Tuesday, 12 May 2015

CERPEN : PENGANTIN PALESTINA

      Gadis berkerudung yang lumayan cantik. Postur tubuh tinggi semampai, berkulit putih, alis yang tebal dan rapi, hidung mancung serta lesung pipi terlihat menarik saat dia sedikit saja tersenyum. Diskriptif yang pas untuk seorang gadis has timur tengah yang ada di depanku sekarang.
            “Maaf Kak… Kalau Shofia ganggu kakak dan keluarga kakak di sini….”
Suaranya lembut. Bahasa Indonesia yang cukup lancar meski bercampur dengan sedikit logat arab. Aku tersenyum hambar. Makan siang di sela-sela kesibukan kantor seharusnya membuatku berselera. Apalagi ditemani seorang gadis secantik ini.
            “Kabar ibu bagaimana…?”
Sedikit kulirik kulihat Shofia dengan pandangan sinis. Ibu? Apa urusanmu menanyakan ibu?. Pandangan yang cukup sedetik. Kemudian, kualihkan kembali pandanganku pada es campur yang kuaduk tak berselera. Ah,,, seandainya ada Erik di sini. Teman sebelah bangkuku di kantor yang suka jahil. Pasti dia akan berseru,
“Fatur…. Ternyata, kamu laki-laki juga. Masih berselera dengan perempuan. Mmmmm… lumayan cantik…..”
Atau,,,,
“Ternyata seleramu tinggi juga, Rik… tiga puluh tahun lebih menjomblo, akhirnya kamu mendapatkan gadis secantik ini…”
Atau, kalimat-kalimat ledekan lain yang membuatku tak berselera untuk menanggapi. Nasib tragis perjaka yang belum menikah.
“Ibu baik.”
“Najwa Kak…?”
“Masih kuliah. Semester akhir.”
“Syukurlah…”


     Lesung pipinya cukup membuatku sedikit berdesir. Hal itu mungkin terjadi. Mengingat umurku yang sudah tiga puluh tahun lebih belum menikah. Yang selalu jadi bahan ledekan empuk bagi teman-teman sekantorku. Tapi sayang…!!!! Sejak ibu memberi tahu tentang kabar bahwa Shofia akan datang jauh-jauh dari Raffah di Palestina, sejak itupun, aku sudah merasa muak dengan gadis ini.

     Seharusnya Shofia tidak berdosa. Seharusnya Shofia tidak menanggung kemarahan yang sudah kupendam selama seperempat abad ini. Buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Bukannya tidak mungkin, Shofia akan mewarisi sifat ibunya. Merebut suami orang. Merebut ayah dari ibuku.
“Fathur… kamu jangan bersikap seperti itu pada Shofia. Apapun yang terjadi, dia adalah adikmu.”
Kuingiat pesan ibu. Ah…!!! Ibu. Hati yang terlalu lembut. Meski telah dihianati ayah, ditinggal ayah menikah dengan wanita lain, ibu tetap bersikap baik.

     Dua puluh lima tahun silam. Ketika umurku baru berusia tujuh tahun, dan Najwa, adik perempuanku satu-satunya masih di dalam kandungan ibu, ayah sedang meneyelesaikan gelar megisternya di bidang ilmu sejarah. Kebetulan, ayah harus mencari data di negeri rawan konflik. Palestina. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba aku mendapat kabar bahwa ayah telah menikah lagi dengan penduduk asli di Palestina. Aku mendengar kabar itu bukan dari ibu. Tapi, dari tante Ana. Adik kandung ibu. Ketika aku menanyakan kenapa ibu menangis?. Di umurku yang baru di angka tujuh, aku belum begitu tau bagaimana rasanya dihianati. Aku belum mengerti apa arti kata ‘patah hati’ dan sakit karena cinta. Aku msih terlalu kecil.

     Setelah aku dewasa dan sedikit mengenal kata ‘asmara’, aku baru bisa mengerti. Tak ada cinta sejati bagiku. Bahkan, dalam pernikahan sekalipun. Apakah cinta itu?. Apakah dia sebentuk perasaan yang tidak mungkin dibagi lagi?. Apakah dia sebongkah hati yang tidak akan terpecah lagi?. Apakah dia sebuah akhir perasaan yang tak akan pernah lagi bercabang?. Sebuah titik?. Akhir?. Mutlak? Tanpa selingkuh?. Ah,, omong kosong…!
Tangis ibu seperempat abad silam telah membuktikannya.

     Dan Shofia, adalah anak hasil pernikahan ayah dengan wanita itu. Ya…!!! Secara genetic, dia memang adikku. Tapi, sampai kapanpun aku berjanji tidak akan pernah mengakui itu.
“Banar kata ibu Shofia. Kak Fathur, Najwa, dan Ibu Aminah adalah keluarga yang baik. Kak Fathur masih menyempatkan untuk menjemput Shofia hari ini.”
Shofia masih mencoba untuk tersenyum. Lesung pipi yang indah. Tapi, bagiku itu Just  a making conversation. Tidak lebih hanya sekedar basa-basi.
“Setelah ini, nanti aku antar Shofia ke rumah. Di Jakarta tidak lama kan..?!”
Shofia sedikit tersentak kaget mendengar kalimatku baru saja. Terserah..! Bodo amat…! Kalau dia tersinggung, itu tidak seberapa jika dibandingkan rasa sakit hati ibu dulu. Sebenarnya, aku begitu enggan untuk menjemput kedatangan Shofia di bandara. Apalagi mengajaknya makan siang seperti ini. Semua aku lakukan demi permintaan ibu.
“Kalau Kak Fathur mau kembali ke kantor, tidak apa-apa. Shofia bisa ke rumah ibu sendiri. Kasih saja alamatnya. InsayaAllah sampai.”
Dahiku mengernyit heran. Yakin tidak kesasar? Ini Jakarta Nona.
Shofia tersenyum kecil. Mengerti dengan mimik wajahku yang bisa dia baca.
“Kak,,, waktu kuliah, sebenarnya Shofia sudah di Jakarta. Mendapat beasiswa di Fakultas Kedokteran UI. Dulu, waktu di kuliah, Shofia ingin sekali menghubungi keluarga Kakak di Jakarta. Tapi, Shofia sudah mendapat pesan dari ibu, agar Shofia tidak menghubungi keluarga Ayah di Jakarta. Baik Ibu Aminah, Kak Fathur dan juga Najwa.”
Aku tercengang. Pantas bahasa Indonesia Shofia cukup lancar.
Ah,,, sudahlah. Tidak penting. Bagus kalau begitu. Aku tidak perlu banyak membuang waktu untuk mengantarnya ke rumah. Tanpa pikir panjang, aku mengeluarkan secarik kertas dan bolpoin dari saku. Kutulis alamat rumah dan memberikannya pada Shofia.
“Baik Kak… Shofia naik taksi saja. Assalamu’alaikum….”
Aku menatapnya hambar.
“Salam…..!”

                                                                               *******
     Aku pulang ke rumah ketika makan malam sudah terhidang di meja. Makan malam yang biasanya hanya ada aku, Najwa dan ibu, kini sedikit ramai dengan kehadiran Shofia. Makan malam yang seharusnya indah. Ada seorang gadis seperti Shofia sebagai pelengkap. Harus kuakui, Shofia memang benar-benar cantik. Busana yang dikenakan sekarang teramat sederhana. Tapi, entah mengapa aku melihat Shofia adalah jelmaan ratu Cleopatra yang menjadi sejarah kebanggaan orang-orang mesir.

     Paling tidak, seperti itulah yang sempat kulihat sewaktu aku melewati meja makan untuk menuju ke kamarku. Beberapa kali ibu selalu memanggilku untuk makan malam. Tapi beberapa kali pula aku jawab dengan kata “nanti bu… seberntar lagi.”. Perutku memang benar-benar lapar. Apalagi, makan siang tadi aku tidak berselera karena harus makan siang semeja dengan Shofia. Kalau malam ini aku harus makan malam lagi bersama Shofia, bisa-bisa aku pingsan gara-gara tidak berselera makan. Aku berniat akan makan malam setelah Shofia masuk ke kamarnya.

    
Percuma aku berniat seperti itu. Setelah beberapa kali ibu memanggil, dan aku juga tidak kunjung ikut bergabung di meja makan, akhirnya ibu masuk ke kamarku.
“Jangan begitu Fathur… ga enak sama Shofia. Shofia di Jakarta tidak lama. Dia seorang dokter. Banyak yang harus di tangani. Apalagi dokter di daerah konflik seperti Palestina…”

            Aku mendesah pelan. Mengikuti keinginan ibu. Meski hanya dengan sepotong kecil hatiku. Di meja makan, telah terhidang makan malam yang cukup special dari biasanya. Sedikit kuirik Shofia. Cantik. Batinku berdehem sinis. Mungkin juga, ibunya secantik dia. Entahlah..! Yang pasti, mungkin lebih cantik daripada ibu. Sehingga ayah berani melanggar janji agung pernikahan dengan ibu gara-gara ibunya.
            Aku melihat Najwa cukup akrab dengan Shofia. Beberapa kali Najwa bertanya tentang keadaan Palestina dengan segala konfliknya. Kelihantanya cukup menarik. Apalagi Najwa kuliah di Fakultas ilmu social dan politik. Benar-benar bahasan yang menyenangkan baginya. Sesekali ibu terdengar ikut berbicara. Bercanda dan menggoda Shofia.
            Sepertinya, ibu dan Najwa sudah melupakan masa lalu yang menyakitkan itu. Tapi tidak bagiku. Tidak ada kata maaf bagi sebuah perselingkuhan. Shofia memang tidak bersalah. Tapi, pada siapa lagi aku bisa melampiaskan kemarahan yang selalu bercokol di hati sejak dulu?. Kata ibu, Ibu kandung Shofia sudah meninggal sebulan setelah wisuda kelulusan Shofia. Kasus kematiannya hampir sama dengan ayah dulu. Meninggal karena menjadi korban konflik di Israel.
            Aku menyendok makanan dengan perasaan hambar. Malas ikut bercanda bersama Shofia seperti ibu dan Najwa. Sebuah luka tentang kematian ayah tiba-tiba teringat. Seperti sebuah kepingan VCD yang sengaaja diputar ulang. Waktu itu, aku masih terlalu kecil untuk bisa mengartikan semuanya. Ibu yang sedang mengandung Najwa, berkali-kali harus menrima cobaan ini. Dari berita pernikahan ayah dengan ibu Shofia. Hingga kedatangan ayah ke Jakarta yang seharusnya menjadi kabar bahagia bagi kami, terpaksa mengubah semua itu dengan deraian air mata. Ayah pulang ke Jakarta dalam keadaan sudah menjadi mayat. Kata tante Ana, ayah menjadi korban intifadha pertama tahun 1987. Dari cerita tante Ana, setelah ayah menikah dengan ibu Shofia, ayah sedang mengadakan penelitian tesisnya di dearah Jabaliya.
            Intifadha yang pertama kali meletus tanggal 9 Desember 1987, setelah 20 tahun kependudukan militer Israel atas wilayah palestina. Demonstrasi besar-besaran terjadi. Warga palestina menyerbu pos militer israel dengan senjata seadanya. Bahkan serangan itu terkenal dengan ‘perang batu’. Karena, senjata rakyat Palestina waktu itu hanya batu. Benar-benar tidak sebanding dengan tank dan senapan lengkap pasukan Israel.
            “Kak Fathur mau nambah…???”
            Suara Shofia tiba-tiba mengagetkanku. Suara yang cukup lembut. Perpaduan bahasa Indonesia dengan logat arab. Aku hanya melirik. Tak berselera menanggapi. Kemudian menggeleng. Tidak. Terima kasih.
            “Najwa mau ngerjain tugas kuliah dulu. Makasih Kak Shofia… besok disambung lagi…” Shofia kembali tersenyum. Mengangguk. Najwa masuk ke kamar. Meninggalkan aku, ibu dan Shofia.
            Ibu sesekali memberesi piring-piring dan peralatan makan lainnya yang sudah tidak terpakai. Shofia cekatan ingin membantu. Tapi, ibu melarang. Sepertinya, ibu sengaja membiarkan agar Shofia bisa berbicara denganku.
            “Kak… Kak Fathur lelah?. Shofia boleh sedikit bicara..???”
            Sepertinya Shofia sedikit memberanikan diri. Aku meliriknya sebentar. Sambil meletakkan sendok dan garpu di atas piring. Makanku telah selesai. Aku mengangguk. Boleh.
            “Sebetulnya kedatangan Shofia ke Jakarta ini untuk minta tolong pada Kak Fathur.”
Entah kenapa, ada magnet yang rasanya menarikku untuk menatap lekat wajahnya. Minta tolong?. Untuk apa?.
“Shofia minta kesediaan Kak Fathur untuk…..”
Belum sempat Shofia melanjtkan pembicaraannya, aku berburu memotong. Rasanya aku sudah bisa membaca gelagat Shofia dari awal. Buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya.
“Menuntut harta warisan ayah?. Menuntut agar aku bersedia membaginya untuk kalian..??? Iya Hah..???!!!!”
            Rasanya, kemarahanku telah memuncak di ubun-ubun. Lupakan semua nasehat ibu tentang positif Thingking. Shofia harus tau bagaimana rasanya disakiti. Suaraku terdengar keras. Persis seperti petir yang tiba-tiba datang merobek kebisuan malam. Ibu yang sedang mencuci piring tergopoh-gopoh ke meja makan. Najwa yang sedang khusuk di depan computer reflek membuka pintu kamarnya. Melongo melihat aku yang menghentakkan telapak tangan keras-keras di atas meja.

“Shofia, dengar ya….!!! Penderitaan apa yang kalian torehkan pada kami?. Terutama pada ibu. Ibu yang sedang hamil Najwa dulu, harus rela menahan perih atas penghiatan dari suami tercintanya. Perselingkuhan ayah dengan ibumu….!!! Meskipun ayah dan ibumu menikah, tapi, bagiku itu tidak lebih dari perselingkuhan…..!!!!”
Malam ini, kemarahanku sempurna pecah. Tak sedikitpun aku peduli dengan Shofia. Wajah cantik has timur tengahnya tertunduk. Dengan beberapa bulir air mata pelan jatuh tersungkur bersama hatinya yang mungkin juga robek.

“Dan kamu Shofia…..!!!! kamu tidak lebih dari anak haram hasil perselingkuhan itu. Meski sekarang kamu seorang dokter.. dokter Shofia yang cantik, tapi, bagiku kamu tidak lebih dari anak pelacur yang menggoda ayah…..!!!!!!!”
Puas..! Tangis Shofia semakin deras. Sedangkan dia tak sedikitpun berani menyanggah semua omonganku. Shofia sempurna terdiam. Hanya air mata yang seakan menguraikan semua maksud hatinya. Atau, memang barangkali semua tuduahanku benar?. Aku tersenyum kecut.
“Fathur… jaga bicaramu..!!! Shofia….”
Belum selesai ibu bicara, Shofia berlari menuju kamarnya.
“Shofia… tunggu….” Ibu mengikuti langkah shofia. Mengejar.

Aku mengatur nafas. Membiarkan ibu mengikuti langkah Shofia ke kamarnya. Kuarahkan pandangan pada kamar Najwa. Aku melihat Najwa mematung di depan pintu kamar. Pandangannya masih menyisakan ketidaktauan sebuah pertengkaran yang baru saja terjadi. Dengan isyarat mata, aku meminta Najwa kembali ke kamar. Najwa mengerti. Tanpa sepatah katapun, Najwa masuk dan menutup kembali pintu kamarnya.
Aku kembali ke kamar. Menenangkan sejenak dari emosi yang sejak tadi sempurna menguasai hatiku. Tiga puluh menit kemudian, ibu menegtuk pintu kamar. Memintaku untuk mendengarkan sedikit penjelsannya tentang Shofia. Tadinya aku menolak. Dengan alasan, tidak perlu ada yang perlu di dengarkan lagi. Tapi ibu tetap memaksa.

Dan sejak malam ini, semua cerita itu terbuka.

                                                                              *******
            Terrace Café, Hotel Ramses Hilton, Kairo.
Aku melihat  arloji di pergelangan tangan kiriku. Masih jam 9 pagi. Berarti, masih sekitar satu jam lagi waktu janjianku dengan Ikhwani. Seorang temanku di Jakarta yang berprofesi sebagai wartawan dan di tempatkan di Kairo. Setelah perjalanan yang panjang Jakarta-Kairo dengan pesawat, aku memutuskan istirahat sebentar di hotel ini. Aku tiba di Kairo tadi pagi pukul 05.00 waktu setempat.
            Hotel yang cukup indah. Terletak persis di tepi sungai Nil. Aku sengaja duduk di dekat jendela yang mengahadap ke sungai. Terlihat kapal-kapal motor hilir mudik yang diikuti buih-buih air. Pemandangan yang tak pernah kutemukan di padatnya kota seperti Jakarta. Mesir dengan Kaironya adalah sebuah negeri yang memiliki sejarah panjang dan kaya akan budaya.
            Sambil menikmati sarapan pagi, pikiranku melayang pada penjelasan ibu kemarin malam. Tepat setelah luapan emosiku pada Shofia. Yang menyebabkan keesokan paginya Shofia memutuskan langsung pulang ke Rafah-Palestina dengan membawa jutaan rasa kecewa dan putus asa. Tanpa pamit padaku. Menyisakan perasaan penyesalan yang menyesak di dadaku.
            Malam itu, ibu menceritakan semuanya. Termasuk sebuah alasan kenapa ayah dulu terpaksa menikahi ibunya Shofia. Penderitaan yang dirasakan rakyat Palestina karena kedudukan Israel di negerinya, membuat rakyat Palestina banyak kehilangan anggota keluarga mereka. Termasuk keluarga Ibu Shofia. Sebelum menikah dengan ayah, sebetulnya ibu Shofia telah mempunyai keluarga yang utuh dan bahagia. Ibu Shofia yang bernama Mariam, menikah dengan seorang pemuda yang bernama Ahmad. Dan dikaruniai sseorang anak laki-laki yang waktu itu baru berumur tiga tahun. Bernama Jihad.
            Suatu saat, rumah mereka yang terletak di daerah Jabaliya Timur terkena ledakan bom yang dilancarkan oleh aksi Israel. Ahmad, suami dari Mariam meninggal saat itu juga. Terkena serpihan bom yang menghancurkan kepalanya. Sedangkan ibu MAriam dan Jihad selamat dan segera berlari di lorong-lorong antar rumah dan juga di kebun jeruk dan Zaitun. Yang kemudian bergabung dengan korban lainnya di camp-camp pengungsi yang didirikan pemerintah Palestina. Gempuran Israel kali saat itu memang luar biasa. Tidak hanya merenggut nyawa Ahmad. Tapi juga, nyawa rakyat Palestina yang lain. Serta menimbulkan kerusakan luar biasa. Semua infrastruktur hancur. Jaringan air minum dan jaringan listrik tak berfungsi lagi karena hancur berantakan.
            Entah dengan kalimat apa harus menjelaskan perasaan bu Mariam saat itu. Kehilangan suami yang sangat di cintainya. Hidup di camp pengungsi bersama Jihad. Harapan hidup satu-satunya. Ditambah lagi, serangan Israel kapanpun selalu mengintai. Maut setiap saat selalu siap menjemput siapapun. Aku mendesah pelan. Satu bulan di camp pengungsian, Jihad terkena serangan diare. Obat-obatan dan peralatan medis di pengungsian sangat terbatas.  Blokade yang dilancarkan Israel terhadap rakyat Palestina seakan mengisolasi mereka. Penderitaan yang bertubi-tubi.
            Ayah yang tadinya hanya berencana mengambil data untuk keperluan tesisnya, begitu terketuk melihat penderitaan orang-orang di camp pengungsian. Termasuk penderitaan bu Mariam dan Jihad yang saat itu menemui titik kritis penyakit diarenya. Ayah memutuskan untuk menghentikan pencarian data tesis. Dan bergabung menjadi relawan dengan beberapa relawan dari Indonesia yang saat itu ditempatkan di Jabaliya.
            Ayah sedikit tertarik pada Bu Mariam bukan karena kecantikannya. Kecantikan itu telah lusuh tertutup beban fisak dan mental yang menderanya. Tidak usah didiskriptifkan bagaimana keadaan Bu Mariam saat itu. Hidup di camp pengungsian yang jauh dari kata nyaman. Tidak penting memikirkan kecantikan dan pesona tubuh. Yang ada hanya bagaimana nafas ini terus berhembus. Tertatih mencoba menjalani sisa hidup yang ikhlas jika kapanpun Tuhan berkehendak mencabut nyawa itu.
            Alasan utama ayah untuk menikahi Bu Mariam adalah semata ingin menolong. Sekedar menggantikan satu kaki kehidupan yang hilang. Sehingga Bu Mariam bisa sedikit tegak menjalani kehidupan di depan. Memang tidak mungkin, ayah bisa menggantikan posisi suami Bu Mariam yang sangat dicintainya. Tapi, minimal, dengan kehadiran ayah sebagai suami, bisa sedikit menolong. Apalagi saat itu keadaan Jihad sungguh mengenaskan.
            Pernikahan yang dilakukan teramat sederhana. Di camp pengungsian yang setiap saat bisa saja tersambar bom Israel. Tiga hari setelah pernikahan ayah dan Bu Mariam, Jihad menyusul ayahnya. Meninggal karena sakit diare yang teramat akut. Aku mendesah pelan. Pelajaran yang cukup indah untuk arti sebuah kata keikhlasan. Maha kuasa Allah dengan segala kehendak-Nya. Setelah Allah mengambil Jihad dari Bu Mariam, Allah menitipkan janin hasil pernikahan ayah dan Bu mariam. Janin bayi perempuan yang kelak diberi nama Shofia.
            Aku menyeruput teh hangat yang terhidang. Kembali kualihkan pandangan pada sungai Nil. Kulihat sebuah kapal motor melaju dengan cepat di sungai Nil. Kapal itu bergerak melawan arus dan meninggalkan buih-buih putih. Sungai Nil adalah salah satu pesona di Kairo. Sungai terpanjang di dunia.
            Kebersamaan Bu mariam dan ayah tidak begitu lama. Ketika baru saja Bu Maryam hamil dua bulan, peristiwa Intifadha pertama itu terjadi. Dan ayah menjadi salah satu korbannya. Sejak saat itu, Bu Mariam memutuskan untuk tidak menikah dan membesarkan Shofia sendirian. Sama seperti ibu. Yang juga membesarkan aku dan Najwa sendirian.
            “Assalamu’allaikum…. Sudah lama menunggu Mas?”
            Ikhwani tiba-tiba datang memecah lamunanku. Aku tersenyum renyah. Kemudian menjabat tangan dan memluk pundaknya dengan hangat.
“Wa’alaikum salam…. Baru satu jam di sini. Sengaja datang lebih awal. Sambil menikmati suasana sungai Nil”.
Ikhwani yang akan menemani aku ke Rafah di Palestina. Sejak kemarin, aku memutuskan untuk menemui Shofia kembali. Mengabulkan satu permintaan pertamanya. Yang kata ibu, sekaligus menjadi permintaan yang terakhir. Shofia datang jauh-jauh dari Rafah ke Jakarta hanya untuk meminta satu permintaan padaku. Memintaku untuk menjadi wali pernikahannya. Andaikan ayah atau Jihad masih hidup, mungkin salah satu diantara mereka yang akan menjadi wali pernikahan Shofia. Tapi, karena ayah dan Jihad sudah tiada, hanya akulah satu-satunya garis nasab yang dimiliki Shofia. Semua keluarga Shofia dari ibunya juga telah meninggal. Terkena imbas kekejaman Israel selama ini.
“Bagaimana rute perjalanan kita nanti?”
Aku bertanya setelah seorang pelayan menyuguhkan secangkir teh hangat pada Ikhwani.
Ikhwani sedikit meneguk tehnya.
“Nanti, kita akan ke El Arish dulu. Baru, dari sana, kita akan melanjutkan perjalanan ke Rafah.”
Aku mengengguk pelan. Mencoba untuk mengerti. Karena, baru kali ini aku mengadakan perjalanan ke Mesir hingga Palestina.
“Jalan antara Kairo dan El Arish sekitar 400 kilimeter. Sedangkan El Arish ke Rafah, sekitar empat puluh Kilometer.” Ikhwani kembali melanjutkan penjelasannya.
Setelah berbincang singkat, pukul 10.00 kami meninggalkan Kairo. Agak susah payah Ikhwani mengemudikan mobilnya. Melaju di jalan kota yang terkanal padat dan semrawut. Perjalanan yang cukup panjang. Kami tiba di El Arish ketika menjelang senja. El Arish sebuah kota di wilayah pegunungan Sinai, yang terletak sekitar 400 kilometer dari Kairo, ibu kota Mesir.

Di El Arish, kita istirahat sejenak. Kemudian, melanjutkan perjalanan ke Rafah. Yang berjarak empat puluh kilometer dari El Arish. Sebetulnya, ada dua jalur yang bisa kita lewati untuk menuju ke Rafah-Plestina. Melewati pantai Gaza dan melewati pintu gerbang Salahudin. Pintu gerbang yang terletak di antara Rafah-Mesir dan Rafah-Gaza. Kota Rafah terletak di dua wilayah. Wilayah yang masuk Gaza-Palestina dan wilayah yang masuk Mesir.

Ikhwani menyarankan agar kami lewat jalur Rafah-Palestina. Cukup beresiko jika melewati jalur pantai Gaza. Karena blockade tentara Isreal. Kami tiba di pintu gerbang Salahudin tepat pukul 17.00. Setelah menyelesaikan urusan imigrasi, kami menunggu sebentar hingga pintu gerbang dibuka. Keberadaan Ikhwani sebagai wartawan cukup membantu. Mempermudah kami untuk bisa memasuki jalur Gaza.
Dimana-mana terlihat bebarapa polisi dan tentara berjaga-jaga. Bahkan tentara ditempatkan di sepanjang tembok perbatasan. Hampir tiga puluh menit kami menunggu untuk diperbolehkan memasuki pintu gerbang Rafah. Akhirnya, pintu itu terbuka juga.

Perjalanan yang cukup menyenangkan. Kami menyewa sebuah taksi. Aku mengikuti saja saran dari Ikhwani. Ikhwani menyerahkan sebuah kertas yang bertuliskan alamat Shofia pada supir taksi. Selama perjalanan dengan taksi, Ikhwani terus saja berceloteh menjelaskan keadaan fisik kota Rafah. Kota yang cukup terlihat kusam. Tapi, dari keterangan Ikhwani, tidak serta merta membuat penduduknya kusam juga. Penduduknya ramah-ramah.

Di kanan kiri jalan, terlihat sisa-sisa puing gedung yang hancur karena serangan tentara Israel. Pemandangan yang cukup membuat hati ngilu.
“Di daerah jalan ini, tank-tank Israel masuk dari arah Bandar Udara gaza. Selama agresi Israel, tidak ada warga Palesstina yang berani lewat sini. Kecuali mobil ambulans dan mobil bantuan kemanusiaan.”  Ikhwani terus bercerita.
Pandanganku melihat nanar. Tiba-tiba, aku bisa merasakan bagaimana ketika ayah menjemput maut saat peristiwa Intifadha pertama dulu. Batinku berbisik. Tuhan, kapan konflik ini akan selesai?.

                                                                          *******

Taksi kami berhenti tepat di sebuah rumah. Entah apa yang dikatakan sopir taksi itu. Yang aku tau, itu adalah bahasa arab. Ikhwani cukup lancar menanggapi dialog itu. Rumah yang cukup sederhana.
“Kata sopir taksi tadi, ini rumah Shofia. Alamatnya sesuai degan yang tertera di kertas ini.”
Ikhwani menjelaskan. Aku hanya mengangguk. Mencoba mengerti. Jika tidak salah, hari ini adalah tepat acara pernikahan Shofia. Aku melayangkan pandangan ke arah sekitar. Tidak ada tanda-tanda sebuah pesta pernikahan.

Ikhwani menemui seorang ibu-ibu dengan pakaian jubah hitam yang lebar. Berkerudung serta bercadar. Pakaian yang sepertinya biasa dikenakan para wanita di sini. Hampir sama dengan apa yang dikenakan Shofia. Bedanya, Shofia tidak mengenakan cadar. Entah apa yang ditanyakan Ikhwani dalam bahasa arab yang kental itu. Yang pasti, aku melihat wanita itu mengangguk-angguk sambil menunjuk rumah yang ada di depan kami.

“Iya. Ini rumah Shofia. Hari ini Shofia memang akan menikah. Acara akad nikahnya tiga jam lagi.” Ikhwani mencoba menjelaskan.
Dahiku mengernyit. Bagaimana akan ada pernikahan?. Jika suasana sepi seperti ini. Tapi, sudahlah. Aku mengikuti langkah Ikhwani menuju ke teras rumah itu. Tiga kali salam, seorang wanita cantik keluar sambil menjawab salam itu.
“Shofia…???”
Aku terperanjat kaget. Shofia berdiri anggun di depanku.
“Kak Fathur….????”
Shofia tidak kalah kaget. Tapi, ada rona senang yang menggelayut di merah pipinya. Aku segera merentangkan tangan. Shofia menghambur di pelukanku.
“Maafkan Kakak Shofia… ibu telah menjelaskan semuanya. Hari ini, biarlah Kakak hadir sebagai wali pernikahanmu.”
Shofia sempurna terdiam. Isak tangisnya membasahi punggungku.
Sejenak kubiarkan Shofia meluapkan semuanya. Kubiarkan dia mengatakan kebahagiaan ini dengan tangisnya. Shofia, mulai sekarang, Kakak janji, kedudukanmu di mata Kakak sama seperti Najwa. Shofia adalah Adik Kakak.

                                                                            *******

Pernikahan yang benar-benar teramat sederhana. Sesederhana sifat Shofia selama ini. Dia seorang dokter lulusan Universitas Indonesia. Rela mengabdikan diri menjadi relawan di sebuah rumah sakit Gaza. Senyum Shofia terselip diantara kedua lesung pipinya. Pengantin Palestina yang serasi. Suaminya adalah seorang pejuang Hamas yang juga mengabdikan diri untuk tanah airnya. Palestina. Aku mendongak. Menatap langit-langit rumah. Mencoba menyembunyikan tangis bahagia saat selesai menjadi wali pernikahan Shofia. Sebersit, terlihat bayangan ayah juga tersenyum bahagia. Dua saudara yang akhirnya dipertemukan.

Dan tiba-tiba………

Duummmm….

Sebuah dentuman, teramat keras kudengar. Suasana panik seketika. Terlihat dua pesawat tempur Israel melintas di atas rumah Shofia. Tidak beberapa lama dari itu, terdengar kembali suara ledakan bom. Reflek semua melihat keluar. Dari jarak dekat, dua pesawat Israel tersebut mengeluarkan kembang api dari ekornya. Pemandangan yang menarik seharusnya. Tapi, kembang api itu bukan kembang api yang sering kulihat saat perayaan tahun baru. Kembang api itu adalah kembang api kematian. Sebab sebelum kembang api keluar dari ekor pesawat, sudah muncul terlebih dahulu bom yang Langsung menghantam apapun yang ada di bumi.

Tiba-tiba aku merasakan tubuhku semakin gentar. Kulihat, suami Shofia langsung meraih senapan yang tergantung di dinding. Dengan cekatan, segera meraih tangan Shofia. Gadis yang baru saja dinikahinya beberapa menit yang lalu. Walid. Begitu Shofia memanggil suaminya. Tidak ada kata-kata yang keluar dari lisan mereka. Yang ada hanya tatapan saling meyakinkan.

 Pergilah… Aku ridho.

Shofia meyakinkan suaminya untuk pergi lewat tatapan matanya. Walid mencium kening istrinya. Kemudian pergi bergabung dengan relawan lainnya. Aku melihat pemandangan ini dengan hati yang teramat miris. Belum genap satu jam mereka mengikat janji suci pernikahan. Seharusnya saat ini adalah saat dimana mereka tersenyum bahagia. Menerima kata selamat dari tamu undangan yang datang. Menanti saat-saat menikmati indahnya merayakan pernikahan berdua.

Shofia menatap punggung suaminya yang berlari kencang dengan senyum bangga. Tanpa ada sedikitpun rasa khawatir. Padahal, di depan sana, intaian maut terus membuntuti. Belum ada lima menit Shofia melepas suaminya,

DUMMMMM……

Sebuah bom jatuh tepat di sekitar tubuh Walid berada. Aku menutup mata . Ngeri melihat pemandangan kematian yang ada di depanku. Shofia segera berlari ke dalam rumah. Mengambil peralatan medis seadanya yang tersedia di rumah. Jiwa relawannya terpanggil. Ada puluhan korban di sana yang harus ditolong.
Tapi,,,,, baru sekitar sepuluh meter Shofia berlari,,

Der… der… der….
Brondongan peluru dari senapan laras panjang begitu ganas menembaki tubuh Shofia. Dalam hitungan detik, tubuh Shofia limbung. Kemudian terjatuh dan bersimbah darah. Jantungku terasa hampir terhenti melihat tubuh Shofia. Aku langsung berlari. Tidak peduli, berapa puluh peluru yang nanti akan mencacah tubuhku. Saat itu, yang ada di fikiranku hanyalah Shofia.
Langsung kuraih tubuh Shofia. Darah segar membasahi bajuku.
“Ka..ka…kakak… ma…maafkan i..ibu.. Sho..fia d..d…dan Shofia. Ka…ka..karena te..lah meng…hancur…kan kehidu..pan keluarga ka..kak…”
Aku tak bisa berkata apapun. Mulutku terasa terkunci. Hanya air mata yang bisa menjelaskan semuanya. Kupegang tangan Shofia. Dingin.
“Shofia di..ngin Kak… Se..la..mat ting..gal.. Shofia ha..rus pergi. Ibu.. ayah… dan Kak Walid sudah menjemput Shofia”
Pelan-pelan mata Shofia tertutup. Shofia menjemput syahid tepat di hari pernikahannya.
Tangisku menetes perih.

Langit Rafah terlihat pekat. Suara sirine ambulans meraung-raung. Bau anyir darah seakan menjadi bukti, bahwa Izroil telah menjalankan tugasnya secara sempurna. Mencabut nyawa syahid dan syahidah Rafah dengan professional. Aku memeluk tubuh Shofia yang bersimpah darah. Sepertinya ada senyum yang tersungging di wajah cantiknya.

Shofia dan Walid.
Pengantin Palestina yang mengajariku tentang arti cinta yang sebenarnya. Cinta kepada-Mu adalah yang utama. Melebihi apapun di dunia ini.

No comments:

Post a Comment