Tuesday, 12 May 2015

CERBUNG : SUJUD CINTAKU DI MIHRAB TAAT (7)





……. Jika mawar itu berduri, tusuklah aku dengan duri itu hingga merah darahku. Agar aku bisa terbangun pada kenyataan bahwa aku tidak mungkin memilikimu …….

            “Hallo, iya Van… Lha kenapa?... Oh? Kalau sakit jangan dipaksa. Kamu sekarang dimana?.... Ok. Langsung ke Butik Tante Ita aja ya. Ini Mama, Papa dan Edo dalam perjalanan ke sana. …. Iya. Papa ikut. Katanya bosen di rumah terus. … Ok, Mama tunggu ya…”

“Kata Evan, Elen agak ga enak badan. Jadi, ga bisa ikut ke acara kita.”

Mama menjelaskan setelah menutup telephone dari Evan. Aku melirik kaca kecil depan mobil, melihat bayangan mama yang duduk dibangku belakang. Beberapa detik sejenak melupakan konsentrasiku menyetir.

Papa yang duduk di bangku depan, sebelahku juga menoleh ke belakang.

“Emang Elen sakit apa?”

“Kata Evan agak meriang dari kemarin malam. Tapi ga mau diajak ke dokter. Katanya cuma flu ringan.”

Aku melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Tepat pukul 19.05. Menekan gas mobil lebih dalam. Pandanganku lurus menatap jalanan. Lampu jalan dan kendaraan yang lewat bergantian lembut menyiramkan sinarnya. Seperti ada supply semangat yang dipompa. Baiklah.!

“Edo,,, nyetirnya jangan terlalu kencang.” Reflek, Papa mengingatkan.




Ga masalah, Pa.. Edo bisa hati-hati.”

Memasuki gerbang tol Jagorawi dengan lancar. Tanpa ada acara macet Jakarta seperti biasanya. Mobil mulus kuarahkan ke arah Cibubur. Dengan jalanan yang tidak terlalu padat seperti ini, sepertinya tidak perlu banyak waktu untuk menuju butik Tante Ita yang berada di lokasi Kota Wisata cibubur.

Elen.

Kembali sosok itu terlintas.

Tidak.! Semuanya harus segera di akhiri. Sebelum aku jatuh lebih dalam lagi. Jatuh pada dasar hati yang paling dalam. Hingga aku tak bisa jatuh lebih dalam lagi. Namun juga tak semudah membalikkan telapak tangan untuk bisa keluar. Karena, disebuah tempat yang paling dalam, aku akan kesulitan bernafas. Yang bisa kulakukan hanya pasrah menerima semuanya. Pasrah menyerahkan mautku begitu saja atas nama cinta.

Aku menekan gas lebih dalam lagi. Dua buah mobil mini bus berhasil kudahului.

Tapi, apa yang harus diakhiri? Jika berawal saja tidak?!.

Gesit kutekan rem. Saat aku menyadari, mobilku hampir saja menyerempet truck sampah yang melaju sembarangan di sisi jalan sebelah kiri.

“Hati-hati, Do…”

Kembali Papa memperingatkan setelah tangannya memasang seat belt yang ternyata baru kusadari lupa dipasang sejak dari rumah tadi.

Aku tersenyum seadanya. Dan kembali menekan gas, melanjutkan perjalanan.

Paling tidak, mengakhirinya pada area perasaanku sendiri. Perasaanku yang memutuskan untuk memulai. Dan perasaanku juga yang seharusnya memutuskan untuk mengakhiris emua ini. Aku tidak mau, kelak, ketika aku mencoba hidup tanpanya, mencoba menjalani hidup dengan optimisme, menikmati kebersamaan dengan orang baru, menafikan kehadirannya meski kenyataan berkata bahwa dia adalah bagian dari keluargaku, belahan hidup bagi Evan, adek kandungku. Wajahnya tiba-tiba saja datang memenuhi tiap sisi dan sudut dalam hidupku.

Aku tidak mau, suatu saat, entah kapan aku akan meminta tuhan menulis ulang takdir-Nya, merengek pada-Nya, meminta sesuatu yang mungkin saat itu telah haram untuk menjadi milikku. Aku tidak mau, suatu saat aku tiba-tiba tertawa sendiri ataupun tiba-tiba menangis sendiri tanpa mau disebut gila. Tertawa untuk ilusi hatiku, dan menangis untuk ketidakmampuanku meraihnya.

Pintu gerbang daerah Kota Wisata Cibubur sudah terlihat. Aku membanting stir ke arah kanan. Memasuki kawasan Kota Wisata yang cukup luas. Butik Tante Ita yang terletak di Kampung Cina kawasan Kota wisata terlihat tidak terlalu ramai. Aku memarkirkan mobil tepat di depan bangunan butik.

“Iya… ini Mama baru aja sampai di Butinya Tante Ita. Kamu dimana Van?....... Oh, ya udah. Hati-hati. Kita tunggu di sini. …. Belum. Mama belum masuk. Ini baru aja Edo parkir mobil. … Ok.”

Aku menutup pintu mobil, tepat ketika Mama menutup telphone dari Evan.

“Evan masih di jalan. Katanya kena sedikit macet.”

Aku hanya mengangguk seadanya.

Sengaja aku membiarkan Mama dan Papa berjalan terlebih dahulu memasuki butik. Aku sengaja memperlambat langkah kakiku saat kulihat sebuah mobil warna putih terparkir di depan butik namun agak sedikit ke arah kiri. Mungkin ini mobil keluarga Arinda.

“Naaaahhhh… selamat malam, Mas… lama tidak ketemu. Bagaimana kabarnya? Sehat kan? Sekarang terlihat lebih muda dan seger”

Suara renyah Tante Ita terdengar menyapa Papa saat aku baru saja membuka pintu depan butiknya.

“Alhamdulillah baik, Mbak Yu… Mbak Yu sendiri gimana kabarnya? Tambah maju saja usahanya. Kata Evan,sekarang Mbak Yu buka cabang di Singapura juga?”

“Ah..! Mas ini bisa saja. Hanya cabang kecil di Singapura. Daripada bosen di Jakarta terus yang serba macet.”

“Kerja itu kalau sesuai hoby, sepertinya memang berasa tidak bekerja. Seperti main-main saja.”

“Hahahaha…. Mas inibisa saja. Alhamdulillah, sedikit-sedikit bisa ada pemasukan. Menyelam sambil minum es lemon bareng ratu inggris. Hahaha…”

Aku ikut tersenyum geli mendengar celotehan Tante Ita yang terkesan sedikit hiperbolik.  Satu hal yang paling kusuka dari Tante Ita adalah sifatnya yang supel. Pandai bergaul. Sisi sanguinis yang populer sangat lekat sehingga tidak ada orang asing baginya. Sebuah modal usaha yang sanga tlangka dan tidak banyak dimiliki oleh semua orang. Membuat para pelanggannya merasa nyaman untuk berlama-lama menghabiskan banyak waktu mengobrol dengannya. sehingga akan berpengaruh pada kemajuan usahnya.

“Oh ya, Evan mana? Katanya mau ngefixedkan baju pengantinnya?”

“Tadinya Evan kerumah Elen. Mau jemput Elen. Tapi tadi waktu kita perjalanan ke sini,  Evan telphone. Elen lagi agak ga enak badan. Jadinya, Evan mungkin ntar nyusul sendirian tanpa Elen.”

Mama mencoba menjelaskan.

“Oh, iya. Arinda mana?”

Tanya Mama dengan nada sedikit berbisik ke telinga Tante ita.

Tante Ita tersenyum nakal. Sambil melihatku dengan wajah yang mungkin terlihat sedikit gugup.

“Sebentar. Tante panggil dulu..”

Kata Tante Ita sambil memutar kepalanya memanggil salah satu karyawannya.

“Erni.. minta tolong panggilkan Arinda. Ditunggu sama Tante Ana, Om setiawan dan Edo si ruang depan.”

Seorang perempuan setengah baya yang dipanggil Erni tanpa membantah, langsung saja meng-iyakan dan melaksanakan perintah Tante Ita. Selang hanya beberapa menit Erni datang dengan seorang perempuan yang belum pernah kutemui sebelumnya. Poster tubuh agak kurus dan tidak terlalu tinggi, sangat serasi dengan rambut ikal bergelombang yang disanggul seadanya.

“Naaahh.. ini dia. Kenalkan, ini Arinda. Panggil aja Rinda.”

Rinda mencoba tersenyum anggun. Senyum sederhana tanpa improvisasi yang berlebihan.

            “Arinda..”

            Dengan telapak tangannya menyambut uluran tangan Papa, Mama dan terakhir telapaktanganku.

            “Edo Setiawan. Panggil aja Edo..”

            Rinda mencoba kembali tersenyum semanis mungkin.

            “Ini Edo.. Yang Tante ceritakan kemarin. Edo ini -------“

            Belum sempat Tante Ita menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba --------

            “Selamat malam semuanya, Maaf saya terlambat. Tadi agak macet.”

            Evan datang dan langsung membuyarkan acara perkenalan singkat kita.

            “Maaf, Pa.. Ma… Bang Edo, Tante Ita dan -----“

            Kalimat Evan terhenti saat retina matanya menemukan sosok Arinda. Keningnya sedikit berkerut. Seperti mencoba mengingat sesuatu.

            “Mmmm…. Evan? Evan Setiawan?”

            Bola mata Arinda membulat ceria. Seperti peserta kuis yang berhasil menjawab pertanyaan dari hostnya.

            Evan tak mau kalah. Mata dan senyum Evan lepas berekspresi seperti peserta kuis yang berhasil menyelesaikan babak bonus dan berhak membawa pulang hadiah dengan nilai milyaran rupiah.

            “Rinda? Arinda Prameswari?”

            Seperti dua sahabat  yang terpisah bertahun-tahun. Kemudian dipertemukan kembali pada acara temu kangen dan reuni sekolahnya.

            “Iya .Ini aku, Van… Kamu kemana aja?”

            Telapak tangan dan senyum mereka hangat, tanpa mau mempedulikan kening kita yang berkerut menyimpan tanya.

            “Setamat SD, aku dan keluargaku pindah ke daerah Cilandak. Meneruskan SMP dan SMA disana. Kemudian kuliah di luar kota.”

            “Oooo… Jadi, setamat SD kamu pindah ke Cilandak? Pantesan, ga pernah lihat lagi. Sama aja denganku. Setamat SD aku pindah ke Surabaya. Kakekku meninggal. Nenekku sendirian. Kemudian, ayahku memutuskan kami sekeluarga pindah ke Surabaya. SMP sampai kuliah di sana. Kebetulan,s ebulan yang lalu aku dapat panggilan kerja di Jakarta. Diterima, terus pindahke sini sambil bantuin Tante Ita.”

            Tak perlu banyak penjelasan. Dari dialog mereka aku tau. Bahwa Evan dan Arinda dulunya teman satu sekolah di SD.

            Dulu, sebelum kami sekeluarga pindah ke Cilandak, kami pernah tinggal di Cileungsi. Rumah kita memang di Cileungsi yang masuk kawasan Bogor. Namun, Papa menyekolahkan kita di SD daerah Cibubur, Jakarta Timur. Setamatnya Evan dari SD, Papa ditugaskan oleh kantornya untuk menjadi kepala cabang di daerah Cilandak. Akhirnya, kita sekeluarga pindah ke Cilandak sampai sekarang.

            “Ternyata dunia tak selebar daun mangga.”

            Tante Ita yang sejak tadi terdiam bingung, kini mulai faham dengan apa yang dilihatnya sekarang.

            “Nah,yang mau Tante kenalin sama Rinda itu Edo. Abangnya Evan.”

            Rinda kembali melirik ke arahku.

            “Dulu Bang Edo juga sempat satu almamater SD dengan kita. Tapi, ketika Bang Edo masukSMP, kita mungkin baru masuk SD. Jauh sekali dengan kita.”

            “Iya, Van… meskipun umurnya abangmu jauh denganmu, tapi wajah kalian terlihat sebelas dua belas.”

            Papa tidak mau kalah. Benar-benar melaksanakan tugasnya sebaik mungkin sebagai wakil ketua di tim sukses dari acara perjodohan antara aku dengan Arinda ini yang diketuai langsung oleh Mama.

            “Ele nkatanya sakit ya Van? Sakit apa?”

            Tante Ita tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

            “Katanya agak meriang, Tante. Paling juga Cuma flu ringan. Mau Evan temenin ke dokter, Elennya ga mau.”

            Tante Ita hanya mengangguk-angguk paham.

            “Elen calon istri kamu ya Van?” Tiba-tiba Rinda membuka ruang pertanyaan.

            Evanm engangguk dan tersenyum bangga.

            “Waaahhh…s elamat ya Van, doakan aku cepet nyusul.”

            Senyum Rinda centil melirikku. Aku hampir tergagap dibuatnya. Situasi yang benar-benar tidak sempat kuprediksi. Hingga aku hanya bisa membuang pandangan sekenanya. Mencoba menghindari tatapan mata Rinda yang tiba-tiba membuatku sangat tidaknyaman.

            “Oh, Pasti..! Rinda pasti segera menyusul. Kalau perlu barengan sama resepsi pernikahannya Evan.”

            Setelah Papa tadi melaksanakan tugas pertamanya, sekarang gantian Mama tak mau kalah. Berperan menjadi kompor api biru. Aku jadi kikuk sendiri dengan semua sikap mereka.

            “Iya kan Do?”

            Mata Mama liar menatapku. Benar-benar memaksaku untuk menyetujui ide konyolnya.

            Skak Mat..! situasi yang paling aku tidak suka. Tak ada pilihan lain. Yang bisa kulakukan hanya gugup dan mengangguk sekenanya.

            “I..I... Iya.. Ma.”

            Keringat dinginku terasa membasahi punggung. Andai ada kaca di depanku, mungkin aku bisa melihat, wajahku terlihat benar-benar pucat pasi.

            “’Iya’ untuk apa Bang?”

            Senyum dan tingkah nakal Evan semakin menambah rumit bagiku untuk menata sikap.

“Eeeee.. Untuk… Untuk… Untuk apa ya?”

Aku bertanya sendiri dengan nada tolol sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

“Ahahaha…. Ya sudah. Minum dulu. Dari tadi keasikan ngobrol jadi lupa kalau belum minum.

Huft… Lega….

Tante Ita mengambil sikap yang tepat di saat aku benar-benar tidak tau harus bersikap bagaimana. Aku melirik segelas Es Lemon segar yang tersaji di meja tamu.

“Ayo.. silahkan diminum dulu. Ayo.. ayo.. silahkan..! jangan malu. Anggap saja rumah sendiri.”

Dengan sigap aku segera meraih satu gelas. Meneguknya dengan perasaan lega. Minimal sebentar bisa terhindarkan dari obrolan yang jelas-jelas menyudutkanku.

Aku menoleh keseluruh ruangan butik Tante Ita. Mencari-cari dimana letak pendingin ruangannya. Butik kecil yang manis seperti ini benar-benar terasa seperti kota Seoul saat musim panas. Pendingin yang diletakkan di sudut ruangan sama sekali tidak bisa memberikan rasa nyaman pada suasana yang yang tiba-tiba seperti musim pancaroba. Sedetik panas. Detik berikutnya bisa dingin menggigit.

Huft…  Aku menghembuskan nafas lega.

“Ini Do.. ada pastel basah. Cobain aja.”

Tante Ita menyodorkan sepiring besar pastel basah yang masih hangat.

Sebetulnya aku tidak ingin makan apapun. Aku hanya ingin minum. Suasana seperti ini benar-benar membuatku kehilangan selera makan. Tapi, sikap Tante Ita benar-benar tidak bisa membuatku menolak.

Akhirnya aku mengambil satu kue pastel.

“Gimana Do? Enak ga?”

Tanya Tante Ita dengan pandangan yang antusias menanti jawabanku setelah aku mengunyah satu gigitan pastel.

“Waaahhh… Tante Ini selain jago design busana, ternyata jago juga memasak. Enak banget tante. Kalah sama buatan Mama.”

Aku fikir, berbohong untuk basa-basi menyenangkan orang lain tidak tergolong dosa.

“Baguslah kalau kamu suka. Tapi itu bukan buatan tante. Buatan tangan Rinda.”

Sisa kunyahanku seperti nyangkut di tenggorokan.

Aku tersedak kehabisan kata.




Bersambung.........

No comments:

Post a Comment