Gadis berkerudung yang lumayan cantik. Postur tubuh tinggi semampai,
berkulit putih, alis yang tebal dan rapi, hidung mancung serta lesung
pipi terlihat menarik saat dia sedikit saja tersenyum. Diskriptif yang
pas untuk seorang gadis has timur tengah yang ada di depanku sekarang.
“Maaf Kak… Kalau Shofia ganggu kakak dan keluarga kakak di sini….”
Suaranya
lembut. Bahasa Indonesia yang cukup lancar meski bercampur dengan
sedikit logat arab. Aku tersenyum hambar. Makan siang di sela-sela
kesibukan kantor seharusnya membuatku berselera. Apalagi ditemani
seorang gadis secantik ini.
“Kabar ibu bagaimana…?”
Sedikit kulirik kulihat Shofia dengan pandangan sinis. Ibu? Apa urusanmu menanyakan ibu?.
Pandangan yang cukup sedetik. Kemudian, kualihkan kembali pandanganku
pada es campur yang kuaduk tak berselera. Ah,,, seandainya ada Erik di
sini. Teman sebelah bangkuku di kantor yang suka jahil. Pasti dia akan
berseru,
“Fatur…. Ternyata, kamu laki-laki juga. Masih berselera dengan perempuan. Mmmmm… lumayan cantik…..”
Atau,,,,
“Ternyata seleramu tinggi juga, Rik… tiga puluh tahun lebih menjomblo, akhirnya kamu mendapatkan gadis secantik ini…”
Atau, kalimat-kalimat ledekan lain yang membuatku tak berselera untuk menanggapi. Nasib tragis perjaka yang belum menikah.
“Ibu baik.”
“Najwa Kak…?”
“Masih kuliah. Semester akhir.”
“Syukurlah…”
Lesung
pipinya cukup membuatku sedikit berdesir. Hal itu mungkin terjadi.
Mengingat umurku yang sudah tiga puluh tahun lebih belum menikah. Yang
selalu jadi bahan ledekan empuk bagi teman-teman sekantorku. Tapi
sayang…!!!! Sejak ibu memberi tahu tentang kabar bahwa Shofia akan
datang jauh-jauh dari Raffah di Palestina, sejak itupun, aku sudah
merasa muak dengan gadis ini.
Seharusnya Shofia tidak
berdosa. Seharusnya Shofia tidak menanggung kemarahan yang sudah
kupendam selama seperempat abad ini. Buah yang jatuh tidak jauh dari
pohonnya. Bukannya tidak mungkin, Shofia akan mewarisi sifat ibunya.
Merebut suami orang. Merebut ayah dari ibuku.
“Fathur… kamu jangan bersikap seperti itu pada Shofia. Apapun yang terjadi, dia adalah adikmu.”
Kuingiat
pesan ibu. Ah…!!! Ibu. Hati yang terlalu lembut. Meski telah dihianati
ayah, ditinggal ayah menikah dengan wanita lain, ibu tetap bersikap
baik.
Dua puluh lima tahun silam. Ketika umurku baru
berusia tujuh tahun, dan Najwa, adik perempuanku satu-satunya masih di
dalam kandungan ibu, ayah sedang meneyelesaikan gelar megisternya di
bidang ilmu sejarah. Kebetulan, ayah harus mencari data di negeri rawan
konflik. Palestina. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba aku mendapat kabar
bahwa ayah telah menikah lagi dengan penduduk asli di Palestina. Aku
mendengar kabar itu bukan dari ibu. Tapi, dari tante Ana. Adik kandung
ibu. Ketika aku menanyakan kenapa ibu menangis?. Di umurku yang baru di
angka tujuh, aku belum begitu tau bagaimana rasanya dihianati. Aku belum
mengerti apa arti kata ‘patah hati’ dan sakit karena cinta. Aku msih
terlalu kecil.
Setelah aku dewasa dan sedikit mengenal
kata ‘asmara’, aku baru bisa mengerti. Tak ada cinta sejati bagiku.
Bahkan, dalam pernikahan sekalipun. Apakah cinta itu?. Apakah dia
sebentuk perasaan yang tidak mungkin dibagi lagi?. Apakah dia sebongkah
hati yang tidak akan terpecah lagi?. Apakah dia sebuah akhir perasaan
yang tak akan pernah lagi bercabang?. Sebuah titik?. Akhir?. Mutlak?
Tanpa selingkuh?. Ah,, omong kosong…!
Tangis ibu seperempat abad silam telah membuktikannya.
Dan
Shofia, adalah anak hasil pernikahan ayah dengan wanita itu. Ya…!!!
Secara genetic, dia memang adikku. Tapi, sampai kapanpun aku berjanji
tidak akan pernah mengakui itu.
“Banar kata ibu Shofia. Kak
Fathur, Najwa, dan Ibu Aminah adalah keluarga yang baik. Kak Fathur
masih menyempatkan untuk menjemput Shofia hari ini.”
Shofia masih mencoba untuk tersenyum. Lesung pipi yang indah. Tapi, bagiku itu Just a making conversation. Tidak lebih hanya sekedar basa-basi.
“Setelah ini, nanti aku antar Shofia ke rumah. Di Jakarta tidak lama kan..?!”
Shofia sedikit tersentak kaget mendengar kalimatku baru saja. Terserah..! Bodo amat…!
Kalau dia tersinggung, itu tidak seberapa jika dibandingkan rasa sakit
hati ibu dulu. Sebenarnya, aku begitu enggan untuk menjemput kedatangan
Shofia di bandara. Apalagi mengajaknya makan siang seperti ini. Semua
aku lakukan demi permintaan ibu.
“Kalau Kak Fathur mau kembali ke
kantor, tidak apa-apa. Shofia bisa ke rumah ibu sendiri. Kasih saja
alamatnya. InsayaAllah sampai.”
Dahiku mengernyit heran. Yakin tidak kesasar? Ini Jakarta Nona.
Shofia tersenyum kecil. Mengerti dengan mimik wajahku yang bisa dia baca.
“Kak,,,
waktu kuliah, sebenarnya Shofia sudah di Jakarta. Mendapat beasiswa di
Fakultas Kedokteran UI. Dulu, waktu di kuliah, Shofia ingin sekali
menghubungi keluarga Kakak di Jakarta. Tapi, Shofia sudah mendapat pesan
dari ibu, agar Shofia tidak menghubungi keluarga Ayah di Jakarta. Baik
Ibu Aminah, Kak Fathur dan juga Najwa.”
Aku tercengang. Pantas bahasa Indonesia Shofia cukup lancar.
Ah,,,
sudahlah. Tidak penting. Bagus kalau begitu. Aku tidak perlu banyak
membuang waktu untuk mengantarnya ke rumah. Tanpa pikir panjang, aku
mengeluarkan secarik kertas dan bolpoin dari saku. Kutulis alamat rumah
dan memberikannya pada Shofia.
“Baik Kak… Shofia naik taksi saja. Assalamu’alaikum….”
Aku menatapnya hambar.
“Salam…..!”
*******
Aku
pulang ke rumah ketika makan malam sudah terhidang di meja. Makan malam
yang biasanya hanya ada aku, Najwa dan ibu, kini sedikit ramai dengan
kehadiran Shofia. Makan malam yang seharusnya indah. Ada seorang gadis
seperti Shofia sebagai pelengkap. Harus kuakui, Shofia memang
benar-benar cantik. Busana yang dikenakan sekarang teramat sederhana.
Tapi, entah mengapa aku melihat Shofia adalah jelmaan ratu Cleopatra
yang menjadi sejarah kebanggaan orang-orang mesir.
Paling
tidak, seperti itulah yang sempat kulihat sewaktu aku melewati meja
makan untuk menuju ke kamarku. Beberapa kali ibu selalu memanggilku
untuk makan malam. Tapi beberapa kali pula aku jawab dengan kata “nanti
bu… seberntar lagi.”. Perutku memang benar-benar lapar. Apalagi, makan
siang tadi aku tidak berselera karena harus makan siang semeja dengan
Shofia. Kalau malam ini aku harus makan malam lagi bersama Shofia,
bisa-bisa aku pingsan gara-gara tidak berselera makan. Aku berniat akan
makan malam setelah Shofia masuk ke kamarnya.
Percuma aku
berniat seperti itu. Setelah beberapa kali ibu memanggil, dan aku juga
tidak kunjung ikut bergabung di meja makan, akhirnya ibu masuk ke
kamarku.
“Jangan begitu Fathur… ga enak sama Shofia.
Shofia di Jakarta tidak lama. Dia seorang dokter. Banyak yang harus di
tangani. Apalagi dokter di daerah konflik seperti Palestina…”
Aku mendesah pelan. Mengikuti keinginan ibu. Meski hanya dengan
sepotong kecil hatiku. Di meja makan, telah terhidang makan malam yang
cukup special dari biasanya. Sedikit kuirik Shofia. Cantik.
Batinku berdehem sinis. Mungkin juga, ibunya secantik dia. Entahlah..!
Yang pasti, mungkin lebih cantik daripada ibu. Sehingga ayah berani
melanggar janji agung pernikahan dengan ibu gara-gara ibunya.
Aku melihat Najwa cukup akrab dengan Shofia. Beberapa kali Najwa
bertanya tentang keadaan Palestina dengan segala konfliknya.
Kelihantanya cukup menarik. Apalagi Najwa kuliah di Fakultas ilmu social
dan politik. Benar-benar bahasan yang menyenangkan baginya. Sesekali
ibu terdengar ikut berbicara. Bercanda dan menggoda Shofia.
Sepertinya, ibu dan Najwa sudah melupakan masa lalu yang menyakitkan
itu. Tapi tidak bagiku. Tidak ada kata maaf bagi sebuah perselingkuhan.
Shofia memang tidak bersalah. Tapi, pada siapa lagi aku bisa
melampiaskan kemarahan yang selalu bercokol di hati sejak dulu?. Kata
ibu, Ibu kandung Shofia sudah meninggal sebulan setelah wisuda kelulusan
Shofia. Kasus kematiannya hampir sama dengan ayah dulu. Meninggal
karena menjadi korban konflik di Israel.
Aku menyendok
makanan dengan perasaan hambar. Malas ikut bercanda bersama Shofia
seperti ibu dan Najwa. Sebuah luka tentang kematian ayah tiba-tiba
teringat. Seperti sebuah kepingan VCD yang sengaaja diputar ulang. Waktu
itu, aku masih terlalu kecil untuk bisa mengartikan semuanya. Ibu yang
sedang mengandung Najwa, berkali-kali harus menrima cobaan ini. Dari
berita pernikahan ayah dengan ibu Shofia. Hingga kedatangan ayah ke
Jakarta yang seharusnya menjadi kabar bahagia bagi kami, terpaksa
mengubah semua itu dengan deraian air mata. Ayah pulang ke Jakarta dalam
keadaan sudah menjadi mayat. Kata tante Ana, ayah menjadi korban
intifadha pertama tahun 1987. Dari cerita tante Ana, setelah ayah
menikah dengan ibu Shofia, ayah sedang mengadakan penelitian tesisnya di
dearah Jabaliya.
Intifadha yang pertama kali meletus
tanggal 9 Desember 1987, setelah 20 tahun kependudukan militer Israel
atas wilayah palestina. Demonstrasi besar-besaran terjadi. Warga
palestina menyerbu pos militer israel dengan senjata seadanya. Bahkan
serangan itu terkenal dengan ‘perang batu’. Karena, senjata rakyat
Palestina waktu itu hanya batu. Benar-benar tidak sebanding dengan tank
dan senapan lengkap pasukan Israel.
“Kak Fathur mau nambah…???”
Suara Shofia tiba-tiba mengagetkanku. Suara yang cukup lembut.
Perpaduan bahasa Indonesia dengan logat arab. Aku hanya melirik. Tak
berselera menanggapi. Kemudian menggeleng. Tidak. Terima kasih.
“Najwa mau ngerjain tugas kuliah dulu. Makasih Kak Shofia… besok
disambung lagi…” Shofia kembali tersenyum. Mengangguk. Najwa masuk ke
kamar. Meninggalkan aku, ibu dan Shofia.
Ibu sesekali
memberesi piring-piring dan peralatan makan lainnya yang sudah tidak
terpakai. Shofia cekatan ingin membantu. Tapi, ibu melarang. Sepertinya,
ibu sengaja membiarkan agar Shofia bisa berbicara denganku.
“Kak… Kak Fathur lelah?. Shofia boleh sedikit bicara..???”
Sepertinya Shofia sedikit memberanikan diri. Aku meliriknya sebentar.
Sambil meletakkan sendok dan garpu di atas piring. Makanku telah
selesai. Aku mengangguk. Boleh.
“Sebetulnya kedatangan Shofia ke Jakarta ini untuk minta tolong pada Kak Fathur.”
Entah kenapa, ada magnet yang rasanya menarikku untuk menatap lekat wajahnya. Minta tolong?. Untuk apa?.
“Shofia minta kesediaan Kak Fathur untuk…..”
Belum
sempat Shofia melanjtkan pembicaraannya, aku berburu memotong. Rasanya
aku sudah bisa membaca gelagat Shofia dari awal. Buah yang jatuh tidak
jauh dari pohonnya.
“Menuntut harta warisan ayah?. Menuntut agar aku bersedia membaginya untuk kalian..??? Iya Hah..???!!!!”
Rasanya, kemarahanku telah memuncak di ubun-ubun. Lupakan semua nasehat ibu tentang positif Thingking.
Shofia harus tau bagaimana rasanya disakiti. Suaraku terdengar keras.
Persis seperti petir yang tiba-tiba datang merobek kebisuan malam. Ibu
yang sedang mencuci piring tergopoh-gopoh ke meja makan. Najwa yang
sedang khusuk di depan computer reflek membuka pintu kamarnya. Melongo
melihat aku yang menghentakkan telapak tangan keras-keras di atas meja.
“Shofia,
dengar ya….!!! Penderitaan apa yang kalian torehkan pada kami?.
Terutama pada ibu. Ibu yang sedang hamil Najwa dulu, harus rela menahan
perih atas penghiatan dari suami tercintanya. Perselingkuhan ayah dengan
ibumu….!!! Meskipun ayah dan ibumu menikah, tapi, bagiku itu tidak
lebih dari perselingkuhan…..!!!!”
Malam ini, kemarahanku sempurna
pecah. Tak sedikitpun aku peduli dengan Shofia. Wajah cantik has timur
tengahnya tertunduk. Dengan beberapa bulir air mata pelan jatuh
tersungkur bersama hatinya yang mungkin juga robek.
“Dan
kamu Shofia…..!!!! kamu tidak lebih dari anak haram hasil perselingkuhan
itu. Meski sekarang kamu seorang dokter.. dokter Shofia yang cantik,
tapi, bagiku kamu tidak lebih dari anak pelacur yang menggoda
ayah…..!!!!!!!”
Puas..! Tangis Shofia semakin deras. Sedangkan dia
tak sedikitpun berani menyanggah semua omonganku. Shofia sempurna
terdiam. Hanya air mata yang seakan menguraikan semua maksud hatinya.
Atau, memang barangkali semua tuduahanku benar?. Aku tersenyum kecut.
“Fathur… jaga bicaramu..!!! Shofia….”
Belum selesai ibu bicara, Shofia berlari menuju kamarnya.
“Shofia… tunggu….” Ibu mengikuti langkah shofia. Mengejar.
Aku
mengatur nafas. Membiarkan ibu mengikuti langkah Shofia ke kamarnya.
Kuarahkan pandangan pada kamar Najwa. Aku melihat Najwa mematung di
depan pintu kamar. Pandangannya masih menyisakan ketidaktauan sebuah
pertengkaran yang baru saja terjadi. Dengan isyarat mata, aku meminta
Najwa kembali ke kamar. Najwa mengerti. Tanpa sepatah katapun, Najwa
masuk dan menutup kembali pintu kamarnya.
Aku kembali ke kamar.
Menenangkan sejenak dari emosi yang sejak tadi sempurna menguasai
hatiku. Tiga puluh menit kemudian, ibu menegtuk pintu kamar. Memintaku
untuk mendengarkan sedikit penjelsannya tentang Shofia. Tadinya aku
menolak. Dengan alasan, tidak perlu ada yang perlu di dengarkan lagi.
Tapi ibu tetap memaksa.
Dan sejak malam ini, semua cerita itu terbuka.
*******
Terrace Café, Hotel Ramses Hilton, Kairo.
Aku
melihat arloji di pergelangan tangan kiriku. Masih jam 9 pagi.
Berarti, masih sekitar satu jam lagi waktu janjianku dengan Ikhwani.
Seorang temanku di Jakarta yang berprofesi sebagai wartawan dan di
tempatkan di Kairo. Setelah perjalanan yang panjang Jakarta-Kairo dengan
pesawat, aku memutuskan istirahat sebentar di hotel ini. Aku tiba di
Kairo tadi pagi pukul 05.00 waktu setempat.
Hotel yang
cukup indah. Terletak persis di tepi sungai Nil. Aku sengaja duduk di
dekat jendela yang mengahadap ke sungai. Terlihat kapal-kapal motor
hilir mudik yang diikuti buih-buih air. Pemandangan yang tak pernah
kutemukan di padatnya kota seperti Jakarta. Mesir dengan Kaironya adalah
sebuah negeri yang memiliki sejarah panjang dan kaya akan budaya.
Sambil menikmati sarapan pagi, pikiranku melayang pada penjelasan ibu
kemarin malam. Tepat setelah luapan emosiku pada Shofia. Yang
menyebabkan keesokan paginya Shofia memutuskan langsung pulang ke
Rafah-Palestina dengan membawa jutaan rasa kecewa dan putus asa. Tanpa
pamit padaku. Menyisakan perasaan penyesalan yang menyesak di dadaku.
Malam itu, ibu menceritakan semuanya. Termasuk sebuah alasan kenapa
ayah dulu terpaksa menikahi ibunya Shofia. Penderitaan yang dirasakan
rakyat Palestina karena kedudukan Israel di negerinya, membuat rakyat
Palestina banyak kehilangan anggota keluarga mereka. Termasuk keluarga
Ibu Shofia. Sebelum menikah dengan ayah, sebetulnya ibu Shofia telah
mempunyai keluarga yang utuh dan bahagia. Ibu Shofia yang bernama
Mariam, menikah dengan seorang pemuda yang bernama Ahmad. Dan dikaruniai
sseorang anak laki-laki yang waktu itu baru berumur tiga tahun. Bernama
Jihad.
Suatu saat, rumah mereka yang terletak di
daerah Jabaliya Timur terkena ledakan bom yang dilancarkan oleh aksi
Israel. Ahmad, suami dari Mariam meninggal saat itu juga. Terkena
serpihan bom yang menghancurkan kepalanya. Sedangkan ibu MAriam dan
Jihad selamat dan segera berlari di lorong-lorong antar rumah dan juga
di kebun jeruk dan Zaitun. Yang kemudian bergabung dengan korban lainnya
di camp-camp pengungsi yang didirikan pemerintah Palestina. Gempuran
Israel kali saat itu memang luar biasa. Tidak hanya merenggut nyawa
Ahmad. Tapi juga, nyawa rakyat Palestina yang lain. Serta menimbulkan
kerusakan luar biasa. Semua infrastruktur hancur. Jaringan air minum dan
jaringan listrik tak berfungsi lagi karena hancur berantakan.
Entah dengan kalimat apa harus menjelaskan perasaan bu Mariam saat itu.
Kehilangan suami yang sangat di cintainya. Hidup di camp pengungsi
bersama Jihad. Harapan hidup satu-satunya. Ditambah lagi, serangan
Israel kapanpun selalu mengintai. Maut setiap saat selalu siap menjemput
siapapun. Aku mendesah pelan. Satu bulan di camp pengungsian, Jihad
terkena serangan diare. Obat-obatan dan peralatan medis di pengungsian
sangat terbatas. Blokade yang dilancarkan Israel terhadap rakyat
Palestina seakan mengisolasi mereka. Penderitaan yang bertubi-tubi.
Ayah yang tadinya hanya berencana mengambil data untuk keperluan
tesisnya, begitu terketuk melihat penderitaan orang-orang di camp
pengungsian. Termasuk penderitaan bu Mariam dan Jihad yang saat itu
menemui titik kritis penyakit diarenya. Ayah memutuskan untuk
menghentikan pencarian data tesis. Dan bergabung menjadi relawan dengan
beberapa relawan dari Indonesia yang saat itu ditempatkan di Jabaliya.
Ayah sedikit tertarik pada Bu Mariam bukan karena kecantikannya.
Kecantikan itu telah lusuh tertutup beban fisak dan mental yang
menderanya. Tidak usah didiskriptifkan bagaimana keadaan Bu Mariam saat
itu. Hidup di camp pengungsian yang jauh dari kata nyaman. Tidak penting
memikirkan kecantikan dan pesona tubuh. Yang ada hanya bagaimana nafas
ini terus berhembus. Tertatih mencoba menjalani sisa hidup yang ikhlas
jika kapanpun Tuhan berkehendak mencabut nyawa itu.
Alasan utama ayah untuk menikahi Bu Mariam adalah semata ingin menolong.
Sekedar menggantikan satu kaki kehidupan yang hilang. Sehingga Bu
Mariam bisa sedikit tegak menjalani kehidupan di depan. Memang tidak
mungkin, ayah bisa menggantikan posisi suami Bu Mariam yang sangat
dicintainya. Tapi, minimal, dengan kehadiran ayah sebagai suami, bisa
sedikit menolong. Apalagi saat itu keadaan Jihad sungguh mengenaskan.
Pernikahan yang dilakukan teramat sederhana. Di camp pengungsian yang
setiap saat bisa saja tersambar bom Israel. Tiga hari setelah pernikahan
ayah dan Bu Mariam, Jihad menyusul ayahnya. Meninggal karena sakit
diare yang teramat akut. Aku mendesah pelan. Pelajaran yang cukup indah
untuk arti sebuah kata keikhlasan. Maha kuasa Allah dengan segala
kehendak-Nya. Setelah Allah mengambil Jihad dari Bu Mariam, Allah
menitipkan janin hasil pernikahan ayah dan Bu mariam. Janin bayi
perempuan yang kelak diberi nama Shofia.
Aku
menyeruput teh hangat yang terhidang. Kembali kualihkan pandangan pada
sungai Nil. Kulihat sebuah kapal motor melaju dengan cepat di sungai
Nil. Kapal itu bergerak melawan arus dan meninggalkan buih-buih putih.
Sungai Nil adalah salah satu pesona di Kairo. Sungai terpanjang di
dunia.
Kebersamaan Bu mariam dan ayah tidak begitu
lama. Ketika baru saja Bu Maryam hamil dua bulan, peristiwa Intifadha
pertama itu terjadi. Dan ayah menjadi salah satu korbannya. Sejak saat
itu, Bu Mariam memutuskan untuk tidak menikah dan membesarkan Shofia
sendirian. Sama seperti ibu. Yang juga membesarkan aku dan Najwa
sendirian.
“Assalamu’allaikum…. Sudah lama menunggu Mas?”
Ikhwani tiba-tiba datang memecah lamunanku. Aku tersenyum renyah.
Kemudian menjabat tangan dan memluk pundaknya dengan hangat.
“Wa’alaikum salam…. Baru satu jam di sini. Sengaja datang lebih awal. Sambil menikmati suasana sungai Nil”.
Ikhwani
yang akan menemani aku ke Rafah di Palestina. Sejak kemarin, aku
memutuskan untuk menemui Shofia kembali. Mengabulkan satu permintaan
pertamanya. Yang kata ibu, sekaligus menjadi permintaan yang terakhir.
Shofia datang jauh-jauh dari Rafah ke Jakarta hanya untuk meminta satu
permintaan padaku. Memintaku untuk menjadi wali pernikahannya. Andaikan
ayah atau Jihad masih hidup, mungkin salah satu diantara mereka yang
akan menjadi wali pernikahan Shofia. Tapi, karena ayah dan Jihad sudah
tiada, hanya akulah satu-satunya garis nasab yang dimiliki Shofia. Semua
keluarga Shofia dari ibunya juga telah meninggal. Terkena imbas
kekejaman Israel selama ini.
“Bagaimana rute perjalanan kita nanti?”
Aku bertanya setelah seorang pelayan menyuguhkan secangkir teh hangat pada Ikhwani.
Ikhwani sedikit meneguk tehnya.
“Nanti, kita akan ke El Arish dulu. Baru, dari sana, kita akan melanjutkan perjalanan ke Rafah.”
Aku mengengguk pelan. Mencoba untuk mengerti. Karena, baru kali ini aku mengadakan perjalanan ke Mesir hingga Palestina.
“Jalan
antara Kairo dan El Arish sekitar 400 kilimeter. Sedangkan El Arish ke
Rafah, sekitar empat puluh Kilometer.” Ikhwani kembali melanjutkan
penjelasannya.
Setelah berbincang singkat, pukul 10.00 kami
meninggalkan Kairo. Agak susah payah Ikhwani mengemudikan mobilnya.
Melaju di jalan kota yang terkanal padat dan semrawut. Perjalanan yang
cukup panjang. Kami tiba di El Arish ketika menjelang senja. El Arish
sebuah kota di wilayah pegunungan Sinai, yang terletak sekitar 400
kilometer dari Kairo, ibu kota Mesir.
Di El Arish, kita
istirahat sejenak. Kemudian, melanjutkan perjalanan ke Rafah. Yang
berjarak empat puluh kilometer dari El Arish. Sebetulnya, ada dua jalur
yang bisa kita lewati untuk menuju ke Rafah-Plestina. Melewati pantai
Gaza dan melewati pintu gerbang Salahudin. Pintu gerbang yang terletak
di antara Rafah-Mesir dan Rafah-Gaza. Kota Rafah terletak di dua
wilayah. Wilayah yang masuk Gaza-Palestina dan wilayah yang masuk Mesir.
Ikhwani
menyarankan agar kami lewat jalur Rafah-Palestina. Cukup beresiko jika
melewati jalur pantai Gaza. Karena blockade tentara Isreal. Kami tiba di
pintu gerbang Salahudin tepat pukul 17.00. Setelah menyelesaikan urusan
imigrasi, kami menunggu sebentar hingga pintu gerbang dibuka.
Keberadaan Ikhwani sebagai wartawan cukup membantu. Mempermudah kami
untuk bisa memasuki jalur Gaza.
Dimana-mana terlihat bebarapa
polisi dan tentara berjaga-jaga. Bahkan tentara ditempatkan di sepanjang
tembok perbatasan. Hampir tiga puluh menit kami menunggu untuk
diperbolehkan memasuki pintu gerbang Rafah. Akhirnya, pintu itu terbuka
juga.
Perjalanan yang cukup menyenangkan. Kami menyewa
sebuah taksi. Aku mengikuti saja saran dari Ikhwani. Ikhwani menyerahkan
sebuah kertas yang bertuliskan alamat Shofia pada supir taksi. Selama
perjalanan dengan taksi, Ikhwani terus saja berceloteh menjelaskan
keadaan fisik kota Rafah. Kota yang cukup terlihat kusam. Tapi, dari
keterangan Ikhwani, tidak serta merta membuat penduduknya kusam juga.
Penduduknya ramah-ramah.
Di kanan kiri jalan, terlihat
sisa-sisa puing gedung yang hancur karena serangan tentara Israel.
Pemandangan yang cukup membuat hati ngilu.
“Di daerah jalan ini,
tank-tank Israel masuk dari arah Bandar Udara gaza. Selama agresi
Israel, tidak ada warga Palesstina yang berani lewat sini. Kecuali mobil
ambulans dan mobil bantuan kemanusiaan.” Ikhwani terus bercerita.
Pandanganku
melihat nanar. Tiba-tiba, aku bisa merasakan bagaimana ketika ayah
menjemput maut saat peristiwa Intifadha pertama dulu. Batinku berbisik.
Tuhan, kapan konflik ini akan selesai?.
*******
Taksi
kami berhenti tepat di sebuah rumah. Entah apa yang dikatakan sopir
taksi itu. Yang aku tau, itu adalah bahasa arab. Ikhwani cukup lancar
menanggapi dialog itu. Rumah yang cukup sederhana.
“Kata sopir taksi tadi, ini rumah Shofia. Alamatnya sesuai degan yang tertera di kertas ini.”
Ikhwani
menjelaskan. Aku hanya mengangguk. Mencoba mengerti. Jika tidak salah,
hari ini adalah tepat acara pernikahan Shofia. Aku melayangkan pandangan
ke arah sekitar. Tidak ada tanda-tanda sebuah pesta pernikahan.
Ikhwani
menemui seorang ibu-ibu dengan pakaian jubah hitam yang lebar.
Berkerudung serta bercadar. Pakaian yang sepertinya biasa dikenakan para
wanita di sini. Hampir sama dengan apa yang dikenakan Shofia. Bedanya,
Shofia tidak mengenakan cadar. Entah apa yang ditanyakan Ikhwani dalam
bahasa arab yang kental itu. Yang pasti, aku melihat wanita itu
mengangguk-angguk sambil menunjuk rumah yang ada di depan kami.
“Iya. Ini rumah Shofia. Hari ini Shofia memang akan menikah. Acara akad nikahnya tiga jam lagi.” Ikhwani mencoba menjelaskan.
Dahiku
mengernyit. Bagaimana akan ada pernikahan?. Jika suasana sepi seperti
ini. Tapi, sudahlah. Aku mengikuti langkah Ikhwani menuju ke teras rumah
itu. Tiga kali salam, seorang wanita cantik keluar sambil menjawab
salam itu.
“Shofia…???”
Aku terperanjat kaget. Shofia berdiri anggun di depanku.
“Kak Fathur….????”
Shofia
tidak kalah kaget. Tapi, ada rona senang yang menggelayut di merah
pipinya. Aku segera merentangkan tangan. Shofia menghambur di pelukanku.
“Maafkan Kakak Shofia… ibu telah menjelaskan semuanya. Hari ini, biarlah Kakak hadir sebagai wali pernikahanmu.”
Shofia sempurna terdiam. Isak tangisnya membasahi punggungku.
Sejenak kubiarkan Shofia meluapkan semuanya. Kubiarkan dia mengatakan kebahagiaan ini dengan tangisnya. Shofia, mulai sekarang, Kakak janji, kedudukanmu di mata Kakak sama seperti Najwa. Shofia adalah Adik Kakak.
*******
Pernikahan
yang benar-benar teramat sederhana. Sesederhana sifat Shofia selama
ini. Dia seorang dokter lulusan Universitas Indonesia. Rela mengabdikan
diri menjadi relawan di sebuah rumah sakit Gaza. Senyum Shofia terselip
diantara kedua lesung pipinya. Pengantin Palestina yang serasi. Suaminya
adalah seorang pejuang Hamas yang juga mengabdikan diri untuk tanah
airnya. Palestina. Aku mendongak. Menatap langit-langit rumah. Mencoba
menyembunyikan tangis bahagia saat selesai menjadi wali pernikahan
Shofia. Sebersit, terlihat bayangan ayah juga tersenyum bahagia. Dua
saudara yang akhirnya dipertemukan.
Dan tiba-tiba………
Duummmm….
Sebuah
dentuman, teramat keras kudengar. Suasana panik seketika. Terlihat dua
pesawat tempur Israel melintas di atas rumah Shofia. Tidak beberapa lama
dari itu, terdengar kembali suara ledakan bom. Reflek semua melihat
keluar. Dari jarak dekat, dua pesawat Israel tersebut mengeluarkan
kembang api dari ekornya. Pemandangan yang menarik seharusnya. Tapi,
kembang api itu bukan kembang api yang sering kulihat saat perayaan
tahun baru. Kembang api itu adalah kembang api kematian. Sebab sebelum
kembang api keluar dari ekor pesawat, sudah muncul terlebih dahulu bom
yang Langsung menghantam apapun yang ada di bumi.
Tiba-tiba
aku merasakan tubuhku semakin gentar. Kulihat, suami Shofia langsung
meraih senapan yang tergantung di dinding. Dengan cekatan, segera meraih
tangan Shofia. Gadis yang baru saja dinikahinya beberapa menit yang
lalu. Walid. Begitu Shofia memanggil suaminya. Tidak ada kata-kata yang
keluar dari lisan mereka. Yang ada hanya tatapan saling meyakinkan.
Pergilah… Aku ridho.
Shofia
meyakinkan suaminya untuk pergi lewat tatapan matanya. Walid mencium
kening istrinya. Kemudian pergi bergabung dengan relawan lainnya. Aku
melihat pemandangan ini dengan hati yang teramat miris. Belum genap satu
jam mereka mengikat janji suci pernikahan. Seharusnya saat ini adalah
saat dimana mereka tersenyum bahagia. Menerima kata selamat dari tamu
undangan yang datang. Menanti saat-saat menikmati indahnya merayakan
pernikahan berdua.
Shofia menatap punggung suaminya yang
berlari kencang dengan senyum bangga. Tanpa ada sedikitpun rasa
khawatir. Padahal, di depan sana, intaian maut terus membuntuti. Belum
ada lima menit Shofia melepas suaminya,
DUMMMMM……
Sebuah
bom jatuh tepat di sekitar tubuh Walid berada. Aku menutup mata . Ngeri
melihat pemandangan kematian yang ada di depanku. Shofia segera berlari
ke dalam rumah. Mengambil peralatan medis seadanya yang tersedia di
rumah. Jiwa relawannya terpanggil. Ada puluhan korban di sana yang harus
ditolong.
Tapi,,,,, baru sekitar sepuluh meter Shofia berlari,,
Der… der… der….
Brondongan
peluru dari senapan laras panjang begitu ganas menembaki tubuh Shofia.
Dalam hitungan detik, tubuh Shofia limbung. Kemudian terjatuh dan
bersimbah darah. Jantungku terasa hampir terhenti melihat tubuh Shofia.
Aku langsung berlari. Tidak peduli, berapa puluh peluru yang nanti akan
mencacah tubuhku. Saat itu, yang ada di fikiranku hanyalah Shofia.
Langsung kuraih tubuh Shofia. Darah segar membasahi bajuku.
“Ka..ka…kakak…
ma…maafkan i..ibu.. Sho..fia d..d…dan Shofia. Ka…ka..karena te..lah
meng…hancur…kan kehidu..pan keluarga ka..kak…”
Aku tak bisa
berkata apapun. Mulutku terasa terkunci. Hanya air mata yang bisa
menjelaskan semuanya. Kupegang tangan Shofia. Dingin.
“Shofia di..ngin Kak… Se..la..mat ting..gal.. Shofia ha..rus pergi. Ibu.. ayah… dan Kak Walid sudah menjemput Shofia”
Pelan-pelan mata Shofia tertutup. Shofia menjemput syahid tepat di hari pernikahannya.
Tangisku menetes perih.
Langit
Rafah terlihat pekat. Suara sirine ambulans meraung-raung. Bau anyir
darah seakan menjadi bukti, bahwa Izroil telah menjalankan tugasnya
secara sempurna. Mencabut nyawa syahid dan syahidah Rafah dengan
professional. Aku memeluk tubuh Shofia yang bersimpah darah. Sepertinya
ada senyum yang tersungging di wajah cantiknya.
Shofia dan Walid.
Pengantin
Palestina yang mengajariku tentang arti cinta yang sebenarnya. Cinta
kepada-Mu adalah yang utama. Melebihi apapun di dunia ini.
No comments:
Post a Comment