Thursday, 20 March 2014

CERPEN : DUA BIDADARI





"Rangga,, anggap ini adalah permintaan terakhir dari bu, Nak…”

Wajah itu menatapku tajam. Wajah cantik ibu yang sebagian tertutup keriput halus melihatkan harapan yang teramat sangat. Aku hanya menunduk kaku. Tidak berani menatap wajah bidadari terindahku. Bukannya takut dengan kalimatnya. Tapi, lebih karena aku tidak berani untuk mengambil keputusan saat itu.

Dalam sejarah hidupku, satu hal yang teramat sulit untuk kulakukan adalah menentang keinginan ibu. Bukan karena aku takut pada ibu. Tapi, lebih cenderung pada sebuah alasan. Sejak aku kecil, sampai sekarang umurku yang hampir seperempat abad, teramat jarang sekali ibu meminta sebuah permintaan dariku. Ibu lebih banyak menuruti semua keinginanku. Dari masalah memilih baju sampai masalah memilih sekolah. Ibu selalu bersikap demokratis. Aku diberi kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk memilih.

“Rangga mencintai Kania, Bu….”

Suaraku terdengar menggantung.
Hening sejenak. Hanya menyisakan suara detik jam dinding.
“Rangga tidak mencintai ibu…????”

Deg…!!! Terasa seperti ada sebilah pisau yang menyayat batinku. Perih.


Aku terdiam. Mulutku terbungkam oleh gejolak batinku sendiri.
Tidak ada alasan bagi Rangga untuk tidak mencintai ibu. Tapi, tidakkah ibu sedikit saja bisa memahami perasaan Rangga?. Rangga benar-benar mencintai Kania.
Sebuah kalimat yang ingin rasanya terlontar. Tapi, entah kenapa kalimat itu segera luluh di tenggorokan sebelum sempat lepas tak terkendali dari lisanku.
“Menurut ibu, Arinta lebih pantas untuk menjadi pendampingmu daripada Kania…!!!”
Dengan suara tegas ibu mengucapkan kalimat itu.
Tapi aku mencintai Kania, Bu…..

Hanya ungkapan itu yang tersirat dalam diamku. Diam yang justru membuat ibu mengerti dengan apa yang ada difikiranku.

“Rangga,,,, ibu hanya memberimu dua pilihan. Pilih ibu atau Kania?. Dimana, dua pilihan itu semuanya beresiko. Jika kamu memilih ibu, hapus keinginanmu untuk menjadikan Kania sebagai pendamping hidupmu. Dan menikahlah dengan Arinta. Tapi, jika kamu memilih Kania, lupakan bahwa kamu pernah mempunyai ibu.”
Bruuukkk…. Ibu keluar kamar dan menutup pintu kamarku dengan sedikit kasar.
Kemarahan ibu yang baru kurasa sekarang.

Aku mengehempaskan tubuh di atas tempat tidur. Sejenak memejamkan mata. Meski masih terasa sekali perih dari kalimat-kalimat ibu baru saja. Cairan bening yang sejak dari tadi kutahan, akhirnya keluar juga. Air mataku tumpah tak terbendung. Dua bidadari seakan muncul tepat di pelupuk mataku.
Kania Herawati. Gadis manis berjilbab yang sudah hampir empat tahun ini kukenal. Sosok mungil yang begitu menggemaskan. Aktivis kampus dengan segudang prestasi. Peraih predikat mahasiswa lulusan terbaik saat wisuda dua bulan yang lalu.

Hampir empat tahun aku memendam kagum padanya. Tak terpungkiri juga, dari rasa kagum itu, tumbuh benih-benih cinta. Cinta antara lawan jenis yang membuat aku berani untuk melamarnya setelah aku mendapatkan pekerjaan tetap seusai wisuda sarjana.

Tak terkira bahagianya, ketika Kania menerima lamaranku tersebut. Cinta yang kupendam lama, akhirnya terbalas juga dengan kata penerimaannya. Tapi teramat sayang. Saat itu aku tidak meminta persetujuan ibu terlebih dahulu. Aku mengira, ibu akan setuju dengan wanita pilihanku. Karena, ibu yang kukenal selama ini adalah seorang ibu yang teramat demokratis pada anak-anaknya. Aku baru memberi tahu ibu, ketika aku telah mempersiapkan semuanya sebelum kunjunganku ke rumah orang tua Kania.

Di luar dugaanku. Ibu juga telah memilihkan seorang wanita yang menurutnya cocok untuk menjadi pendampingku. Menjadi istriku. Dan menjadi ibu bagi anak-anakku kelak. Arinta Rahayu. Seorang perempuan cantik lulusan Tokyo University. Anak bungsu dari teman dekat ibu. Ibu berasumsi aku akan menerima saja pilihan ibu. Karena, selama ini, ibu teramat jarang meminta sesuatu padaku. Ditambah lagi, selama aku sekolah dan kuliah, sama sekali aku tidak terlihat bersama seorang teman perempuan. Ibu mengira aku tidak bisa mencari pendamping.

Wajahku pias. Sesak dan helaan nafas panjang terasa memenuhi langit-langit kamar. Dua bidadari yang sangat indah di mataku. Ibu dan Kania. Teramat sulit bagiku untuk memilih satu dari keduanya. Aku benar-benar mencintai mereka. Mereka sama-sama menempati tempat di hatiku. Hanya saja, pada ruang yang berbeda. Cintaku pada ibu dan cintaku pada Kania, jelas berbeda. Aku mencintai ibu dengan porsi cinta seorang anak pada ibunya. Sedangkan aku mencintai Kania, berada pada porsi cinta pada pasangan hidup.

Tapi, keadaan mengharuskanku untuk memilih. Kali ini ibu tidak main-main.
Kembali aku memejamkan mata. Mencari jawaban. Aku harus segera menentukan pilihan. Sebelum semuanya terlambat.
Sejenak mataku terpejam. Gelap. Tapi, seperti ada siluit cahaya petunjuk.
Ya…!!! Aku menemukan jawaban.

                                                                                ******

Minggu pagi yang indah. Matahari masih menggeliat bersemangat untuk membagi sinarnya pada dunia. Awan putih bak kapas yang lembut membercak di langit biru yang terhampar luas. Simphoni alam memainkan peran. Meniupkan angin sepoi kecil. Berhembus menggoyang rumput taman yang lamat-lamat masih membekaskan embun pagi.
Taman kecil di tengah kota masih riuh dengan pengunjung. Aktivitas minggu pagi bagi masyarakat sekitar adalah menikmati weekend dengan olah raga melemaskan tubuh. Setelah enam hari mereka disibukkan dengan aktivitas kerja dan rutinitas lainnya.

“Kamu sudah mengambil keputusan…???”
Mata Kannia berbinar disertai senyum kecilnya yang terkesan agak cemas.. Berharap aku segera memberi jawaban. Sedangkan aku sendiri justru malah terdiam.
Pagi ini, aku ada janji untuk ketemu Kania. Menjelaskan semuanya. Menjelaskan tentang keputusan yang telah kuambil.
“A… A…Aku mencintaimu, Kan….”
Gugup. Hanya kalimat itu yang tiba-tiba terucap dari lisanku.
“Aku juga.” Kania menjawab mantap.
“Tapi…..”
Aku lebih gugup. Keringat dingin mengucur deras.
“Tapi apa Rang….????”
Kalimat Kania terekesan memburuku. Tidak sabar ingin segera mendengar jawaban dariku.
“Maafkan aku Kania,,, Jujur, aku sangat mencintaimu. Bahkan aku merasa takut jika kehilanganmu. Tapi, aku juga mencintai ibuku…. Aku… A.. Aku…”
Aku kembali terdiam. Meski aku tau, kalimat itu masih terdengar menggantung.
“Terus….???” Kania lebih memburuku lagi.
“Aku memilih ibuku.”
Suaraku bernada pelan. Bahkan hampir tak terdengar. Tertelan suara angin sepoi yang membasuh taman kota. Pelan terdengar. Tapi cukup tajam untuk dirasa. Kania yang sejak tadi masih tersenyum meski dengan senym cemas, kini sempurna terdiam.

Kecewa.
Ekspresi itu yang kutangkap dari diam wajahnya.
Maafkan aku, Kania.
“Rang, selama ini, kamu tidak pernah serius mencintaiku.”
“Aku serius mencintaimu, Kania….”
“Bohong…..!!!!! Kalau kamu serius mencintaiku, kamu pasti akan mati-matian untuk mempertahankan aku di depan ibumu.”
Suara Kania meninggi. Setetes air matanya mulai turun.
“Kania, tolong mengerti posisiku. Ibu hanya memberiku dua pilihan. Ibu atau kamu. Aku sudah mencoba berbagai cara untuk bicara dan menjelaskan pada ibu. Tapi, sepertinya ibu memberi harga mati. Hanya dua pilihan itu. Tidak ada pilihan lain.”
“Berarti, kamu lebih memilih menuruti keinginan ibumu???? Menikah dengan Arinta??? Iya….????!!!!”
Aku hanya bisa terdiam. Iya Kania. Maafkan aku.
“Jelas kamu tidak serius mencintai aku Rang…..”
“Aku benar-benar mencintai kamu, Kan….”
“Buktikan Dong….!!! Jika kamu benar-benar mencintaiku, kamu akan lebih memilih aku daripada ibumu. Bahkan kalau perlu, kamu rela meninggalkan ibumu demi aku. Itu baru namanya cinta sejati..”
Kubiarkan Kania beragumen dengan pendapatnya. Aku tau, sekarang posisiku berada pada pihak yang kalah. Aku yang memulai. Dan sekarang, aku juga yang mengakhiri. Di satu sisi, aku mengerti perasaan Kania. Merasa dipermainkan.
“Baiklah… aku akan menjelaskan alasanku kenapa aku lebih memilih ibu.”
“Iya…!!! Jelaskan saja.!! Kuharap bisa masuk akal.”
Jawabnya ketus.

“Kania, dengarkan aku. Aku hanya minta sedikit empatimu. Sedikit merasakan posisiku. Kania,,, kamu seorang perempuan. Kelak, kamu akan ditakdirkan sebagai seorang ibu. Yang dari rahimmu akan diberikan amanah seorang anak oleh Tuhan. Sembilan bulan kamu mengandungnya dengan susah payah. Menahan sakit, lelah dan berbagai keadaan yang mungkin tidak mengenakkan.”

“Setelah sembilan bulan lebih semua proses janin berlangsung, tiba saatnya kamu untuk melahirkan. Nyawa yang hanya satu-satunya diberikan Tuhan, rela kamu pertaruhkan untuknya. Untuk seorang bayi kecil yang sama sekali belum pernah berkorban untukmu. Tidak hanya sampai di situ. Belum genap satu tahun usianya, hampir tiap hari kamu disibukkan oleh. Tangisnya yang selalu terdengar tiap malam. Membangunkan lelap tidurmu. Malam yang seharusnya nikmat untuk beristirahat, beberapa kali kamu harus terbangun untuk mengganti popoknya. Membuatkan susu untuknya.”

“Beranjak dewasa cinta dan pengorbananmu untuknya selalu di uji. Demi kebahagiaannya, kamu relakan kebahagiannmu hilang. Demi membuatnya tersenyum, kamu relakan air matamu menetes. Berusaha untuk memberikan masa depan terbaik untuknya. Biaya pendidikan yang kadang terlalu tinggi, kamu tempuh meski dengan menanggung hutang. Hanya ingin mencoba memberikannya pendidikan terbaik.”

“Nasehat dan petuah tak hentinya kamu berikan. Meski harus menanggung jawaban ‘kuno’ darinya. Pengorbanan dalam bentuk apapun adalah konsekuensi yang harus kamu tanggung sebagai seorang ibu demi melihat buah hatimu bahagia.”

“dan sekarang, Kania… setelah proses atas nama cinta dan kasih sayang seorang ibu pada anaknya kamu tempuh bertahun-tahun, bagaimana perasaanmu jika buah hati yang teramat kamu cintai itu lebih memilih wanita lain..??? Lebih mencintai wanita lain yang baru saja dikenalnya beberapa tahun. Dari pada memilih dirimu sebagi ibu yang telah dikenalnya seumur hidup dengan berbagai pengorbanan yang telah kamu berikan…??? Bahkan hampir saja pengorbanan nyawamu saat melahirkannya ke dunia ini..!!!!”

“itukah arti cinta sejati yang kamu pahami Kania…??? Kamu seorang perempuan. Aku hanya minta sedikit empatimu. Bagaimana jika sekarang kamu di posisi ibuku…???”

Angin sepoi berhembus pelan. Sejuk terasa membelai wajah. Kania hanya menunduk. Butiran-butiran air matanya deras mengalir. Entah apa yang dirasakannya. Jujur, aku tidak tega melihat air mata Kania menetes. Tuhan, aku sangat mencintainya. Tapi, mungkin aku lebih tidak tega lagi jika harus melihat air mata ibu menetes. Menetes untuk yang kesekian kalinya semenjak aku dilahirkan.

Aku telah memilih. Setiap pilihan ada konsekuensi yang harus kutanggung. Dan konsekuensi dari pilihanku adalah memilih lepas dari kania. Sakit? Itu pasti…!!! Tapi sakit yang kurasa sekarang, tidak ada seujung kuku jika dibandingkan semua pengorbanan ibu untukku selama ini.

Sekali lagi, maafkan aku Kania… jujur, aku sangat mencintaimu.

Kalimatku tercekat di tenggorokan.
Kania bangkit dari duduknya. Bergegas meninggalkan aku yang masih mematung.
Matahari mulai bernajak meninggi. Ikhlas menjalankan tugas dari Tuhannya. Menyinari alam semesta tanpa mengharap imbalan. Seperti cinta ibu yang tak kan bisa terukur dengan apapun.
Kutatap punggung Kania dengan tatapan nanar. Perih menyumbat sampai ke ulu hati. Tapi, aku mencoba ikhlas dengan keputusan yang telah kuambil.

Menikahi orang yang kita cintai, itu beruntung.
Mencintai orang yang kita nikahi, itu belajar.
Menikahi orang yang tidak kita cintai, bukan berarti duka.
Dan mencintai orang yang tidak kita nikahi, tidak harus berujung dengan air mata.
Karena,,,,,
Mencintai tidak harus memiliki. Tapi cinta adalah anugrah terindah setelah iman yang pernah kita miliki.

Air mataku menetes pelan. Lirih batinku berucap.
Ibu, aku mencintaimu.



Semarang, 20 Juli 2009

Seperti yang dituturkan seorang Akhi,,,,

No comments:

Post a Comment