Tuesday, 12 May 2015
CERBUNG : SUJUD CINTAKU DI MIHRAB TAAT (10)
……. Bagiku, cinta adalah keberanian, komitmen dan konsekuensi. Keberanian untuk mengambil keputusan bahwa aku mencintaimu, sekaligus keberanian untuk berkomitmen menanggung segala konsekuensi resiko atas keputusan tentang cintaku tersebut …….
Menjalani cinta bersama Edo secara diam-diam tanpa sepengetahuan siapapun seperti berjalan pada bentangan waktu yang melaju kilat. Tak terasa, semua ini berlalu begini adanya. Evan yang masih menyelesaikan sisa kerjaannya di Tokyo masih rajin menghubungiku. Baik keluargaku maupun keluarga Evan juga masih disibukkan dengan persiapan pernikahanku dengan Evan. Entah pernikahan itu akan terjadi atau tidak, aku tak pernah berfikir rumit. Bagiku sekarang adalah sekarang. Bersama Edo, seperti menemukan secuil cinta dan waktu yang selama ini kucari.
“Kamu tidak khawatir dengan resiko apa di belakang nanti?”
Suara lembut yang datar Edo memecah sunyi yang sejak tadi membungkus dalam dekap peluknya.
“Resiko apa?”
“Jika Evan tau semua ini. Jika keluarga mengetahui tentang hubungan kita”
“Entahlah. Aku tau semua ini tidakmasuk akal.” Sejenak aku melepaskan pelukan Edo “Ya. Memang tidak masuk akal. Karena sejak dulu, cinta memang tidak pernah masuk akal”
Edo membelai lembut pipiku. Mendekatkan wajahnya tepat di depan mataku. Bahkan, hembusan nafasnya pelan terasa memberikan magnet agar aku semakin nyaman mendekatkan wajahku kewajahnya.
“Elen, setidakmasuk akal apapun tentang cinta, perasaan selalu butuh kehormatan”
Senyumku tiba-tiba terasa pias.
Menyadari bahwa kalimat Edo yang baru saja terucap seperti mendudukkan telur kehormatanku di ujung duri.Tersenggol sedikit saja akan pecah berkeping-keping. Aku tau itu. Aku sadar resiko itu. Betapa kehormatan diriku akan tercabik-cabik ketika semua ini diketahui Evan. Dan mungkin benar apa yang dikatakan Edo. Perasaan akan selalu membutuhkan kehormatan.
“Tapi Do, Apapun yang kamu katakan,dan bagaimanapun kamu menolaknya, cinta akan tetap di sana. Menunggumu untukmengakui keberadaannya”
Edo memalingkan pandangannnya dari wajahku. Melihat sikap ragunya,tiba-tiba keberanianku surut.
“Do…” Pelan aku memanggilnya dengan sedikit merajuk. Mencoba mengumpulkan keberanian yang entah kenapa tiba-tiba mencair. Tak sekuat sebelumnya.
“Mm..”
Meski aku tau, ada keraguan dan ketakutan yang terselip di mata Edo, tapi cara Edo menjawab panggilanku mengesankan bahwa ‘semua akan baik-baik saja’. Edo masih mencoba bersikap tenang. Meski aku tau, ada gemuruh gempa di perasaannya yang kapanpun bisa berubah menjadi badai sunami ketakutan yang hebat.
“kita akan menghadapi bersama. Apapun resikonya”
Edo berkata pelan. Namun masih mencoba menguatkan. Meski ada sedikit rasa ngilu tentang kehawatiran itu, aku terus mencoba memaksa diri untuk percaya semuanya. Percaya bahwa aku dan Edo mampu melaluinya. Entah apa warna sebenarnya dari cinta ini. Dan entah apa pula devinisi yang sanggup menjelaskannya. Yang pasti, rasanya seperti getar sayap kupu-kupu. Lembut, ringan, indah dan rapuh. Namun, di sisi lain itu membuatku merasa kuat.
Aku tau, kalimat Edo baru saja bukanlah sebentuk kalimat ‘janji’. Aku harus sadar, Edo tidak menjanjikan apapun tentang ending dari hubungan kita. Dia hanya mengajakku bersama-sama melalui semuanya.
“Iya. Kita akan hadapi bersama”
Suaraku tak kalah pelan. Karena aku mengucapkan kalimat itu lebih kutekankan untuk diriku sendiri. Sekali lagi, Edo kembali memelukku. Sebuah pelukan yang menjanjikan ketidakpastian. Aku baru menyadari. Bahwa cinta adalah sebentuk rasa tentang ketidakpastian. Tapi, bukankah semua yang ada di dunia ini memang tidak pasti?. Dan satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian itu sendiri.
“Do..”
“Mm..” Pelukannya masih erat mendamaikanku.
“Kamu percaya? Terkadang cinta tumbuh dengan cara yang amat konyol dan dan ditempat yang keliru?”
Edo berfikir sejenak.
“Entahlah. Terkadang, cinta memangharus seperti hujan. Yang tidak menjanjikan turun di satu tempat. Yang tidak menjanjikan turun di satu hati. Yang tidak menjanjikan menyejukkan apapun yang dijatuhinya. Dan bahkan terkadang, hujanpun harus merelakan menjadi sebab adanya banjir. Begitupun cinta. Harus rela menjadi kambing hitam jika ad atumpahan air mata dan tergoresnya luka pada perasaan”
“Do..”
“Mm”
“Kamu yakin? Bisa melihat Evan terluka?”
“Aku juga tidak tau. Yang pasti, aku tidak pernah bisa melihatmu menangis.”
Untuk kesekian kalinya, kalimat Edo tetap tak pernah menjanjikan apapun.
Namun tiba-tiba,,,,,
Braaaaakkkkkkk…..!!!
“Penghianaaaattttt….!!!!”
Tepat ketika pelukan Edo benar-benar membuatku merasa nyaman, terdengar suara pintu dibuka paksa dan dibanting keras. Reflek, aku dan Edo mengarahkan pandangan ke asal suara.
Evan?
Dahiku mengernyit lebih dalam. Otakku dengan cepat mengirim stimulus ke kelenjar adrenal. Hingga hormon adrenalin terproduksi begitu banyaknya dan dalam waktu sepersekian detik, hormon adrenalin ini terbawa arus aliran darah yang mengalirbak air bah. Tak perlu waktu lama. Jantungku berdetak hebat saat mengetahui Evan tiba-tiba berdiri di hadapanku. Kekagetan dan kegugupan menyergap hebat.
“Ee..Evan? Kapan datang Van?”
Edo tak kalah gugupnya saat melihat Evan dengan wajah merah menahan amarah berdiritepat di depan kita. Edo masih mencoba bertanya basa-basi namun diksi bahasanya jelas terbungkus dengan intonasi kaget.
Evan diam berdiri dengan nafas yang memburu. Matanya tajam melihat pergelangan tangan Edo yang masih mengait erat di pinggangku. Tanpa kata lagi, Edo cepat-cepat melepaskan tangannya begitu melihat ekor mata Evan menyiratkan tatapan tidak suka dengan posisi tangannya. Aku mencoba menguasai diri. Membaca kejadian yang sedikitpun tak pernah terbayangkan. Baru saja beberapa menit yang lalu, aku dan Edo memprediksi kejadian apa yang akan terjadi. Namun, aku tak pernah menyangka itu akan terjadi secepat ini.
“Van…gue.. gue kira, semua ga seperti apa yang Lo liat”
Dengan nada yang jelas-jelas terdengar gugup dan ketakutan, Edo mencoba untukmenjelaskan semuanya. Lebih tepatnya mencoba mencari alasan untuk sesuatu hal yang teramat jelas telah tertangkap basah kuyup. Aku hanya bisa mematung. Keringat dingin bercucuran. Tak tau harus melakukan apa. Evan masih berdiri ditempat dengan nafas yang terdengar memburu semakin keras. Matanya memerah tajam. Jelas terlihat emosi telah menguasainya.
“Apanya yang salah lihat Do..???!!!”
Kemarahan Evan tak mungkin bisa disembunyikan. Kentara sekali ketika dia memanggil Edo hanya dengan sebutan nama. Bukan ‘Bang Edo’ seperti biasanya. Dalam hal ini, sepertinya tak perlu ada lagi batas antara saudara atau sepertalian darah.
“Bukan gitu Van.. Mak..maksud gue…..”
Ketika telah tertangkap basah kuyup seperti ini, tak akan ada satu alasanpun yang bisa menyelamatkan. Meski beribu alasan bisa saja kita buat, semua itu justru akan lebih memperlihatkan bukti semuanya. Ya. Mungkin benar kata Evan. Penghianat. Aku diam mematung. Semuanya seperti angin kencang yang tetap menahanku di sini meski secepatnya aku ingin sekali lari meninggalkan tempat ini.
“Asal kalian tau..! Semua ini terlihat sangat menjijikkan.”
“Van… kamu salah lihat. Mmm.. mmm… Maksudku… bukan…. Bukan…”
“Bukan apa? Bukan selingkuh, hah?!”
Reflek aku beralih posisi membelakangi Edo. Berusaha mencegah Evan yang dengan telapak tangannya yang terkepal hampir siap meluapkan emosinya pada Edo. Aku tau. Ini mungkin bahasa laki-laki. Adu fisik adalah jalan yang dirasa paling tepat untukmeluapkan emosi tanpa kendali. Aku hanya berharap, ketika aku berdiri di depan Edo, menjadi tameng Edo, Evan akn berfikir ulang untuk melampiaskan tinju amarahnya.
Kelenjar adrenalinku masih menegang. Wajah Evan bertambah merah. Entah mimik wajah seperti apa yang tergambar di wajah Edo. Aku tak bisa melihatnya. Karena aku membelakanginya.
“Edo…!Gue udah tau ini semua dari Mama. Bahkan ketika gue masih di Tokyo”
Mama…? Darimana mama Evan tau? Bukankah…..
“Evan, dia abangmu. Kakak kandungmu. Tidak bisakah kamu tetap memanggilnya abang?”
“Abang..? Kakak kandung? Saudara kandung mana yang dengan rela dan sadarnya merebut calon istri adeknya?”
Mulutkuterbungkam.
“Gue mencintai Elen, Van.”
Waktu terasa membeku. Diam. Tak menyangka, Edo mengucapkan kalimat itu dan mengakuis emuanya. Tepat disaat emosi Evan sedang memuncak pada titik didihnya.
“Iya Van. Gue tau ini konyol. Gue tau ini ga masuk akal. Dan gue tau, ini bakal nyakitin semuanya. Tapi…. Tapi…..”
Nada bicara Edo terdengar lemah dan pasrah. Namun egonya terasa masih tak maumenyerah.
‘Tapi, Lu tetap ga bisa melepas Elen..?”
Sebelum aku bisa mendengar jawaban Edo, sebelum aku lebih bisa mencerna lagi semuanya, tiba-tiba tangan Evan menarikku. Aku terjatuh dan hampir membentur tembok. Dan belum juga genap kesadaranku.
Bruuuukkkk….
Reflek aku menoleh, tubuh Edo terjengkal ke belakang dengan tangannya memegang pipi kiri yang terlihat memerah. Tak perlu banyak penjelasan. Tangan Evan sengaja menarikku, menghindarkanku, agar dia leluasa untuk melayangkan pukulan amarahnya ke muka Edo.
“Yang pertama untuk kekecewaan gue”
Edo berusaha bangkit. Namun tidak berusaha membalas. Membuat tangan Evan leluasa melayangkan pukulan selanjutnya.
Bruuuukkkk….
Kembali tubuh Edo terjengkang, terjerembab jatuh tanpa sedikitpun membalas. Sepertinya Edo sengaja membiarkan Evan melampiaskan semuanya.
“Yang kedua untuk kekecewaan mama dan papa atas sikap Lu.”
Kali ini, Edo membiarkan tubuhnya terkapar tanpa mau berusaha bangkit. Darah segar terlihat keluar dari hidungnya. Nyaliku menciut. Tubuhku gemetar. Tapi, apa yang bisa kulakukan dalam situasi seperti ini?. Di satu sisi, ini urusan mereka sebagai saudara kandung. Namun, di sisi lain, mau tidak mau, aku harus mengakui bahwa aku juga menjadi penyebab utama pertengkaran mereka saat ini.
Emosi Evan masih belum juga reda. Darah segar yang keluar dari hidung Edo tak juga bisa menerbitkan sejumputpun rasa iba di hati Evan. Dengan nafas yang masih memburu, tangan Evan sigap menarik baju bagian dada Edo. Seperti sebelumnya, tak ada sedikitpun perlawanan dari Edo. Mata Evan tajam menatap Edo. Seperti srigala di depan mangsa yang dipenuhi dengan amarah dendam. Tinju pukulan tangan Evan hampir siap melayang ke wajah Edo.
Tapi entah apa yang ada di fikiran Evan. Tepat ketika mata Edo terpejam, siap menerima pukulan seberat apapun, tiba-tiba Evan menghentikan laju arah pukulannya. Mata Evan masih menyimpan sesak. Namun, sepertinya dia tidak kuasa menjatuhkan pukulan yang ketiga pada kakak kandungnya.
“Gue tetap jijik melihat kalian..!”
Evan bangkit dan melepas begitu saja cengkeraman tangannya pada baju Edo begitu saja.
“Gue selalu berharap, bahwa gue akan menjadi adek paling beruntung sedunia ketika mempunyai kakak sepertimu. Dan gue juga selalu berharap bahwa gue akan menjadi laki-laki paling beruntung sedunia. Ketika mempunyai calon istri seperti Elen. Tapi ternyata gue salah.”
Edo masih terduduk lemas setelah dua pukulan hebat tanpa perlawanan merobohkan tubuhnya. Entah apa yang membuat Edo tidak membalas sedikitpun pukulan dari Evan. Mungkin karena Edo masih menyadari bahwa Evan adalah adek kandungnya. Atau bisa juga karena Edo menyadari Evan hanya melampiaskan kemarahan yang memang Evan berhak atas kemarahan tersebut. Edo merasa pantas untuk memperoleh ini semua. Atau bahkan lebih pantas lagi jika mendapat yang ‘lebih’ menyakitkan dari ini.
Apapun alasannya, Evan berhak marah. Evan berhak kecewa. Dan dia juga berhak merasa kalah. Tapi bagiku, cinta bukan masalah menang atau kalah. Lebih dari itu. Cinta adalah kenyamanan. Cinta adalah kedamaian. Dan cinta adalah kerelaan. Bukan sebentuk paksaan. Dalam hal ini, tidak ada yang merenggut. Pun tidak adayang merasa terenggut. Setiap orang pasti punya keajaiban cintanya sendiri-sendiri. Hanya saja, perlu banyak waktu dan kesempatan untukmenemukannya.
Evan membalikkan badannya. Lalu pergi dan membanting pintu. Menyisakan Edo dan aku yang masih belum bisa mengerti sepenuhnya tentang apa yang terjadi.
Edo menolak uluran tanganku yang hendak menolongnya. Aku baik-baik saja. Tak perlu ada yang dikhawatirkan. Sendiku masih terasa kaku.
Aku tau. Ada hal yang lebih besar yang menunggu esok hari. Tapi demi cinta, aku berjanji. Akan sanggup untuk kuat berdiri.
Bersambung.........
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment