Tuesday, 12 May 2015

CERBUNG : SUJUD CINTAKU DI MIHRAB TAAT (12)




……. Kukira, ini tak lagi sekedar ‘jatuh’ cinta. Namun, perasaan ini telah terjun bebas, nyungsep, terpelanting, hingga tenggelam dengan gaya batu. Bahkan ketika aku telah tahu, bahwa cinta dan cemburu tak perlu sampai buta. Cukup sebatas rabun …….

            Ruang tamu yang tak ubahnya seperti ruang pengadilan. Dan aku duduk bersama Elen di ‘sofa pesakitan’.

            Evan sejak tadi membuang muka. Duduk sendiri di pojok ruangan dan tak mau sedikitpun melihatku. Apalagi menyapa. Aku sudah merasa perubahan seratus delapan puluh derajat dengan sikapnya beberapa hari yang lalu. Aku paham itu. Aku mengerti itu. Semua kesalahan, mungkin bisa dimaafkan. Kecuali penghianatan dan Perselingkuhan.

            Di depanku sudah duduk berdampingan Mama dengan Papa. Sedangkan di samping kiri, ada Mama dan Papa Elen. Beberapa jam yang lalu, Mama memberitahu. Akan ada rapat keluarga antara keluargaku dengan keluarga Elen. Elen beserta kedua orang tuanya akan datang ke rumah. Aku bisa menduga. Ini tidak hanya sekedar rapat keluarga seperti biasa untuk membicarakan rencana pernikahan Evan dan Elen. Lebih dari itu. Karena Mama bilang, aku harus terlibat. Tak perlu bertanya lebih lanjut pada Mama. Aku hanya bisa mengangguk. Mengiyakan. Menuruti saja apa kata Mama agar aku ikut serta.




            Aku bisa merasakan ada sebentuk rasa ketegangan. Itu bisa terlihat ketika Papa menyambut kedatangan Elen dan kedua orang tuanya, mempersilakan mereka duduk, hingga Mama keluar meyajikan minuman dan makanan ringan yang meski dibuat lebih spesial, tapi tetap saja tak sedikitpun mengundang selera. Ada seulas senyum yang sepertinya dipaksakan. Sekelumit senyum untuk sebuah basa-basi usang yang bertujuan untuk mencairkan kekakuan, namun ternyata semua itu justru semakin menambah parah. Menambah kaku. Menambah beku.

            Mungkin mereka bisa menyebut ini adalah rapat. Tapi bagiku ini tak kurang dari sebentuk pengadilan yang sebelum ada vonis apapun, semua pasti tau, siapa yang salah. Tak ada terdakwa. Yang ada hanyalah meminta kejelasan pada terpidana. Aku dan Elen. Apa yang sebenarnya terjadi?. Dan apa yang sebenarnya kita inginkan.

            “Nak Edo kapan rencana kembali ke Seoul? Oh ya, lupa. Katanya mau pindah kerja ke Amsterdam ya?”

            Aku tertegun menelan ludah.

            Jika kata-kata bisa diibaratkan sebagai pedang, kalimat pertanyaan dari papa Elen yang baru saja disampaikan seperti pedang tajam yang terbuat dari lempengan es. Sekali menggores, terasa menyakitkan sekaligus membekukan.

            Andaikan semua penghianatan ini tidak terjadi, mungkin aku bisa menjawabnya ‘selepas pernikahan Evan dan Elen, Om’. Tapi kenyataan lain. Bahkan ego pribadiku tidak pernah menginginkan pernikahan mereka akan terjadi.

            “Saya sudah harus sampai di Seoullagi sekitar satu bulan lagi. Rencananya akan langsung dimutasi ke Amsterdam.”

            Kukira ini jawaban yang pas dan bijak. Tak menyinggung sedikitpun dengan apa yang akan dibicarakan dalam rapat nanti. Eh? Bukan rapat. Lebih tepatnya ‘sidang pengadilan’. Elen yang lebih memilih duduk di sebelahku sejak tadi, hanya bisa melirikku dengan raut muka yang terlihat tegang. Andaikan aku bisa menghitung detak jantungnya sekarang, mungkin tak beda cepatnya dengan dikejar kuda liar yang sedang mengamuk. Cemas, tegang, dan takut.

            Dengan tangan yang dingin dan gemetar, Elen meremas telapak tanganku. Entah apa yang diinginkannya. Mungkin hanya sebatas mencari perlindungan. Atau justru mencari suplay  kekuatan tambahan untuknya. Atau mungkin dia merasa sedikit cemas mendengar rencana keberangkatanku ke Amsterdam. Khawatir mau dibawa kemana cerita cinta kita ini. Aku menatapnya sekilas. Tanpa suara. Hanya sebatas bahasa tatapan mata. Tenanglah. Aku di sini. Semua akan baik-baik saja.

            Waktu diam sejenak. Bahkan detak detik jarum jam dinding terdengar jelas.

            “Silahkan diminum dulu Mbak… Mas…”

            Akhirnya, Mama yang mengambil peran sementara. Mencairkan ketegangan yang sejak tadi mengungkung. Mempersilakan Mama dan Papa Elen untuk mencicipi suguhan yang disuguhkannya. Papa mengawali mengambil cangkir. Menyesap sedikit coklat panas yang telah menjadi hangat. Disusul Mama dan Papa Elen. Aku mengikuti saja. Begitupun Elen. Meneguk sedikit coklat hangat yang entah kenapa tiba-tiba terasa hambar. Tapi tidak dengan Evan. Evan masih terlihat membuang muka. Tak mau menyentuh sedikitpun cangkir yang menjadi jatahnya. Dia terlihat menyisir rambutnya dengan jari. Mengusap mukanya dengan telapak tangan. Seperti mengusir sebal yang sejak awal tadi membuatnya terkesan seperti salju yang turun di padang pasir. Terlihat jelas berbeda sendiri.

            “Elen, Edo, Evan kita langsung saja ke pokok permasalahan.”

            Akhirnya Papa memulai juga setelah meletakkan cangkirnya dan memandangi kita satu persatu sambil menyebut nama masing-masing.

            “Dan terutama untuk Edo.” Aku terkesiap. Mendengar Papa menyebut namaku dengan kalimat awal ‘terutama’. Jelas sekali bahwa pokok dari rapat ini adalah diriku. “Papa tidak perlu menjelaskanl ebih lanjut. Karena Papa rasa, kamu sudah dewasa untuk bisa menemukan jawaban jika ada pertanyaan kenapa kamu diikutkan dalam rapat keluarga ini.”

            Aku mengangguk. Namun jelas sekali terdengar jantungku berdebar serabutan.

            “Edo mengerti? Kalau antara Elen dan Evan memang sudah ada rencana untuk menikah?”

            Intonasi kalimat pertanyaan Papa seperti seorang guru SD yang sedang mengahadapi satu muridnya yang kedapatan melanggar satu dari beberapa peraturan sekolah.

            Aku mengangguk.

            “Kalau Lo udah tau? Kenapa juga Lo harus ngerebut Elen dari Gue?!”

            Sebelum Papa meneruskan pertanyaannya, tanpa dikomando, Evan yang beberapa hari ini menghadapiku dengan sikap diam, kini kembali menunjukkan sikapnya dengan ledakan emosi dan kata-kata. Semua terkesiap dan serempak menoleh ke arah Evan. Kecuali aku. Aku hanya bisa menunduk. Ruang tamu kembali senyap. Hening. Sepi. Bahkan suara detak jantungku sendiripun terdengar jelas.

            Elen semakin erat meremas tanganku. Kali ini aku baru mengerti. Elen seperti menyimpan ketakutan yang tak bisa dibahasakan dengan kalimat apapun.

            “Evan….”

            Suara Papa akhirnya terdengar.

            “Jujur pada gue…!!! Apa maksud Lo dengan semua ini, Hah.?!”

            Seisi ruang tamu pasti tau semua. Evan berhak meledakkan emosinya. Evan berhak bersikap seperti itu. Tapi, sepertinya tak ada satupun yang bisa melakukan apapun. Termasuk aku. Untuk kesekian kali, aku benar-benar mengerti dan memahami sikap Evan. Seandainya aku berdiri pada posisinya, mungkin hal yang sama akan kulakukan sepertinya.

            “Gue mencintai Elen, Van.”

            Akhirnya aku menjawab dengan suara datar. Pias. Campuran antara rasa takut dan keberanian yang dipaksa. Aku tau, itu hanya sebuah jawaban konyol. Absurd. Tapi, jawaban apa yang bisa kuberikan selain itu?. Pada kenyataannya aku memang mencintai Elen. Cinta yang aku tau, semua orang akan mengatakan ‘meletakkan pada posisi yang salah’.

            “Maaf. Van… aku juga mencintai Edo.”

            Dengan suara gemetar, Elen mencoba memberanikan diri untuk jujur apa adanya. Sekarang berganti aku yang meremas telapak tangan Elen. Menatap sekilas matanya. Jangan takut. Kita hanya perlu sedikit berani menghadapi saat ini. Agar esok, kita bisa bersama tanpa ada sesuatu yang perlu kita takutkan lagi.

            Elen terlihat menelan ludah. Raut mukanya pucat pasi. Meski dengan tubuh yang sedikit gemetar dan lemah, tapi sorot matanya masih mencoba untuk kuat menghadapi semuanya. Aku tau. Perjalanan hati bukan berarti tanpa resiko. Dan ini adalah resiko awal yang harus kita terima.

            “Elen..! aku bertanya untuk yang pertama dan terakhir. Kamu memilihku atau Edo?”

            Elen semakin menunduk mendengar pertanyaan Eva. Sebuah pertanyaan yang seharusnya sudah ada jawabannya. Namun Elen masih terdiam tanpa tau harus menjawab apa.

            “Jawab Elen..!”

            Suara Evan lebih membentak dengan emosi tanpa kendali.

            “Evan…”

            Lagi-lagi suara Papa hanya bisa memanggil pelan nama Evan. Berharap Evan bisa sedikit bersabar dalam menghadapiini semua.

            “Sekali lagi maafkan aku, Van… Aku…Aku……”

            “Jawab segera, Elen..!”

            Elen menggeleng kecil. Kalimatnya yang terputus hanya bisa tersambung dengan bahasa air mata.

            “Elen akan tetap bersamaku. Aku mencintainya. Tak ada yang boleh membawa dia kecuali aku.”

            Akhirnya aku memberikan jawaban. Karena aku yakin, Elen pasti akan memilih menjalani hidup bersamaku. Elen mengangguk. Dan naluri laki-lakiku serta merta merengkuh bahu Elen. Memberikan rengkuhan ketenangan. Bahwa apapun yang terjadi, aku akan tetap bersamanya. Aku akan tetap ada di sampingnya. Menghadapi segala resiko ini berdua. Tidak peduli apakah cinta ini salah atau benar.

            Elen masih terisak di pelukanku.

            Tak perlu banyak penjelasan. MeskiElen tidak menjawabnya dengan tegas, tapi bahasa tubuh Elen telah menjelaskan semuanya. Elen tak bisa menolak ketika aku memeluknya. Sebuah bahasa tubuh dimana Elen bersedia dan mengizinkan aku untuk jadi pelindungnya. Tidak hanya melindungi fisik. Tapi juga menjaga perasaannya. Membuatnya nyaman.

            “Elen, Nak… Dengarkan Mama…” Mama Elen mencoba berdialog lembut dengan putrinya “…Kamu sama Evan sudah terikat tali pertunangan. Dan sebulan lagi kalian menikah. Tidak bisakah kamu membujuk sedikit saja egomu untuk bisa berfikir dengan baik?”

            Elen tidak menjawab. Dia tetap terisak.

            Mungkin benar apa yang banyak dikatakan orang. Bahwa wujud cinta adalah air mata.

            “Do…!”

Reflek aku memejamkan mata. Untuk kesekian kali, Evan memanggilku hanya sebutan nama.Tanpa ada lagi sebutan ‘Abang’ seperti dulu. Jujur, ada sedikit rasa miris yang terselip setiap aku mendengar dia memanggilku seperti itu.

Lo pernah bilang sama gue. Bahwa cinta dan keegoisan itu hampir sama. Sama-sama ingin memiliki. Bedanya, kalau cinta selalu disertai dengan pengertian, sedangkan keegoisan hanya disertai dengan keangkuhan. Dan sekarang, kalau Lo memang mengaku mencintai Elen, Lo bisa buktiin kalimat Lo dulu dengan merelakan Elen buat gue.”

Aku tertegun.

Seharusnya, sebelum Evan mengingatkanku dengan teori ini, aku terlebih dahulu mengingatnya.Tapi, cinta mengaburkan semuanya. Dia membuatku menyerah dan hampir melumpuhkan separoh lebih sel otakku yang sehat. Hingga intelektualitaspun tak berarti apa-apa.

“Dan bukankah kamu juga bisa melakukan itu Van? Kalau kamu memang mengaku mencintaiku, seharusnya kamu juga bisa melepaskanku untuk Edo.”

Kali ini aku lebih tertegun lagi.

Sebelum aku menemukan jawaban apa yang harus kukatakan, Elen langsung mengambil alih.

Mama bangkit dari duduknya. Tanpa berucap sepatahkatapun, dengan wajah yang keruh, Mama memutuskan masuk ke kamar. Kita sekeluarga tau sifat Mama dari kecil. Ketika Mama sudah meninggalkan area rapat tanpa berkomentar apapun, ada sesuatuyang mengganjal di hatinya yang tidak bisa diucapnya dengan lisan. Aku tertunduk lemas. Mau tidak mau, konflik ini pasti akan berimbas pada Mama.

Ketegangan semakin memuncak.

Aku hanya bisa mengusap wajah piasku dengan telapak tangan.

Tuhan, aku tau. Mungkin di ujung cinta ini tidak ada kebahagiaan. Tapi aku tetap memilih jatuh ke dalamnya.
           





Bersambung............

No comments:

Post a Comment