Tuesday 12 May 2015

CERPEN : CINTA AYU RIMBI

  “Kenapa kau rimbi? Aku lihat sedari tadi kau melamun saja?”

Merasa Tuan Putri Dyah wiyat memperhatikan tingkahku, bergegas aku mencoba fokus lagi dengan kerjaanku menata rambut Tuan Putri.

            “Ampun Tuan Putri. Hamba. . . .”

            Tuan Putri tersenyum kecil. Senyum yang sangat santun. Senyum khas putri kerajaan Majapahit yang datar. Tidak terlalu berlebih. Juga tidak tekesan sinis.

            “Kau teringat lagi dengan Kakang Gajah Mada?”

            Sontak aku tak bisa menyembunyikan wajah bersalahku karena tertangkap basah tidak berkonsentrasi terhadap tugas yang harus kukerjakan. Menata rambut Tuan Putri Dyah Wiyat. Sebuah kerjaan yang kulakukan setiap dua hari sekali. Pagi ketika Tuan Putri baru saja selesai mandi sebelum Tuan Putri menghadap Baginda Prabu Sri Jayanegara. Dan sore ketika Tuan Putri kembali lagi ke kaputren sekar kedaton Bre Kahuripan.



            “Aku bisa merasakan gelombang hatimu, Rimbi. Kau tau. Dan hanya kau yang tau. Aku menyukai Rakrian Tanca. Meski aku tau, Kakang Maharaja Sri Jayanegara dan para Ibu Ratu terutama ibu RatuJayapatni Gayatri tidak akan pernah menyetujui aku menikah dengan Kakang Tanca. Dan kau juga tau, sekarang aku telah dijodohkan dengan Kakang Kudhamerta. Seorang bangsawan dari Singasari. Jodoh yang bagi Baginda Prabu Sri jayanegara dan para ibu ratu sebgai jodoh yang pas denganku. Jauh sekali dengan sosok seorang Ra Tanca. Seorang Winehsuka kerajaan yang semua orang tau dia mantan pemberontak Majapahit yang pernah mencoba mengadakan makar bersama Ra Kuti.”

            Aku mendengar saja. Tak berani menyela.

            “Tapi itulah tembang kasmaran, Rimbi. Tak banyak orang tau bagaimana wujudnya. Tak banyal orang tau bagaimana memulainya. Yang mereka tau, adalah bagaimana harus mengakhirinya.”

            Aku mengerutkan kening. Tak paham sedikitpun apa yang dikatakan salah satu sekar kedaton yang wajahnya sangat cantik ini.

            “Kau tau. Siapa kakang Gajah Mada. Bagaimana jasa-jasanya terhadap Bhayangkara dan Majapahit. Tidak hanya kau. Aku juga merasa, bahwa Kakang Gajah Mada adalah seorang yang sangat sempurna sebagai laki-laki. Tak hanya bertubuh kuat dan berotak cerdas. Kesetiaannya pada Majapahit begitu tinggi. Wajar jika mungkin ada sebagian perempuan yang memimpikan bisa menjadi istri Kakang Gajah Mada.”

            Benar apa yang dikatakan Tuanku Putri Dyah Wiyat. Siapalah aku. Aku hanya seorang Emban di kaputren sekar kedaton istana kerajaan Majapahit. Bekel Gajah Mada yang begitu indah menggoda hatiku. Pemimpin pasukan khusus penjaga kerajaan yang pilih tanding yang mungkin kelak namanya akan indah tertulis dalam pahatan prasasti sejarah ini memang terlihat beku jika berhadapan dengan makhluk yang bernama perempuan.

            Pemimpin pasukan Bhayangkara ini selalu mengesankan seorang prajurit dengan pribadi yang kuat. Tegas, miskin canda, sedikit mengerikan namun penuh dengan wibawa. Dia jarang sekali tersenyum. Apalgi tertawa terbahak-bahak. Biacaranya mantap dan langkahnya tegap. Orang dengan kekuatan mental yang hanya sebatas rata-rata akan merasa gemetar dan jatuh tersungkur harga dirinya jika harus berbicara dengan cara menatap Bekel Gajah Mada.

            Seluruh Istana, Kotaraja maupun pedesan-pedesaan yang menjadi kekuasaan Majapahit pasti kenal dengan sepak terjang dan kehebatan pasukan Bhayangkara. Tak terkecuali dengan pemimpin pasukan tersebut. Bekel Gajah Mada. Hampir setiap hari ketika Bekel Gajah Mada mengunjungi Kaputren bertemu dengan Tuan Putri Dyah Wiyat untuk menyampaikan sebuah laporan tugas pengamanan istana, aku bisa bertemu dengannya. Bisa menatap wajahnya. Namun jarang sekali bisa berbicara dengannya.

            Wajah itu selalu terlihat beku. Jika Sang Baginda Maharaja Sri Jayanegara saja masih mau bercanda dengan para emban istana, tapi tidak dengan Bekel Gajah Mada. Baginya, setiap waktu adalah hal berharga. Setiap waktu adalah sebuah tanggungjawab untuk tugasnya sebagai pasukan pengawal dan penjaga keamanan istana. Memastikan bahwa Majapahit akan selalu aman adalah buah karya dari jabatan yang dipercayakan padanya. Jadi, senyum adalah sebuah hal yang mahal bagi seorang pimpinan pasukan khusus Bhayangkara itu.

            Isi otak dan fikirannya tak pernah keluar jauh dari urusan kerajaan dan kehidupan kawula di bawah pemerintahan Majapahit. Lama aku bekerja sebagai emban, tak pernah sekalipun aku melihat Bekel Gajah Mada berkumpul bersama pejabat-pejabat pemerintahan jika itu hanya untuk bersenang-senang. Minum arak, makan berlebihan, serta bercanda tak tentuarah sambil tertawa terbahk-bahak. Di malam-malam sunyi, dia lebih memilih duduk merenung sendiri. Fikirannya selalu berfikir jauh ke depan. Angan-angannya selalu tinggi. Cita-citanya tak akan pernah masuk akal bagiorang yang hanya berfikir biasa-biasa saja.

            “Ampun Tuan Putri. Siapalah hamba.Tak pantas rasanya kalau hamba menyimpan harapan untuk bisa menjadi istri Bekel Gajah Mada. Sama seperti Tuan Putri yang merasa tidak mungkin memiliki RakrianTanca sebagai pendamping hidup.”

            Tuan Putri Dyah Wiyat tersenyum. Sekali lagi. Dengan senyum yang sangat santun khas putri keraton. Dalam sebuah tata karma dan sopan santun istana, antara aku sebagai emban dan Tuan Putri Dyah Wiyat sebagai putri dari Ratu Jayapatni Gayatri terdapat tata karma yang sangat ketat. Aku harus memperlakukan Tuan Putri sebagaimana mestinya. Tapi, dalam hal persahabatan, aku dan Tuan putri tak ubahnya dua sahabat akrab.

            Di sela-sela aku menjalankan tugas, kadang Tuan Putri sering menceritakan isi hatinya yang tidak bisa dia ceritakan pada siapapun. Termasuk pada Ibu Ratu Jayapatni Gayatri. Ibunya sendiri. Salah satunya kisah cinta terpendampnya pada Rakrian Tanca. Seorang winehsuka yang juga menjabat sebagai tabib istana. Tidak mungkin Tuan Putri, anak seorang ratu Majapahit menikah dengan seorang Rakrian yang bahkan dunia sejarah Majapahitpun mencatat Ra Tanca pernah melakukan makar atau pemberontakan yang hampir saja menggulingkan kedudukan Sri Jayanegara sebagai Raja Resmi Majapahit keturunan Raden Wijaya. Tuan Putri telah di jodohkan dengan seorang bangsawan dari Singosari yang bernama Raden Kudhamerta.

            Perjodohan sepihak. Dan tak dapat sedikitpun untuk dia tolak.

            Sama halnya denganku. Kisah cintaku terhadap Bekel Gajah Mada tak ada seorangpun yang tau kecuali Tuan Putri Dyah Wiyat. Tadinya aku tak mau cerita. Tapi Tuan Putri sungguh cerdik menebak warna perasaan. Tak ayal. Serapat apapun aku menutupi perasaan hatiku pada Bekel Gajah Mada, Tuan Putri pasti tau. Hingga akhirnya, mau tidak mau aku mengaku. Dengan sebuah jaminan, Tuan Putri tidak akan pernah cerita pada siapapun.

            Sejak saat itu, kami, dua orang perempuan dengan perbedaan kasta yang sangat jauh, memutuskan untuk bersahabat.

            “Kita mempunyai cerita cinta yang hampir sama. Tapi berbeda. Aku tidak mungkin menggapai keinginanku untuk hidup bersama Kakang Tanca. Karena sudah jelas. Apapun yang terjadi Kakang Jayanegara dan Ibu Ratu tidak akan menyetujui aku menikah dengan mantan pemberontak kerajaan. Sedangkan kau…”

            Belum sempat Tuan Putri melanjutkan kalimatnya, pintu kamar Tuan Putri diketuk seorang parjurit.

            “Ampun tuan putri. Ada Bekel Gajah Mada di depan kaputren mau meghadap Tuan Putri.”

            “Suruh Kakang Gajah Mada masuk.Tunggu di ruang pertemuan. Aku akan keluar.”

            “Baik Tuan Putri”

            Tuan Putri menatapku dengan kerlingan mata nakal. Panjang umur. Baru saja dibicarakan. Orangnya sudah datang.

            “Rimbi, kau mau pilih mana? Menemani aku menemui Kakang Gajah Mada atau membuatkan minuman untuk Kakang Gajah Mada?”

            Aku tersipu. Aku tau. Tuan putrihanya menggodaku. Memberiku dua pilihan yang harus kupilih salah satu. Jika boleh aku jujur, menjatuhkan pilihan pertama adalah hal yang menyenangkan. Meskipun hanya duduk di bawah, dan mungkin akan dianggap patung oleh mereka, tapi bisa lebih lama menatap Bekel Gajah Mada adalah sesuatu yang menggiurkan. Hatiku mengombak. Tapi, rasanya tidak sopan jika aku mengambil kesempatan itu.Terkadang, antara perasaan dan istana memang ada persamaan. Sama-sama ada tatakarma. Secinta apapun kita pada seseorang, perasaan selalu butuh kehormatan.

            “Hamba Tuan Putri. Maaf. Hamba memilih membuatkan minuman untuk Bekel Gajah Mada saja.”

            Tuan Putri menyungging senyum. Memancing.

            “Kau yakin, Rimbi?”

            “Hamba Tuan Putri.” Aku mengangguk mantap. “Iya Tuan Putri. Hamba yakin. Silahkan Tuan Putri menemui Bekel Gajah Mada. Akan segera hamba siapkan minuman.”

            Tuan Putri Dyah Wiyat keluar menemuiBekel Gajah Mada di ruang pertemuan. Aku ke dapur untuk mempersiapkan minuman. Dalam sehari, tidak hanya sekali aku bertemu dengan Bekel Gajah Mada. Bisa tiga sampai empat kali pada beberapa kesempatan yang berbeda. Saat Bekel Gajah Mada menemui Tuan Putri Dyah Wiyat di kaputren, bisa saat Bekel Gajah Mada keliling istana memantau keamanan wilayah Kotaraja, saat aku diminta tolong oleh emban istana yang lain mengantarkan makanan untuk prajurit yang latihan perang dialun-alun, maupun saat aku diminta menemani Tuan Putri bertemu Baginda Raja Jayanegara dan para ibu Ratu beserta pejabat istana yang mana, di dalam pertemuan itu ikut juga Bekel Gajah Mada.

            Beberapa kesempatan yang berbeda. Namun dengan kesan yang tetap sama. Dengan kesan wajah dingin dan bekunya Bekel Gajah Mada pada seorang makhluk yang bernama perempuan.

            “Sementara, hanya itu saja yang bisa hamba laporkan pada Tuan Putri.”

            Baru saja aku mengantarkan minuman, Bekel Gajah Mada sudah menyelesaikan laporannya.

            “Kalau Tuan Putri sudah tidak ada keperluan, Hamba mohon pamit. Masih banyak tugas dari Baginda Prabu yang mesti hamba laksanakan.”

            “Baiklah. Sementara itu saja. Tapi sebaiknya kau jangan pergi dulu. Ayu Rimbi sudah membuatkan Minuman Untukmu. Kau minum dulu saja. Tak perlu buru-buru. Aku kira Istana aman-aman saja.”

            Jantungku berdetak serabutan. Tuan Putri memang pintar meramu alasan agar aku bisa punya kesempatan lebih lama bertemu Bekel Gajah Mada.

            “Tapi Tuan Putri….” Bekel Gajah Mada tampak berfikir. Tadinya dia hampir menolak. Tapi, demi menghormati permintaan Tuan Putri, akhirnya Bekel Gajah Mada menyanggupi. “Baiklah. Hitung-hitung saya sekarang istirahat.”

            “Diminum Kakang.”

            Tuan Putri mempersilakan sambil mengangkat cangkirnya sendiri untuk diminum. Memberi contoh agar Bekel Gajah Mada melakukan hal yang sama. Aku berdiri di belakang Tuan Putri. Tradisi yang harus kulakukan semenjak aku bekerja di lingkungan kaputren sekar kedaton. Mendampingi Tuan Putri tanpa boleh membocorkan apapun yang kudengar dari pembicaraan Tuan Putri dengan Tamu.

            Bekel Gajah Mada manggut-manggut sambil meletakkan cangkirnya di meja.

            “Kau tau Rimbi? Wedang ronde racikanmu enaknya tak pernah ada duanya.”

            Hampir saja dadaku meledak. Pujian yang mungkin bagi Bekel Gajah Mada hanya sebuah basa-basi ringan, namun bagiku itu cukup melambungkan hati.

            “Terima kasih Bekel. Hamba minta maaf kalau ada kekurangan dalam sajian yang hamba buat.”

            Sejenak kupaksa kakiku yang beberapa detik lalu melayang tak berpijak pada tanah untuk kembali berdiri tegak.

            Jika mau sedikit memperhatikan, ada senyum geli yang hendak Tuan Putri sembunyikan dari tatapan Bekel Gajah Mada. Aku tau maksud Tuan Putri. Menertawakan sikapku yang jika sedikit saja mau lebih memperhatikan, sikapku benar-benar gugup di hadapan Bekel Gajah Mada.

            “Oh iya Kakang. Sempat aku dengar dari Paman Arya Tadah yang sudah sepuh. Beliau merasa sudah waktunya mengundurkan diri dari jabatan Mahapatih. Dan sepertinya Paman Tadah hendak meminta Kakang Gajah Mada menggantikan Paman Tadah.”

            Bekel Gajah Mada terlihat menunduk. Seperti hendak menepis omongan dari Tuan Putri.

            “Maaf Tuan Putri. Setahu hamba, itu hanya kasak kusuk saja. Hamba tau. Mahapatih Arya Tadah memang sudah sepuh.Tapi hamba yakin, Mahapatih Arya Tadah masih cukup kuat untuk menjalankan tugasnya sebagai Patih di Majapahit. Lagipula, masih banyak yang lebih pantas menggantikan beliau selain hamba.”

            Satu lagi daya tarik seorang Bekel Gajah Mada di mataku. Banyak prestasi. Tapi begitu rendah hati. Tak pernah dengar perkataan maupun kulihat tingkahnya yang menyiratkan kesombongan. Bekerja tanpa pamrih. Kesetiaannya pada Majapahit tak pernah terbeli dengan apapun.

            “Iya. Berita itu baru kasak kusuk.Tapi seandainya benar, aku akan setuju sekali dengan keputusan Paman Tadah. Dan aku rasa, Baginda Prabu dan Para Ibu Ratu akan sependapat juga denganku. Oh iya, Kakang.”

            “Hamba Tuan Putri.”

            “Aku rasa, umur Kakang sudah dewasa. Kiranya sudah pantas untuk menikah. Tidakkah Kakang Gajah Mada menginginkan itu?”

            Aku hampir saja tersedak mendengar pertanyaan Tuan Putri Dyah Wiyat yang langsung pada pokok pembicaraan. Beberapa hari yang lalu, Tuan Putri memang menawarkan dirinya untuk menjadi telik sandi yang berusaha mengetahui isi hati Bekel Gajah Mada. Atas nama persahabata nkita, Tuan Putri tentunya ingin sekali melihatku bahagia bisa bersanding dengan seorang laki-laki yang selama ini kuinginkan. Namun aku tak menyangka. Tuan Putri akan melakukannya secepat ini.

            Rasanya, aku ingin sekali lari meninggalkan pembicaraan mereka. Tidak hanya karena malu. Tapi lebih pada tidak berani menerima kenyataan jika jawaban Bekel gajah Mada bertolak belakang dengan apa yang aku harapkan.

            “Hamba minta maaf  Tuan Putri. Hamba belum berfikiran sampai ke arah situ.”

            “Kenapa Kakang?”

            Bekel Gajah Mada semakin terlihat salah tingkah dengan pertanyaan Tuan Putri yang terkesan memburu.

            “Maaf beribu maaf hamba haturkan sebelumnya. Hamba memang sama sekali belum berfikir ke arah situ. Bagi hamba sekarang, mengabdi untuk Majapahit adalah segala-galanya. Jadi, hamba belum bisa memikirkan hal lain selain kedamaian Majapahit selepas pemberontakan yang dilakukan Ra Kuti. Hamba harus bisa memastikan beberapa tahun ke depan keamanan Majapahit terjamin. Karena, jika melihat sejarah Kediri, Singasari, atau bahkan Majapahit sendiri, kegiatan makar ataupun perebutan kekuasaan sewaktu-waktu bisa saja terjadi.”

            Tuan Putri terlihat manggut-manggut. Aku semakin tidak nyaman berdiri di belakang Tuan Putri yang jelas-jelas mendengar percakapan mereka. Keringat dinginku deras mengalir. Jika di depanku ada cermin, mungkin aku bisa melihat wajahku yang semakin pucat pasi.

            “Atau, telah ada seorang perempuan yang mengusik hati Kakang?”

            Aku menghembuskan nafas kesal. Apa Tuan Putri tidak paham dengan jawaban Bekel Gajah Mada yang seperti matahari disiang hari tanpa tertutup mendung. Terang benderang. Bahkan mampu membuat tubuh dan hatiku panas seketika.

            “Sekali lagi maaf, Tuan Putri. Sampai sekarang belum ada satupun gadis yang menghuni hati hamba.”

            Tuan Putri Dyah Wiyat tersenyum santun. Sepertinya, dia merasa tak  bisa lagi mengejar Bekel gajah Mada dengan pertanyaan selanjutnya.

            “Kalau sekiranya tidak ada lagi yangTuan Putri tanyakan tentang keamanan Istana, Hamba mohon pamit. Masih ada tugas-tugas lain yang mesti hamba selesaikan.”

            Jelas sekali Bekel Gajah Mada kurang nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan Tuan Putri yang dirasa mungkin tidak penting. Tuan Putri mengangguk.

            “Baiklah. Kakang boleh pergi. Tolong sampaikan pada Kakang Bhayangkara Brajamusti  agar nanti malam, pas malam bulan purnana agar menemuiku di Kaputren. Ada tugas yang ingin kusampaikan pada Kakang Brajamusti.”

            “Baik Tuan Putri, Akan hamba sampaikan pada Brajamusti tentang pesan Tuan Putri. Hamba pamit dulu.”

            Tuan Putri mengangguk. Mempersilahkan Bekel Gajah Mada meninggalkan kaputren. Sejenak kemudian, bunyi langkah kuda Bekel Gajah Mada perlahan meninggalkan Kaputren.

            “Kau sudah mendengar sendiri jawaban dari Kakang Gajah Mada, Rimbi. Sekarang, apa yang akan kau lakukan?”

            Belum hilang rasa gemetar tubuhku, Tuan Putri sudah langsung menyergapku dengan pertanyaan yang sulit kujawab.

            “Ampun Tuan Putri, hamba seharusnya tidak merepotkan Tuan Putri untuk masuk ke permasalahan hati hamba.”

            Sekali lagi, Tuan Putri tersenyum. Senyum yang sangat santun. Entah bagaimana caranya keluarga istana mengajari senyum sesantun itu. Yang pasti, senyum itu amat pas dengan tekstur wajah Tuan Putri Dyah Wiyat yang sangat cantik.

            “Kau lupa Rimbi?. Aku sudah menganggapmu sebagai sahabat. Mungkin orang lain melihat kau hanya emban di kaputren. Tapi bagiku, kau adalah teman dekat. Kau tak suka aku menganggapmu seperti itu?”

            Aku buru-buru menggeleng.

            “Ampun Tuan Putri. Hamba sungguh sangat senang kalau tuan putri mau mengakui hamba sebagai sahabat dekat Tuan Putri. Hanya saja….”

            Belum selesai aku menyelesaikan kalimatku karena terganjal keraguan, Tuan Putri terlihat mengerutkan dahi.

            “Hanya saja apa Rimbi?”

            “Ampun Tuan Putri, Hanya saja seharusnya dari dulu hamba sadar diri. Hamba benar-benar tidak pantas untuk berharap cinta Bekel Gajah Mada. Biarlah mulai dari sekarang hamba akan simpan saja semua perasaan ini.”

            “Sebenarnya kau masih punya kesempatan. Bukankah kau dengar sendiri. Bahwa belum ada satupun gadis yang menggoda hati Kakang Gajah Mada.”

            Aku menggeleng.

            “Jawaban Bekel Gajah Mada bagi hamba sudah jelas. Kesetiaannya pada Majapahit tidak bisa digantikan dengan apapun. Kecintaannya pada Majapahit adalah segala-galanya. Hamba benar-benar merasa tak layak mempunyai perasaan seperti ini pada Bekel Gajah Mada.”

            “Terus, apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Rimbi?”

            Aku menggeleng.

            “Hamba belum tau. Sekalipun hamba mendengar sendiri belum ada seorang gadispun yang menggoda hati Bekel Gajah Mada, hamba tidak berani berharap lebih. Mungkin cukup sampai di sini saja perasaan hamba padanya. Seperti Tuan Putri yang telah memutuskan untuk mengubur dalam-dalam cinta tuan putri pada Winehsuka Rakrian Tanca dan menerima dengan ikhlas perjodohan Tuan Putri Dyah Wiyat dengan Raden Kudhamerta. Hamba akan mencoba melupakan Bekel Gajah Mada dari hati hamba.”

            Tuan Putri Dyah Wiyat menepuk bahuku.

            “Aku hargai perasaanmu, Rimbi. Mengaharap kedatangan cinta, memang bukan hal yang sia-sia. Tapi, menunggu orang yang tidak mungkin datang itu baru sia-sia.”

            “Baik, Tuan Putri. Hamba sekarang mengerti.”

            “kau siapkan pengawalan. Aku akan keruang Sakuntala. Menghadap Sri baginda Prabu dan para ibu ratu.”

            “Baik Tuan Putri. Sendika dhawuh

            Angin sore bertiup lirih. Seperti mengalunkan tembang landeping rasa katresnan ing batin. Sampai kapanpun, kesetiaan dan kecintaan Gajah Mada terhadap Majapahit tak akan bisa tergantikan oleh apapun. Kesetiaan tulus tanpa pamrih. Bukan kesetiaan bunglon ketika dihadapan raja menunduk paling dalam namun di belakang raja justru mengumpat paling keras.

            Bahkan kelak, ketika bisunya prasasti berbicara tentang cerita pengorbanan dan kesetiaan Gajah Mada terhadap Majapahit, semua orang akan membaca. Fikirannya hanya tertuju pada kerajaan semata. Bagi kemajuan Majapahit di masa mendatang. Tak mungkin baginya memikirkan pernikahan. Apalagi bersenang-senang.

            “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.

Semarang, 4 Juni 2014


Andai dulu Gajah Mada menikah,
mungkin anaknya akan bersumpah untuk bisa menaklukkan Asia ;) ;)

No comments:

Post a Comment