Wednesday, 19 March 2014
CERPEN : BELAJAR JADI KORUPTOR
Arloji di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 13.00. Terik matahari yang menyengat. Arus kendaraan sepanjang jalan pahlawan, kawasan simpang lima Semarang terlihat agak tersendat. Beberapa polisi terlihat siaga di depan gedung DPRD Semarang. Lengkap dengan laras panjang di tangan.
Aku menyeka peluh di wajah. Kuabaikan terik matahari yang mengguyur panas siang ini. Debu-debu dan asap knalpot kendaraan terasa berebut menampar wajahku. Berbaur dengan penat yang menggantung di sekujur tubuh.
“Bebaskan Semarang dan Jawa Tengah dari sarang koruptoooooorrrrr………”
Kulihat Alfian, lantang meneriakkan orasinya. Microphone yang di stel keras-keras, ternyata masih kalah dengan kebisingan arus kendaraan yang melintas.
“Apa jadinya anak cucu kalian nanti..????? Jika dari tangan kalian sendiri selalu mengajari kita untuk jadi koruptor…???? Mamakan uang rakyat….!!!!”
Wajah tegangku terus tertuju pada Alfian dengan segala oratornya. Lantang dan tegas. Alfian yang terus meneriakkan orasi diikuti oleh suara “setujuuuuuuu…..” dari para peserta aksi lainnya. Gabungan Badan Eksekutif Mahasiswa seluruh Semarang. Tumpah ruah memenuhi jalan Pahlawan, Kawasan Simpang lima, pusat kota Semarang.
Teriakan-teriakan Alfian selalu penuh semangat. Meski sebenarnya jika kurasa hanya menambah kebisingan di jalan ini. Suara lantang yang jelas terdengar hanya oleh para pengguna jalan dan masyarakat kecil yang kebetulan melintas. Tidak sampai pada sasaran utama agenda aksi kali ini. Bapak ibu anggota DPRD Semarang yang sekarang mungkin lagi santai menikmati istirahat siangnya. Di ruangan ber-AC yang kedap dari suara-suara di luar. Termasuk suara orasi dari Alfian.
Aku menatap wajah Alfian dan para orator lainnya dengan antusias. Ada semangat yang menyelip diantara wjaah-wajah tegang para peserta aksi kali ini. Wajah-wajah semangat yang mungkin hanya ditatap sinis dari para bapak dan ibu anggota DPRD yang menjadi sasaran aksi mahasiswa. Sikap anggota DPRD Semarang yang hanya melihat aksi kami dari balik jendela gedung megah ini dengan tatapan datar. Biasa. Atau mungkin hanya sebuah celetukan,
“Biasalah…!!! Mahasiswa sok idealis. Bisa berteriak seperti itu karena belum punya kesempatan untuk korupsi uang. Coba besok jika kursi empuk ini sudah berganti di tangan mereka. Apa mereka masih bisa berorasi seperti itu…?”
Aku tersenyum kecil membayangkan jika seandainya dugaanku benar. Dugaanku terhadap sikap oarang-orang yang sekarang sedang mneikmati istirahat siang di dalam gedung megah nan indah di hadapan kami. Orang-orang yang menjadi sasaran aksi mahasiswa. Yang mungkin justru hanya menonton aksi ini hanya sebuah hiburan kecil. Tak sedikitpun mamasukan orasi kami ke akal mereka. Kemudian menindaklanjuti dengan sikap yang positif.
Tiba-tiba senyumku terkembang sinis. Bagaimana mereka bisa menanggapi?. Lah wong mungkin mendengar orasi kami saja, tidak. Terhalang oleh dinding gadung yang kokoh.
“Angga, udah belajar buat ujian kuliah Auditing 2 besok..?”
Sentak, Rania memecah lamunanku. Belajar? Aku menepuk jidat. Belum sempat.
Aku menatap wajah Rania, ketua BEM Fakultas Ekonomi di kampusku dengan tatapan datar. Rania. Mahasiswi yang selalu meraih indeks prestasi terbaik tiap semester di angkatanku.
“Angga, kita pulang yuk….!!! Aku belum belajar untuk ujian Auditing 2 besok. Auditing satuku semester kemarin udah dapat A-. Aku ga mau Auditingku sekarang dapat A- lagi. Aku pinginnya dapat A bulat.”
Aku menepuk jidat lagi. Dapat A- masih kurang?. Aku saja Cuma dapat C. Itupun udah syukur tujuh turunan. Mata kuliah tersulit dari semua mata kuliah sulit lainnya selama aku kuliah.
“Kamu pulang dulu aja. Aku masih mau di sini. Sampai aksi selesai.”
Rania mendengus sebal.
“Apa untungnya coba? Ikut aksi seperti ini. Buang-buang waktu saja…!!!”
Aku mengernyitka dahi. Buang-buang waktu?.
“Percuma Ang… mereka juga akan menganggap ini semua angin lalu.”
Wajah Rania cemberut. Mukanya berlipat empat.
Sebetulnya, aku juga sedikit setuju dengan argument Rania. Buang-buang waktu dan tenaga saja. Tapi, jujur aku tidak enak dengan Alfian. Sejak minggu kemarin, kami bertiga memang sempat bersitegang. Alfian, sahabat dekatku yang sekarang menduduki presiden BEM Universitas. Begitu antusias untuk mengikuti acara tahunan yang diadakan gabungan BEM sekota Semarang. Mengadakan aksi anti korupsi di depan gedung DPRD kota Semarang.
“Inilah salah satu wujud kontribusi kita sebagai pemuda penerus bangsa. Meski hanya sekedar aksi, minimal kita ada tindakan untuk menyelamatkan bangsa ini dari sarang koruptor. Walaupun hasilnya mungkin tidak banyak. Tapi, itu lebih baik. Daripada kita tidak bergerak sama sekali.”
Argumen Alfian yang langsung ditanggapi dingin oleh Rania.
“Oeeeyyy…!!! Mau ikut pulang ga?” Raina menepuk pundakku.
“Ga..!!! Aku nunggu aksi sampai selesai.”
Rania kembali mendengus sebal. “Ya sudah. Aku pulang dulu. Mau belajar. Persiapan ujian besok.”
Aku mengangguk. Ok.
******
Lelah. Aku mengehempaskan tubuhku di tempat tidur. Aksi tadi siang benar-benar menguras seluruh tenaga dan fikiranku. Meski aku tidak seaktif Alfian dan orataor lainnya, meski aku hanya duduk-duduk di trotoar jalan, aku merasa seluruh tulangku hampir remuk.
Seusai aksi, Alfian terlihat agak sedikit marah. Ketika mengetahui kalau Rania pulang sebelum aksi usai. Dengan berbagai cara, aku mencoba untuk menjelaskan ke Alfian mengenai alasan Rania yang mau belajar untuk persiapan ujian auditing 2 besok.
Tapi, memang begitulah. Rania dan Alfian bagai bumi dan langit. Jauh. Alfian yang jelas jadi aktivis kampus dengan berbagai organisasinya. Meski indeks prestasi yang di dapatnya tidak beda jauh dariku. Mengenaskan. Sedangkan Rania, mahasiswi yang penuh dengan prestasi akademik. Meki Rania menduduki presiden BEM Fakultas, Rania masih bisa bertahan sebagai peraih indeks prestasi terbaik tiap semester.
Kepalaku agak pening. Tatapan mataku tiba-tiba tertuju pada buku Auditing 2 di atas meja kamar. Sebenarnya ada niatan untuk belajar. Tapi, kekuatan otakku telah habis tergerus oleh lelah yang mendera badan. Kulihat jadwal ujian yang sengaja kutempelkan di dinding kamar. Ada dua mata kuliah yang diujikan untuk hari besok. Auditing 2 dan akuntansi internasional. Dua mata kuliah yang teramat rumit.
Rasa malasku kembali menggelayut. Dua sisi hatiku saling tarik ulur. Belajar atau tidak. Tidak mungkin aku bisa menguasai lima bab hanya dalam satu malam. Apalagi ditambah tubuh yang teramat lelah seperti ini.
Senyumku tiba-tiba tersungging.
Yup…!!!! Sebuah cara yang praktis untuk mendapat nilai yang bagus tanpa lelah-lelah untuk belajar.
NYONTEK.
Tanpa pikir panjang, kuambil selembar kertas. Kupotong kecil-kecil sedemikian rupa agar nyaman digunakan untuk nyontek. Dari lima bab materi yang akan diujikan, aku mencoba merangkum. Mengambil materi-materi yang kemungkinan besar akan keluar. Aku mencatatnya dengan tulisan kecil-kecil. Memastikan bahwa kertas tersebut cukup untuk menampung bahan contekan ujian.
Aku hanya mencatat yang bersifat hafalan. Sedangkan yang bersifat hitungan, aku bisa minta tolong teman untuk memberi contekan. Memanfaatkan kelengahan pengawas ujian. Hampir semalaman aku memindah materi dari buku ke catatan-catatan kecilku. Sejenak aku berfikir. Kira-kira siapa yang bisa aku manfaatkan unuk meminta contekan?. Dahiku berlipat empat. Mencoba mencari teman yang berbaik hati untuk menolongku saat ujian besok. Bangku yang paling dekat denganku hanyalah Rania dan Alfian.
Rania?. Aku buru-buru mendelete nama itu dari daftar hitunganku. Kuakui, Rania memang cerdas. Tapi, teramat pelit untuk dimintai contekan saat ujian. Daripada aku besok jengkel sendiri saat melihat Rania acuh tak acuh menanggapi panggilanku, mendinagn dari sekarang aku tidak berharap banayk padanya. Kalaupun Rania menoleh, dia hanya akan menggeleng. Belum selesai. Kemudian, lima menit setelah itu, buru-buru dia menyerahkan kertas ujian pada pengawas. Rania selalu selesai paling awal saat ujian.
Alfian?. Tak pernah sedikitpun dia menolakku saat aku meminta contekan padanya. Alfian selalu berusaha menjadi teman yang baik saat ujian. Saling membantu dan bekerja sama. Tapi sayang…!!! Kapasitas otak Alfian tidak jauh beda denganku. Apalagi sekarang. Sudah kupastikan dia tertidur pulas setelah kelelahan dengan aksi orasinya tadi siang. Yang ada, justru besok dia yang pinjam catatan-catatan kecilku ini untuk mencontek.
Ah…!!! Gampang. Masih ada teman yang lain. Semoga saja malam ini masih ada yang mau belajar. Setelah tadi aku mendapat sms dari beberapa teman. Yang isi sms nya hampir sama.
“Jangan lupa besok contekin aku ya…!!! Aku belum belajar nih….”
Nafasku berhembus lemah. Kalau seluruh peserta ujian saling menggantungkan satu sama lain seperti ini, terus, malam ini yang belajar siapa?. Hanya Rania?. Alamat satu kelas akan dapat nilai yang sama. Sama-sama dapat C. Atau, bahkan bisa lebih parah daripada itu. Kecuali Rania. Si pelit yang selalu egois.
******
Pukul 08.00 di ruang ujian.
Aku menghembuskan nafas pelan. Agak sedikit tegang. Ini memang bukan pengalaman pertamaku dalam mencontek. Tapi, entah kenapa ada sedikit rasa kikuk. Kulirik Rania di sebelah kananku. Wajahnya terlihat santai. Rania pasti telah mempersiapakn ujian ini dengan matang. Apalagi untuk mata kuliah Auditing 2. Dosen yang mengampu Pak Bambang. Rania pasti akan mempersiapakn sebaik mungkin. Sudah menjadi rahasia umum, kalau Rania adalah mahasiswa emasnya Pak Bambang. Rania pasti berjanji tidak akan mengecewakan atas kepercayaan pak Bambang ketika menyematkan gelar padanya. Mahasiswa terbaik tahun ini.
Setelah kulirik Rania, aku mengerahkan pandangan ke kiri. Bangku tempat duduk alfian masih kosong. Sudah bisa kupastikan, Alfian pasti bangun kesiangan. Aku mengehembuskan nafas perlahan. Pengawas ujian memberi kode. Ujian akan segera dimulai. Satu persatu Pengawas memberikan lembar soal dan lembar jawaban pada masing-msing mahasiswa.
Kraaakkk… terdengar pintu ruang kelas terbuka. Alfian dengan wajah tergopoh-gopoh mencoba masuk ke dalam kelas. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu ketika pengawas menyadari ada yang masuk. Pengawas menurunkan sedikit kaca matanya. Menatap Alfian yang berdiri di balaik pintu dengan wajah memelas. Setelah melihat jam dinding, pengawas akhirnya mengangguk. Mengizinkan Alfian masuk. Baru telat dua menit.
******
Sekretariat BEM Universitas pukul 11.00
Aku mengehempaskan tubuh di lantai yang beralas karpet. Senyumku mengembang. Nyontekku kali ini berhasil mulus. Ada lima soal esai yang diujikan. Tiga berupa soal uraian. Dan dua soal hitungan. Aku mengelus dada tanda syukur. Tiga soal uraian semuanya ada di antara materi dalam kertas contekanku. Sedangkan dua soal hitungan, satu soal aku dapatkan jawabannya dari Bimo. Teman yang duduk di depan bangkuku. Satunya lagi, aku dapatkan dari Alfian. Dan Alfian sendiri dapat jawaban itu dari Mira. Sedangkan Mira sendiri, juga bukan hasil murni pemikirannya. Melainkan fifty-fifty. Separuhnya nyontek rumus, dan separuhnya lagi tinggal memasukkan angka dari soal ke rumus yang didapat dari kertas contekan.
Batinku membenak. Aku berani yakin. Ada sedikit peningkatan nilai untuk mata kuliah Auditing 2 ini jika dibandingkan Auditing pertama.
Oh Iya. Rania?. Tidak usah ditanya. Rania berhasil menyelesaikan soal itu tiga puluh menit sebelum bel tanda ujian selesai berbunyi. Tanpa membuka contekan, dan tanpa menyontek dari teman lain juga. Hal yang selalu dilakukan setiap ujian. Tidak pernah gentar meski selalu mendapatkan julukan ‘Si Pelit’. Karena, tidak pernah mau memberikan contekan pada teman dalam bentuk apapun.
Jujur, ada sedikit iri yang terpendam tentang Rania. Dia bisa se pede itu dalam mengerjakan tiap ujian. Meski tanpa nyontekpun, nilai indeks prestasimya selalu terdepan. Tapi, buru-buru aku segera menepis. Mungkin Rania memang dianugrahi Tuhan kapasitas otak di atas rata-rata mahasiswa lainnya.
Dan satu lagi. Tentang Alfian. Kalau masalah prestasi akademik, Alfian denganku hanya beda tipis. Senasip, seperjuangan, tapi tidak sepenanggungan. Karena, kita masih ditanggung orang tua masing-masing. Tiga soal uraian, sempurna tidak beda jauh dariku. Karena, seusai aku mengerjakan soal-soal itu, dengan hati-hati aku menyerahkan ketas contekanku pada Alfian. Tentunya, setelah memastikan bahwa kami berdua aman dari pandangan mata pengawas ujian. Satu soal hitungan, dia dapatkan dariku. Setelah aku menyalin hasil kerjaan Bimo. Dan satu soal lagi berhasil dia kerjakan setelah Alfian mendapat jawaban dari Mira. Yang kemudian, oleh Alfian diserahkan padaku.
Kerja sana yang bagus. Atas nama slogan ‘Membantu Orang Tua’.
Rania masuk dengan wajah agak ditekuk. Dahiku berlipat empat. Mengernyit.
“kenapa Ran?. Cemberut?. Tidak mungkin gara-gara kamu ga bisa ngerjain ujian tadi kan?”
Rania duduk di lantai yang beralaskan karpet dekatku tiduran. Hanya sedikit meoleh. Menatapku dengan tatapan seadanya.
Dua menit kemudian, Alfian masuk. Dengan wajah yang seakan memburu sesuatu.
“Rania, kamu ini presiden BEM FE. Jangan malu-maluin kita donk…!!!”
Nafasku mendesah pelan. Pemandangan biasa yang sering kita lihat. Aku berdoa dalam hati. Tuhan, aku mohon jangan jodohkan mereka. Kalau tidak ingin melihat pertengkaran yang jauh lebih hebat daripada permusuhan Tom and Jarry. Pertengkaran Alfian dan Rania meledak lagi.
“selama itu aksi menentang prakter korupsi, aku tidak akan ikut lagi. Titik…!!!!”
Wajah Alfian memerah. Menahan marah. Tak perlu penjelasan dari salah satu diantara mereka. Aku sudah bisa menebak akar dari pertengkaran mereka kali ini. menghilangnya Rania kemarin siang yang tiba-tiba dari aksi di depan gedung DPRD Jawa Tengah, membuat Alfian naik darah. Pasalnya, setelah aksi selesai, para presiden BEM dari masing-masing kampus, baik dari presiden BEM Universitas maupun Fakultas, diminta untuk kumpul. Evaluasi.
Alfian harus mneahan malu karena salah satu bawahannya, Rania, menghilang begitu saja. Sebelumnya, aku sudah menjelaskan alasan Rania yang tiba-tiba meninggalkan aksi pada Alfian. Tapi, Alfian tidak mau menerima. Alfian berpendapat, bahwa tanpa harus belajarpun, Rania tidak akan turun peringkat semester ini. Gelar penyandang IPK terbaik pasti akan dia raih kembali. Karena, menurut Alfian, Rania memang telah dikaruniai otak yang selalu encer. Karena itulah, alasan Alfian mendukung Rania untuk menjadi presiden BEM Fakultas Ekonomi saat pemilihan presiden BEM FE sebulan yang lalu.
Tadinya, Rania menolak untuk ikut pencalonan. Tapi, karena pintarnya Alfian membujuk, akhirnya Rania mau juga. Siapa yang tidak kenal Rania?. Dari mahasiswa, dosen, karyawan, cleaning service, pak satpam, sampai Mbak Yem, ibu yang jualan di kantin kampus pun tau Rania. Dan sejarah akhirnya mencatat. Rania menang mutlak dari dua kandidat lainnya.
Tapi, apa yang terjadi sekarang?
“Rania, coba kamu fikir..! apa kamu akan membiarkan negeri ini menjadi sarang koruptor selamanya?. Aksi kita secara langsung memang tidak bisa membabat habis praktek korupsi di negeri ini. Tapi, mungkin dengan mengadakan aksi seperti ini, kita bisa sedikit ikut ambil dalam agen perubahan untuk bangsa. Lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali.”
Rania menoleh sedikit pada Alfian. Pandangan yang cukup hambar dan sinis.
“Perubahan apa…???”
Nada bicara Rania yang terkesan cukup sinis. Aku menyandarkan tubuh pada dinding. Sudah biasa dengan pertengkaran mereka seperti ini.
“Alfian, kamu pernah berfikir ga? Bahwa sebetulnya kalian, sebagian besar dari peserta aksi kemarin adalah penyumbang koruptor terbesar…!”
Aku terperanjat. Tubuhku yang tadinya tersandar di tembok, aku paksa untuk duduk tegak. Mataku terbelalak. Antara bingung dan tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Kulirik Alfian. Ekspresi wajah yang sama denganku. Kaget dan tidak mengerti.
Kok bisa? Maksudmu?.
Rania mendengus sebal.
“Apa yang kalian lakukan waktu ujian tadi?”
Aku terdiam. Belum mengerti arah pembicaraan Rania. Begitu juga Alfian. Mungkin tambah tidak mengerti dengan teriakan Rania baru saja. Masih ditambah lagi amarah Alfian yang masih menggumpal di ubun-ubun.
“NYONTEK…..!!!!”
Suara Rania meninggi. Setelah sadar bahwa kita terdiam karena tidak mengerti arah pembicaraannya.
Nyontek?. Dahiku mengernyit. Tidak mengerti.
“Apa arti korupsi menurut kalian?. Mengambil sesuatu yang bukan haknya. Karena malas untuk berusaha. Malas untuk bekerja keras. Pinginnya serba instan. Kerja sedikit, tapi hasilnya banyak. Dengan jalan yang tidak diperbolehkan.”
“Mereka… para wakil rakyat. Pengennya kaya. Tapi, gaji bulanan yang mereka terima masih jauh dari keperluan hidup mereka yang tinggi. Jalan apa yang akhirnya mereka gunakan?. Malas cari kerja sampingan. Tapi pengen hidup mewah. Hanya dengan korupsi. Mengambil dengan cara cepat dan instan tanpa mempedulikan akibatnya. Yang penting aku kaya. Dengan jalan apapun.”
Aku terdiam semakin dalam. Begitupun Alfian. Tapi, apa hubungannya antara korupsi para wakil rakyat dengan nyontek?.
“Dan nyontek….” Rania seakan mengerti dengan apa yang ada di otakku.
“Nyontek adalah sikap malas berusaha tapi ingin dapat banyak. Malas belajar tapi ingin dapat nilai bagus. Tidak beda sama korupsi. Bedanya, kalau wakil rakyat korupsi duit, kalian korupsi kesempatan.
Oh..? Mulutku membulat. Mataku terbelalak. Rania, terus melanjutkan orasinya. Tapi bukan di depan gedung DPRD jawa tengah. Melainkan di depan Alfian. Mahasiswa yang terkanal dengan orasinya. Sedangkan Alfian sempurna terdiam.
“Buat apa kalian teriak-teriak anti korupsi?. Padahal, kalian sendiri sudah melakukan praktek korupsi. Tanpa kalian sadari. Siapa yang harus malu…???. Kalian bisa bilang seperti itu, Karena kalian belum punya kesempatan untuk mengorusi uang…..”
Rania mencibir.
“Kalau kalian memang berniat menjadi agen perubahan bangsa di bidang korupsi, mulai dari sekarang. Disiplinkan untuk jujur saat ujian. Jangan nyontek. Mulai dari hal yang kecil. Bisa korupsi uang besar karena waktu jadi mahasiswa terbiasa nyuri hal yang kecil menurut kalian. Nyuri kesempatan nyontek ditengah kelengahan pengawas. Tanpa kalian sadari, ada Tuhan yang tidak pernah tidur. Selalu mengawasi kalian. Termasuk waktu kalian nyontek. Dan mulai dari diri sendiri. Jangan harap orang lain akan berubah jika kita tidak merubah diri kita sendiri dulu.”
Jaringan otakku menangkap benang merah dari sikap pelit Rania selama ini. Nyontek saat ujian adalah cara paling ampuh untuk belajar menjadi koruptor.
Puas dengan segala orasinya, Rania beranjak pergi. Meninggalkan aku dan Alfian yang masih tergagap heran sekaligus malu. Aku memandangi punggung Rania yang akhirnya menghilang berbelok dari pintu.
Rania, sosok yang selalu patuh pada prinsip. Meski berbagai cercaan selalu menghampirinya. Bagaimana denganku dan Alfian?. Dan juga system pendidikan di Indonesia?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment