Tuesday, 12 May 2015

CERPEN : DeJaVu

“Kau bilang saja.! Sebenarnya apa maumu? Hah?!”

Suaraku meninggi. Jelas sekali aku tidak suka dengan kehadiran laki-laki tua yang entah
dari mana asalnya dan apa tujuannya itu. Yang pasti, beberapa menit yang lalu
tiba-tiba dia ada di hadapannya mengganggu waktu tidur sakralku.

            Tapi sayang.! Suara amarahku yang meninggi itu tak bisa juga menghentikan kekehan tawanya yang terdengar sangat menyebalkan.

            “Kau tanya apa? apa mauku? Hahaha…. Kau salah anak muda.! Justru aku yang harus bertanya itu padamu.”

            Aku menghembuskan nafas kesal.Benar-benar kesal. Sebal sekali. Memangnya dia pikir siapa dia?.  Laki-laki tua berjubah putih, berambut putih, berkulit agak putih dan berjenggot lebat dengan warna putih juga.

            “Apa yang kau lakukan baru saja anak muda?”



            Apa dia bilang?. Apa yang baru saja kulakukan?. Jelas saja aku baru saja terlelap dalam tidur suciku ketika dia
tiba-tiba datang dengan tawanya yang mnggema dan memekakkan telinga. Sehingga
memaksaku untuk bangun dan tersadar dari tidur.

            “Kau pemalas sekali.!”

            Dadaku dibuat panas oleh ocehannya yang sembarangan itu. Jantungku berdegup kencang. Ingin rasanya segera menonjok mukanya dan membuatnya segera enyah dari sini dan tidak lagi menggangguku. Sebenarnya,
bukan kata ‘pemalas’ itu yang membuatku geram. Orang-orang terbiasa memanggilku dengan sebutan itu. Kata ‘pemalas’ hanyalah sebagai pemantik api amarah yang sejak tadi sudah agak mendidih. Tapi yang bisa kulakukan hanya bisa berdiri kaku dan berbicara dengan sumpah serapah sebagai ekspresi karena aku tidak bisa bergerak dengan apapun.
            “Pergi kau.!”
            Aku tau. Teriakanku tidak akan pernah bisa mengenyahkannya dari sini. Tapi, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain hanya berteriak kasar dengan berbagai sumpah serapah. Tubuhku kaku. Semua tulang sendiku tiba-tiba terasa membatu menjadi fosil hidup.

            “Aku akan pergi. Tapi, kau jawab dulu satu pertanyaanku. Sebenarnya, apa maumu? Apa tujuan hidupmu?”

            Aku ber-puh pelan. Rasa kesal yang beraneka ragam.

            Tapi, baiklah. Jika itu akan membuatnya pergi. Aku akan menjawab.

            “Akan kujawab. Tapi kau janji akan segera pergi dari sini. Dan biarkan aku kembali tidur dengan nyaman.”

            Orang tua itu mengangkat kedua tangannya. Menyerah. Dan kemudian mengangguk setuju.

            “Aku hanya ingin kaya. Aku bosan hidup miskin terus.”

            Mendengar jawabanku, dia justru kembali terkekeh. Hingga kedua bahunya terlihat berguncang hebat.

            “Hahahaha… Sudah seperti apa yang kuduga. Orang pemalas sepertimu hanya punya otak satu centi. Punya pikiran yang instan. Ingin kaya tapi kerjanya hanya tidur dan dan bermalas-malasan. Tak mau
susah.”

            Aku mengerutkan dahi. Apa urusanmu?. Ini hidupku sendiri. Biarkan aku menikmatinya sendiri. Siapa yang suruh kau datang dan mengajukan sebuah pertanyaan tidak penting seperti itu.

            “Tapi baiklah.! Kau bisa kaya. Asal kau turuti apa kataku. Kau mau kan?”

            Ekor matanya menyelidik. Seperti membujuk anak kecil dengan memberikan pancingan permen loly pop.

            “Hei.! Bukankah sudah kukatakan apa yang kuinginkan? Seharusnya kau segera pergi dari sini.! Sesuai perjanjian awal tadi.”

            Kesal sekali aku dibuatnya.

            “Baiklah. Aku akan segera pergi. Tapi izinkan aku untuk mengatakan sesuatu padamu. Aku tau. Apa yang akan kukatakan nanti mungkin bukan hal yang menarik bagimu sekarang. Tapi aku yakin,
beberapa hari kedepan kau akan memikirkan kembali perkataanku ini.”

            Apa peduliku?

            “Cepat katakan.! Dan segera pergi dari sini.!”

            “Baiklah. Baiklah. Sepertinya kehadiranku di sini cukup mengganggumu. Begini. Kalau kau ingin kaya, pergilah ke suatu tempat. Di sana, kau akan menemui kehidupan yang mungkin membuatmu senang. Kau bisa makan sepuasnya. Kau bisa tidur sepuasnya. Kau bisa kaya sepuasnya. Tanpa bekerja keras dan membanting tulang.”

            Aku nyengir. Mana ada tempat seperti itu.

            “sepertinya kau tidak percaya. Tapi baiklah. Itu hakmu untuk tidak mempercayaiku. Tapi tetap kuputuskan untuk melanjutkan cerita. Siapa tau, kelak kau akan mempercayaiku.”

            Ya.! Lanjutkan saja. Aku bisa menganggapnya angin lalu.

            “Tempat itu sangat jauh. Kalau kau mau ke sana, kau bisa menumpang kereta. Kau datang saja ke stasiun. Katakan pada penjaga peronnya, kau akan ke tempat itu dengan sebuah kereta. Hanya ada satu kereta yang bisa ke sana. Namanya ‘Kereta Kematian’.”

            Dahiku berkerut. Sepertinya ini agak menarik.

            “Bagaimana? Kau tertarik?”

            Aku masih terdiam. Tapi kalimat terakhirnya seperti magnet yang menarik hatiku untuk sedikit mempercayainya.

            “Baiklah. Waktuku untuk bertemu denganmu Cuma sebentar. Aku harus segera pergi. Dan kau silahkan kembali lagi ke alam tidurmu. Kalau kau ke sana, aku akan menjemputmu di pintu gerbang kota itu. Kota yang sangat indah. Dan menjanjikan semua kenyamanan hidup. Kau bisa menyebutnya ‘Surga’.”

            Aku menelan ludah.

            “Selamat tinggal anak muda. Sampai ketemu lagi di kota itu”

            Cahaya terang tiba-tiba datang dari segala arah. Menyilaukan. Hingga aku aku tak bisa melihat apapun di sekitarku. Karena semua warna sepertinya berspektrum dan berakumulasi menjadi warna putih yang menyilaukan.

            Cahaya itu terus menebal hingga akhirnya semakin surut dan menipis. Dan orang tua itu? Kemana dia sekarang?.

            Aku membuka mata. Tubuhku terasa remuk. Sepertinya aku baru saja melakukan perjalanan ber mil-mil jauhnya. Tapi tunggu dulu.! Tanganku, kakiku, dan juga sendi-sendiku sekarang bisa bergerak bebas. Bukankah tadi, sewaktu orang tua itu masih ada di hadapanku, semua terasa kaku. Aku mencubit pipiku. Ya.! Aku sekarang tersadar. Baru saja kusadari, bahwa tadi aku bermimpi. Bermimpi ketemu orang tua aneh yang tak tau darimana asalnya dan siapa namanya.

            Aku bangun dari tempat tidur. Menyibak korden. Matahari senja telah tumbang di sisi barat. Ternyata aku tertidur lama sekali. Dari tadi pagi hingga senja ini. Tapi memang inilah kerjaanku sehari-hari. Hidupku hanya butuh makan, tidur dan buang air. Aku tak pernah mempermasalahkan jika banyak orang memanggilku si pemalas. Aku tidak pernah sakit hati dengan mereka. Aku juga tidak pernah iri saat melihat teman-temanku bisa hidup mewah.

            Tapi bagiku, apa enaknya hidup mewah jika mereka tidak menikmati sama sekali kehidupannya. Pergi bekerja dari pagi hingga malam. Seharian penuh. Badan lelah. Buat apa punya banyak uang jika mereka hanya sibuk mengeluh “lelah”?.

            Tapi sebentar. Bukankah lebih enak lagi?. Jika bisa hidup bermalas-malasan sekaligus bisa kaya?. Dahiku berkerut. Sepertinya, tawaran orang tua yang menyapaku dalam mimpi tersebut masuk akal. Jika memang benar, apa yang orang tua itu katakan tentang sebuah kota yang bernama “Surga”, dan kota itu memang ada, aku harus mencobanya. Datang ke sana dengan menumpang “Kereta Kematian”



                                                                                        ******

            Pagi menyapa. Suara ayam berkokok sahut-menyahut menyambut pagi. Embun yang sejak subuh tadi menggelayut di ujung daun, kini telah hilang terusir sinar matahari yang baru saja datang.

            Dalam catatan sejarah hidupku, ini adalah bangun tidurku yang paling pagi. Sudah kuputuskan. Hari ini aku akan ke stasiun. Aku akan menumpang “Kereta Kematian” seperti apa yang dikatakan orang tua kemarin untuk menuju sebuah kota yang bernama “Surga”. Jika ditanya, apa yang membuatku mempercayai begitu saja ocehan orang tua yang datang dari negeri antah berantah itu?, maka, jawabannya sederhana. Aku sudah bosan hidup miskin. Tapi aku juga tidak mau bekerja keras yang membuat badan lelah.

            Apa salahnya jika sedikit saja mempercayai ocehan orang tua itu. Toh, seandainya dia memang bohong, aku bisa kembali lagi ke rumah reotku ini dan kembali menjalani aktivitas hidupku seperti biasa. Makan, tidur, dan buang air.

            Tas kumal sederhana telah kupersiapkan. Tak banyak baju yang kubawa. Karena, bajuku memang sedikit. Hanya beberapa potong saja. Aku tak perlu brfikir membawa bekal. Kalau orang tua itu berkata benar, aku akan dapat apapun secara geratis di kota yang bernama “Surga” itu. Bukankah orang tua itu juga telah berjanji akan menjemputku di pintu gerbang Kota Surga?!. Jika dia berbohong, aku tinggal minta pertanggungjawabannya saja
untuk mengantarku lagi ke tempat semula.

            Sepanjang hari aku berjalan dari rumah reotku ke stasiun. Sepertinya, hari ini adalah hari pertama dan kuharap yang terakhir juga untuk bekerja keras. Bangun pagi-pagi, kemudian berjalan kaki sepanjang hari untuk menuju ke stasiun. Aku tak punya uang untuk naik
angkutan umum. Dan tak ada satupun orang yang mau memberi tumpangan secara geratis seorang pemalas sepertiku. Tak apa. Toh, di Kota yang bernama “Surga” nanti aku bisa mendapatkan apapun yang kuinginkan.
Tanpa bekerja keras.

            Aku menikmati saja perjalananku ini. Hingga tak terasa, setelah hampir seharian berjalan kaki dengan istirahat di sela waktu perjalanan, sampailah aku di stasiun kota.

            Stasiun kota sangat ramai. Orang-orang banyak berseliweran dengan berbagai barang bawaan yang tidak sedikit. Seumur hidupku, baru kali ini aku melihat stasiun kota. Aku berharap, aku bisa segera menemukan “Kereta Kematian” seperti apa yang dikatakan oleh orang tua itu.

            Tak banyak berfikir. Aku langung menghampiri seorang petugas stasiun yang sepertinya dia ditugaskan untuk menunggu peron.

            “Kau bilang mau kemana?”

            Si penjaga peron stasiun bertanya dengan nada memastikan. Apakah apa yang kutanyakan tadi benar?.

            “Saya mau pesen tiket untuk menumpang Kereta Kematian. Saya mau ke Kota Surga.”

            Aku mengulangi lagi pertanyaanku. Si penjaga peron semakin mengerutkan dahinya. Ekor matanya seperti menyapukan pandangan ke setiap jengkal tubuhku. Dari kepala ke kaki. Dari atas ke bawah. Seperti memastikan bahwa dia tidak salah dengar tentang apa yang kukatakan.

            “Benar? Kau mau ke Kota Surga? Kota yang paling indah?”

            Aku mengangguk mantap.

            “Hanya ada satu kereta untuk menuju ke sana. Hanya Kereta Kematian. Tak ada kereta lain lagi.”

            Aku kembali mengangguk mantap. Aku sudah mengerti semuanya. Sampai detik ini, aku masih bisa mempercayai ocehan si tua kemarin sore. Kota Surga dan Kereta Kematian itu memang benar-benar ada. Meskipun aku belum melihatnya, Si Penjaga peron ini memang membenarkannya.

            “Iya. Aku ingin membeli tiket Kereta Kematian. Kalau boleh tau, harganya berapa?”

            Mendengar pertanyaanku, Si Penjaga peron menatapku ragu.

            “Benar? Kau mau membeli tiket Kereta Kematian?”

            “Tentu saja.! Aku benar-benar ingin ke Kota Surga. Dan katamu hanya ada satu kereta menuju ke sana. Kereta Kematian.”

            Si Penjaga peron menatapku lagi. Lebih memastikan bahwa aku tidak bercanda.

            “Kereta Kematian, hanya datang dan berangkat satu kali dalam sehari. Dan satu tiket kereta Kematian, harganya sangat mahal sekali. Aku tidak yakin, dengan penampilanmu seperti ini kau bisa membeli tiket Kereta Kematian hari ini.”

            Dahiku berkerut tajam. Apa kau bilang? Mahal?

            Aku diam sejenak. Otakku berputar memperhitungkan semuanya. Hari ini memang benar-benar membuatku lelah. Seumur hidup, baru kali ini otakku dibuat pusing dengan segala perhitungan yang ada.

            “Kalau boleh tau, harganya berapa?”

            Si Penjaga peron kemudian menyebutkan sejumlah harga. Mataku terbelalak. Untuk membeli satu tiket Kereta Kematian saja seharga uang makanku seumur hidup. Aku menepuk dahi. Sekalipun aku serahkan semua harta benda apapun yang kubawa hari ini, termasuk baju yang kupakai hingga aku rela telanjang untuk menebus tiket itu, jelas tidak akan pernah cukup.

            Si Penjaga peron menatapku iba. Sepertinya, dia mengerti sekali kekecewaanku.

            “anak muda, banyak sekali yang menginginkan tiket Kereta kematian untuk menuju kota Surga. Tapi harganya memang mahal. Tapi tak perlu hawatir. Kau pasti akan mendapatkannya.”

            “Tapi, bagaimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu ?”

            Si Penjaga peron tersenyum.

            “Saranku, sekarang pulanglah. Bekerjalah sebaik mungkin. Kumpulkan uang sebanyak mungkin untuk membeli tiket Kereta Kematian itu. Yakinlah.! Kau tidak akan pernah menyesal jika telah berhasil menuju Kota Surga. Selama ini, setiap orang yang berkunjung ke sana, tidak pernah mau kembali lagi ke sini. Mereka sudah hidup enak di sana. Itu dibuktikan ketika Kereta Kematian selalu penuh sesak ketika berangkat. Namun
kosong melompong ketika kembali lagi ke sini.”

            Untuk kesekian kali, aku harus mengakui. Apa yang dikatakan orang tua dari negeri antah berantah itu memang benar.

            “Biar kau lebih cepat bisa mendapatkan tiket itu, kau bisa memanfaatkan potongan harga yang ditawarkan.”

            Potongan harga?. Sepertinya ini tawaran yang menarik.

            “Bagaimana aku bisa mendapat potongan harga itu?”

            “Gampang. Sembari kau bekerja keras mengumpulkan uang, banyak-banyaklah juga membantu orang lain. Jadilah kau orang yang selalu berderma, melakukan amal kebaikan, berkata jujur, serta niatkan semua ini memang benar-benar untuk mendapat tiket Kereta Kematian untuk menuju Kota Surga itu. kau paham?”

            Aku mengangguk ragu.

            “Kau yakin? Kau tidak membohongiku?”

            Si Penjaga peron tersenyum manis.

            “untuk apa aku membohongimu. Aku sendiripun sekarang sedang mencari uang untuk bisa membeli tiket itu. berkunjung ke kota itu. Sekarang pulanglah. Lakukan apa yang kusarankan tadi. Yakinlah.! Kau tidak akan menyesal.”

            Tak ada yang bisa kulakukan lagi di stasiun ini selain mendengarkan apa yang disarankan Si Penjaga peron. Aku kembali dengan langkah gontai. Menempuh perjalanan kembali ke rumah dengan berjalan kaki dan disertai perasaan kacau tidaklah semudah yang kalian kira. Jika perjalanan ke stasiun ini meski jauh, aku bisa melakukannya dengan semangat yang luar biasa. Semangat ingin segera menuju Kota Surga. Meski terasa lelah, itu tak menjadi hambatan. Semangat itu mengalahkan sebentuk perasaan lelah seperti apapun.

            Kembali ke rumah.

            Entah apa yang harus kulakukan sekarang. Aku tau, mulai sekarang, hidupku akan berubah seluruhnya. Dulu, aku hanya menghabiskan seluruh hariku dengan tidur, makan, dan buang air. Bahkan panggilan ‘Si Pemalas’ untukku tak sedikitpun bisa merubah sifatku itu. Sekarang, aku harus menghabiskan seluruh hariku untuk bekerja keras. Membanting tulang demi mendapatkan sejumlah uang untuk membeli tiket kereta kematian menuju ke Kota
Surga.

            Terbiasa dengan sifat pemalas, sampai sekarang aku tidak tau apa yang harus kulakukan. Jawaban pertama, aku memang harus bekerja. Tapi pekerjaan apa yang harus kulakukan?. Dalam diriku, aku nyaris tak punya keahlian apapun untuk bekerja.

            Sepanjang hari ini, aku hanya menghabiskan waktu untuk merenung. Berfikir. Jenis pekerjaan apa yang harus kulakukan. Harga tiket Kereta Kematian memang sungguh mahal. Bahkan mungkin, ketika aku telah bekerja membanting tulang seumur hidup pun akan sulit untuk bisa mengumpulkan sejumlah uang demi tiket Kereta Kematian itu.

            Tapi tunggu dulu.! Bukankah Si Penjaga Peron telah mengatakan ada potongan harga?. Ketika aku menjadi orang yang selalu berderma, melakukan amal kebaikan, berkata jujur, serta niatkan semua ini memang benar-benar untuk mendapat tiket Kereta Kematian untuk menuju Kota Surga, aku bisa mendapatkan potongan harga yang bisa kugunakan sehingga uang yang harus kukumpulkan tak perlu sebanyak itu.

            Aku menjadi orang yang selalu berderma? Selalu melakukan amal kebaikan? Berkata jujur?. Aku menepuk dahi pelan. Seumur hidupku, aku nyaris tak pernah melakukan itu semua. Bagaimana bisa? Aku menjadi orang yang selalu berderma?. Sedangkan selama ini, hidupku justru hanya mengandalkan derma dari orang lain. Bagaimana aku bisa bertahaN hidup dengan sifat pemalasku? Jika tak ada orang yang mau membarikan makan untukku.

            Melakukan amal kebaikan. Apa pula ini?!. Akupun bahkan tidak tau. Bentuk kebaikan itu seperti apa?. Selalu
berkata jujur. Mungkin ini sarat yang mudah. Selama ini, aku tak pernah membohongi orang dengan perkataanku. Apapun yang kukatakan adalah adalah apa yang sebenarnya terjadi. Dan yang terakhir, niatkan semua ini memang
benar-benar untuk mendapat tiket Kereta Kematian untuk menuju Kota Surga. Ini juga tidak sulit bagiku. Aku memang melakukan ini semua demi tiket Kereta Kematian dan Kota Surga itu. Memangnya untuk siapa lagi?!.

            Mau tidak mau, hidupku harus berubah drastis. Aku tak lagi hanya bermalas-malasan di rumah. Aku sedikit menyapa dunia luar meski dengan tatapan heran orang-orang di sekitarku. Pekerjaan pertama yang kulakukan adalah membantu tetangga menanam tomat di tanah pertaniannya. Tak banyak uang yang kudapatkan dari sini. Meski tiap hari aku bangun paling pagi, dan tidur paling larut, recehan uang yang kuterima masih teramat jauh untuk bisa membeli tiket Kereta Kematian.

            Selain itu, aku selalu ingat potongan harga yang dikatakan Si Penjaga Peron. Setiap uang yang kukumpulkan
dari upah membantu menanam tomat, aku menyisihkannya sedikit. Sengaja aku sisihkan agar, ketika ada fakir miskin yang tidak bisa bekerja, aku bisa memberikannya sebagai derma. Dengan ini aku berharap. Potongan harga yang
ditawarkan Si Penjaga Peron akan segera kudapat.

            Begitulah hari-hari hidupku selanjutnya. Hari menggenapkan hitungan bulan. Dan bulan sempurna menggenapkan tahun. Bertahun-tahun aku bekerja siang malam. Dan selalu diiringi dengan sisihan uang untuk berderma. Panggilan untukku tidak lagi ‘Si Pemalas’. Beragam panggilan baru dari orang-orang yang berbeda sering kudapat. Ada yang memanggil ‘Si Rajin’, ada yang memanggil ‘Dermawan’ dan ada pula yang memanggil ‘Si Baik Hati’.

            Ah.! Apapun panggilan orang, akujarang menaggapinya. Karena, selama bertahun-tahun ini aku selalu disibukkan dengan tabungan yang harus kukumpulkan untuk membeli tiket Kereta Kematian
menuju Tanah Surga. Aku tidak pernah peduli dengan pujian orang-orang terhadapku. Karena, hidupku hanya fokus untuk tujuan utama. Adapaun jika itu bisa membuat orang bersimpatik padaku, itu hanya sebatas imbas dan konsekuensi yang mengikuti.

            Waktu terus berjalan. Hingga tak terasa sudah hampir belasan tahun aku bekerja keras dan berderma serta
melakukan amal kebaikan. Aku menikmati semua ini. Dulu, aku hanya sebagai pegawai rendahan di perkebunan tomat. Seiring berjalannya waktu, sekarang aku telah berubah menjadi Si Juragan Tomat. Hasil kerja kerasku, telah mampu membuatku membeli tanah sedikit demi sedikit. Sekarang, berhektar-hektar tanah perkebuanan tomat telah menjadi milikku. Aku tak lagi bekerja sendirian. Karena, aku telah mempunyai karyawan yang jumlahnya hampir ribuan orang.

            Orang-orang yang tinggal di sekitarku, mengandalkan hidup mereka dari tanah perkebunan tomatku. Bagi yang masih mampu bekerja, mereka mencari nafkah untuk keluarganya dengan menjadi karyawanku. Sedangkan fakir miskin yang sudah tidak mampu lagi bekerja, aku memberikan mereka jatah uang bulanan yang kukumpulakn dari sisihan keuntungan perkebunan tomatku tiap bulannya.

            Seperti itulah aku menjalani hidupku. Hingga aku lupa, uang yang telah kukumpulkan selama ini telah lebih dari Cukup jika hanya untuk membeli tiket Kereta Kematian dan menuju ke Kota Surga. Aku telah melupakan tujuanku semula. Sekarang aku telah mendapat kehidupan yang menurutku mungkin lebih baik daripada Kota Surga yang pernah diceritakan oleh Si Tua dari negeri antah berantah dan Si Penjaga Peron.

            Hingga suatu malam, ketika aku sedang terlelap tidur setelah seharian aku mengurus usaha perkebunan tomatku, Si Tua dari negeri antah berantah itu datang lagi dalam mimpiku. Penampilannya masih sama. Laki-laki tua berjubah putih, berambut putih, berkulit agak putih dan berjenggot lebat dengan warna putih juga.

            “Selamat malam anakku… maaf aku kembali mengganggu tidurmu.”

            Si lelaki tua yang sama. Dan kekehan tawanya yang juga sama.

            “Bagimana kabarmu, Anakku?”

            Senyumnya terlihat tulus. Tapi agak menantang.

            “Kulihat hidupmu telah berubah. Tanah-tanah perkebunan tomat itu semuanya milikmu. Dan rumah ini. Lihatlah rumahmu ini. Bahkan ini tak pantas lagi disebut rumah. Lebih pantas jika aku menyebutnya istana.”

            Dia terkekeh lagi. Aku jadi berfikir. Si Tua ini mungkin ketika lahir pertama kali bahkan tidak menangis.
Tapi tertawa terkekeh-kekeh.

            “Oh iya. Bagaimana rencanamu ke Kota Surga? Bukankah kau sekarang punya segalanya? Uangmu dan segala sikap baikmu selama ini terlalu berlebihan jika hanya untuk membeli seratus tiket Kereta Kematian tujuan Kota Surga.”

            “aku tak berminat lagi.”

            “Tak berminat lagi?” Dahi si Tua itu berkerit tajam. “Kenapa? Bukankah kamu melakukan ini semua demi itu?”

            “Iya. Itu dulu. Tapi tidak untuk sekarang. Ada banyak hal yang bisa kulakukan di sini. Tidak hanya untukku
sendiri. Tapi juga untuk orang lain. Apa jadinya jika aku pergi ke Kota Surga dan tidak kembali lagi?. Bagaimana dengan karyawanku? Bagaimana dengan nasib fakir miskin yang tidak lagi bisa bekerja dan hanya mengandalkan darmaku? Aku telah bahagia sekarang. Aku telah menemukan kehidupanku.”

            Si Tua itu kembali terkekeh. Kekehannya semakin besar hingga tertawa terbahak-bahak.

            “Baiklah anakku. Sekarang tugasku telah selesai. Kau lanjutkan hidupmu yang indah ini kembali.”

            Tugasnya sudah selesai? Apa maksudnya?

            Si Tua itu terkekeh lagi.

            “Dari awal, kau memang tak perlu membeli tiket Kereta Kematian. Tak perlu ke Kota Surga. Karena, memang belum waktunya kau untuk semua itu.”

            Aku semakin tidak mengerti.

            “dengarkan baik-baik nasehat terakhirku ini anakku. Karena ini adalah pertemuan kedua kita. Sekaligus pertemuan terakhir kita.”

            Wajah Si Tua itu terlihat lebih serius. Tak ada lagi kekehan tawa seperti biasanya.

            “Carilah kematian. Maka niscaya kau akan dapatkan kehidupan. Selamat tinggal anakku.”

            Reflek tanganku ingin meraih tubuhnya. Ingin bertanya lebih lanjut tentang banyak hal. Tapi tiba-tiba cahaya
putih itu datang lagi. Sungguh sangat menyilaukan. Hingga aku tak bisa lagi melihat benda apapun di sekitarnya. Karena telah terkikis habis oleh spektrum cahaya putih yang teramat menyilaukan.

            Setelah aku tak bisa melihat apapun selain warna putih menyilaukan, cahaya itu perlahan menipis. Hingga akhirnya sempurna menghilang dan keadaan kembali seperti semula. Tak ada lagi Si Tua itu.

            Adzan subuh terdengar sayup. Membangunkan siapapun manusia yang mengaku beriman. Termasuk aku. Pagi datang lagi dengan menjanjikan banyak hal.

           



           

           

Semarang, 14 April 2014

catatan kecil untuk sebuah hidup yang selalu indah :)

No comments:

Post a Comment