkannya. Karena, semakin Ayu mencoba menulis meski hanya sekedar melepaskan kekeluan batin, Ayu semakin merasakan bahwa Ayu adalah orang terbodoh. Ayu hanyalah seputik melati kecil di semak belukar yang menginginkan uluran tangan rembulan seperti Kakak. Tiap malam, melati kecil itu hanya duduk termangu menatap gagahnya cahaya rembulan malam. Berharap suatu saat sang bulan akan menjemputnya dan membawanya ke angkasa menikmati kerlipnya bintang.
Seperti Ayu yang selama ini hanya bisa menatap Kakak dari kejauhan saat Kakak di depan mushala. Menikmati diamnya Kakak saat Kakak di perpustakaan. Di saat itulah Ayu ingin berlari dan mendekat di hadapan Kakak. Hanya untuk mengatakan sebuah kata
                        “Aku Cinta Kakak”
Tapi maaf Kak… Ayu tidak bisa mengatakan itu secara langsung. Yang bisa Ayu lakukan selama ini hanya diam. Dan melalui tulisan kecil inilah, Ayu mencoba mengungkapkan semuanya. Meski Ayu tau, jawaban apa yang akan Ayu dapatkan. Mungkin hanya kata ‘maaf’ dari Kakak. Maaf karena Kakak tidak bisa menyambut perasaan Ayu dengan perasaan yang sama seperti yang Ayu rasakan. Tapi tak apalah. Jawaban apapun tak penting bagi Ayu. Yang Ayu butuhkan hanya ruang untuk mendiskripsikan warna perasaan Ayu yang sebenarnya.
Hufffttt… Lega rasanya. Semua telah terungkap. Meski belum terjawab. Kakak tak perlu membals surat Ayu. Karena Ayu tak butuh balasan apapun. Ayu tak butuh ekspresi apapun dari Kakak mengenai tulisan ini. Ayu mengerti dan bisa menerima, jika semuanya hanya datar saja. Ayu sudah cukup puas dengan melihat dan menikmati wajah Kakak dari jauh. Seperti apa yang Ayu lakukan selama ini.
Ya sudah Kak… waktu telah beranjak malam. Ayu tau, mungkin sekarang Kakak masih disibukkan dengan segudang aktivitas yang berguna untuk masa depan. Selamat tidur Kak. Meski Ayu tau, Ayu tak pernah sekalipun singgah dalam istana mimpi Kakak, tapi, Kakak selalu menjadi raja pada singgasana istana mimpi Ayu.
Selamat malam Kak….
Ayu tutup tulisan kecil ini dengan segudang kata ‘terima kasih’

          Kubaca sekali lagi hasil tulisanku. Takut kalau ada kata-kata yang dapat menyinggung perasaan Ungu. Setelah yakin, kulipat selembar kertas berwarna ungu itu dan kumasukkan ke dalam amplop yang warnanya senada. Dengan senyum yang sedikit mengembang, aku memasukkan surat itu di tas. Aku berencana memberikannya pada ungu besok sepulang sekolah. Kebetulan, besok adalah hari penerimaan raport semester ini. Berarti, dalam waktu dua minggu aku tidak bertemu dengan Ungu. Karena liburan semester ganjil.
          Apapun balasan dari Ungu, tidak penting bagiku. Terserah dia mau berkata apa tentang aku. Aku siap menerima kemungkinan terburuk sekalipun. Malam ini kututup mata dengan senyum. Dan bersiap untuk memasuki istana mimpi dimana Ungu telah duduk di singgananya. Kulihat dia mengembangkan senyumnya saat menyambut kedatanganku sambil berkata,,,
“Selamat datang permaisuriku…..”
          Suasana sekolah telah ramai. Kebanyakan, para siswa datang dengan orang tuanya untuk mengambil raport. Kebiasaan sekolahku adalah selalu memasang di papan pengumuman, juara satu parallel masing-masing kelas. Dari kelas satu dan kelas tiga. Sebelum aku mengantar mama ke kelas, kusempatkan menengok papan pengumuman. Dan aku masih bisa melihat nama Ungu terpampang sebagai juara satu parallel kelas dua. Kata kakak-kakak kelasku, Ungu memang selalu jadi juara parallel dari dua ratus delapan puluh siswa seangkatannya.
          “Assalamu’alaikum Ayu…..”
Ada sebuah suara yang kukenal menyapa di belakangku. Jantungku sempat berdegup kencang. Ungu berdiri di hadapanku.
“Wa’alaikumsalam Kak… “
“Ayu apa kabar???”
“Baik Kak,, Kakak sendiri gimana?”
“Alhamdulillah baik juga.”
Senyumnya benar-benar mencandai hatiku.
“Ow ya Kak… selamat ya… dapat juara satu parallel lagi di kelas dua.”
“Hehehe… iya terima kasih. Ow iya,,, Sebenarnya dari kemarin Kakak cari Ayu.”
“Cari Ayu Kak?????”
Suaraku tergagap karena merasa tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Ungu mencariku. Padahal, selama ini akulah yang diam-diam selalu memperhatikannya meski dari jauh.
“Iya. Kakak hanya ingin mengucapkan terima kasih karena waktu di rumah sakit kemarin Ayu membantu ibu menjaga Kakak.”
“I…iya Kak. Tidak usah mengucapkan terima kasih. Waktu itu pas kebetulan saja Ayu ada waktu. Kakak udah sehat???”
Ungu tersenyum menatapku. Tapi bukan menatap mataku.
“Alhamdulillah sudah baikan. Oh iya Yu… ini Kakak ada sesuatu buat Ayu. Anggap saja sebagai tanda terima kasih Kakak buat Ayu.”
Mataku terbelalak menerima sebuah bingkisan dari Ungu. Bingkisan itu terbungkus dengan plastic bening. Sehingga aku bisa melihat isinya dari luar. Sebuah buku kecil yang berjudul ‘CANTIKKAN DIRIMU DENGAN JILBAB’.
“Maaf, Kakak hanya bisa memberi ini. Semoga Ayu suka. Siapa tahu bisa bermanfaat.”
“Em..makasih Kak… bagi Ayu, ini sudah temasuk pemberian yang bagus banget.”
“Iya.. iya… Eh, Kakak pergi dulu ya… Ayah udah menunggu untuk mengajak pulang. Kakak berharap, suatu saat akan melihat Ayu berjilbab. Di mata Kakak, setiap wanita yang berjilbab adalah cantik.”
Aku tertegun.
“Assalamu’alaikum….” Ungu berlalu sambil melambaikan tangan. Meninggalkan aku yang masih tertegun dan mematung.
“Wa’alaikumsalam…” Jawabku lirih.
            Pelan-pelan langkah Ungu menjauh. Yang akhirnya hilang ditengah kerumunan siswa lain. Dan,,, Ya Tuhan…. Aku lupa dengan rencana awalku. Memberikan surat untuk Ungu. Dengan langkah cepat, aku mencoba untuk mengejar Ungu. Berharap masih bisa menemukannya untuk memberikan surat itu. Tapi usahaku belum berhasil. Ungu belum bisa kutemukan. Mungkin sudah pulang.
            Selama liburan sekolah, aku membaca buku pemberian Ungu. Perlahan, aku mencoba menerapkan apa isi buku tersebut. Mencoba menjadi apa yang diinginkan Ungu. Sempat kuutarakan pada mama bahwa aku ingin mengenakan jilbab. Pertama mama agak ragu dengan keputusanku. Tapi aku terus meyakinkan mama bahwa aku mampu dan aku bisa. Akhirnya mama menyetujui.
            Tujuanku hanya satu. Diawal masuk semester genap nanti, aku ingin berpenampilan baru. Dengan mengenakan jilbab. Aku ingin memberi kejutan pada Ungu. Aku ingin mengambil perhatian Ungu. Aku ingin lebih dekat dengan Ungu. Dan juga…. Aku ingin tampil cantik di depan Ungu.
            Selama dua minggu aku mempersiapkan semuanya. Membuat baju baru untuk seragam sekolah. Baju lengan panjang dan rok panjang juga lengkap dengan jilbabnya. Aku juga sudah mempersiapkan untuk menyerahkan surat yang kemarin belum sempat kuserahkan pada Ungu. Aku berharap, Ungu akan senang menerima suratku setelah aku memakai jilbab. Sempat terbersit difikiranku juga. Ada untungnya kemarin aku tidak sempat memberikan surat itu pada ungu. Karena, besok aku bisa memberikan untuknya dengan penampilan baruku. Penampilan sesuai apa yang diinginkannya. Aku akan Nampak cantik dimatanya dengan jilbab yang kukenakan.
            Hari pertama masuk sekolah telah tiba. Hari yang benar-benar kutunggu. Para siswa dan guru mulai pada hadir. Wajah mereka terasa ringan. Setelah selama dua minggu liburan semester benar-benar mengistirahatkan mereka dari aktivitas belajar mengajar. Aku mulai bertemu dengan Khansa dan teman-teman lain. Kebanyakan dari mereka menatapku dengan senyum. Untuk penampilan baju panjang dan jilbab yang kukenakan pertama kali di sekolah
Dari awal masuk, yang kucari hanya satu. Ungu. Tapi entah kenapa, sampai siang aku tidak menemukan sosoknya. Sudah kucoba mencari di semua tempat dimana dia sering berada. Di depan mushalla, di perpustakaan, di ruang OSIS, bahkan di kantin. Tapi semuanya nihil aku tak menemukannya.
            Aku tak mau berputus asa. Terus kutelusuri seluruh wilayah sekolah. Tapi tetap juga tak kutemukan. Setelah berputar-putar lama, akhirnya aku lelah juga. Untuk sementara, aku menyerah. Mungkin dia lagi tidak masuk. Atau ada urusan lain. Wajahku penuh dengan peluh. Jilbabku juga sedikit lembab karena keringat. Kusandarkan badanku di depan kelas dengan nafas yang masih naik turun karena kelelahan.
            “Yu… kemana saja??? Aku mencarimu sejak tadi.”
Suara Khansa mengagetkanku. Tapi aku tetap diam saja menahan rasa lelah yang teramat sangat. Melihat wajahku yang tanpa ekspresi, akhirnya Khansa ikut duduk di sebelahku.
“Dia sudah pindah Yu… Pindah ke Medan. Mengikuti ayahnya yang tugas kerjanya dipindahkan ke sana.”
Mataku beradu tajam dengan mata Khansa. Dahiku berkerut. Jantungku serasa direm setelah mendengar penjelasan Khansa.
Apa?????????
Ungu Pindah??????????
“Dari mana kamu tau Sa????”
“Tadi waktu aku di kantin, Hafsah bilang padaku. Seminggu yang lalu Hafsah dan teman-temannya mengantar keberangkatannya ke bandara.”
“Tolong tinggalkan aku sendiri Sa… Aku hanya ingin sendiri.”
Khansa meng-iyakan permintaanku. Karena, dia tau. Kalau sedang sedih yang kuinginkan hanya menyendiri. Tanpa mau ditemani siapapun.
            Tubuhku tetap menyandar di depan kelas. Sedangkan pandanganku menatap lurus ke arah mushalla. Meski sekedar bayangan, aku melihat Ungu duduk di depan mushalla seperti biasa. Wajah teduhnya masih menyisakan air wudhu selepas dzuha tadi. Tapi lama-lama bayangan itu hilang bersama hembusan angin yang menerbangkan anganku.
Ungu,,, dimana lagi aku bisa menemukanmu?????
            Tiba-tiba, aku melihat bayangan Ungu di depanku. Dia tersenyum sambil berkata,,,
“Ayu… tetaplah kamu dengan jilbab ini. Mungkin suatu saat kita masih bisa bertemu. Entah berapa tahun lagi.”
Setelah itu, dia berlalu dan menghilang kembali.

Delapan Tahun Kemudian…..
            “Yu… ini mama bawakan jilbab warna ungu kesukaanmu. Tadi waktu mama pergi ke Tanah Abang, mama melihat jilbab ini. Sepertinya cocok untuk setelan baju yang biasanya untuk ngajar. Terus mama beli untukmu.”
“Waaahhh… bagus banget Ma… maksih ya Ma…”
“Iya… Kamu nulis surat untuknya lagi????”
“Iya Ma… ini sudah surat yang ke delapan. Besok kan ulang tahunnya.”
“mending surat itu kamu kumpulkan, terus ditawarkan ke penerbit. Siapa tahu di bukukan. Terus, secara tidak sengaja dia membeli dan membaca buku itu.”
“Hehehe… ga papa ma… bagi Ayu, cara seperti ini bisa membuat Ayu mengekspresikan semuanya.”
“Ya sudah terserah kamu.”
            Delapan tahun semenjak kepindahan Ungu ke Medan, aku tak pernah lagi bisa bertemu dengannya. Dan tak juga bisa melupakannya. Setelah aku lulus SMA, aku melanjutkan ke perguruan tinggi mengambil jurusan pendidikan biologi. Selama aku kuliah, aku mencoba bergabung dengan orgaisasi kerohanian islam. Dengan harapan aku bisa mendalami islam lebih baik. Dan juga bisa mempunyai teman-teman seperti Ungu. Setelah menamatkan kuliah, aku dipanggil menjadi guru honorer di almamater SMAku dulu.
            Buku yang pernah diberikan Ungu padaku masih tersimpan rapi. Dari buku itu, aku mulai tertarik untuk belajar mengenal agamaku lebih dalam. Lama-lama, aku mulai sadar, bahwa kehadiran Ungu dihadapanku hanyalah sebagai sarana Allah untuk memberikan hidayah padaku. Sarana Allah untuk membuka mata hatiku tentang indahnya islam.
            Selama delapan tahun ini, setiap hari ulang tahunnya, aku selalu menulis surat untuknya. Tapi surat itu hanya kutulis dan kusimpan sendiri. Tertumpuk bersama sebuah surat yang belum sempat kuberikan pada Ungu delapan tahun yang lalu. Sebenarnya, ingin sekali aku menyampaikan surat-surat itu padanya. Tapi aku tidak tahu kemana harus menyampaikannya. Jadilah, aku hanya bisa menumpuknya. Berharap suatu saat akan ada kesempatan untuk bisa bertemu dan menyampaikan surat itu langsung.
            Surat-surat yang kutulis itu tidak lagi menceritakan tentang isi hatiku seperti suratku yang pertama. Di setiap surat aku menceritakan tentang perkembangan pribadiku yang lebih baik dari tahun ke tahun. Terkadang juga aku menyelipkan cerita-cerita perkembangan dakwah yang kujalani bersama teman-teman. Aku berharap bisa bertemu dengannya bukan untuk menumpahkan perasaan cinta seperti dulu lagi. Tapi aku hanya ingin mengucapkan terima kasih atas sebuah buku yang pernah diberikannya padaku. Sehingga, dengan buku itu, aku bisa menjemput hidayah sebagai seorang muslimah yang baik seperti sekarang.
            “Bu Ayu, besok minggu ada acara? Kalau tidak ada acara, dari pihak sekolah mau minta tolong.”
Kata Pak Ahmad, kepala sekolah di SMAku dulu sekaligus SMA tempat aku mengajar sekarang.
“InsyaAllah saya free, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
“Besok ada tamu mau berkunjung ke sekolah ini. Katanya dulu beliau pernah jadi siswa di sini. Bu Ayu bisa menemani beliau?”
“Emmm… kalau boleh tahu namanya siapa dan dari mana?”
“Namanya Pak Alfian. Beliau dari Medan.”
Mendengar sebuah nama disebut Pak Ahmad, jantungku berdetak tajam. Rasanya aku begitu mengenal nama itu.
“Maksud Pak Ahmad nama lengkap beliau Alfian Kusuma Budi????”
“Iya. Kok Ibu kenal???”
            Anganku kembali pada masa delapan tahun yang lalu. Seorang siswa yang sering kupanggil Ungu sebetulnya bernama lengkap Alfian Kusuma Budi. Detak jantungku rasanya berlari kencang. Beradu tajam dengan penggalan kisah delapan tahun yang lalu.
“InsyaAllah saya bisa. Beliau kakak kelas satu tingkat diatas saya. Tapi, ketika menginjak semester dua kelas dua, beliau pindah ke Medan”
“Baiklah kalau begitu. Minggu ini beliau akan datang ke sini jam Sembilan pagi.”
“Saya akan menjalankan tugas ini dengan baik.”
            Hari minggu yang kutunggu hadir juga. Pertemuan dengan Ungu dijadwalkan pukul Sembilan. Tadinya aku meminta tolong guru lain untuk menemani. Tapi, agenda mereka di hari minggu ini sudah padat. Terpaksa memang aku sendiri yang menemui Ungu. Sudah kupersiapkan segala keperluan untuk penyambutan Ungu. Arahan dari Pak Ahmad kemarin telah kulaksanakan. Kukenakan gamis berwarna ungu dengan aksen sedikit violet dan berpadukan juga jilbab warna senada. Tak lupa, aku membawa buku pemberiannya dulu sebelum dia pindah ke Medan. Setumpuk surat yang selama ini tertulis untuknya ikut ku masukkan dalam tas. Tapi entahlah. Apakah aku akan memberikannya nanti atau tidak, aku belum tau.
            Di depan gerbang sekolah, ada sebuah tempat yang sengaja dibuat untuk menyembut tamu. Disitulah aku menunggu kedatangan Ungu. Anganku masih tetap melayang pada peristiwa delapan tahun yang lalu.
“Assalamu’alaikum…. Bu Ayu ya?” Sapa seseorang dibelakangku.
Cessss……!!!!!
Wajah teduh yang menghilang selama delapan tahun, kini muncul di hadapanku. Sejenak pandanganku terpaku padanya. Penampilannya tidak banyak yang berubah. Kaca mata dan sedikit jenggot tipis yang sekarang menghias raut mukanya, memperlihatkan kesan ‘lebih dewasa’ daripada delapan tahun yang lalu.
“Wa’alaikumsalam…. Pak Alfian?”
“A…. a.. Ayu??????” Ungu mencoba menebak saat melihatku.
Sedangkan senyum hangat segera kuhadirkan.
“Kakak…….???????”
“Subhanallah… ini benar Ayu yang dulu pernah menemaniku di rumah sakit??????”
“Iya Kak… ini Ayu. Sekarang Ayu jadi guru di sini.”
“Kamu sekarang berjilbab ya? Sejak kapan? Jilbab kamu juga rapi.”
Segera kukeluarkan buku yang diberikannya delapan tahun yang lalu.
“Sejak Ayu membaca buku pemberian Kakak ini. Dan sejak awal masuk semester genap setelah Kakak pindah ke Medan.”
            Allahurabby… kenapa tiba-tiba dadaku gemeteran. Segera kutundukkan pandangan mencoba menepis perasaan apapun yang menyelimuti hatiku. Aku tak boleh menghadirkan perasaan seperti dulu lagi. Siapa tau sekarang dia sudah punya istri. Meski dihadapanku sekarang dia datang sendirian. Aku terus mencoba menguasai sikapku.
            “Oh ya Yu… sebetulnya dulu aku setelah aku pindah ke Medan, aku sempat menanyakan tentang kamu ke temanku. Tapi mereka tidak ada yang mengenalmu. Aku tanyakan ke mereka dengan cirri-ciri siswi kelas satu, berambut sebahu dan anaknya sedikit pendiam. Katanya mereka sudah mencarinya. Tapi ternyata siswi dengan cirri-ciri yang kusebutkan di atas tidak ada.”
“Hehehehehe…. Dari mulai awal masuk semester genap, Ayu berjilbab. Dan mulai mengurangi sifat pendiam yang menjadi cirri khas Ayu.”
“Ooooohhhh… pantas mereka tidak menemukanmu.”
“Hehehehe…..” Tawa kami lepas.
            Semilir angin pagi seakan ikut larut dalam pertemuan ini. Tak kusangka, setelah delapan tahun tak melihatnya, Allah masih memberi kesempatan aku untuk bertemu dengan Ungu lagi. Delapan tahun ini layaknya sebuah ruang muhasabah yang diberikan Allah untukku. Agar hidayah itu benar-benar meresap utuh didiriku. Jilbab ini, islam ini, ibadah ini, dan iman ini, murni kutujukan untuk Allah. Bukan untuk Ungu. Seandainya delapan tahun yang lalu, Allah tidak memisahkan Ungu dari pandanganku, mungkin apa yang kulakukan sekarang hanya untuknya. Tak ada simpanan amal yang akan menjadi tabungan akhirat nanti.
            Mata bening dan wajah teduh yang ada dihadapanku sekarang, memang benar-benar mencandai hatiku. Tapi sudahlah….!!!! Biarkan Allah yang menentukan ending cerita hatiku yang dulu.

No comments:

Post a Comment