Wednesday, 19 March 2014

CERPEN : EMBRIO



“Kamu yakin Van?” Hendra bertanya dengan retorika serius.

Aku mengangguk sekedarnya. Yakin. Mengabaikan wajah Hendra yang terlihat psimis dengan rencana ‘gila’ku karena kedua mataku masih lekat menempel pada lensa okuler microscop.

“Maksudku,kamu yakin bahwa kamu bukan termasuk salah satu aliran sekte keagamaan Raelians dari Amerika yang mempercayai kehidupan di bumi diciptakan mahluk angkasa luarmelalui rekayasa genetika?”

                Kepalaku hanya menggeleng. Kemudian memutar revolver microscop untuk mengatu rperbesaran lensa objektif. Melihat objek di meja microscop yang sangat kecil jika dilihat dengan mata telanjang.
“Kalau begitu, kamu tau kan Van? Bahwa proses cloning pada manusia benar-benar dilarang oleh agama manapun? Termasuk agamamu.”

            Aku hampir tidak bisa lagi mengabaikan kalimat-kalimat Hendra seperti jeritan kelelawar yang jelas sekali mengusik senyapnya malam. Memecah konsentrasiku pada sebuah sel somatic yang tidak bisalagi dilihat dengan mata telanjang.

“Kamu mendapat sel ini dari mana Hen?”


“Itu sel somatic dari rambut Eva. Kamu tidak perlu tau dimana aku mendapatkannya.Yang jelas, sel ini bisa dijadikan sel somatic. Yang belum kutemukan hanya donor ovum sel gamet. Dan tugasmu yang harus mendapatkannya.”

            Aku mengangguk kecil dengan jawaban Hendra. Hendra, seorang dokter muda yang setidaknya punya banyak pengetahuan dalam bidang rekayasa genetika akan bisa banyak membantuku dalam proses cloning manusia ini. Meski sejujurnya dia sendiri pun tidak setuju dengan ide gilaku ini.

“Ivan,seorang Eva adalah Eva. Dia adalah individu yang Tuhan ciptakan dengan cirri khas sendiri. Meski kamu mencoba menciptakan duplikasi seorang wanita seperti Eva dengan rekayasa genetika sekalipun, sama persis. Kamu tidak akan pernah bisa menciptakan Eva dengan segala sifat kesamaannya. Itu jelas mustahil. Kamu bukan Tuhan.”

            Aku menarik nafas panjang.

“Aku mencintai Eva, Hen. Tapi…”
“Tapi,kamu tidak bisa memilikinya? Hingga kamu wujudkan sosok Eva melalui imaginasi rekayasa genetika ini dengan cara penciptaan duplikat Eva dengan mengcloningnya?”

            Aku mematung. Aku tau, Hen, ini ide gila.

“Jujur Van, ini bukan sifat seorang Ivan yang selama ini kukenal. Seorang Ivan, makhluk laki-laki yang selalu mengedepankan logika dalam segala hal.”

Aku membalikkan badan. Menatap lekat wajah pias Hendra. Kerutan dahinya seperti akumulasi dari rasa ketidak habis pikirannya dan psimistik yang kurasa terlalu berlebihan.

“Dan menurutku, jelas semua ini tidak masuk akal.”

“Dan sejak kapan cinta masuk akal Hen?”

            Hendra hanya bisa mematung. Dengan posisi mimik wajah tanggung. Setengah ingin membalas omonganku. Setengahnya lagi, seperti tersedak kehabisan kata. Tak ada kalimat yang keluar dari lisannya. Hanya menyisakan bibir yang menganga dan matanya yang membulat karena gemas.

                                                                                       *****

            Akan kujelaskan awal pertemuankudengan Eva. Seorang mahasiswa kedokteran yang baru saja menyelesaikan programKOASnya. Perempuan cantik sekaligus cerdas yang sempat mencuri hatiku. Mengalihkanku dari seorang saintis di bidang kedokteran mendadak berubah haluan jadi menyukai sastra karena jatuh hati padanya.

Aku, panggil saja dr. Ivan Saputra. Dokter muda yang baru saja diberi kesempatan belajar tentang ilmu rekayasa genetika di Clonaid. Clonaid adalah sebuah perusahaan Bioteknologi di Bahama. Sebuah perusaaan yang didirikan oleh sekte keagamaan Raelians  yang  mempercayai bahwa kehidupan di bumi diciptakan mahluk angkasa luar melalui rekayasa genetika. Aku diberi kesempatan belajardisana karena prestasiku di bidang kedokteran yang cukup melejit. Terutama pada bidang rekayasa genetika.

Clonaid baru saja berhasil melakukan cloning pada seekor domba. Reputasi perusahaan tersebut sangat dibanggakan di dunia kedokteran. Karena itu, selama sekitar dua tahun aku dikirim ke sana untuk belajar. Terutama masalah cara reproduksi vegetatif buatan yang dilakukan pada hewan dan manusia.

            Siang itu, saat ruang seminar yang menghadirkanku sebagai pembicara tunggal. Eva teramat antusias untuk menanyakan sebuah pertanyaan yang mungkin selama ini dipendamnya.
“Rekayasa genetika dalam bentuk cloning diterapkan dalam manusia, bagaimana menurut anda dipandang dari segi etika?”

            Sebuah pertanyaan yang sederhana sebenarnya. Tapi entah kenapa aku seperti tertantang untuk mencari jawaban dan menjelaskannya sesempurna mungkin. Bukan karena objek pertanyaannya. Tapi justru karena subjek penanyanya. Eva, yang berdiri anggun dengan rambut hitam lurus sebahu. Lesung pipi memaut manis jika dipadukan dengan bentuk dagu dan bibir tips yang terpahat sempurna. Hidung mancungnya bisa kupastikan dia keturunan dari daerah timur tengah.

            Demi menjawab pertanyaanya atau lebih tepatnya melihat Eva lebih dekat karena dia duduk di bangku deretan nomor lima dari depan, aku berdiri, aku mencoba diam sejenak. Seolah berfikir. Meski sebenarnya memuji Tuhan lebih dalam. Karena menciptakan manusia sesempurna Eva yang sepanjang perjalanan hidupku, baru aku temui kali ini. Dan entah ilmuan cloning yang mana, kelak bisa menciptakan rekayasa genetika cloning yang seratus persen mirip dengannya.

            Tak sadar, seluruh peserta seminaryang kurang lebih sekitar lima ratus orang ini, diam senyap menanti jawabanku.

            “ehem.. Jika dipandang dari sudutpandang biologi, medis, hukum dan moral, ini semua menggambarkan betapa cloning akan memiliki dampak yang sangat besar bagi masa depan peradaban karena kemampuan manusia untuk melakukan rekayasa genetika yang radikal terhadap perjalanan hidup manusia. Melalui rekayasa genetika (cloning manusia) telahmemunculkan berbagai problem, pertanyaan-pertanyaan etis, serta tingkat kekhawatiran manusia yang sangat mencemaskan terhadap seluruh perkembangannya. Upaya penerapan kloning pada manusia telah menimbulkan reaksi pro dan kontra dari berbagai kalangan dan berbagai pandangan yang dikeluarkan sama-sama memiliki argumen yang cukup kuat. Menurut saya pribadi, cloning pada manusia itu tidak tepat atau kurang beretika karena salah satu yang menjadi tinjaun adalah menghilangkan garis keturunan.”

            Terlihat sekali Eva tersenyum sambil mengangguk kecil. Entah faham entah tidak.
“Mmmm…saya tau, anda kurang mengerti dengan pendapat saya tadi. Penjelasan hal ini sangat panjang. Banyak berkaitan dengan beberapa studi ilmu. Seperti Filsafat, moral, dan agama tentunya. Sedangkan sekarang, kita tidak mungkin membedah masing-masing pandangan ilmu tersebut karena waktunya sangat terbatas. Mmm…begini saja”

            Dahiku berkerut. Mencoba sok berfikir. Berfikir bagaimana aku mendapat kesempatan untuk berbincang dengan Eva di waktu yang lebih banyak dan lebih santai –sambil makan malam misalnya- di luar urusan tugas dan seminar.

            Tak ada tiga detik, otakku cerdas menemukan caranya. Cara yang menurutku cukup elegant.
“akan saya tinggalkan nomor Handphone saya pada moderator. Bagi yang ingin bertemu dan berdiskusi lebih lanjut dengan saya, bisa hubungi saya langsung. Nanti bisasaya atur jadwalnya.”

            Elegant, berwibawa, dan terkesan saintis sekali. Cara seorang ahli yang suka berdiskusi masalah ilmu. Meski aku tau, cara ini bukannya tidak beresiko. Resikonya cukup tinggi. Bisa-bisa aku harus melayani kehausan ilmu dari lima ratus peserta yang sekarang ini hadir secara pribadi. Satu per satu. Meski tujuanku hanya untuk memancing Eva. Tapi, bukan Ivan kalau tak punya cara berkelit.

            Kukatakan padamu, Tuhan. Sekarang, pertama dalam hidupku. Aku jatuh cinta.

                                                                                            *****

            “Kamu dapat donor sel telur ini darimana Van…???!!”

Mata hendra membulat kaget saat aku masih sibut dengan microskop di labolatorium. Menganalisis kualitas sel telur yang baru saja kudapat dari temanku.

“Tidak penting juga untukmu. Jika kujawab darimana aku bisa mendapatkan sel telur ini.”

            Hendra hanya bisa diam menelan ludah. Aku bilang juga apa teman? Sampai kapanpun, cinta tak akan bisa dicerna dengan logika.

“Kamusadar Van, kalau semua ini cukup beresiko?”

Akumengatur difragma pada microskop. Mengatur agar pencahayaan di microskop cukup efisien untuk melihat sel telur yang nantinya akan kuambil inti selnya. Mengabaikan kehawatiran Hendra yang bagiku terlalu berlebihan.

            “Proses ini sudah terlanjur jauh, Hen. Tidak mungkin aku hentikan begitu saja. Toh, ini kan bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan juga?”

Tiba-tiba,dengan reflek Hendra menarik sendi inklinasi microskop. Yang membuat microskop bergerak dan mengacaukan semua konsentrasiku sejak tadi.

            Otak sehat yang mengatur sisi emosiku seakan berhenti seketika. Melihat sikap Hendra yang dengan sengaja dan terang-terangan menunjukkan sikap apatis terhadap semua rencanaku. Otakku terasa mendidih. Detakan jantungku bekerja dengan detak di atas rata-rata normal. Pembuluh nadiku bekerja lebih cepat untuk membawa darah ke jantung. Sedangkan jantung bekerja serabutan. Berdetak berantakan. Emosiku seperti telur di ujung duri. Salah senggol sedikit saja, akan pecah berkeping-keping.

Tangan Hendra mencengkeram erat lenganku “Ingat Van…!!! Cinta tidak harus memiliki.”

Mataku seperti predator yang mengincar mangsa.

“Itu hanya kalimat oran-orang yang kalah….!!!”

Kulepaskan cengkeraman tangan Hendra. Aku berbalik. Membanting pintu hingga terdengar bunyi berdebam. Apapun yang terjadi, aku tak boleh bertengkar dengan Hendra. Sahabat yang telah menemaniku selama belasan tahun. Dan sekarang, dia hanya mencoba menghentikan keegoisan logika otakku atas semua ide gila ini.
Aku hanya menujukkan, kemampuan seorang dr. Ivan yang tak bisa diabaikan. Dan lebih pantas mendapat cinta Eva, daripada seorang laki-laki lain yang sekarang dan bahkan semenjak kedua kali aku bertemu Eva, sudah menjadi suami Eva.

                                                                                           *****

“Selamat siang, Maaf, ini dr. Ivan ya? Saya Mira. Salah satu peserta di seminar yang dr.Ivan datang sebagai pembicara. Boleh saya minta waktunya sebentar? Saya ingin berkonsultasi dengan dr. Ivan tentang masalah rekayasa genetika. Ada hal yang ingin saya tanyakan untuk bahan tugas akhir saya.”

Akumenghela nafas panjang. Ini sudah manusia ke Sembilan belas yang mengirim pesan atau menelphonku untuk mengajak bertemu. Alasan mereka selalu sama. Berkonsultasi pada ahlinya. Sebuah resiko yang sudah kuprediksikan dari awal. Tanpa banyak berfikir, kutekan menu replay.

“Maaf, saya tiba-tiba ada jadwal dadakan selama dua bulan ini. Harus mengurus beberapa penelitian yang begitu menyita waktu.”

Alasan klasik. Meski sampai ratusan manusia yang mengirim pesan, selama itu belum dari Eva, aku akan tetap membalas dengan jawaban serupa.

Hitungan hari berlalu memudarkan harapan. Bahkan mungkin perlahan mengikis pesona Eva dimataku. Hingga akhirnya, pena Tuhan menulis juga.

“selamat malam, dr. Ivan. Ini Eva. Yang kemarin bertanya di seminar. Boleh saya meminta waktu dr. Ivan untuk bertemu? Saya sedikit penasaran dengan pandangan filsafat terhadap masalah cloning yang sempat anda sebut dalam menjawab pertanyaan saya kemarin.”

Aku tersenyum. Akhirnya. Kesempatan itu datang juga.

“Kebetulan,dalam beberapa bulan ini saya free. Jadi, terserah Eva bisanya kapan.”
Kuharap Eva tidak menceritakan balasan pesanku ini pada teman-temannya.


                                                                                       *****


            Hampir tiga puluh menit aku menunggu Eva datang. Aku melihat sekeliling. Memastikan bahwa standart operating procedure untuk sebuah makan malam romantic telah terpenuhi. Rumah makan yang cukup mewah dengan nuansa CandleLight Diner. Lilin kecil namun cukup terlihat manis. Tak lupa juga cincin kecil
 yang terkesan sangat mahal. Hanya sebatas ungkapan, Eva, jika kamu mau menerimacintaku, kupastikan, kamu adalah harta termahal yang pernah kupunya.

            Aku tersenyum geli. Berlebihan memang. Tapi, bukankah itu lebih baik daripada aku mengajaknya kencan di depan kamar mayat sebuah rumah sakit termahal sekalipun.

            Bersamaan dengan ketegangan syarafku yang belum reda, Eva datang dengan mimik wajah yang bingung bercampur heran. Salah aku juga. Tidak memberitahu Eva tentang suasana makan malam yang kubuat. Jika mungkin aku memberitahu Eva, mungkin dia akan datang dengan memakai Longdress yang elegant serta riasan wajah dan rambut yang sesuai dengan atmosfer malam ini. Eva justru datang dengan pakaian casual. Ditambah lagi tumpukan diktat kuliah yang ada di tangan kirinya, dan tas laptop di pudak kanannya.

            “Mmm.. ma..maaf dok…”

Suara Eva tergagap. Pias. Akumulasi dari perasaan terkejut dan bingung mau bersikap bagaimana ketika dia melihat meja yang telah kupersiapkan matang dan terlalu berlebihan.
“Silahkan duduk, Eva… Resto ini punya temanku. Baru seminggu ini buka. Maaf jika dirasa agak berlebihan. Anggap saja sebagai performa untuk pelayanan terbaik terhadap customer”

            Jujur. Asli bohong. Tapi kepalang basah.

Eva mengangguk. Duduk sambil meletakkan tumpukan buku dan diktat kuliahnya di atas meja. Kedua tangannya terampil membuka tas laptop. Berusaha sebaik mungkin memanfaatkan waktu untuk moment bertemu denganku. Moment yang dianggapnya mungkin begitu berharga. Bisa bertemu dengan ilmuan sibuk sepertiku.

            Haha.. hatiku tertawa kecut. Untuk sebuah sambutan yang entah kenapa tiba-tiba kurasa begitu norak.

“Apa yang ingin Eva tanyakan?”

“Mmm…tentang pandangan filsafat terhadap fenomena cloning, dok”

Aku mengerutkan dahi. Sok berfikir idealis.

“Kalau itu, hanya sebatas opini pribadi. Karena saya bukan filsuf seperti Socrates, aristoteles, Plato maupun Jalaluddin Ar-rummi.”

“Hehe..“ Eva tersenyum tipis. Mendengar kejahilan jawabanku.

            Aku memperhatikan Eva yang masih sibuk dengan laptopnya. Mungkin benar juga kata orang. Jika kita ingin membuat orang yang kita sayangi jatuh cinta pada kita, teruslah berusaha untukmembuatnya tersenyum. Namun, kali ini bertolak belakang. Karena, justru akulah yang dibuat jatuh cinta pada Eva setiap dia tersenyum.

            “Menurut Dokter, mungkinkah proses cloning bisa memasuki ranah methafisik? Tidak hanya duplikat fisik saja?”

“haha ha . . . “ aku tertawa agak keras. Pertanyaan yang cukup lucu.

“Sekarang saya tanya. Misal, saya mengkloning seorang Hitler. Apakah di dunia nyata, akan terulang juga sejarah seorang Hitler untuk kedua kali?”

            Eva tertawa lepas mendengarjawabanku. Dan untuk kesekian kalinya, senyum Eva cukup bisa menambah volume perasaan cinta yang kupendam untuknya.

“Proses cloning hanya bisa menduplikat partikel-partikel senyawa yang terkait.”

“Tapi Dok…”

Dahi Eva berkerut. Pertanyaannya memburu. Sejak awal, aku bisa merasa, dia seorangmahasiswa kedokteran yang selalu haus akan ilmu.

“Boleh, jika saya mengatakan pengkloningan sama dengan penduplikatan DNA?”

Aku mengangguk. Meski penasaran, mendengar argument yang sepertinya siap menendang lepas semua argument yang telah kujelaskan tadi.

“Maaf dok, ini hanya menurut saya. DNA merupakan perpustakaan tubuh yang sangat luas.Termasuk di dalamnya adalah memori. Dan hal methafisik merupakan cara otakmengakses alam bawah sadar. Dengan kata lain pengaktifan memori di DNA sehingga mungkin ada peluang hal methafisik tetap terjadi pada clon.”

            Aku terdiam sejenak. Wajah Eva terlihat jauh lebih cantik jika dia sedang berada pada puncak serius. Aku masih mencoba mencari jawaban. Namun, tiba-tiba ponsel Eva berdering. Eva melirik sejenak padaku. Maaf dok, saya angkat telephone dulu.

Akumengangguk. Silahkan.

Sejenak Eva berlalu. Aku masih mencoba berfikir menjawab pertanyaannya tadi.

            “Mmm… maaf dok, suami saya telephone.Ada hal penting. Saya harus pulang. Terima kasih atas waktunya.”

            Seperti saklar listrik. Kata ‘suamiku ’yang baru saja diucapkan Eva seperti memencet tombol ‘off’ pada neuron di sel otak. Seketika itu juga otakku berhenti untuk berfikir. Hanya bisa menatap kosong Eva yang dengan gerakan cepat merapikan buku yang berserakan, mematikan laptop, dan bergegas untuk segera pergi.

            Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kupegang erat, sebuah kotak kecil di saku berisi cincin yang tidak sempat dan tidak akan pernah sempat kuberikan pada Eva. Dengan gerakan cepat, Eva langsung berbalik. Tak peduli dengan apapun. Termasuk pertanyaannya yang belum sempat kujawab.

            “Eva…” kupanggil untuk terakhir kalinya.

            Setelah lima langkah dia berjalan,sekitar lima detik dia menghentikan langkah. Menengok ke arahku.
“Sains akan selalu berkembang. Yang dulu misteri, sekarang dipecahkan. Yang dulu mustahil, sekarang kenyataan.”

Mendengar jawabanku, Eva tersenyum. Lesung pipinya seakan mengatakan, Terima kasih, dok.

            Langkah kaki Eva semakin cepat. Hingga akhirnya hilang berbelok di pintu keluar. Menyisakan wajahku pucat sambil menggenggam erat cincin itu. Kalimat jawaban yang telah tersusun logis, akhirnya pecah berkeping-keping. Hanya menyisakan rentetan huruf konsonan tanpa vocal. Yang tak mungkin bisa dieja dengan sempurna.

            Pertama dalam hidupku. Aku patah hati.


                                                                                          *****

“Menurutku, manusia adalah salah satu masterpiece ciptaan Tuhan. Jika kamu tetap melakukan proses cloning Eva, sama saja kamu melakukan intervensi penciptaan yang dilakukan manusia terhadap “tuga spenciptaan” yang semestinya dilakukan oleh Tuhan.”

            Aku mengabaikan semua ocehan Hendra. Fokusku sekarang adalah menghilangkan inti sel telur dari ovum yang telah kupilih kualitasnya. Tingkat kerumitan yang cukup tinggi. Tapi tak apa. Semua kerja kerasku ini akan membuahkan hasil. Seorang Eva yang kuciptakan dan hanya aku berhak yang berhak memiliki.

            “aku tau Van, tidak ada yang salah dengan perasaanmu. Kamu yang tidak pernah meminta cinta itu pada Tuhan. Seperti kamu juga tidak pernah bisa menolak patah hati itu. Eva telah mempunyai suami.Tidak ada hak bagimu untuk merebut Eva.”

            Seperti angin lalu. Tak ada pengaruhnya sama sekali semua nasehat hendra. Aku tetap melanjutkan proses cloning ini. Memasuki tahap yang lebih rumit. Fusi atau penyatuan sel somatic dan sel telur. Dengan sedikit kejutan listrik, aku berhasil membuka membran sel telur. Sehingga kedua sel tersebut bisa menyatu. Sampai pada tahap ini, aku berhasil mendapatkan sebuah sel telur yang berisi inti sel somatic.

            Aku menghela nafas panjang. Dua tahun aku belajar di Bahama, baru kali ini aku mencoba langsung hasil belajarku. Bagiku, tidak ada yang tidak mungkin jika kita melangkah. Termasukmendapatkan seorang Eva. Kelak, ketika hasil cloning Eva berhasil, dan dia sudah beranjak dewasa, akan kukatakan bahwa aku mencintainya. Pada lesung pipinya, pada kecerdasan otaknya, dan pada semua yang hanya aku yang berhak memilikinya. Tak ada orang lain. Eva mutlak milikku.

            “Hen, sampai detik ini, rencanaku masih berjalan lancar.” Aku tersenyum puas pada Hendra.
“Sadar Van…!!! Sekalipun kamu mendaptakan duplikat fisik Eva, kamu tidak akan pernah mendapatkan duplikat hati Eva.”

“Proses selanjutnya. Ini jembatannya. Sebelum hasil rekayasa ini kutanam pada rahim. Aha…!! Kamu lihat Hen, hasil fusi sel tersebut memperlihatkan sifat yang mirip dengan zigot, dan akan mulai melakukan proses pembelahan.”

            Ivan menggeleng pelan. Tak ada sedikitpun pujian darinya meski aku telah menjalankan rekayasa cloning ini dengan baik.

“Kamu sebenarnya ngerti Van…! Hanya sedikit egois. Mengenyahkan semua kata hatimu. Kamu telah mengambil hak Tuhan…!!!”

Emosiku tersulut. Otakku mendidih.

“Iya….!!! Aku sadar..!! Karena Tuhan telah mengambil Eva dariku…!!!”

            Dan sesi ini pun berakhir sepertibiasanya. Aku keluar laboratorium. Menutup pintu dengan cara membantingnya. Hingga terdengar bunyi berdebam keras. Meninggalkan Hendra yang masih menahan emosi sambil memutar otak. Bagaimana cara menyadarkanku.

            Percuma Hen. Karena cinta telah merenggut semua logika warasku.
           
                                                                                   *****

7 Bulan berlalu

            “Van, bangun Van…!”

Hari masih pagi. Matahari saja belum berani masuk mengantarkan sinarnya ke dalam laboratoriumku. Tapi, sekonyong-konyong Hendra mengguncang tubuhku dengan hebat.

“Kerumah sakit sekarang…!!! Di tunggu dr. Cho.”

            Seperti tersenggol aliran listriktegangan lebih dari 500 kilo volt.  Aku berloncat kaget. Tak peduli dengan Hendra yang belum selesai menjelaskan. Saat mendengar kata ‘dr. Cho’ saja, aku langsung bisa menebak apa yang terjadi. Dr.Cho adalah salah satu temanku asal Korea yang pernah belajar bersama saat di Bahama. Selama proses pembuatan cloning Eva ini, aku selalu berkonsultasi pada dr. Cho. Bahkan untuk mendapatkan sel telur dan wanita yang bersedia menjual rahimnya untuk kutanami zigot dan bersedia mengandung hasil cloningan Evaselama ini pun aku minta tolong padanya.

            Aku hanya menyambar kaca mataku. Dengan setengah berlari, kulangkahkan kaki dari laborat ke ruang bersalin. Nafasku memburu. Beradu cepat dengan langkah kakiku yang mengabaikan sapaan ‘selamat pagi’ dari para suster dan karyawan rumah sakit lainnya. Aku terus berlari.

            Masih kuingat kalimat dr. Cho dua bulan yang lalu.
Sambil menatap ke layar monitor USG, “kau lihat Van. Janin hasil rekayasamu berkembang lambat. Kecil kemungkinan untuk bisa dilahirkan sempurna.”

Aku menelan ludah. Hampir sulit kupercaya. Meski mata telanjangku bisa menyaksikan apa yang terjadi dalam rahim itu.

“Aku hanya memprediksi, kemungkinan terburuk adalah tingginya resiko kematian dan gangguan pasca kelahiran.”

            Aku menggigit bibir bawah.
“Atau mungkin, bentuk fisik yang tidak sempurna.” dr. Cho dua terus menganalisis.

            Aku terus berlari. Mempercepat langkahku agar cepat sampai pada ruang bersalin. Menurut prediksi dr. Cho,s ekitar bulan ini bayi cloningan Eva itu akan lahir.

kemungkinan terburuk adalaht ingginya resiko kematian dan gangguan pasca kelahiran. Atau mungkin, bentuk fisik yang tidak sempurna.

            Kalimat dr. Cho terus terngiang.Tapi aku mengenyahkan semuanya. Tidak boleh. Tidak boleh ada kegagalan. Aku tak boleh kehilangan dua lesung pipi Eva. Aku tak boleh kehilangan kecerdasan Eva. Dan aku tak boleh kehilangan Eva untuk kedua kalinya.

Kumohon Tuhan. Batinku berteriak lirih.

            Aku terus berlari. Keringatku deras mengucur. Tuhan. Kata itu tiba-tiba datang menyeruak. Kata itu seperti jarum waktu yang tiba-tiba menghentikan sejenak langkahku. Kuperhatikan sekitar. Manusia berlalu lalang di hadapanku.Tumbukan hijau menghampar indah seakan meminta perhatian. Aku menelan ludah. Lamat-lamat kuperhatikan. Hanya untuk duplikat seorang Eva saja, aku harus bekerja keras. Dan hasilnya?. Entahlah.

            Sedangkan manusia-manusia yang sekarang di hadapanku, terlahir sempurnya. Tanpa cacat. Termasuk Eva. Dan termasuk diriku sendiri. Kubayangkan. Sebuah dzat yang menciptakan DNA. DNAmanusia yang teramat rumit.

            Aku tertunduk lemas. Saat kusadari bahwa selama ini, telah kurebut paksa kalimatnya. Kun Fayakun. Kusadari bahwa selama ini, aku menantangnya dengan kemampuanku yang tak seberapa. Saat nafsu berkuasa, akal mencari pembenaran dan hati pura-pura tidak tau. Saat itulah, aku dibutakan semuanya.

            Kuseret kembali langkahku menuju keruang bersalin. Saat aku berada di depan pintu, kudapati, bayi hasil cloningan itu lahir. Aku mematung. Tak kutemui dua lesung pipi Eva. Tak kudapati hidung mancung ala timur Tengahnya. Dan aku juga psimis. Apakah kelak kudapati otak secerdas otak Eva?.

            Dr. Cho menoleh padaku. Menatapku tanpa kata-kata. Hanya hening sejenak. Sebelum akhirnya tangis bayi itu memecah bongkahan sunyi di ruang bersalin ini. Aku mematung menatap bayi kecil yang jauh dikatakan sempurna itu. Wajah yang tak sempurna. Mata hanya satu di depan. Mulut melebar membuat garis diameter melengkung dari telinga kanan sampai telinga kiri. Tanpa kaki. Dan hanya tangan kiri yang mempunyai jari-jari.

            “Ivan, Proses pengkloningan manusia merupakan proses yang rumit karena DNA manusia amat kompleks. Sulit memetakan DNA manusia, memilih gen yang baik dan membuang gen yang buruk. Banyak sekali kegagalan dalam proses pengkloningan manusia. Hasilnya pun mengerikan.” Dr. Cho menepuk pundakku. Sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruang bersalin.

            Aku tertunduk kaku.
Tuhan, sampai kapanpun, tak akan pernah ada kemampuan manusia yang sejajar dengan-Mu.




Semarang, 26 Juni 2013  18.45



Menjelang adzan isya, saat berjalan menapak rimba imaginasi

No comments:

Post a Comment