Saturday, 22 March 2014
CERPEN : SUJUD CINTAKU DI KAKI IBU
“Pokoknya Nana ga mau pulang…!!! Abang pulang sendiri sana…!!!!”
“Tapi Na… Abang minta kamu pulang…!!! Ibu sakit. Ibu ingin bertemu denganmu….!!!”
Bang Rasyid, kakakku terus mencoba membujukku untuk pulang. Sudah hampir sebulan ini aku kabur dari rumah. Dan tinggal di rumah Imah. Teman sekampusku.
“Ayolah Na…!!!!!!!! Kamu ga kasihan sama ibu????”
“Sekarang ibu tinggal pilih…!!! Pilih Nana atau Bang Rasyid…????!!!!!”
“Ibu sayang kamu Na… Juga sayang Abang..!!!!”
Suara Bang Rasyid terus menggema di balik pintu. Aku di dalam kamar Imah. Sengaja aku kunci kamar Imah agar Bang Rasyid tidak bisa masuk.
“Ya sudah….!!! Jangan salahkan Abang dan jangan pernah menyesal kalau terjadi apa-apa dengan ibu. Abang pulang dulu. Assalamu’alaikum…..”
Kudengar langkah Abang menjauh meninggalkan pintu kamar Imah yang masih tertutup.
“Wa’alaikumsalam…!!!!!!!!!” Jawabku pelan dengan perasaan menyimpan jengkel.
Terhitung sejak kabur, sudah sepuluh kali Bang Rasyid datang ke rumah Imah, tempat persembunyianku untuk mengajakku pulang. Kepergianku dari rumah mungkin banyak dikira orang aku kurang dewasa. Umurku sudah dua-puluh tahun dan telah menginjak semester tiga kuliah di salah satu universitas swasta di Bekasi. Tetapi, kata banyak orang, aku belum dewasa. Emosi yang meledak-ledak dan kemanjaan yang keterlaluan menjadikan alasan banyak orang untuk mengataiku, bahwa aku kurang dewasa. Termasuk juga ibu, ayah dan Bang Rasyid di rumah.
Tapi, mikirin amat kata mereka..! Ok, mungkin peristiwa-peristiwa lain aku bisa menerima sebutan mereka bahwa aku kurang dewasa. Tapi, tidak untuk ini. Tidak untuk sebuah alasan kenapa aku perlu pergi dari rumah. Mungkin mereka bisa mengatakan aku kurang dewasa karena mereka tidak tahu apa yang kurasakan sebenarnya. Kedua orang tuaku, terutama ibuku lebih membanggakan Bang Rasyid daripada aku. Lebih membanggakan Bang Rasyid sebagai ‘anak tiri’ daripada aku yang jelas sebagai anak kandung mereka.
Aku tahu, secara Akademik, Bang Rasyid memang jauh lebih cerdas daripada aku. Sejak sekolah dasar sampai Sekolah Menengah Atas, Bang Rasyid selalu menduduki pringkat pertama parallel di sekolah yang selalu Favorit juga. Bahkan, ketika lulus SMA, Bang Rasyid langsung diterima di dua kampus yang bergengsi di Jakarta. Satu di jurusan Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Dan satunya lagi di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dengan spesialisasi Akuntansi. Yang pada akhirnya, Bang Rasyid lebih memilih melanjutkan studinya di STAN Jakarta. Dengan alasan, ada ikatan Dinas dari Departmen Keuangan setelah lulus nanti.
Sedangkan aku, belum pernah ada sejarah dalam hidupku bisa masuk peringkat sepuluh besar di kelas. Setelah lulus SMA, sudah beberapa kali aku tes masuk perguruan tinggi negeri. Tapi, tidak ada satupun yang tembus. Yah…!!! Terpaksa, mau tidak mau aku harus masuk universitas swasta yang terlalu sulit untuk dikatakan Favorit.
Para tetangga, saudara maupun teman kerja ayah selalu memuji keindahan Bang Rasyid. Banyak yang bilang Rasyid yang cerdas, Rasyid yang shaleh, Rasid yang rajin, Rasyid yang sopan, dan bla…bla…bla…. Lainnya. Kalau sudah seperti itu, Ayah dan Ibu akan bangga sekali mempunyai putra, atau lebih tepatnya anak tiri seperti Bang Rasyid.
Sedangkan aku??????? Mungkin Ayah sama ibu lupa kalau punya anak kandung yang mestinya perlu lebih dibanggakan daripada anak angkatnya. Aku lahir dari rahim ibuku. Aku buah cinta ayah dan Ibu. Aku lebih berhak atas kedua orang tuaku dari pada Bang RAsyid yang statusnya hanya anak angkat. Ya…!!!! Aku tegaskan sekali lagi…!!!
Hanya anak angkat yang diambil dari panti asuhan. Yang mana kedua orang tuanya tidak jelas. Mungkin saja bisa anak haram hasil perbuatan zina kedua orang tua kandungnya. Atau juga anak orang gila hasil perkosaan laki-laki jalanan yang tidak bertanggung jawab.
Entahlah…!!!. Yang pasti, sejak kecil Bang Rasyid selalu mengambil perhatian orang-orang yang aku cintai. Terutama ayah dan ibu. Mereka selalu membanggakan Bang Rasyid di depan teman-teman mereka.
“Tidak ada perbedaan kalian di mata Ibu Nak… . Nana maupun Rasyid adalah anak Ibu dan Ayah” Kata ibu suatu ketika.
“Tapi buktinya mana bu??. Ayah sama ibu selalu membanggakan Bang Rasyid di depan teman-teman ibu. Tapi, ibu tidak pernah sedikitpun membanggakan Nana di depan tema-teman ayah dan ibu.”
“Ya kalau kamu merasa seperti itu, buat dong sebuah prestasi yang bisa dibanggakan. Jangan hanya jadi rocker yang ga karuan arahnya…..!!!”
Buat prestasi…..????????????
Jangan jadi Rocker…??????????
Ke masjid terus seperti Bang Rasyid….??????????
Oh…. Bukankah aku dan teman-teman bandku pernah meraih juara satu dalam lomba band se-DKI?. Bukankah aku juga pernah menjuarai model covergirl sebuah majalah remaja? Dan bukankah itu sebuah prestasi juga?
Apakah yang namanya prestasi selalu di bidang akademik seperti Bang Rasyid?. Apakah prestasi harus selalu shalat lima waktu tepat waktu di masjid seperti Bang Rasyid juga?.
Jelas ini sudah pilih kasih.
“Nanti Na… ayah belum gajian. Ayah mau belikan abangmu buku untuk kuliahnya dulu. Kasian abangmu kalau pulang malam terus karena harus mengerjakan tugas kuliah di rumah temannya karena abangmu tidak punya buku.”
Kata ayah suatu saat waktu aku minta ayah untuk membelikan sebuah gitar. Hatiku panas mendengar jawaban ayah.
“Kenapa selalu Bang Rasyid terus??? Padahal dia anak anak angkat..!!! Dia anak tiri…!!!”
Sentak ayah langsung bangkit dari duduknya dan hampir menamparku. Tapi, untung Bang Rasyid menarik tubuhku dalam pelukannya. Menghindarkanku dari tamparan ayah.
“Sudah yah… tidak apa-apa. Rasyid nanti pinjam buku di perpustakaan kampus saja. Mungkin Nana memang perlu banget gitar itu.”
“Kalau punya gitar malah pulangnya malam terus. Bergadang sama teman-teman yang tidak jelas. Ingat Na…!!! Kamu sudah kelas tiga SMA. Belajar yang rajin…!!! Biar lulus sekolah dengan baik. Dan bisa diterima di kampus seperti Rasyid.”
Yah…!!! Bang Rasyid lagi. Kenapa ayah dan ibu selalu membandingkanku dengan Bang Rasyid????!!!!
Itu ayah. Sama saja dengan ibu.
“Waaahhhh… Bu Aisyah, saya suka banget lho… sama Rasyid anak ibu itu. Sudah ganteng, cerdas, shaleh lagi. Kemarin putri saya yang baru berumur lima tahun minta diajar ngaji sama Rasyid. Katanya suaranya bagus. Pinter kalau ngaji qur’an.”
Kata Bu Nining tetangga sebelah Waktu kita ketemu saat membeli sayur di tukang sayur yang sering mangkal di depan rumah Bu Nining.
“Ya,,, begitulah Bu… Rasyid itu anaknya rajin. Bahkan, dia tahun ini lulus dengan predikat lulusan terbaik. Indeks prestasinya saja 3,85. Katanya dapat beasiswa untuk melanjukan ke D4 di kampusnya. Setara dengan sarjana.”
Ibu menimpali dengan kat-kata yang membuat aku semakin membenci kakak angkatku.
“Kapan Nana bisa mencontoh kakaknya? Hehehehe…..”
Kata Bu nining lagi sambil melirik ke arahku. Aku hanya bisa membalas omongan itu dengan senyum sinis.
Begitulah, dimata banyak orang Bang Rasyid layaknya pengeran yang layak dihujani dengan pujian dan sanjungan. Bahkan, pernah teran-terangan pak Haji Ridwan, yang sering ngisi pengajian di masjid komplek meminta izin ayah untuk menjodohkan putrinya yang masih kuliah di UI dengan Bang Rasyid. Katanya pas banget kak Irma, putri pak Haji Ridwan jadi istrinya Bang Rasyid. Sepintas jika kulihat memang iya. Bang Rasyid yang alim dan aktivis rohis kampus sekaligus ketua remaja masjid di komplek kita. Sedangkan Kak Irma, seorang muslimah dengan jilbab lebar, lembut dan keibuan.
Bang Rasyid yang selalu jadi idola di kompleks perumahan kita. Bahkan, tetangga-tetangga sebelah selalu menasehati anaknya agar bisa seperti Bang Rasyid. Seorang pemuda yang bisa dikatakan hampir perfect dimanapun. Tidak hanya di rumah. Tapi di kampusnya juga. Pernah suatu saat aku diajak main ke kampusnya di daerah Bintaro. Hampir semua mahasiswa STAN kenal semua sama Bang Rasyid. Karena, sepanjang jalan dari parkiran sampai masjid kampus, semua orang menyapanya. Minimal sedikit tersenyum saat kami lewat di depan atau sebelah mereka.
Setelah kita sampai di sebuah masjid, aku dimintanya duduk bersama teman-teman perempuan jilbaber semua. Yang kata Bang Rasyid, mereka akrab dengan sebutan ‘akhwat’. Sedangkan dia sendiri duduk bersama teman-teman yang sering di sebut ‘ikhwan’. Wuiiiiiihhhh….. aku celingukan seperti orang bodoh. Aku yang hanya mengenakan celana jeans ketat dan kaos lengan pendek. Sedangkan di masjid itu, sedang ada pengajian.
“Adiknya Akh Rasyid??????”
Tanya salah satu muslimah ketika aku mengenalkan diri. Memang mereka tersenyum. Tapi aku masih bisa melihat senyum mereka adalah senyum heran bercampur sinis.
“Kenapa? Ga mirip ya? Jelas aja ga mirip. Bang Rasyid hanya anak angkat di keluarga kita.”
Jawabku ketus.
Belum sampai acara selesai, aku meminta Bang Rasyid untuk segera pulang. Rasanya aku benar-benar sudah tidak tahan dengan acara seperti ini. Laki-laki sama perempuan dipisah. Dengan terpaksa Bang Rasyid menuruti keinginanku. Karena aku mengancam kalau tidak pulang aku akan pulang sendiri. Dan Bang Rasyid tahu kebiasaanku. Kalau aku pulang sendiri, alamat aku akan keluyuran ga jelas.
“Na… Kapan ya, adek Abang yang satu ini mau berjilbab?” Tanyanya suatu saat.
Jilbab???????
Ga salah?????
Kalau aku pake jilbab, mana mungkin bisa ngerock lagi sama teman-teman. Yang ada hanya jadi anak super kuper yang bisanya hanya datang di pengajian.
“Ntar aja Bang, kalau Nana udah merried. Atau sekalian Nana udah pikun dan mendekati mati”
Bang Rasyid tersenyum manis mendengar jawabanku.
“Misal kalau Nana belum nikah udah dipanggil sama Alloh, gimana?”
“Oooohhhh… gitu???? Jadi Abang doain biar Nana cepet mati. Trus, Abang dengan bebas mendapat perhatian layaknya anak kandung ayah dan ibu???????????. Gitu?????????????. Inget ya Bang….!!! Status Abang di keluarga hanya anak pungut…..!!!!”
Kataku sambil berlalu dengan perasaan jengkel yang membuncah. Mikirin amat tentang perasaan Bang Rasyid..!!. Yang penting aku puas melampiaskan kemarahanku.
Peristiwa itulah yang membulatkan tekadku untuk kabur dari rumah. Aku sudah tidak tahan lagi dengan perasaan cemburu tiap hari. Cemburu pada Bang Rasyid. Cemburu pada seorang anak pungut malang yang sekarang sok jadi pangeran.
Setelah pertengkaran itu, aku masuk kamar. Kukemasi sebagian pakaian dan barang-barang kesayangan. Emosi sudah benar-benar menguasai otakku. Akan aku buktikan bahwa aku bisa hidup mandiri di luar sana. Aku bisa hidup sebagai seorang ‘Nana’ yang tidak perlu menjadi bahan perbandingan bagi seorang anak pungut seperti Bang Rasyid.
“Istigfar Na…!!! Maafkan Abang…!!!”
Bang Rasyid mencoba menghentikan langkahku. Aku tidak pernah memperdulikan omongan Bang Rasyid. Dengan gesit, tanganku mengemasi barang-barang untuk kumasukkan ke dalam tas. Yang diotakku, hanya sebuagh kalimat,
“Aku harus pergi segera.! Aku sudah tidak tahan..!!”
“Tenag Na,, mungkin abangmu cuma bercanda”
Cegah ibu juga yang kebetulan saat itu melihat pertengkaran kita.
“Na… kamu mau pergi kemana? Jakarta luas. Nanti kalau ada apa-apa denganmu bagaimana?’
Kata ayah juga.
“Sekarang Nana kasih dua pilihan. Siapa yang akan tinggal di sini??? Ayah dan Ibu pilih Nana sebagai anak kandung, atau Bang Rasyid sebagai anak tiri????!!!!”
Praaakkkk…..
Telapak tangan ayah tegas mendarat di pipi kananku. Ayah menamparku!
Seperti biasa, Bang Rasyid selalu mencoba melindungiku. Tapi kali ini gagal. Tangan ayah lebih cepat untuk menampar pipiku. Sedangkan ibu mencoba menenangkan emosi ayah.
Dengan menahan rasa sakit di pipi dan hati, aku melangkah keluar rumah. Kugunakan motor matic, tujuanku kali itu hanya satu. Ke rumah sahabatku, Imah.
“Kamu kabur Na?”
“Iya. Karena aku udah ga tahan jadi bahan perbandingan sama si anak pungut itu.”
“Ya udah, terserah kamu mau di sini berapa hari. Penghuni rumah ini hanya aku dan adekku. Kedua orang tuaku jadi TKI di luar negeri. Sedangkan adekku kadang main ke rumah tante di pondok kelapa. Jadilah aku hanya dirumah sendirian. Kalau kamu di sini, lumayan, ada yang menemani aku.”
Sudah hampir sebulan ini aku di rumah Imah. Kehidupanku agak sedikit berubah. Terutama masalah uang saku. Aku harus benar-benar ngirit agar tidak terlalu merepotkan Imah. Aku masih punya sedikit tabungan yang bisa kugunakan untuk bertahan hidup. Sedangkan untuk menambah pemasukan, dalam sebulan ini aku dan teman bandku dapat dua kali job manggung. Lumayan, ada sedikit pemasukan.
Dan dalam sebulan ini, Bang Rasyid berulang kali datang meminta maaf sekaligus memintaku untuk pulang. Alasannya hanya satu. Ibu sakit. Ibu terus meminta Bang Rasyid untuk membujuk agar aku pulang. Tapi, kuabaikan semua bujukannya. Aku tahu, ibu sakit hanya sebuah alasan untuk aku pulang. Setelah aku pulang nanti, yang ada hanya tamparan ayah dan kembali kudengar banyak orang yang membandingkanku dengan si anak pungut itu.
Tidak…!!! Aku tak mau pulang…!!!
“Bukannya aku mengusirmu Na… Tapi kasihan ibumu. Tadi aku sempat mendengar cerita dari abangmu kalau ibumu memang sakit. Ibumu merindukanmu. Jika aku boleh kasih saran, kamu jenguk sebentar ibumu. Kamu pastikan bahwa keadaannya memang baik-baik saja. Setelah itu, kamu balik kesini lagi ga papa.”
Imah terus menasehatiku.
“Ooohh, jadi kamu ikut membela mereka juga???”
“Bukannya aku membela mereka. Ini hanya saranku. Kamu terima atau tidak, itu hakmu. Tapi, sebagai sahabat, aku masih tetap mengizinkanmu untuk tinggal di sini. Sampai kapanpun kamu mau. Sekarang, kamu berkonsentrasilah dengan ujian semesteranmu. Jangan sampai IP kamu turun lagi semester ini.”
Ucapan Imah kuanggap angin lalu saja. Aku sudah benar-benar kecewa dengan keluargaku. Karena, ayah dan ibu lebih memilih Bang Rasyid yang statusnya hanya anak pungut. Daripada aku yang sudah jelas-jelas anak kandung.
Hampir tiap hari Bang Rasyid menelphone dan mengirimkan pesan singkat ke handphoneku. Intinya hanya satu. Minta maaf dan memintaku untuk pulang. Menjenguk ibu yang sedang sakit. Tapi, selalu kuabaikan semua usahanya. Tak pernah kuangkat telphonnya, tak pernah juga kubalas pesannya. Bahkan aku sudah menganggap dia bukan Abangku lagi. Aku merasa tidak pernah punya Abang seperti dia.
Hingga……, ada sebuah panggilan masuk di handphone. Nomor yang tidak kukenal.
“Hallo…” Kucoba mengangkat
“Na,,, ini ayah”
Hampir kumatikan. Setelah aku tahu, ayah yang menelphone.
“Jangan dimatikan dulu. Ayah ingin bicara sebentar….!!!”
Entah kenapa, suara ayah kali ini membuat emosiku sedikit lunak.
“Ayah ingin bertemu denganmu sekali saja. Ayah ingin omongkan sesuatu. Setelah ini, Ayah biarkan kamu dengan kehidupanmu sendiri. Ayah tidak akan lagi mengganggumu. Ibu tidak akan menginginkanmu untuk datang ke rumah kita lagi. Dan Rasyid juga tidak akan lagi memintamu untuk pulang.”
Aku masih terdiam.
“Tapi Ayah tidak ingin berbicara di telephone. Ayah ingin ketemu Nana. Hanya kita berdua. Tanpa ibu ataupun Rasyid”
Hatiku galau. Tapi, entah kenapa, suara Ayah benar-benar meluluhkan hatiku.
“Kita ketemu di kampus Nana saja. Besok jam satu siang. Nana tidak ada kuliah kan?”
Hatiku semakin luluh.
“Baik…! Nana akan penuhi petmintaan Ayah. Tapi sekali ini saja. Besok kita ketemu di kampus Nana jam satu siang. Asaalamu’alaikum…”
Kututup telephone tanpa mengizinkan Ayah berbicara lebih banyak lagi.
Seperti apa yang telah kita sepakati, siang ini aku bertemu dengan Ayah. Hanya ingin mendengarkan apa yang ingin disampaikan Ayah nanti. Meski hatiku masih menyimpan jengkel, entah kenapa, rasanya aku begitu rindu pada Ayah. Aku rindu bagaimana Ayah selalu memanjakanku sejak kecil. Ayah yang sering meluangkan waktu istirahatnya di kantor untuk menjemputku sekolah. Sepanjang jalan pulang sekolah, Ayah selalu memanggulku di pundaknya. Ayah yang pertama kali mengajariku naik sepeda roda dua waktu aku masih berumur empat tahun. Ayah yang merelakan jatah makan siangnya di kantor untukku. Ayah sengaja tidak memakan menu makan siang yang berupa sepotong ayam goreng. Karena Ayah tahu, aku suka sekali dengan ayam goreng. Ayam itu dibungkusnya untuk diberikan padaku. Sedangkan diwaktu siang, ayah rela menahan lapar dengan meminum segelas air di kantornya. Ah Ayah…. . Kenapa tiba-tiba aku begitu merindukanmu.
“Assalamu’alaikum….”
Sapa seorang laki-laki di balakangku.
Yup…!!! setelah aku menoleh, aku dapati ayah berada di belakangku.
“Nana udah makan siang? Ini Ayah bawakan ayam goreng kesukaan Nana. Tadi Ayah yang memasak sendiri”
Senyum itu mengembang. Entah kenapa, tiba-tiba air mataku ingin tertumpah. Tapi segera kutahan.
“Kok tidak ibu yang masak?”
Sambil menyerahkan bungkusan ayam goreng itu, Ayah segera duduk disampingku.
“Sudah hampir seminggu ini ibu di rumah sakit. Ibu didiagnosa kangker darah stadium akhir. Tadi Rasyid yang menunggu ibu. Makanya, Ayah yang menyempatkan memasak untukmu.”
Ibu sakit???
Benarkah yang dikatakan Bang Rasyid selama ini???
Tubuhku sedikit melemas. Hatiku perih. Ada sedikit penyesalan yang tiba-tiba muncul.
“Na… mau mendengar sedikit cerita dari Ayah?”
Aku mengangguk. Entah kenapa, suaraku tersekat ditenggorokan.
“Na… Ayah ingin bercerita tentang sebuah keluarga. Pada awal menikah, sepasang pengantin hidup bahagia. Menikmati cinta yang begitu indah dalam bingkai halalnya sebuah pernikahan. Layaknya keinginan seperti pasangan pengantin lainnya, mereka juga menginginkan seorang anak. Tahun pertama, tahun kedua, tahun ketiga, dan begitupun seterusnya. Sampai menginjak usia pernikahan yang ke delapan, Alloh belum juga memberikan amanah seorang anak kepada mereka. Usaha terus dilakukan. Tapi, belum juga Alloh memperkenankan.”
Suara Ayah terus bercerita. Sambil sekali-kali mengusap pundakku. Sedangkan aku sedikit demi sedikit menikmati Ayam goreng sambil mendengarkan cerita Ayah.
“…Hingga suatu saat, si istri mendapat tawaran untuk bekerja sebagai pengasuh anak di sebuah panti asuhan. Gajinya memang tidak seberapa. Tapi, satu harapannya. Mungkin dengan bekerja sebagai pengasuh anak, Alloh akan memnitipkan janin di perutnya.”
Mendengar cerita Ayah, aku tahu siapa yang dimaksud. Ayah pasti menceritakan ibu. Karena, setahu aku ibu pernah bekerja di panti asuhan.
“…. Alloh memang mengabulkan doanya. Meski bukan dengan cara memberinya janin kecil di rahimnya. Tapi dengan cara lain.”
Mataku tak berkedip mendengar cerita Ayah.
“Suatu pagi, ketika si istri mau masuk kerja, di depan pintu gerbang panti asuhan, ada seorang bayi kecil yang ditaruh di dalam kardus. Segera dia membawa bayi tersebut ke dalam. Entah kenapa, si istri tersebut begitu sayang dengan bayi itu. Setelah mendapatkan persetujuan suaminya, si istri memutuskan untuk mengasuh bayi itu dan menjadikannya anak angkat. Diasuh dan dibesarkan layaknya anak sendiri. Kemudian, bayi tersebut diberi nama Muhammad Rasyid”
Tebakanku benar. Ayah pasti menceritakan Bang Rasyid.
“Sepasang suami istri tersebut begitu bahagia dengan kehadiran Muhammad Rasyid. Rasyid tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas. Setelah disibukkan dengan Rasyid, si istri keluar kerja dari panti asuhan untuk berkonsentrasi merawat Rasyid. Melihat perkembangan Rasyid yang cepat, sepasang suami istri tersebut begitu bahagia. Hari-harinya selalu diramaikan dengan celotehan anak kecil yang lucu. Hingga….”
Ayah menghentikan sebentar ceritanya.
Aku menatap lekat mata Ayah dengan rasa penasaran.
“…Hingga, si istri terkena gajala kangker darah dan harus menjalani perawatan di rumah sakit. Karena suaminya harus merawat dan menungguinya di rumah sakit, terpaksa mereka menyewa seorang pembantu rumah tangga untuk mengurus rumah dan menjaga Rasyid. Sampai akhirnya, kejadian yang begitu menyakitkan bagi hati sang istri terjadi di rumah mereka”
Ayah kembali mengentikan ceritanya. Yang membuat aku semakin penasaran.
“Kejadian apa Yah???” Tanyaku mulai penasaran.
Kulihat Ayah megarahkan pandangannya jauh ke depan. Seakan mencoba membuka kembali pintu yang telah lama tertutup.
“Itulah Na… syetan akan selalu masuk setiap ada kesempatan. Masuk di nafsu manusia untuk terus menggoda agar manusia mau mengikuti jalannya.”
“Maksud Ayah…???? Nana ga tau”
Keningku berkerut menahan rasa penasaran.
“Entah karena khilaf atau memang godaan syetan yang begitu hebat, tanpa sepengetahuan istri, sang suami berselingkuh dengan pembantu rumah tangganya. Melakukan zina di rumahnya sendiri. Menghianati cinta istrinya yang begitu tulus. Di saat istrinya sedang berjuang untuk terus hidup dan melawan penyakitnya. Berjuang hidup untuk suami dan anak angkatnya.”
Kembali Ayah mengambil jeda dalam ceritanya. Kulihat butiran bening menetes dari kelopak matanya. Butiran itu perlahan jatuh. Sejenak menghentikan cerita yang semakin membuatku penasaran. Ingin rasanya aku memaksa Ayah untuk terus melanjutkan ceritanya. Tapi aku tidak tega. Aku hanya bisa menunggu sampai Ayah tenang.
“Pembantu tersebut akhirnya hamil. Ya…!!! Hamil anak dari sang suami.”
Tubuhku terasa kaku. Hatiku perih membayangkan perasaan sang istri.
“Nana seorang perempuan. Dan sudah dewasa. Pasti bisa merasakan bagaimana perihnya hati perempuan jika dihianati. Apalagi dihianati oleh suaminya sendiri.”
Kata Ayah mengajakku untuk berempati.
“Bagi Nana, itu teramat sakit Yah… Bahkan mungkin Nana tidak akan pernah bisa memaafkan keduanya. Suaminya maupun pembantunya.”
Aku mencoba memberi pendapat atas apa yang aku rasakan.
“Ya…!!! Hal seperti itulah yang ditakutkan sang suami. Tidak akan pernah mendapatkan kata maafnya. Yang ada hanya akan mendapatkan gugatan cerai dari sang istri.”
Pandanganku tertunduk. Mencoba ikut andil menjadi salah satu tokoh dalam cerita Ayah.
“Tapi Na… menurut Ayah, suami tersebut adalah laki-laki yang paling beruntung di dunia. Karena mendapatkan istri yang sabar dan shaleheh. Sekalipun perih hati yang dirasa, sang istri masih mempunyai telaga iman, dan kesabaran yang mungkin tak bertepi. Sifat pemaafnya benar-benar membuat hati sang suami menjadi malu.”
“Maksud Ayah….????” Aku semakin penasaran.
“Meski perasaannya sakit menahan perih batin dan rasa kecewa yang teramat sangat, sang istri tetap memaafkan suaminya. Tanpa sedikitpun keluar kata-kata dari lisannya untuk meminta cerai. Pembantu yang sedang hamil tersebut, dimintanya untuk tetap dirumahnya sampai tiba waktunya melahirkan. Setelah usia kehamilan pembantunya mencapai Sembilan bulan, maka lahirlah anak hasil perzinaan suami dan pembantunya tersebut. Bayinya perempuan. Si pembantu berniat menitipkan bayi itu di panti asuhan. Karena malu untuk membawa bayi tersebut pulang ke kampung halamannya.”
Sesekali ayah mengambil jeda dalam ceritanya. Terkadang hanya sekedar mengusap air mata yang perlahan jatuh ke pipi. Aku dengan sabar mencoba menjadi pendengar yang baik. Selama aku hidup, baru kali ini aku melihat Ayah menangis. Ayah yang kukenal selama ini adalah seorang ayah yang tegar. Sekalipun tak pernah kulihat ayah menagis. Baru kali ini.
“Akhirnya, sang istri meminta bayi itu untuk diasuhnya. Serta meminta juga agar si pembantu pulang ke kampung halaman dan tidak lagi muncul di hadapan keluarga tersebut. Meski hanya untuk sekedar menengok anaknya. Si pembantu menyanggupi permintaan sang istri asalkan anaknya dirawat dengan baik.”
Hatiku semakin perih mendengar cerita Ayah. Tapi, aku terus mencoba mendengarkannya.
“Dengan penuh ketulusan, sang istri mengasuh anak hasil perzinahan suami dan pembantunya. Mengasuh dengan sepenuh hati layaknya anak kandungnya sendiri. Dan bayi perempuan itu diberi nama …..”
Seakan suara Ayah tersekat di tenggorokan. Tak bisa melanjutkan ceritanya. Sejenak pandangan matanya menatap lekat wajahku. Aku tertegun menangkap pandangan Ayah.
“Purnama Wulandari….”
Degg…..!!!!!!!!!
Jantungku berdetak tajam. Tubuhku mematung.
Itu nama lengkapku.
Jadi….???????????????
Aku…..??????????????
Suasana hening sesaat.
“Yang akrab dengan panggilan ‘NANA’…” Akhirnya Ayah menutup ceritanya.
Aku hanya bisa terdiam. Meskipun Ayah tidak memberitahu, tapi dari cerita Ayah aku bisa menebak. Bahwa yang menjadi tokoh dalam cerita tersebut adalah Ayah, Ibu, Bang Rasyid, dan aku sendiri. Sebongkah perih yang sejak tadi membeku di hati, dengan perlahan, kini telah mencair, leleh menjadi butiran air mata yang jatuh menetes di pipiku. Butiran air mata yang tadinya hanya gerimis kecil, lama kelamaan berubah menjadi hujan air mata yang deras. Satu yang ingin kulakukan. Bertemu ibu, memeluknya, bersimpuh di kakinya, dan mengucapkan kata ‘maaf’.
“Ibu…. Maafkan aku. Maafkan Nana Ibuuuuuuuuuuuuuuu…………..”
Suaraku pecah bercampur dengan tangis yang kian deras.
Ayah memelukku. Memeluk erat dan mengusap kepalaku. Mencoba menenangkan. Tiba-tiba suara handphone Ayah berbunyi. Bang Rasyid yang menelphone.
“Apa???? Ibu kambuh lagi???? Iya, Ayah segera ke sana..”
Mendengar kata-kata Ayah, hatiku semakin ciut. Tidak ya Alloh….!!! Aku mohon, jangan ambil ibu sekarang. Aku masih perlu kata maafnya. Aku masih butuh belaiannya. Aku masih rindu kasih sayangnya.
Alloh… aku mohon, jangan ambil ibuku. Kalau perlu, ambil saja nyawaku. Jika itu bisa menggantikan nyawa ibuku.
Selama perjalanan ke rumah sakit, hatiku semakin tidak menentu. Aku benar-benar tidak menyangka. Wanita yang sering menjadi tumpahan kemarahanku mempunyai hati seluas samudra. Doaku hanya satu.
“Alloh, izinkan aku belajar darinya. Beri aku kesempatan sekali lagi untuk bisa belajar dari seorang muslimah selembut dan sesabar ibu. Aku janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku akan menyayangi semua keluargaku. Seperti ibu yang dengan ikhlas menyayangi dan mengasuhku. Anak hasil perzinahan suami dengan wanita lain.”
Kurasakan mobil Ayah begitu lambat berjalan. Padahal, Ayah sudah memaksimalkan kemudi mobilnya. Rasanya aku juga ingin segera bertemu dan meminta maaf pada Bang Rasyid. Karena selama ini dengan mudahnya aku selalu menyebut Bang Rasyid sebagai ‘anak pungut’. Padahal, jika mau, Bang Rasyid bisa membalas kata-kataku dengan menyebutku sebagai ‘anak haram’ hasil perzinahan.
“Abang…. Maafkan Nana…” Bisik hatiku.
Sesampainya di rumah sakit, kita langsung menuju ruang ICU. Di depan ruang ICU, aku melihat Bang Rasyid berdiri dengan cemas. Tidak beberapa lama dari kedatanganku dengan Ayah, seorang dokter keluar dari ruang ICU. Dengan cepat aku dan Ayah mengikuti langkah Bang Rasyid mendekati dokter tersebut.
“Bu Aisyah ingin bertemu dengan semua keluarganya. Silahkan masuk. Tapi tolong jaga ketenangan.” Kata dokter itu.
Setelah masuk ke ruangan tempat ibu dirawat, aku melihat tubuh ibu terbaring lemah. Langsung kuraih tangannya.
“Buuu… ini Nana Bu…. Maafkan Nana….” Tangisku pecah seketika
“Na...na… kemana saja ka…mu… Nak….??? I..bu rindu…” Suara ibu pelan.
Kudekatkan wajahku ke wajah ibu. “Maafkan Nana Bu… Sekarang Nana kembali untuk ibu. Nana rindu ibu….”
Kulihat ibu tersenyum kecil. Wajahnya terlihat manis. Tapi, lama kelamaan wajah ibu semakin pucat. Tangan ibu dingin. Nafas ibu sesekali terpatah-patah. Ya Alloh…. Hatiku semakin ciut. Sungguh aku tidak ingin kehilangan ibu.
“Ibu…. Maafkan Nana Ibu….” Tangisku semakin tak terbendung.
Ibu mengangguk. Tangannya yang terlihat ringkih mengusap kepalaku.
“I..ya… Na…. Ibu… su…dah memaafkan Nana. I..bu hanya punya satu permintaan untuk Nana”
“Katakan saja Bu… Nana pasti akan menurutinya.”
“Ibu sudah buatkan baju gamis untuk Nana. Sekaligus ibu juga telah membelikan jilbabnya. Sebagai hadiah ulang tahun Nana besok. Dari dulu ibu ingin Nana berjilbab.”
“Iya bu… demi ibu Nana akan memakai jilbab.”
Alat rekam jantung yang di pasang di atas tempat tidur ibu menunjukkan garis putus-putus. Reflek, Ayah dan Bang Rasyid langsung mendekat ke arah Ibu. Kudengar Ayah dan Bang Rasyid membisikkan sesuatu di telinga Ibu.
“Laa… ilaa… Haa.. Illallah… Mu…hammaa…durra…suu…lulloh….” Ibu mencoba menirukan bisikan Ayah dan Bang Rasyid dengan suara yang terpatah-patah.
Suara Ibu lirih bersama kelopak matanya yang mulai menutup. Alat rekam jantung sudah menunjukkan garis lurus. Menandakan jantung ibu sudah berhenti berdetak.
Ya…!!! Meski setengah sadar, aku tau Ibu telah pergi untuk selamanya. Pergi meninggalkan berjuta cerita tentang arti kata kesabaran. Kupeluk tubuh ibu untuk terahir kalinya. Dengan tenang, Ayah membelai dan mencium kening istrinya. Tabah tanpa air mata. Meski aku tahu, hati Ayah begitu menangis ditinggalkan bidadari tercinta untuk selamanya.
Begitupun Bang Rasyid. Simpuh hormat tampak ketika Bang Rasyid mencium kaki Ibu.
Aku dan Bang Rasyid memang tidak pernah lahir dari rahim ibu. Tapi kita berdua lahir dari ketulusan dan keikhlasan hati ibu.
Meski Ibu telah tiada, aku janji akan menjadi muslimah yang baik seperti ibu. Atau, bahkan jauh lebih baik daripada Ibu
Selamat jalan Ibu…
Tunggu kita di syurga….
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment