Tuesday, 18 March 2014
CERPEN : RUMAHKU (SERAMBI) SURGAKU
“Aufal…. Bangun naaaakkkkk..! sudah siang. Belum shalat subuh. Nanti terlambat ke sekolah”
Kubuka jendela kamar Aufal, putra sulungku yang baru menginjak kelas satu sekolah dasar. Aufal hanya menggeliat kecil.Memicingkan mata, sambil melirik jam dinding Winnie the pooh yang tergantung di dinding kamar.
“Ayo bangun, sayang.” Aku berusaha sesabar mungkin “Aufal belum shalat subuh kan? Kalau keduluan bangun sama matahari, bisa diketawain sama matahari.”
“Mmmmm…”
Aufal kembali menggeliat. Bukannya segera bangun, tapi malah mengubah posisi tidurnya. Baiklah.! Lima menit lagi. Sambil menunggu Aufal bangun, aku membenahi selimut Noura. Anak perempuan, bungsuku yang baru berusia tiga tahun yang tidur di sebelah Aufal. Memastikan, Noura masih tertidur pulas dan tidak akan mengganggu kesibukan pagiku dengan rengekannya saat dia harus bangun sebelum waktunya.
Sejenak aku memperhatikan kamar tidur kedua buah hatiku. Tak ubahnya seperti Titanic yang karam di lautan Atlantik Utara. Berantakan dengan posisi mainan dan buku-buku pelajaran Aufal yang sudah bergeser dari tempatnya semula. Aku menghembuskan nafas kesal. Pasti, tadi malam, sebelum tidur, Aufal bermain sama Noura dan lupa untuk merapikan kamarnya.
Dengan sigap, aku merapikannya. Menaruh barang-barang sesuai tempatnya. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Heran.Hampir tiap hari, aku harus menasehati Aufal dan Noura agar merapikan sesuatu setelah dipakai. Menaruh barang-barang pada tempatnya agar, ketika mencari lagi mudah untuk ditemukan.
Tapi, apa nyatanya?
Nasehatku rasanya seperti omelan tukang jamu di alun-alun yang bagi mereka hanya sekedar masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Atau bahkan, kalau perlu tak perlu sampai masuk ketelinga. Cukup lewat di depan mata.
Istigfaaaarrrr… Aku menepuk dahi.
Aufal? Oh dear.. ternyata belum bangun juga.
“Aufal, ayo Nak..! sudah siang. Nanti ketinggalan jemputan sekolah.”
Tak ada respon. Baiklah.! Terkadang, mengambil tindakan ekstrim untuk menyingkat kesibukan pagiku memang diperlukan. Tak pelu menunggu Aufal bangun, kemudian dengan sadarnya dia akan berjalan sendiri ke kamar mandi, mengambil air wudhu, shalat subuh, kemudian kembali ke kamar mandi lagi, mandi pagi, ganti baju, persiapan ke sekolah. Kali ini, terpaksa aku harus menggendong Aufal dengan paksa.
Aufal sedikit meronta dalam gendonganku. Kenikmatan tidur paginya merasa terusik oleh sikapku.
“Ambil air wudhu dulu. Langsung shalat subuh. Habis itu, lansung kembali ke kamar mandi. Ibu akan siapkan air hangat untuk mandi. Jangan pake lama.! Nanti ketinggalan jemputan sekolah. Hari ini ayah tidak bisa antar. Ayah harus berangkat pagi-pagi ke kantor. Ada rapat penting dengan atasan.”
Aku terus mengomel sambil menaruh panci yang berisi air di atas kompor. Merebus air untuk Aufal mandi pagi. Musim hujan yang selalu menghadirkan hawa dingin di pagi hari, selalu menuntutku untuk sabar merebus air hangat agar Aufal tidak mogok mandi dengan alasan kedinginan.
Aku bernafas lega. Aufal menurutis aja perintahku tanpa membantah meski raut wajahnya masih menyimpan kesal.
“Dek,,, celana panjangku belum disetrika ya?”
Aku menepuk dahi pelan. Lupa belum menyetrika celana panjang untuk ke kantor suamiku. Sudah beberapa hari ini, mesin cuci tua warisan dari ibuku rusak. Sehingga, aku tidak bisa mengeringkan cucian di musim hujan yang jarang sekali ada panas matahari. Hasilnya, baju-baju masih pada di cantelan dan belum kering. Termasuk baju kerja suamiku.
“Minta tolong, agak cepat sedikit ya… aku ada meeting pagi hari ini.”
Suara suamiku pelan. Namun jelas, tegas memberikan peringatan. Dari dapur, aku langsung mengambil satu celana digantungan baju yang masih sedikit agak basah. Menyalakan strika, dan mulai menggosok dengan buru-buru.
“Ibuuuuu…. Mas Aufal nakal……”
Alamaaaaakkkk… belum selesai urusan baju, suara Noura sudah merengek meminta perhatianku. Ini pasti kerjaan Aufal yang suka menjahili adeknya.
“Aufaaaallllll… ibu masih nyetrika baju. Kalau sudah selesai shalat, langsung mandi..! Jangan ganggu adekmu.!”
Suaraku keras dan tegas meneriaki Aufal. Kalau sekarang aku masih harus menangani Noura, entah jam berapa suamiku baru bisa berangkat ke kantor? Dan urusan persiapan bekal Aufal ke sekolah juga akan berantakan sekali. Bisa-bisa aku harus mengantar Aufal ke sekolah karena jemputan dari sekolah Aufal terpaksa meninggalkan Aufal karena terlalu lama menunggu. Dan imbas dari ketinggalan jemputan ini bisa berujung pada Aufal bisa terlambat sampai di sekolah. Yang meski jarak sekolahnya tidak terlalu jauh, tapi bisalama di jalan karena macet.
Aku menghembuskan nafas kesal.
“Dek,,, celana dan bajunya, sudah selesai di setrika?”
“Bentar mas, dikit lagi”
Aku mempercepat setrikaanku. Tak ada lima menit. Urusan baju suamiku, kelar. Aku segera berlari ke dapur. Saat teringat air untuk mandi Aufal yang belum kuangkat. Air masih belum mendidih.Tapi, terpaksa harus kuangkat. Yang penting sudah agak hangat. Cukup untukmandi Aufal.
“Aufaaaalllll… cepetan mandi.!”
Aku kembali meneriaki Aufal yang belum juga keluar dari kamar. Sukurlah.! Suara Noura sudah tidak lagi terdengar. Jadi, aku bisa berkonsentrasi menyiapkan bekal sekolah untuk Aufal dan sedikit membantu suamiku yang mau berangkat ke kantor.
Tak pelu teriakan beberapa kali. Karena, Aufal sudah paham. Jika aku meneriaki untuk mandi, dia harus segera kekamar mandi. Kalau tidak ingin mendengar teriakanku yang lebih keras denagan nada suara bercampur marah.
“Bentar dulu, mas… nasinya gorengnya sudah jadi, tapi belum goreng telur.”
Tak perlu suamiku bertanya. Kesibukan mengurus Aufal dan menyetrika bajunya membuat acara memasakku jadi terhambat. Aku melihat jam dinding di dapur. Pukul 06.25. Aku menggerutu pendek. Meski aku sudah bangun sebelum subuh, tapi, tetap saja tidak bisa membuatku santai dalam aktivitas pagi.
Masalah telur selesai. Kubiarkan suamiku sarapan duluan. Aku harus mengurus sulungku. Merapikan seragam sekolahnya, membantu memasukkan buku-buku dan beberapa peralatan sekolah untuk hari ini. Baru, setelah kupastiakn tidak ada masalah untuk Aufal, aku segera menggandeng Aufal ke meja makan. Sarapan pagi sebelum aktivitas adalah hal yang wajib di dalam keluargaku.
“Lima menit lagi, mobil jemputan datang. Aufal makannya jangan lama-lama. Ini untuk bekal makan siang dan snack time di sekolah. Sengaja ibu lebihkan. Kalau ada temanmu yang minta, dikasih saja. Jangn pelit-pelit kalau sama teman. Dan ingat..! makan siangnya harus dihabiskan. Jangan sampai tersisa. Ingat pesan ibu ya..!”
Dengan gerakan mengunyah cepat, Aufal mencoba mengimbangi suapan tanganku. Aku sengaja menyuapi dengan cepat. Dengan waktu yang terbatas, harus bisa memastikan makanan yang masuk ke tubuh putraku pagi ini bisa dipakai untuk bertenaga paling tidak sampai jam makan siang disekolah nanti.
Teeettt… teeeettt… teeetttt…
Suara mobil jemputan Aufal sudah menunggu di depan pintu gerbang tepat di suapan terakhirku. Aufal segera meneguk air putih, memasukkan bekal makanan dan minumnya ke dalam tas rangsel sekolahnya. Bersamaan dengan itu, suamiku juga sudah memanasi motor untuk segera berangkat ke kantor. Aku melepas Aufal di mobil jemputan dengan satu kecupan manis.
“Belajar yang rajin, ya Nak… Love you…”
Aufal mengangguk dan mencium punggung telapak tanganku.
“Iya Bu… Love You too… Asslamau’alaikum.. Daaaahh ibu…”
“Wa’alaikumsalam…. Daaahhh juga, Aufaaalll”
Aku menatap mobil jemputan Aufal yang perlahan meninggalakanku. Bersamaan dengan suamiku yang sudah menyalakan motor, bersiap ke kantor.
“Mas berangkat dulu ya… Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam… hati-hati dijalan, Mas…”
Aku mencium punggung tangan suamiku. Menatapnya lamat-lamat dari belakang hingga motornya berbelok dari gang dan hilang dari pandanganku.
Huuffffttt…!
Aku bernafas lega. Satu lagi pagi yang sibuk sudah terlewati. Aku membayangkan, andaikan ada fasilitas pembantu dari suamiku, mungkin aku tidak sesibuk ini. Tapi sayang.! Aku tidak bisa berharap banyak. Suamiku yang hanya staff bawahan di kantor, agak sulit untuk memberikan fasilitas pembantu. Gaji bulanannya hanya cukup untuk belanja rumah, uang sekolah anak-anak, bayar kontrakan, listrik, air dan sedikit untuk tabungan masa depan putra putri kami.
Lamat-lamat kutatap sebuah lukisan Aufal sewaktu menjuarai lomba mewarnai saat Aufal masih duduk di bangku TK. Sebuah lukisan menggantung di dinding yang menggambarkan seorang ibu, seorang ayah, dan dua orang putra-putri lucu. Sebuah lukisan dengan tulisan,
“RUMAHKU SURGAKU”
Aku tersenyum simpul. Saat membaca tulisan itu, yang entah sudah kubaca berapa kali semenjak lukisan itu digantung suamiku di ruang tamu.
Ya..! Mungkin rumahku memang bukan surga. Tapi, InsyaAllah serambinya.
Semarang, 21 November 2013
Catatan kecil untuk mimpi besarku... :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Nice Blog... Violetter's.. Hmmm. Semoga Up-Date terus.. Blogwalking to http://inspirazis.blogspot.com/
ReplyDeleteTerima Kasih :)
ReplyDeleteSelamat Menikmati