Tuesday, 12 May 2015

CERBUNG : SUJUD CINTAKU DI MIHRAB TAAT (9)




……. Tak masalah.! Karena bagiku, semua sah dalam perang dan cinta …….


            “Ada cinta lain di hatimu?”

            Aku tersentak. Dan tidak pernah menyangka, Edo akan bertanya seperti itu.

            Diksi bahasa yang sederhana dan apaadanya. Tapi diucapkan dengan nada pelan namun berkekuatan. Pelahan aku mencoba menggerakkan kelopak mataku. Memberanikan diri untuk menatap sepasang mata yang aku tau, sejak tadi tajam melekatkan pandangan matanya di mataku.

            Tidak bisa.!

            Kelopak mataku terlalu berat untukbisa sedikit saja memberi celah pada retina mataku agar bisa membalas tatapannya. Edo semakin mendekatkan wajahnya ke wajahku. Hingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang seketika itu mengikatku pada sebentuk rasayang sulit kujelaskan devinisinya.

            Aku masih mencoba mengelak. Bukan bermaksud menghindari tatapannya. Hanya mencoba menghindari perasaanku sendiri dengan cara menghindari pandangannya. Percuma.! Edo memegang lembut daguku tepat ketika aku mencoba membuang padanganku ke samping. Mencoba menghindari tatapan matanya.

            Ritme debaran jantungku semakin tak beraturan. Namun, mata Edo seperti membahasakan sesuatu yang membuatku sedikit nyaman.

            Tenang.! Aku tidak akan menyakitimu. Aku ada untuk mendengar semua jeritmu. Aku ada untuk bisa merasakan semua rasamu. Karena kita tidak akan pernah tau apa yang kita rindukan sampai sesuatu itu tiba didepan mata kita.




            Waktu terasa berjalan sediki tmelambat. Demi menjelaskan sesuatu yang baru kutemui saat ini dalam kurun waktu perjalanan hidupku. Bahasa tanpa kata. Bahasa yang hanya bisa kuucapkan denganair mata.

            Setetes air mataku jatuh.


                                                                                    *********


            “Iya Tante. Tadinya Elen sama Bang Edo berencana ke Butik Tante Ita sore ini. Tapi sepertinya ditunda. Ada temen Elen yang lagi benar-benar perlu bantuan Elen…… Kalau enggak besok ya lusa……..Iya. Janji. Daaahhh.. Tante.. makasih ya…”

            Sejenak Edo yang masih berkonsentrasi dengan stirnya, mencoba melirikku saat aku menelphon Tante Ita untuk membatalkan rencanaku ke Butiknya. Sebuah lirikan dengan senyum kecil nakal yang menyetujui semua sikap gilaku. Membatalkan semua rencana hari ini agar kita bisa bebas kemanapun yang kita mau. 

            Sesaat setelah kami menyetujui untuk bolos dari semua agenda hari ini, Ke percetakan untuk memesan kartu undangan, lihat-lihat konsep design gedung untuk resepsi pernikahan, dan beberapa hal kecil lainnya untuk persiapan pernikahan kita dengan wedding organizer.Termasuk juga membatalkan rencanaku untuk ke Butik Tante Ita.

            “Kita mau kemana?”

            Tanya Edo dengan senyum bangga saatdia berhasil mendahului sebuah mobil sport yang berjalan lambat di depan mobil kami.

            “Terserah Bang ---“

            Jawabanku terhenti. Setelah aku menyadari hampir saja melupakan satu dari beberapa perjanjian diantara kita yang telah kita sepakati. Memanggil Edo tanpa pendahuluan “Abang”.

            “Mm.. Maksudku, terserah Edo aja, mau kemana.”

            Mendengar jawaban dan senyumku yang terdengar canggung, Edo tersenyum maklum.

            “Mmm… enaknya kemana ya.?” Edo mengernyitkan dahi dengan ekspresi ‘sok berfikirnya’.

            Aku ikut mengernyitkan dahi dan mengetuk-ngetuk daguku dengan jari telunjuk. ‘Sok ikut berfikir’ juga. Padahal, kemanapun Edo mengajakku pergi hari ini, tak ada soal. Kebersamaan dengannya adalah hal terindah yang tak pernah kurasakan saat bersama Evan.

            “Aku suka sejarah.”

            Kata Edo tiba-tiba saat menemukan separoh dari idenya.

            “Mmm… mau ke Kota Tua di Jakarta?”

            “Boleh juga.”

            “Baiklah… Kita langsung ke sana.”

            Edo menancap gas lebih dalam. Menyalip sebuah truck yang berjalan pelan di depan kami.


                                                                                 *********


            “Kalau kamu tidak mencintainya, kenapa dulu kamu menerima cinta Evan?”

            Sebuah pertanyaan dengan nada bersahabat.

            Akumenghapus air mata yang  jatuh perlahandi pipi. Mata Edo masih tetap menatapku. Tatapan yang mendamaikan. Tatapan yangmembuatku  nyaman. Tatapan yang bukan sebuah penghakiman meski saat ini dia mengetahui bahwa aku telah menghianati perasaan Evan. Adiknya sendiri.

            “Aku tidak mau menyakiti hati Evan.”

            “Tapi kamu menyakiti hatimu sendiri.”

            Mungkin. Hatiku membenarkan argumennya.

            “Ada cinta lain di hatimu?”

            Pertanyaan itu kembali di ulang.

            “Mm.”

            Aku mengangguk pelan. Menyadari bahwa aku masih takut untuk mengakuinya. Namun, di sisi lain, aku percaya pad atatapan Edo. Percaya bahwa dia akan berpihak padaku.

            “Kenapa kamu tidak mencoba mengejarnya?”

            Aku mendongak kaget. Mengejar siapa maksudmu?.

            “Maksudku,…” Evan segera memperjelas pertanyaanya saat mengetahui bahasa wajahku dengan kerut kening yang melengkung tajam. “…… Mencoba mengejar mimpimu untuk mendapatkan cintamu. Jika dia memangbukan Evan.”

            “Karena, aku baru mengenalnya saat dia datang ke pesta pertunangan kita.”

            Bola mata Edo terlihat berhenti bergerak.

            “Dia tamu di acara pertunangan kalian?”

            Aku menggeleng.

            “Teman Evan?”

            Aku menggeleng lagi.

            “Saudara jauh Evan?”

            Lagi-lagi aku hanya menggeleng kecil.

            Edo terlihat penasaran.

            “Dia saudara Evan. Saudara dekat.Sebelum aku bertunangan dengan Evan, aku pernah mendengar cerita tentangnya. Pernah melihat fotonya. Namun, baru melihat sosoknya ketika dia berlari-lari saat hampir saja dia kehilangan moment pesta pertunangan adik kandungnya.”

            Edo mematung mendengar cerita pengakuanku.

            “dengan nafas yang masih memburu,dan bau parfum AC taksi yang masih menempel di bau badannya, Dia datang dan langsung memeluk tegas tubuh Evan. . . . .”

            Aku menelan ludah. Ragu. Apakah akanmelanjutkan pengakuanku ini atau tidak. Sedangkan Edo terlihat semakin menahan nafas.

            “Dia… dia adalah. . . . . . .”

            Aku menggigit bibir bawah.

            Suara piano akustik, kegaduhan gerombolan pengunjung kafe yang duduk di sebelah meja kita dengan suara gurauannya yang keras, dan suara beberapa pelayan yang hilir mudik mengantarkan pesanan para pengunjung melebur dan mengakumulasi menjadi latar yang tak lagi kuhiraukan.

            Seandainya aku menjadi seorang penulis fiksi, saat ini juga, di detik ini aku akan menamatkan tulisanku. Karena, rasanya tak ada lagi kata yang bisa kutulis. Moment yang pas untuk membuat sebuah ending. Tak peduli apakah pembaca protes ataupun tidak setuju dengan keputusanku. Tidak peduli apakah pembaca kecewa dengan karya penaku.

            Tak ada lagi kata. Tak ada lagi adegan. Lidahku kelu. Bahkan hanya sebatas menyebutkan sebuah nama saja, kataitu tersangkut di tenggorokan. Tak bisa terucap dengan lisan.

            Telapak tangan Evan tiba-tiba menggenggam telapak tangan kananku.

            “Elen, aku mencintaimu.”

            Waktu terasa terhenti. Detak jantungku terasa terhenti. Nafasku terasa terhenti. Dan semua adegan tarasa terhenti. Hanya menyisakan tatapan kami yang bertemu dalam semua hal yangbernama ‘ketidakmengertian’.

            Baru saja aku membuka mulut, hendak mengucapkan sesuatu, Edo buru-buru menahannya dengan meletakkan telunjuk jarikanannya ke bibirku.

            Edo mengangguk. Anggukan yang seakan mengatakan ‘aku mengerti semuanya. Siapa dia. Tak perludijelaskan’.

            “Mm.. aku mencintaimu.”

            Sekali lagi Edo mengucapkan kalimat itu. Seakan menekankan dan meyakinkan bahwa apa yang baru saja dikatakan adalah benar adanya. Tanpa tendensi. Tanpa improvisasi maksud yang berlebihan. Kemudian mengalihkan pandangannya dari mataku.

            “Konyol memang.! Tapi memang seperti itu adanya.”

            Wajahnya terlihat kacau. Susunan kalimatnya yang tak lagi rapi seperti sebelumnya.

            “Kamu tidak percaya?. Tak masalah.Wajar jika kamu tidak percaya.”

            Hening sejenak. Edo terlihat mengembalikan kepercayaan dirinya yang sejenak hilang setelah pengakuan itu.

            “Dia adalah. . . . . Kakak kandung Evan. Edo Setiawan.”

            Akhirnya, aku bisa menyelesaikan kalimat yang sejak tadi menggantung.

           
                                                                                    *********


            “Do, menurutmu, apa semua ini masuk akal?”

            Edo memejet klakson panjang dan menginjak rem dengan gesit saat ada sebuah angkot yang berhenti mendadak tepat di depan mobil kami.

            “Sejak kapan? Cinta masuk akal?”

            Aku tersenyum geli mendengar nada pertanyaan Edo yang tanpa tendensi. Lugas. Apa adanya.

            Mulus. Edo kembali menginjak gas.

            Aku menatap lurus jalanan Jakarta yang agak lancar. Tidak macet seperti biasanya. Mungkin baru kali ini aku bisa tersenyum ringan. Senyum lega. Akhirnya aku bisa mengakui semuanya. Tak hanya itu Edo ternyata juga menyimpan sebentuk rasa yang sama.

            Tentang perasaan Evan? Tak masalah.! Karena bagiku, semua sah dalam perang dan cinta.


                                                                                    *********


            Semakin siang, kafe ini semakin ramai. Tapi, apapun suasana kefe ini, tak penting juga bagiku. Aku menghabiskan Float Mocca yang tinggal seperempat gelas.

            Betapapun fisika mencoba membagi rahasianya, bagi para ilmuwan, cinta tetap menjadi keajaiban yang menakjubkan.Yang jelas Einstein ingin sekali menghubungkan cinta dan teori terkenalnya, sampai-sampai dia dengan serius berkata : "Letakkan tanganmu di tungku panas selama semenit, rasanya seperti satu jam, duduklah bersama dengan gadis pujaanmu selama satu jam, rasanya seperti semenit. itulah makna relativitas.” Bersama Edo yang hampir satu jam di kafe ini, memang terasa hanya satu menit.

            Aku tersenyum geli.

            “Kenapa?”

            Edo bertanya lembut. Saat menyadari bahwa ada senyum manis yang hanya bisa kunikmati sendiri.

            “Enggak.!Ga papa.”

            Aku mengabaikan. Tidak penting juga,Edo tau apa yang sedang kufikirkan tentang hubungan teori relativitas Einstein dan cinta.

            “Bang…”

            “Panggil saja aku Edo. Tanpa sapaan prolog apapun.”

            Aku tersenyum geli.

            “Baiklah, Edo. Menurutmu, apa keputusan yang kita ambil hari ini benar?”

            “Keputusan apa?”

            Aku terdiam. Menyadari bahwa pertanyaanku tadi tanpa dasar. Apa yang telah kita putuskan?. Bukankah tadi kita hanya sebatas pengakuan? Tanpa keputusan apapun?. Keputusan memulai hubungan bersama Edo. Entah secara diam-diam ataupun mengkui terang-terangan kepada semua pihak. Dan tentu saja dengan berani menanggung segala resiko yang ada.

            “Kamu berani menjalani ini semua?”

            “Mm.” Aku mengangguk mantap.

            “Dengan segala resiko yang ada?”

            “Mm.”

            “Termasuk perasaan Evan?”

            Aku terkesiap. Inginnya meng-iyakan. Tapi jika boleh jujur, aku sendiri tidak yakin dengan jawabanku. Membayangkan untuk berani jujur secara terang-terangan menghianati Evan, menghianati semua rencana pernikahan kita, dan mengakui bahwa aku ingin hidup bersama Edo, kakak kandungnya sendiri sama saja menawar bumi agar berhenti mengedari matahari. Menjaga perasaan Evan dengan cara meneruskan rencana pernikahan bersamanya. Bukankah itu sama saja menghianati dan menyakiti perasaannya secara perlahan namun pasti?!.

            Karena, memang sakit melihat orang yang kita cintai bahagia bersama orang lain. Tapi, bukankah akan lebih sakitjika melihat orang yang kita cintai tidak bahagia karena menikah dengan kita?.




Bersambung..................

No comments:

Post a Comment