Wednesday, 19 March 2014

CERPEN : GAZA TERNYATA TAK BUTUH SUAMIKU



Jakarta, 10 Mei 2010
Malam belum menunjukkan larutnya. Jam dinding yang tergantung di ruang tamu rumahku masih menunjukkan pukul delapan lebih lima menit. TV di ruang tengah kubiarkan menyala meski sebenarnya tak ingin aku melihatnya. Aku masih menunggu suamiku pulang. Berkali kali kusibak korden jendela kaca ruang tamu. Berharap suamiku telah ada di depan pintu. Tapi, berkali kali pula aku hanya menyimpan kecewa seiring tanganku yang menutup kembali korden itu. Pertanda suamiku belum pulang. Tugasnya sebagai wartawan INDO TV menuntutnya untuk sering lembur. Dengan membiarkan aku dan Safiya putri kita yang masih berusia satu setengah tahun menunggu sampai malam telah berstatus larut. Bahkan pernah pula sampai hampir menjelang subuh.

Kali ini memang tidak selarut biasanya. Tapi entah kenapa ada perasaan sedikit khawatir menggelayuti perasaanku. Segera kuhibur perasaanku sendiri dengan menghadirkan berbagai alasan untuk berpositif tinking. Mungkin masih ada deadline yang harus segera diselesaikan suamiku. Mungkin ada rapat penting antara para wartawan. Atau mungkin terjebak dengan kemacetan Jakarta. Ah, sudahlah….!! Aku segera beranjak menuju kamar dimana Safiya tertidur pulas. Hanya sekedar memastikan Safiya tertidur dengan nyaman.


Dari kamar, samar kudengar suara motor berhenti di depan rumah. Aku mengenal betul suara motor itu. Suara motor Kak Misbah. Suamiku. Segera kulangkahkan kaki menuju ruang tamu. Kubuka pintu depan, dan benar dugaanku. Suamiku pulang. Kusambut dia dengan seulas senyum, jabatan tangan mesra dan ucapan salam lengkap dari awal sampai akhir.

“Assalamu’alaikum Kak, macet ya? Kok baru pulang?”
“Wa’alaikum salam,,,, ga juga. Kan kakak biasa pulang malam. Bahkan sering sampai larut kan?”
Aku hanya bisa tersenyum sambil meraih tas dan kamera yang tertenteng di bahunya.
“Safiya sudah tidur ya?”
“Sudah dari tadi. Sempat tadi menanyakan ayahnya. Tapi, Ratih bilang, ayah masih kerja”
Gantian Kak Misbah yang sekarang tersenyum padaku. Setelah menengok Safiya di kamar, Kak Misbah langsung merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Sambil melepas jaket, diraih secangkir teh yang telah kupersiapkan dari tadi. Hal yang tiap hari kulakukan untuk menyambut suami tercintaku sepulang dari kantor. Sejenak dinikmati teh itu bersama biscuit kelapa kesukaannya.
Tak beberapa lama dia rileks dengan duduknya, suamiku langsung beranjak menuju computer layar LCD 16 inci yang terletak persis di sebelah kiri televise.
“Kakak istirahat dulu. Masih capek kan?. Ratih sudah siapkan makan malam kalau kakak mau makan dulu. Atau kakak mau RAtih siapkan air hangat untuk mandi?”

Seakan suamiku tidak mendengarkan omonganku. Dia masih sibuk dengan menyalakan tombol On pada CPU. Tak beberapa lama, berkedip-kedip system windows di layar computer menyala. Terlihat di layar beground foto antara aku, Kak Misbah dan Safiya putri kita saat merayakan ulang tahun Safiya yang pertama. Sambil menunggu loading ke menu awal computer, Kak Misbah membuka tas kerjanya. Dikeluarkan beberapa lembar kertas dari map warna merah tua. Tanpa sedikitpun merasakan bahwa aku telah mematung menunggu jawaban atas pertanyaanku. Tapi aku mencoba untuk diam saja. Sembari terus memperhatikan kesibukan suamiku. Setelah dirasa komputer siap, kulihat dia membuka file winamp yang ada di shortcut layar. Banyak daftar lagu yang ada di playlist. Tapi ternyata dia tidak ingin mendengarkan satupun lagu di daftar playlist itu. Suamiku mendelete semua daftar playlist. Dan menggantinya dengan dua daftar lagu yang diambil dari sebuah folder yang dinamai “For Palestina”. Bunyi “Klik” dari mouse mengawali lagu itu.

A blinding flash of white ligh… lit up sky over gaza tonigh…..”

Yup… sejurus aku langsung kenal dengan sebuah lagu yang berjudul We Will Go Down dari Michael Heart. Sebuah lagu yang menggambarkan perjuangan rakyat Palestina untuk mengusir kekejaman Zionis Israel. Kulihat suamiku menikmati alunan lagu itu. Perpaduan gitar akustik dan musik ala timur tengah memang membangkitkan semangat. Sekaligus memutar memori otak kita tentang kekejaman zionis Israel pada penduduk Palestina.

We Will not go down… in the nigh without a figh…. You can burn up our masques and our homes and our schools… but our spirit will never die… we will not go down in Gaza to nigt…”

Reff lagu itu terus mengalun bersama sikap diam suamiku. Aku duduk di sofa sambil melipat jaket suamiku yang tersampir di sofa. Tapi aku masih menunggu mungkin akan ada sesuatu yang akan dikatakan suamiku.

We Will not go down… In the nigh without a figh… We will not go down Im gaza to nigh…..

Hingga lagu dari Michael Heart yang berdurasi tiga menit dua puluh enam detik itu selesai, suamiku masih sibuk dengan diamnya. Mungkin hanya ingin mencoba menikmati nada dan syair lagu itu tanpa mau di ganggu. Hingga tetap membiarkan aku yang sejak dari tadi duduk di sofa tepat di belakangnya.
Sekarang berganti pada lagu kedua. Beda dengan lagu yang pertama, lagu kedua ini syairnya semua dengan bahasa Indonesia. Yup… sebuah nasyid dari Shoutul Harakah yang berjudul Merah Saga.

“Saat langit berwarna merah saga dan kerikil perkasa berlarian….. Meluncur laksana puluhan peluru…. Terbang bersama teriakan TAKBIR……!!!”

Kepala suamiku menganguk-angguk kecil disertai jemari tangannya meloncat-loncat di atas meja yang menandakan dia begitu menikmati nasyid itu. Aku hanya tersenyum kecil melihat tingkah suamiku yang bisa aku sebut aneh. Sebenarnya, sudah sering aku melihatnya seperti ini. Tapi entah kenapa kali ini begitu beda kurasakan. Aku terus tetap diam memperhatikannya. Sudah tiga tahun lebih umur pernikahan kita. Dan selama itu pula aku banyak mempelajari tingkah unik yang kadang menandakan ada sesuatu yang akan dia katakanya.

“Perjuangan telah kau bayar dengan jiwa syahid dalam cinta-Nya….… Perjuangan telah kau bayar dengan jiwa syahid dalam cinta-Nya………”

Nasyid yang berdurasi tiga menit tiga-puluh tiga detik itupun telah menyempurnakan tugasnya. Menghibur suamiku yang sejak tadi diam tanpa aku tahu ada apa dengannya. Setelah dia rasa puas mendengarkan dua lagu, di tekan posisi pause dapa layar winamp. Kemudian, membalikkan badannya, melihat ke arahku dan langsung bangkit dari duduknya menuju sofa di belakangnya tempat aku duduk dan terdiam dari tadi. Dengan sigap, diambil posisi duduk di sebelahku. Tangan kanannya merangkul pundakku sembari mencium keningku. Huh…, terbayar sudah rasanya. Semua gundah yang terbungkus dalam diamku sejak tadi.
“Kakak ga mandi dulu?’
“nanti dulu aja. Kakak masih ingin berdua sama adek”
Begitu dia memanggilku tiap hari jika itu tanpa dihadiri safiya putri kami. Tapi, jika ada Safiya, kata “adek” diganti dengan “Bunda”. Panggilan yang tidak beda seperti Safiya memanggilku.
“Kakak dapat tugas besar dari kantor.”
Katanya sambil menyruput teh yang ada di meja.
“Liputan? Kemana?”
“Ke gaza”
Jawabnya singkat tapi cukup membuat mataku beradu tajam dengan detak jantungku.

Gaza????????

Hampir aku tidak percaya dengan kata-kata suamiku. Daerah yang terkenal penuh konflik. Daerah yang selalu hujan dengan peluru Israel. Selalu ramai dengan petir kekerasan dan pembantaian. Selalu banjir dengan darah dan air mata penduduknya. Daerah yang terlalu sulit untuk dikatakan damai. Dan sekarang, suamiku akan ke sana????
Suamiku menatap lekat mataku. Dengan senyum kecilnya mengusap kepalaku yang terbalut jilbab putih. Seakan dia mengerti tentang apa yang sedang aku takutkan.

“Dek,,, kakak tau perasaanmu. kalau mau kita berfikir sejenak, bukan kantor yang menugaskan kakak ke sana. Tapi justru Alloh yang menugaskan kakak untuk pergi ke Gaza. Adek ridha kan?”

Meski terdengar sebuah pertanyaan untuk meminta persetujuanku, tapi kalimat itu terkesan menegaskan dan menguji komitmenku. Atau, lebih dalam lagi, menguji komitmen pernikahan kita. Di jalan dakwah kami menikah. Aku masih terdiam dengan kubangan perasaanku sendiri. Entah dengan apa aku harus mengeja diamku saat ini.

“Kapan kak?”

“Rencana berangkat dari Jakarta tanggal 19 mei 2010. Kita berencana dengan beberapa teman dari berbagai organisasi. Relawan dari Indonesia berjumlah 12 orang termasuk kakak. Dan misi ini kita namakan Freedom Flotilla. Rencana awal, berangkat dari bandara Soekarno-Hatta dengan pesawat menuju Turky dan bergabung dengan relawan dari Turky. Dari Turky, rombongan berangkat menuju Siprus dan bergabung dengan ratusan relawan lainnya. Dari sana mungkin kita akan berlayar menuju Gaza.”

Aku terdiam mendengar penjelasan kakak. Tapi aku harus tetap mewujudkan komitmen pernikahan kita dalam bentuk persetujuan dan mengizinkan kakak menjadi relawan di Gaza. Meski aku menyimpan perasaan khawatir yang membuncah, tapi aku tetap berbangga pada suamiku. Tidak semua orang dipilih Alloh untuk menjadi tamu kehormatan-Nya. Kali ini, dari sekian ratus juta penduduk Indonesia, hanya ada dua belas orang yang memperoleh peluang emas menjemput syahid di sana. Dan suamiku salah satunya.
“Gimana? Adek ikhlas kan?”
Kuraih tangannya, kutatap matanya dan kurengkuh bahunya dalam pelukanku. Tak terasa air mataku meleleh dalam pelukannya.
“insyaAlloh adek rela lahir batin, kak…”
“Adek tambah cantik kalau menangis… hehehehe….” Godanya sambil memencet hidungku.
“Ya udah…. Mandi dulu. Mau di sediakan air hangat?”
“Ga usahlah… kakak pengen mandi pake air dingin aja. Gerah rasanya.” Katanya sambil beranjak mengambil Handuk.

Kutatap lekat langkah suamiku menuju kamar mandi. Sekejap tubuhnya berlalu dari pandanganku saat berbelok menuju kamar mandi. Tapi tatapan kosong dimataku masih menyimpan beban yang sulit untuk tereja dengan otakku sendiri. Masih dengan posisi duduku di sofa, kuarahkan pandangan pada tembok belakang sofa. Di sisi tembok tersebut tergantung foto pernikahan kita. Di sisi bagian bawah tertulis sebuah tulisan

RATIH PURWANINGRUM, SE
     Dengan
MUHAMMAD MISBAH, SS


       Jakarta, 2 Januari 2007
DIJALAN DAKWAH KAMI MENIKAH

Lekat kutatap kalimat terakhir dalam foto itu. Sebuah azzam yang kami ikat dalam komitment yang kuat untuk menjadikan pernikahan kami adalah salah satu langkah dakwah. Sebuah impianku dari dulu. Bahwa pendamping hidupku adalah penyempurna agamaku, penjaga ketaatanku sekaligus penggenap langkah dakwahku. Dan sekarang, komitmen tersebut diuji dengan rencana tugas suamiku ke Gaza. Setangkup harap, cemas dan bangga menyeruak ke lubuk hatiku.

Jakarta, 18 Mei 2010
Seusai shalat isya, aku masih disibukkan dengan Safiya yang agak rewel. Sejak dari tadi pagi, Safiya tidak pernah mau kugendong. Safiya selalu merengek meminta gendong ayahnya. Padahal Kak Misbah masih harus mempersiapkan perlengkapannya untuk berangkat nanti malam. Terpaksa di tengah repotnya suamiku mempersiapkan perlengkapan yang harus dibawa, sesekali menuruti rengekan Safiya. Ketika Kak Misbah menggendong safiya, gantian aku yang menggantikannya mempersiapkan apa-apa yang harus dibawa. Untuk urusan pakaian, perlengkapan pribadi dan sedikit makanan kecil, aku bisa membantunya. Tapi, untuk keperluan tekhnis masalah pekerjaan, harus Kak Misbah sendiri yang mempersiapkannya.

Tepat jam delapan, sebuah taksi berhenti di depan rumah kami. Dengan taksi tersebut aku akan mengantar suamiku ke bandara Soekarno-Hatta. Pesawat Turky Airlines yang membawa relawan dari Indonsia berangkat pukul 01.00 WIB. Dan mungkin diperkirakan akan sampai di turki keesokan harinya setelah terlebih dahulu transit di Istambul. Sebuah koper berukuran sedang, sebuah tas kerja suamiku yang berisi laptop, kamera dan handcamp serta berkas-berkas data. Dan sebuah tas kecil berwarna hijau muda yang berisi cemilan kecil, air mineral dan sebingkai foto pernikahan kita yang bertuliskan “Di jalan dakwah kami menikah”. Cukup untuk menjadi barang bawaan suamiku. Mengenai foto pernikahan kami, aku sengaja menggandakannya lagi dalam ukuran dan bingkai yang lebih kecil. Suamiku yang memintanya. Di sudut foto itu, aku sematkan juga foto Safiya putri kami.
“Biar Kakak merasa dekat dengan adek dan Safiya”
Katanya memberi jawaban ketika aku menanyakan,
“kenapa harus bawa foto segala Kak?. Kan di Handphone Kakak sudah ada foto Adek dan Safiya. Lagian, jaringan internet kan sekarang dimana-mana. Kita bisa gunakan Facebook untuk komunikasi jika jaringan telephone seluler agak susah.”

Tapi suamiku hanya tersenyum menaggapai kata-kataku.
Jakarta tidak begitu macet. Dari rumahku di daerah Bintaro ke Cengkareng hanya membutuhkan waktu satu jam. Pukul Sembilan lebih lima menit taksi telah sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Di sana telah berkumpul beberapa orang yang akan ikut rombongan relawan yang akan terbang ke Turky. Kemudian diteruskan ke Siprus lalu berlayar menuju tempat tujuan. Gaza.
Hilir mudik orang di Bandara dengan berbagai keperluan cukup membuatku pening. Entah apa yang kurasa sekarang, aku sendiri belum bisa mengejanya. Safiya masih berada di gendongan ayahnya. Sedangkan semua barang bawaan Kak Misbah, aku yang bawa. Aku akhirnya menuruti langkah Kak Misbah yang berhenti duduk di sebuah kursi.

“Duduk di sini sebentar. Tadi Mbak Nur Fitri sms Kakak. Katanya kakak diminta menunggu di sini dulu.”

Aku menuruti perkataan suamiku. Safiya masih asik dalam gendongan ayahnya. Sesekali Kak Misbah menggodanya dan Safiyapun membalas godaan itu dengan senyum.

“Assalamu’alaikum,,, Pak Misbah…”

Sapa seorang perempuan tengah baya di belakang kami. Jujur, baru pertama ini aku bertemu dengannya. Seorang wanita dengan balutan gamis warna merah hati dan jilbab warna pink yang menjuntai. Dia menelangkupkan kedua tangannya di depan dada isyarat memberi salam pada sumiku.

“Wa’alaikumsalam,,,, Mbak Nur Fitri…”

“Maaf, saya telat…”

“Oh, tidak Mbak,,,, saya juga baru saja sampai di sini. Oh ya, kenalkan ini istri saya. Dan ini putri semata wayang kami. Namanya Safiya”

“Assalamu’alaikum,,, Nama saya Nur Fitri. Ini mbak Ratih ya? Pak Misbah sering menceritakan istri tercinta dan putri kecilnya lho….”

“Wa’alaikumsalam,,, Iya mbak, saya Ratih. Mbak teman sekantor Kak Misbah Ya?”

“Oh tidak Mbak,,, saya berprofesi sebagai seorang guru Bahasa Inggris di SMA Islamic Scool Jakarta. Saya kenal dengan Pak Misbah juga karena ikut menjadi relawan ke Gaza.”

“Perwakilan dari mana?”

“Dari Medical Emergency Rescue-Committee. Atau lebih dikenal dengan singkatan MER-C. Dari MER-C sendiri ada lima orang. Saya, Pak Misbah yang mewakili INDO TV, dan tiga orang lainnya”

“Ow gitu ya?. Trus, yang tujuh orang lagi dari mana?” Tanyaku dengan nada penasaran.

“Empat orang dari Komite Indonesia Solidaritas Untuk Palestina. Atau lebih dikenal dengan sebutan KISPA. Dan tiga orang lagi dari sahabat Al-Aqsha-Hidayatullah”

Ada sedikit rasa iri di hatiku saat aku berbicara dengan Nur Fitri. Wanita secantik dan semuda itu berani menjadi relawan untuk tempat sekelas Gaza. Sedangkan aku, mungkin, untuk kata Dakwah hanya sebatas semangat. Belum berani terjun langsung seperti Mbak Nur Fitri. Kubiarkan Safiya yang sejak tadi asik dengan ayahnya. Aku masih mengobrol seru dengan mbak Nur Fitri.

“Bunda, sudah larut malam. Lebih baik Bunda sama Safiya pulang dulu saja ya….”

Kata suamiku sambil menyerahkan Safiya yang sedang tertidur lelap ke gendonganku. Kulihat arlogi yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Hampir jam sepuluh malam.

“Ya sudah, Adek pulang dulu. Kakak Hati-hati ya…!!! Jangan lupa sering On Line. Kalau masih bisa hubungi Adek via handphone, sms aja. Tapi, kalau tidak bisa, dengan Facebook aja juga ga papa”

Kuraih dan kucium telapak tangan suamiku. Diraihnya tubuhku yang sedang menggendong Safiya ke dalam pelukannya. Sejenak kubenamkan tangisku dalam peluknya. Tidak ada kata lagi. Rasanya, kata-kata yang ingin kuucapkan telah terwakili dengan butiran air mata yang terus mengalir deras. Rasa bangga, khawatir, bahagia dan cemas beradu dan menumpuk di dadaku. Bangga karena ternyata Alloh memberi kesempatan itu pada suamiku. Khawatir karena sering kudengar dari TV dan Koran berita tentang Gaza dan Palestina yang bahkan hampir tidak ada berita yang menggembirakan. Semuanya banjir dengan darah dan air mata. Bahagia karena ternyata suamiku telah berhasil menemukan impiannya untuk bisa bertugas meliput sekaligus menjadi relawan di Gaza. Dan cemas, takut, karena kemungkinan terburukpun bisa terjadi. Sebagai resiko seorang relawan di tempat konflik berdarah seperti Gaza dan Palestina, kembali ke rumah dengan predikat mati syahidpun harus ikhlas. Mungkin saja ini pertemuan terakhir dengan suamiku dalam keadaan masih bisa hidup. Mungkin, pelukan ini adalah pelukan terkhir darinya. Dan mungkin juga, aku setelah ini aku harus membesarkan Safiya dalam status single parent. Tapi, kuharap itu tidak terjadi. Suamiku nanti akan pulang dengan selamat dan membawa banyak cerita untuku dan Safiya.

Jakarta, 28 Mei 2010
Sebuah surat masuk di inbox emailku. Yup…., dari Kak Misbah. Tanpa banyak fikir, langsung ku buka.
Assalamu’alaikum…
Adek lagi apa? Safiya udah tidur ya? Lop u sayang….
 Hari ini, kami dari rombongan Freedom Flotila mulai berlayar menuju jalur Gaza. Bertolak dari kota Antolia di Turki dan Yunani. Perjalanan armada kapal kebebasan kita sempat terhenti selama dua hari di lepas pantai Siprus karena masalah tekhnis. Semula, konvoi terdiri dari delapan kapal, yaitu kapal kargo yang didanai Kuwait, kapal kargo yang didanai Aljazair, kapal kargo yang didanai swedia dan Yunani, Kapal kargo yang didanai Irlandia, serta empat kapal penumpang yang membawa sekitar 700 aktivis dari 40 negara.
Namun dua kapal yang disewa dari irlandia mengalami kerusakan sehingga tidak bisa datang. Akhirnya konvoi kebebasan itu terdiri dari enam kapal. Dari kapal-kapal yang berangkat itu kakak berada di kapal Mavi Marmara dari Turki yang terbesar yang mengangkut sekitar 600 aktivis.
Ow ya Dek,,,, Kakak belum sempat cerita. Freedom Flotilla dirancang menembus Gaza dari laut. Pemerintah Turki dan lembaga-lembaga kemanusiaan di berbagai Negara Eropa mendukung kegiatan ini. Freedom Flotilla sendiri punya anggota inti. Diantaranya yaitu Koalisi Gerakan Pembebasan Gaza (FG), Gerakan Kampanye Eropa untuk mengakhiri blockade Gaza (ECESG) yang berbasis di Brussel Belgia, Insani Yardim Vakvi Turki (IHH), Organisai Kapal Perdamaian Perdana Global Yunan, Gerakan Kapal menuju Gaza Swedia, Komite internasional bagi pencabutan blockade atas Gaza yang berbasis di Swiss dan beberapa lembaga kemanusiaan dari Kuwait dan Aljazair. Dan tidak ketinggalan ada MER-C dari Indonesia yang ikut bergabung dengan Freedom Flotilla.
Kita para aktivis sadar akan resiko yang akan kami hadapi ketika mencoba menembus blokade Gaza. Tapi, atas rasa kemanusiaan, kami lupakan resiko itu.
Adek,,, berulang kali kakak harus mengingatkan diri sendiri. Bahwa Gaza sama sekali tidak butuh kakak. Al-Quds tidak butuh kakak. Palestina dan Al-Aqsha juga tidak pernah butuh kakak. Mereka hanya butuh Alloh. Kalau Alloh mau, saat ini juga, detik ini juga, Alloh bisa menolong Gaza dan membebaskan Palestina. Meluluhlantakkan Israel terkutuk seperti yang pernah dilakukan Alloh dengan mengutus burung Ababil untuk mengobrak-abrik pasukan Gajah yang akan menghancurkan Ka’bah. Itu sungguh mudah bagi Alloh.
Tapi Adek, Justru Kakak yang butuh di sini. Keberadaan Kakak di sini bukan semata untuk menolong Gaza, menolong Al-Quds, menolong Al-Aqsha, ataupun menolong Palestina. Tapi, apa yang Kakak lakukan adalah semata-mata untuk menolong kehidupan akhirat Kakak. Tolong doakan Kakak, semoga apa yang Kakak lakukakn jauh dari sifat riya. Meski di sini banyak sekali wartawan yang meliput hampir semua kegiatan kita. Kakak takut, semua ini hanya akan menjadi buih yang hilang tertelan arus laut tengah.
Ya sudah Adek,,, Selaksa rindu yang tak pernah bertepi dari Kakak. Salam untuk Safiya putri kita tercinta.
Lop U…..
Wassalamu’alaikum….


Ku sign out emailku dengan perasaan haru. Ingin kubalas surat itu melalui email. Tapi, aku sadar, aku tidak seperti suamiku yang pandai merangkai kata-kata. Ada perasaan takut kalau balasanku nanti terkesan kaku. Maka, kupilih membuka account facebook untuk membalas email Kak Misbah. Ku tulis di dinding FB Kak Misbah…

“Lop u too Kakak… Doa Adek selalu untuk Kakak. Apapun hasilnya, semua telah tertulis di Lauh Mahfuzh, Kak,,, Yang penting Kakak telah berusaha menjalankan tugas ini dengan sebaik mungkin. Tetap Tegakkan komitmen kita. Di jalan dakwah kita menikah”

Ada senyum bangga setelah ku sign out account Facebookku. Meski jika aku boleh jujur, perasaan khawatir dan cemas masih menggelayuti hatiku. Kulihat Safiya tertidur pulas di sofa depan TV. Aku berharap, kelak Safiya akan meniru ayahnya dalam hal keberanian.

Jakarta, 31 Mei 2010

    Hari belum begitu siang. Meski juga sudah tidak pagi lagi. Aku masih disibukkan dengan pekerjaan dapur dan bersih-bersih rumah. Kebetulan Safiya masih bermain dengan kakeknya. Sudah dua hari ini ayahku, kakek Safiya menemaniku di rumah. Semenjak kepergian KAk Misbah menjadi relawan di Gaza, aku memang agak kesepian. Karena itu, aku meminta ayah sementara waktu untuk tinggal di rumahku. Sekedar menemani aku dan Safiya. Kebetulan, ayah juga kesepian di rumah sendiri. Rumah ayah sendiri berada di daerah Kalimalang. Sudah dua tahun ini ibu meninggal. Dan aku adalah anak tunggal. Ayah sebagai pensiunan pegawai negeri sipil di pemerintahan kota tinggal di rumahnya sendiri. Aku dan Kak Misbah sering membujuk beliau untuk tinggal bersama kami. Tapi beliau tidak mau. Dengan alasan, rumah di Kalimalang banyak menyimpan kenangan tentang ibu. Apapun yang terjadi, beliau tetap tinggal di sana sampai akhir usia. Dengan ditemani seorang keponakan ayah, anak laki-laki dari adek kandung ayah yang sekarang masih berstatus mahasiswa.
    Berkali-kali kubuka email ataupun facebook. Berharap ada kiriman sesuatu dari Kak Misbah. Sejak kepergiaannya, Kak Misbah memang sering mengirimkan sesuatu di email ataupun facebook. Entah itu surat di email dengan volume kata-kata yang panjang lebar, ataupun hanya sekedar menulis kata-kata singkat di dinding facebook. Sesekali mengirimkan foto-foto kegiatan para relawan di atas kapal. Aku paling senang suka jika Kak Misbah mengirimkan foto-foto maupun video kegiatan para aktivis. Jika kulihat dari raut wajah mereka, rasa capek dan lelah benar-benar menggelayuti mereka. Tapi, bayangan rakyat di jalur Gaza ketika menyambut para relawan datang sungguh memompa semangat mereka. Bayangan rakyat Palestina yang sekarang banyak menungggu kedatangan para relawan menjdikan kompor semangat yang akan terus menyala di diri para relawan.
    Entah kenapa, hari ini tidak ada satupun kiriman dari Kak Misbah. Sudah beberapa kali aku membuka inbox email ataupun acoount facebook. Tapi, tak kutemukan satupun dari Kak Misbah. Terakhir Kak Misbah mengirimkan berita tadi malam sekitar pukul 22.00. Kak Misbah mengabarkan bahwa posisi rombongan berada di tengah Laut Tengah. 180 Mil dari pantai Gaza. Kapal Mavi Marmara yang ditumpangi para relawan berhenti bergerak karena sejumlah alasan. Terutama menanti datangnya kapal dari Irlandia dan datangnya sejumlah anggota parlemen beberapa Negara Eropa yang akan ikut dalam Freedom Flotilla. Rombongan itu masih berhenti dan tidak pasti. Sementara berita berbagai ancaman dari tentara Israel berseliweran.
    Hampir aku tidak bisa menyembunyikan kekhawatiranku. Ingin rasanya aku berbagi cerita tentang perasaanku pada ayah. Tapi aku tidak mau hal itu akan menambah fikiran beliau yang sudah tua. Aku simpan sendiri semua kekalutanku. Kubungkus rasa cemas itu dengan menghadirkan berbagai pikiran positif. Mungkin ini hanya sebuah ujian kecil. Dan aku yakin, rombongan relawan pasti akan bisa menghadapinya. Mereka pasti sudah mempersiapkan segalanya dengan matang. Sekalipun kemungkinan terburuk akan menimpa mereka. Dan satu lagi. Masih ada Alloh tempat bersandar dan meminta pertolongan. Alloh tidak pernah tidur dan Maha Melihat. Alloh maha kuasa. Alloh Maha berkehendak. Jika Alloh sudah berkehendak untuk membantu para relawan, sekuat apapun tentara Israel, tidak mungkin bisa mengalahkan kekuasaan Alloh.
    Sampai usai kuselesaikan shalat ashar, aku belum juga dapat kabar dari Kak Misbah. Sebelum shalat ashar tadi, sebenarnya aku telah menelphon kantor Kakak. Tapi, mereka juga mengalami hal serupa denganku. Sejak Jam 9.00 pagi tadi, INDO TV kehilangan kontak dengan rombongan relawan. Entah kenapa mereka juga kurang tahu. Sempat juga INDO TV menghubungi kedutaan besar Indonesia untuk Turki dan kedutaan besar Indonesia untuk Yordania. Dari Turki juga menjawab hal senada. Belum tahu. Sedangkan, dari Yordania, yang kebetulan dijawab langsung oleh duta besar Indonesia untuk Yordania Zainul-Bahar Noor, bahwa sempat terjadi ketegangan antara rombongan dari Freedom Flotilla dengan tentara Israel sejak pukul 04.00 waktu setempat. Atau sekitar pukul 08.00 waktu Indonesia Bagian Barat. Tapi, berita itu juga belum pasti. Karena, sampai sekarang, mereka juga kehilangan kontak dengan Freedom Flotilla.
    Perasaanku semakin tak menentu. Ditambah lagi, dari tadi safiya terus menangis tanpa sebab yang jelas. Tapi, tetap kupaksakan untuk terus berpositif thinking. Alloh pasti akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya tersebut mau berusaha menolong agama-Nya. Tak terhitung lagi, sudah berapa lembar tilawah Al-qur’anku. Meski hanya sekedar mengusir kekalutan hatiku. Dan mencoba menyerahkan semuanya pada Alloh. Tawakal dengan bersandar penuh pada-Nya.

Jakarta, 1 Juni 2010
    Bel rumahku bordering. Saat kubuka pintu, dua orang teman sekantor Kak Misbah Mas Ridwan dan Mbak Mitha dari INDO TV berada di depan pintu. Setelah kupersilahkan masuk, mereka menjelaskan maksud kedatangan mereka ke rumahku. Tanggal 31 Mei kemarin, sewaktu para relawan melaksanakan shalat subuh berjamaah, mereka dikejutkan oleh suara helicopter dari tentara Israel meraung-raung di atas Kapal Mavi Marmara. Dalam waktu singkat tentara Israel masuk ke dalam kapal dan mengobrak-abrik seluruh isi kapal. Serdadu Israel dengan senjata lengkap langsung menembaki para relawan dengan membabi buta. Seketika para relawan langsung berlarian. Namun, sebagian dari mereka ada yang tertangkap Israel. Dan tidak segan-segan Israel membunuh mereka di depan relawan lainnya.
    Mengenai Kak Misbah sendiri, ada kabar dari ketua Foundation For Human Rights and Freedom and Humanitarian relief (IHH). Ada seorang relawan dari Indonesia yang ditembak saat sedang menolong seorang relawan lain yang terluka. Relawan Indonesia tersebut terkena dua tembakan Israel. Di bagian perut dan bagian kepala. Ditembak dari jarak kurang dari 50 centimeter. Relawan asal Indonesia yang belum diketahi identitasnya tersebut sempat memperoleh perawatan. Tapi ternyata, Alloh menghendaki syahid saat itu juga. Setelah dianalisis, relawan tersebut perwakilan dari MER-C dan dari INDO TV bernama Muhammad Misbah.
    Sempat kuucap Innalillaahi wa Innailaihi Roji’uuunnn… . Tapi setelah itu terlihat bayangan kunang-kunang di depan mataku. Tubuhku terasa ringan karena disambut sebongkah beban yang begitu berat menimpa tubuhku saat itu. Suamiku dijemput Izroil dalam syahidnya. Tak terasa dunia gelap. Aku pingsan.


Jakarta, 2 Juni 2010
    Jadwal kedatangan jenazah suamiku telah direncanakan akan datang datang hari ini. Tepat pukul 15.15 rombongan relawan tiba di bandara Soekarno-Hatta. Gemuruh takbir menggema menyambut sebelas relawan yang selamat dan satu yang telah bergelar syahid. Muhammad Misbah, suamiku. Aku ikut menjemput jenazah suamiku di Bandara. Meski sebenarnya banyak pihak yang melarangku untuk ikut. Mereka memintaku untuk menunggu di rumah saja. Tapi aku merasa sanggup untuk menghadapi kenyataan ini.
    Kepulangan para relawan didampingi oleh duta besar RI untuk Yordania Zainul Bahar Noor. Dan di sambut oleh mantan ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, anggota komisi I DPR RI Sidarta Dani Subroto, dan Direktur Perlindungan WNI Kementrian Luar Negeri Teguh Wardoyo. Kesebelas relawan disambut tangis oleh keluarganya. Begitu juga dengan jenazah suamiku. Hampir semua kamera wartawan dari bebagai media menyorot diriku yang langsung jatuh di depan peti suamiku. Meski telah kucoba untuk sekuat tenaga menopang tubuhku sendiri, aku tetap tidak kuat. Akhirnya, terpaksa aku menggunakan kursi roda yang telah dipersiapkan untuk mengantisipasi keadaanku. Dengan kursi roda itu aku berjalan mengiringi peti jenazah suamiku. Pekik takbir sambung menyambung dari setiap orang yang melihat kejadian itu. Hingga jenazah suamiku dibawa oleh ambulance yang telah disediakan oleh Negara.
    Tepat pukul 16.00 rombongan jenazah telah sampai di rumah duka. Tangis Safiya memecah bercampur dengan suara takbir yang terus terlantun. Aku kembali terjatuh dengan tangis yang terus mencair. Peti dibuka, dan bisa kulihat wajah suamiku yang telah memucat. Senyum tetap menyungging di wajahnya. Senyum itu masih tetap sama seperti senyumnya ketika pertama kali dia mengucapkan janji pernikahan kita dalam suasana ijab qobul tiga tahun yang lalu. Ketika pertama kali aku halal baginya. Dan ketika pertama kali dia bertanya padaku,

“Maukah engkau menjadi pengantin dakwahku?”

    Setelah shalat jenazah dilaksankan, jenazah suamiku langsung di bawa ke pemakaman di daerah Tanah Kusir. Untuk terakhir kali, aku lihat wajah suamiku dengan senyum lembutnya. Senyum itu seakan ingin menunjukkan bahwa syurga telah ada di hadapannya. Perniagaan yang ke Gaza beberapa hari ini telah dibeli Alloh dengan syurga-Nya. Meski sebetulnya Gaza tak pernah membutuhkan suamiku. Al-quds tidak pernah mengharapkan kedatangan Muhammad Misbah dan relawan lainnya. Al-aqsha tak pernah memerlukan bantuan mereka. Dan palestina tak pernah menanti kehadiran jundi-jundi Alloh untuknya. Gaza hanya butuh Alloh. Al-quds hanya butuh Alloh. Al-aqsha hanya butuh Alloh. Dan palestina juga hanya butuh Alloh. Justru suamiku dan para perindu syurgalah yang membutuhkan Gaza, Al-quds, Al-aqsha dan Palestina.
    Tanah merah perlahan menutup wajah dan tubuh suamiku. Seperti sang Ikhlas yang harus kuhadirkan untuk menutup dan mengubur sang duka di hatiku. Mentari hari ini telah menyemprnakan tugasnya dan berangkat untuk membenamkan diri dari pandanganku. Yang kemudian melanjutkan perjalanannya untuk menjalankan titah tuhan selanjutnya menerangi belahan bumi yang lain. Seperti suamiku yang telah menyempurnakan dakwah dengan syahid dalam perjalanan ke Gaza.

Selamat Jalan Kakak…. .
Komitmen kita terbukti. Di jalan dakwah kita menikah. Doakan Adek bisa mendidik Safiya seperti Fatimah yang mendidik Hasan dan Husain untuk menjadi bagian dari puzzle dakwah.

No comments:

Post a Comment