“Kenapa kau rimbi? Aku lihat sedari tadi kau melamun saja?”
Merasa Tuan Putri Dyah wiyat memperhatikan tingkahku, bergegas aku mencoba fokus lagi dengan kerjaanku menata rambut Tuan Putri.
“Ampun Tuan Putri. Hamba. . . .”
Tuan Putri tersenyum kecil. Senyum yang sangat santun. Senyum khas
putri kerajaan Majapahit yang datar. Tidak terlalu berlebih. Juga tidak
tekesan sinis.
“Kau teringat lagi dengan Kakang Gajah Mada?”
Sontak aku tak bisa menyembunyikan wajah bersalahku karena tertangkap
basah tidak berkonsentrasi terhadap tugas yang harus kukerjakan. Menata
rambut Tuan Putri Dyah Wiyat. Sebuah kerjaan yang kulakukan setiap dua
hari sekali. Pagi ketika Tuan Putri baru saja selesai mandi sebelum Tuan
Putri menghadap Baginda Prabu Sri Jayanegara. Dan sore ketika Tuan
Putri kembali lagi ke kaputren sekar kedaton Bre Kahuripan.
“Aku bisa merasakan gelombang hatimu, Rimbi. Kau tau. Dan hanya kau
yang tau. Aku menyukai Rakrian Tanca. Meski aku tau, Kakang Maharaja Sri
Jayanegara dan para Ibu Ratu terutama ibu RatuJayapatni Gayatri tidak
akan pernah menyetujui aku menikah dengan Kakang Tanca. Dan kau juga
tau, sekarang aku telah dijodohkan dengan Kakang Kudhamerta. Seorang
bangsawan dari Singasari. Jodoh yang bagi Baginda Prabu Sri jayanegara
dan para ibu ratu sebgai jodoh yang pas denganku. Jauh sekali dengan
sosok seorang Ra Tanca. Seorang Winehsuka kerajaan yang semua orang tau
dia mantan pemberontak Majapahit yang pernah mencoba mengadakan makar
bersama Ra Kuti.”
Aku mendengar saja. Tak berani menyela.
“Tapi itulah tembang kasmaran, Rimbi. Tak banyak orang tau bagaimana
wujudnya. Tak banyal orang tau bagaimana memulainya. Yang mereka tau,
adalah bagaimana harus mengakhirinya.”
Aku
mengerutkan kening. Tak paham sedikitpun apa yang dikatakan salah satu
sekar kedaton yang wajahnya sangat cantik ini.
“Kau tau. Siapa kakang Gajah Mada. Bagaimana jasa-jasanya terhadap
Bhayangkara dan Majapahit. Tidak hanya kau. Aku juga merasa, bahwa
Kakang Gajah Mada adalah seorang yang sangat sempurna sebagai laki-laki.
Tak hanya bertubuh kuat dan berotak cerdas. Kesetiaannya pada Majapahit
begitu tinggi. Wajar jika mungkin ada sebagian perempuan yang
memimpikan bisa menjadi istri Kakang Gajah Mada.”
Benar apa yang dikatakan Tuanku Putri Dyah Wiyat. Siapalah aku. Aku
hanya seorang Emban di kaputren sekar kedaton istana kerajaan Majapahit.
Bekel Gajah Mada yang begitu indah menggoda hatiku. Pemimpin pasukan
khusus penjaga kerajaan yang pilih tanding yang mungkin kelak namanya
akan indah tertulis dalam pahatan prasasti sejarah ini memang terlihat
beku jika berhadapan dengan makhluk yang bernama perempuan.
Pemimpin pasukan Bhayangkara ini selalu mengesankan seorang prajurit
dengan pribadi yang kuat. Tegas, miskin canda, sedikit mengerikan namun
penuh dengan wibawa. Dia jarang sekali tersenyum. Apalgi tertawa
terbahak-bahak. Biacaranya mantap dan langkahnya tegap. Orang dengan
kekuatan mental yang hanya sebatas rata-rata akan merasa gemetar dan
jatuh tersungkur harga dirinya jika harus berbicara dengan cara menatap
Bekel Gajah Mada.
Seluruh Istana, Kotaraja
maupun pedesan-pedesaan yang menjadi kekuasaan Majapahit pasti kenal
dengan sepak terjang dan kehebatan pasukan Bhayangkara. Tak terkecuali
dengan pemimpin pasukan tersebut. Bekel Gajah Mada. Hampir setiap hari
ketika Bekel Gajah Mada mengunjungi Kaputren bertemu dengan Tuan Putri
Dyah Wiyat untuk menyampaikan sebuah laporan tugas pengamanan istana,
aku bisa bertemu dengannya. Bisa menatap wajahnya. Namun jarang sekali
bisa berbicara dengannya.
Wajah itu selalu
terlihat beku. Jika Sang Baginda Maharaja Sri Jayanegara saja masih mau
bercanda dengan para emban istana, tapi tidak dengan Bekel Gajah Mada.
Baginya, setiap waktu adalah hal berharga. Setiap waktu adalah sebuah
tanggungjawab untuk tugasnya sebagai pasukan pengawal dan penjaga
keamanan istana. Memastikan bahwa Majapahit akan selalu aman adalah buah
karya dari jabatan yang dipercayakan padanya. Jadi, senyum adalah
sebuah hal yang mahal bagi seorang pimpinan pasukan khusus Bhayangkara
itu.
Isi otak dan fikirannya tak pernah
keluar jauh dari urusan kerajaan dan kehidupan kawula di bawah
pemerintahan Majapahit. Lama aku bekerja sebagai emban, tak pernah
sekalipun aku melihat Bekel Gajah Mada berkumpul bersama pejabat-pejabat
pemerintahan jika itu hanya untuk bersenang-senang. Minum arak, makan
berlebihan, serta bercanda tak tentuarah sambil tertawa terbahk-bahak.
Di malam-malam sunyi, dia lebih memilih duduk merenung sendiri.
Fikirannya selalu berfikir jauh ke depan. Angan-angannya selalu tinggi.
Cita-citanya tak akan pernah masuk akal bagiorang yang hanya berfikir
biasa-biasa saja.
“Ampun Tuan Putri.
Siapalah hamba.Tak pantas rasanya kalau hamba menyimpan harapan untuk
bisa menjadi istri Bekel Gajah Mada. Sama seperti Tuan Putri yang merasa
tidak mungkin memiliki RakrianTanca sebagai pendamping hidup.”
Tuan Putri Dyah Wiyat tersenyum. Sekali lagi. Dengan senyum yang sangat
santun khas putri keraton. Dalam sebuah tata karma dan sopan santun
istana, antara aku sebagai emban dan Tuan Putri Dyah Wiyat sebagai putri
dari Ratu Jayapatni Gayatri terdapat tata karma yang sangat ketat. Aku
harus memperlakukan Tuan Putri sebagaimana mestinya. Tapi, dalam hal
persahabatan, aku dan Tuan putri tak ubahnya dua sahabat akrab.
Di sela-sela aku menjalankan tugas, kadang Tuan Putri sering
menceritakan isi hatinya yang tidak bisa dia ceritakan pada siapapun.
Termasuk pada Ibu Ratu Jayapatni Gayatri. Ibunya sendiri. Salah satunya
kisah cinta terpendampnya pada Rakrian Tanca. Seorang winehsuka yang
juga menjabat sebagai tabib istana. Tidak mungkin Tuan Putri, anak
seorang ratu Majapahit menikah dengan seorang Rakrian yang bahkan dunia
sejarah Majapahitpun mencatat Ra Tanca pernah melakukan makar atau
pemberontakan yang hampir saja menggulingkan kedudukan Sri Jayanegara
sebagai Raja Resmi Majapahit keturunan Raden Wijaya. Tuan Putri telah di
jodohkan dengan seorang bangsawan dari Singosari yang bernama Raden
Kudhamerta.
Perjodohan sepihak. Dan tak dapat sedikitpun untuk dia tolak.
Sama halnya denganku. Kisah cintaku terhadap Bekel Gajah Mada tak ada
seorangpun yang tau kecuali Tuan Putri Dyah Wiyat. Tadinya aku tak mau
cerita. Tapi Tuan Putri sungguh cerdik menebak warna perasaan. Tak ayal.
Serapat apapun aku menutupi perasaan hatiku pada Bekel Gajah Mada, Tuan
Putri pasti tau. Hingga akhirnya, mau tidak mau aku mengaku. Dengan
sebuah jaminan, Tuan Putri tidak akan pernah cerita pada siapapun.
Sejak saat itu, kami, dua orang perempuan dengan perbedaan kasta yang sangat jauh, memutuskan untuk bersahabat.
“Kita mempunyai cerita cinta yang hampir sama. Tapi berbeda. Aku tidak
mungkin menggapai keinginanku untuk hidup bersama Kakang Tanca. Karena
sudah jelas. Apapun yang terjadi Kakang Jayanegara dan Ibu Ratu tidak
akan menyetujui aku menikah dengan mantan pemberontak kerajaan.
Sedangkan kau…”
Belum sempat Tuan Putri melanjutkan kalimatnya, pintu kamar Tuan Putri diketuk seorang parjurit.
“Ampun tuan putri. Ada Bekel Gajah Mada di depan kaputren mau meghadap Tuan Putri.”
“Suruh Kakang Gajah Mada masuk.Tunggu di ruang pertemuan. Aku akan keluar.”
“Baik Tuan Putri”
Tuan Putri menatapku dengan kerlingan mata nakal. Panjang umur. Baru saja dibicarakan. Orangnya sudah datang.
“Rimbi, kau mau pilih mana? Menemani aku menemui Kakang Gajah Mada atau membuatkan minuman untuk Kakang Gajah Mada?”
Aku tersipu. Aku tau. Tuan putrihanya menggodaku. Memberiku dua pilihan
yang harus kupilih salah satu. Jika boleh aku jujur, menjatuhkan
pilihan pertama adalah hal yang menyenangkan. Meskipun hanya duduk di
bawah, dan mungkin akan dianggap patung oleh mereka, tapi bisa lebih
lama menatap Bekel Gajah Mada adalah sesuatu yang menggiurkan. Hatiku
mengombak. Tapi, rasanya tidak sopan jika aku mengambil kesempatan
itu.Terkadang, antara perasaan dan istana memang ada persamaan.
Sama-sama ada tatakarma. Secinta apapun kita pada seseorang, perasaan
selalu butuh kehormatan.
“Hamba Tuan Putri. Maaf. Hamba memilih membuatkan minuman untuk Bekel Gajah Mada saja.”
Tuan Putri menyungging senyum. Memancing.
“Kau yakin, Rimbi?”
“Hamba Tuan Putri.” Aku mengangguk mantap. “Iya Tuan Putri. Hamba
yakin. Silahkan Tuan Putri menemui Bekel Gajah Mada. Akan segera hamba
siapkan minuman.”
Tuan Putri Dyah Wiyat
keluar menemuiBekel Gajah Mada di ruang pertemuan. Aku ke dapur untuk
mempersiapkan minuman. Dalam sehari, tidak hanya sekali aku bertemu
dengan Bekel Gajah Mada. Bisa tiga sampai empat kali pada beberapa
kesempatan yang berbeda. Saat Bekel Gajah Mada menemui Tuan Putri Dyah
Wiyat di kaputren, bisa saat Bekel Gajah Mada keliling istana memantau
keamanan wilayah Kotaraja, saat aku diminta tolong oleh emban istana
yang lain mengantarkan makanan untuk prajurit yang latihan perang
dialun-alun, maupun saat aku diminta menemani Tuan Putri bertemu Baginda
Raja Jayanegara dan para ibu Ratu beserta pejabat istana yang mana, di
dalam pertemuan itu ikut juga Bekel Gajah Mada.
Beberapa kesempatan yang berbeda. Namun dengan kesan yang tetap sama.
Dengan kesan wajah dingin dan bekunya Bekel Gajah Mada pada seorang
makhluk yang bernama perempuan.
“Sementara, hanya itu saja yang bisa hamba laporkan pada Tuan Putri.”
Baru saja aku mengantarkan minuman, Bekel Gajah Mada sudah menyelesaikan laporannya.
“Kalau Tuan Putri sudah tidak ada keperluan, Hamba mohon pamit. Masih
banyak tugas dari Baginda Prabu yang mesti hamba laksanakan.”
“Baiklah. Sementara itu saja. Tapi sebaiknya kau jangan pergi dulu. Ayu
Rimbi sudah membuatkan Minuman Untukmu. Kau minum dulu saja. Tak perlu
buru-buru. Aku kira Istana aman-aman saja.”
Jantungku berdetak serabutan. Tuan Putri memang pintar meramu alasan
agar aku bisa punya kesempatan lebih lama bertemu Bekel Gajah Mada.
“Tapi Tuan Putri….” Bekel Gajah Mada tampak berfikir. Tadinya dia
hampir menolak. Tapi, demi menghormati permintaan Tuan Putri, akhirnya
Bekel Gajah Mada menyanggupi. “Baiklah. Hitung-hitung saya sekarang
istirahat.”
“Diminum Kakang.”
Tuan Putri mempersilakan sambil mengangkat cangkirnya sendiri untuk
diminum. Memberi contoh agar Bekel Gajah Mada melakukan hal yang sama.
Aku berdiri di belakang Tuan Putri. Tradisi yang harus kulakukan
semenjak aku bekerja di lingkungan kaputren sekar kedaton. Mendampingi
Tuan Putri tanpa boleh membocorkan apapun yang kudengar dari pembicaraan
Tuan Putri dengan Tamu.
Bekel Gajah Mada manggut-manggut sambil meletakkan cangkirnya di meja.
“Kau tau Rimbi? Wedang ronde racikanmu enaknya tak pernah ada duanya.”
Hampir saja dadaku meledak. Pujian yang mungkin bagi Bekel Gajah Mada
hanya sebuah basa-basi ringan, namun bagiku itu cukup melambungkan hati.
“Terima kasih Bekel. Hamba minta maaf kalau ada kekurangan dalam sajian yang hamba buat.”
Sejenak kupaksa kakiku yang beberapa detik lalu melayang tak berpijak pada tanah untuk kembali berdiri tegak.
Jika mau sedikit memperhatikan, ada senyum geli yang hendak Tuan Putri
sembunyikan dari tatapan Bekel Gajah Mada. Aku tau maksud Tuan Putri.
Menertawakan sikapku yang jika sedikit saja mau lebih memperhatikan,
sikapku benar-benar gugup di hadapan Bekel Gajah Mada.
“Oh iya Kakang. Sempat aku dengar dari Paman Arya Tadah yang sudah
sepuh. Beliau merasa sudah waktunya mengundurkan diri dari jabatan
Mahapatih. Dan sepertinya Paman Tadah hendak meminta Kakang Gajah Mada
menggantikan Paman Tadah.”
Bekel Gajah Mada terlihat menunduk. Seperti hendak menepis omongan dari Tuan Putri.
“Maaf Tuan Putri. Setahu hamba, itu hanya kasak kusuk saja. Hamba tau.
Mahapatih Arya Tadah memang sudah sepuh.Tapi hamba yakin, Mahapatih Arya
Tadah masih cukup kuat untuk menjalankan tugasnya sebagai Patih di
Majapahit. Lagipula, masih banyak yang lebih pantas menggantikan beliau
selain hamba.”
Satu lagi daya tarik seorang
Bekel Gajah Mada di mataku. Banyak prestasi. Tapi begitu rendah hati.
Tak pernah dengar perkataan maupun kulihat tingkahnya yang menyiratkan
kesombongan. Bekerja tanpa pamrih. Kesetiaannya pada Majapahit tak
pernah terbeli dengan apapun.
“Iya. Berita
itu baru kasak kusuk.Tapi seandainya benar, aku akan setuju sekali
dengan keputusan Paman Tadah. Dan aku rasa, Baginda Prabu dan Para Ibu
Ratu akan sependapat juga denganku. Oh iya, Kakang.”
“Hamba Tuan Putri.”
“Aku rasa, umur Kakang sudah dewasa. Kiranya sudah pantas untuk
menikah. Tidakkah Kakang Gajah Mada menginginkan itu?”
Aku hampir saja tersedak mendengar pertanyaan Tuan Putri Dyah Wiyat
yang langsung pada pokok pembicaraan. Beberapa hari yang lalu, Tuan
Putri memang menawarkan dirinya untuk menjadi telik sandi yang berusaha
mengetahui isi hati Bekel Gajah Mada. Atas nama persahabata nkita, Tuan
Putri tentunya ingin sekali melihatku bahagia bisa bersanding dengan
seorang laki-laki yang selama ini kuinginkan. Namun aku tak menyangka.
Tuan Putri akan melakukannya secepat ini.
Rasanya, aku ingin sekali lari meninggalkan pembicaraan mereka. Tidak
hanya karena malu. Tapi lebih pada tidak berani menerima kenyataan jika
jawaban Bekel gajah Mada bertolak belakang dengan apa yang aku harapkan.
“Hamba minta maaf Tuan Putri. Hamba belum berfikiran sampai ke arah situ.”
“Kenapa Kakang?”
Bekel Gajah Mada semakin terlihat salah tingkah dengan pertanyaan Tuan Putri yang terkesan memburu.
“Maaf beribu maaf hamba haturkan sebelumnya. Hamba memang sama sekali
belum berfikir ke arah situ. Bagi hamba sekarang, mengabdi untuk
Majapahit adalah segala-galanya. Jadi, hamba belum bisa memikirkan hal
lain selain kedamaian Majapahit selepas pemberontakan yang dilakukan Ra
Kuti. Hamba harus bisa memastikan beberapa tahun ke depan keamanan
Majapahit terjamin. Karena, jika melihat sejarah Kediri, Singasari, atau
bahkan Majapahit sendiri, kegiatan makar ataupun perebutan kekuasaan
sewaktu-waktu bisa saja terjadi.”
Tuan
Putri terlihat manggut-manggut. Aku semakin tidak nyaman berdiri di
belakang Tuan Putri yang jelas-jelas mendengar percakapan mereka.
Keringat dinginku deras mengalir. Jika di depanku ada cermin, mungkin
aku bisa melihat wajahku yang semakin pucat pasi.
“Atau, telah ada seorang perempuan yang mengusik hati Kakang?”
Aku menghembuskan nafas kesal. Apa Tuan Putri tidak paham dengan
jawaban Bekel Gajah Mada yang seperti matahari disiang hari tanpa
tertutup mendung. Terang benderang. Bahkan mampu membuat tubuh dan
hatiku panas seketika.
“Sekali lagi maaf, Tuan Putri. Sampai sekarang belum ada satupun gadis yang menghuni hati hamba.”
Tuan Putri Dyah Wiyat tersenyum santun. Sepertinya, dia merasa tak
bisa lagi mengejar Bekel gajah Mada dengan pertanyaan selanjutnya.
“Kalau sekiranya tidak ada lagi yangTuan Putri tanyakan tentang
keamanan Istana, Hamba mohon pamit. Masih ada tugas-tugas lain yang
mesti hamba selesaikan.”
Jelas sekali Bekel
Gajah Mada kurang nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan Tuan Putri yang
dirasa mungkin tidak penting. Tuan Putri mengangguk.
“Baiklah. Kakang boleh pergi. Tolong sampaikan pada Kakang Bhayangkara
Brajamusti agar nanti malam, pas malam bulan purnana agar menemuiku di
Kaputren. Ada tugas yang ingin kusampaikan pada Kakang Brajamusti.”
“Baik Tuan Putri, Akan hamba sampaikan pada Brajamusti tentang pesan Tuan Putri. Hamba pamit dulu.”
Tuan Putri mengangguk. Mempersilahkan Bekel Gajah Mada meninggalkan
kaputren. Sejenak kemudian, bunyi langkah kuda Bekel Gajah Mada perlahan
meninggalkan Kaputren.
“Kau sudah mendengar sendiri jawaban dari Kakang Gajah Mada, Rimbi. Sekarang, apa yang akan kau lakukan?”
Belum hilang rasa gemetar tubuhku, Tuan Putri sudah langsung menyergapku dengan pertanyaan yang sulit kujawab.
“Ampun Tuan Putri, hamba seharusnya tidak merepotkan Tuan Putri untuk masuk ke permasalahan hati hamba.”
Sekali lagi, Tuan Putri tersenyum. Senyum yang sangat santun. Entah
bagaimana caranya keluarga istana mengajari senyum sesantun itu. Yang
pasti, senyum itu amat pas dengan tekstur wajah Tuan Putri Dyah Wiyat
yang sangat cantik.
“Kau lupa Rimbi?. Aku
sudah menganggapmu sebagai sahabat. Mungkin orang lain melihat kau hanya
emban di kaputren. Tapi bagiku, kau adalah teman dekat. Kau tak suka
aku menganggapmu seperti itu?”
Aku buru-buru menggeleng.
“Ampun Tuan Putri. Hamba sungguh sangat senang kalau tuan putri mau
mengakui hamba sebagai sahabat dekat Tuan Putri. Hanya saja….”
Belum selesai aku menyelesaikan kalimatku karena terganjal keraguan, Tuan Putri terlihat mengerutkan dahi.
“Hanya saja apa Rimbi?”
“Ampun Tuan Putri, Hanya saja seharusnya dari dulu hamba sadar diri.
Hamba benar-benar tidak pantas untuk berharap cinta Bekel Gajah Mada.
Biarlah mulai dari sekarang hamba akan simpan saja semua perasaan ini.”
“Sebenarnya kau masih punya kesempatan. Bukankah kau dengar sendiri.
Bahwa belum ada satupun gadis yang menggoda hati Kakang Gajah Mada.”
Aku menggeleng.
“Jawaban Bekel Gajah Mada bagi hamba sudah jelas. Kesetiaannya pada
Majapahit tidak bisa digantikan dengan apapun. Kecintaannya pada
Majapahit adalah segala-galanya. Hamba benar-benar merasa tak layak
mempunyai perasaan seperti ini pada Bekel Gajah Mada.”
“Terus, apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Rimbi?”
Aku menggeleng.
“Hamba belum tau. Sekalipun hamba mendengar sendiri belum ada seorang
gadispun yang menggoda hati Bekel Gajah Mada, hamba tidak berani
berharap lebih. Mungkin cukup sampai di sini saja perasaan hamba
padanya. Seperti Tuan Putri yang telah memutuskan untuk mengubur
dalam-dalam cinta tuan putri pada Winehsuka Rakrian Tanca dan menerima
dengan ikhlas perjodohan Tuan Putri Dyah Wiyat dengan Raden Kudhamerta.
Hamba akan mencoba melupakan Bekel Gajah Mada dari hati hamba.”
Tuan Putri Dyah Wiyat menepuk bahuku.
“Aku hargai perasaanmu, Rimbi. Mengaharap kedatangan cinta, memang
bukan hal yang sia-sia. Tapi, menunggu orang yang tidak mungkin datang
itu baru sia-sia.”
“Baik, Tuan Putri. Hamba sekarang mengerti.”
“kau siapkan pengawalan. Aku akan keruang Sakuntala. Menghadap Sri baginda Prabu dan para ibu ratu.”
“Baik Tuan Putri. Sendika dhawuh”
Angin sore bertiup lirih. Seperti mengalunkan tembang landeping rasa katresnan ing batin.
Sampai kapanpun, kesetiaan dan kecintaan Gajah Mada terhadap Majapahit
tak akan bisa tergantikan oleh apapun. Kesetiaan tulus tanpa pamrih.
Bukan kesetiaan bunglon ketika dihadapan raja menunduk paling dalam
namun di belakang raja justru mengumpat paling keras.
Bahkan kelak, ketika bisunya prasasti berbicara tentang cerita
pengorbanan dan kesetiaan Gajah Mada terhadap Majapahit, semua orang
akan membaca. Fikirannya hanya tertuju pada kerajaan semata. Bagi
kemajuan Majapahit di masa mendatang. Tak mungkin baginya memikirkan
pernikahan. Apalagi bersenang-senang.
“Lamun
huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring
Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.
Semarang, 4 Juni 2014
Andai dulu Gajah Mada menikah,
mungkin anaknya akan bersumpah untuk bisa menaklukkan Asia ;) ;)
No comments:
Post a Comment