Monday, 24 March 2014
CERPEN : ROMANTIS
“Tadi malam hujan kok masih nyiram bunga????” Tanya suamiku heran.
Aku hanya diam sambil terus memegangi selang air dan mengamati tanaman bunga mawar yang menghiasi halaman kecil di depan rumahku.
Sejanak aku masih sibuk dengan bunga-bungaku. Dan kulihat suamiku juga masih sibuk dengan sepeda motornya. Persiapan berangkat ke kantor.
“Mas… Ingat…!!! Minggu depan tanggal dua puluh November.”
“Oh iya….!!! Terakhir bayar air PDAM ya?????. Biar besok Mas sebelum ke kantor mampir ke PDAM dulu buat bayar air.”
Kok??? Bayar air???????
Keningku berkerut keheranan.
Tanggal dua puluh November setahun yang lalu adalah hari diresmikannya kita menjadi sepasang suami istri. Berarti, dua puluh November tahun ini yang kebetulan jatuh minggu depan adalah hari ulang tahun pernikahan kita yang pertama.
Huh…!!! Hari paling bersejarah dalam rumah tangga kita saja dia lupa…!!! Pikirku heran.
“Mas pergi dulu ya….!!! Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam… Hati-hati di jalan.” Kataku sambil mencium tangan kanannya. Dengan balasan ciuman manis di keningku oleh Mas Teguh, suamiku.
Kuarahkan pandangan pada suamiku yang sedang berlalu. Setelah suamiku tak tampak lagi, kembali kualihkan pandangan pada bunga mawar yang terasa segar karena guyuran air. Betapa bahagianya jika setangkai saja bunga ini dipetik oleh Mas Teguh. Kemudian, dengan nada romantisnya, dia mengatakan “Love you, sayang…”
Hhh.. !!! Percuma berharap.
Suamiku memang bukan sosok yang romantis….!!! Setahun menikah, tidak ada setangkaipun bunga yang diberikan untukku. Yang ada hanya pertanyaa-pertanyaan
“Dek,,, bumbu dapur ada yang habis????”
“Dek,,, Keran ada yang bocor ga?? Kalau ada, biar nanti Mas yang benahin.”
Atau, paling banter Cuma,,,
“Udah makan belum??????”
Benar-benar bukan sosok laki-laki romantis. Padahal, sebelum menikah, sudah kubayangkan, suamiku kelak adalah sosok suami yang penuh dengan keromantisan. Sering menghujaniku dengan bunga mawar, coklat manis, ataupun sebait puisi gombal yang bisa melumpuhkan perasaanku sebagai seorang perempuan.
Awal pertemuan kita begitu mudah dan dengan waktu yang singkat. Hanya selembar biodata dan sebuah foto yang kudapat dari guru ngajiku menjadi awal perkenalan kita. Ta’aruf yang begitu singkat hingga aku tidak begitu jauh mengenal siapa laki-laki yang akan menemaniku menghabiskan sisa hidupku kelak dalam bingkai sebuah ibadah pernikahan. Tapi, dengan keyakinan yang membulat, aku menerima Mas Teguh untuk menjadi suamiku.
Sampai sekarang, hampir satu tahun bentangan waktu yang kita lalui dalam pernikahan ini. Satu tahun awal pernikahan, kuhabiskan waktu untuk mencoba mengenal siapa Mas Teguh yang sekarang menjadi suamiku. Banyak sekali yang bisa kupelajari dari sifatnya. Dan salah satu sifat yang agak aku kurang suka adalah sifat cueknya.
Pikiranku kembali melayang pada nesehat ibu sebelum kami menikah.
“Lina…., pernikahan itu adalah sebuah akad untuk saling mencintai karena Allah, akad untuk saling menghormati dan menerima apa adanya, akad untuk saling menguatkan keimanan, akad untuk saling membantu dan meringankan beban, akad untuk saling menasehati, akad untuk saling setia pada pasangan dalam suka maupun duka, dalam kefakiran dan kekayaan, dalam keadaan sehat maupun sakit. Pernikahan berarti akad untuk meniti hari dalam kebersamaan, akad untuk saling melindungi, akad untuk saling memberi rasa aman, akad untuk saling mempercayai dan menutup aib, akad untuk saling mencurahkan perasaan, akad untuk saling berlomba menunaikan kewajiban, akad untuk saling memaafkan kesalahan, akad untuk tidak menyimpan dendam dan kemarahan. Pernikahan juga berarti sebuah akad untuk saling mesra dalam mengungkapkan keinginan, akad untuk saling mengembangkan potensi diri, akad untuk saling keterbukaan yang melegakan, akad untuk saling menumpahkan kasih sayang dan saling merindukan, dan masih banyak lagi akad untuk semua hal yang bernama kebaikan.”
Kuhela nafas panjang. Kenapa rasanya begitu sulit aku menyatukan sifatku sendiri dengan sifat Mas Teguh. Benar-benar jauh berbeda dan saling bertolak belakang. Aku seorang wanita dengan sifat periang dan banyak bicara, sedangkan suamiku adalah laki-laki yang terkesan irit bicara. Aku seorang wanita yang kadang teramat teliti dan memandang masalah dengan sedetail mungkin, sedangkan suamiku adalah sosok laki-laki yang kuanggap terlalu mengentengkan masalah. Aku seorang wanita yang suka dengan suasana keromantisan dan ritme kalimat dengan kata-kata melankolik menggelitik, sedangkan suamiku dalam pandanganku adalah tipe laki-laki yang dingin dan tidak terlalu suka dengan semua yang berbau romantis.
“Ingat Lina….!!!! Mengenal pasangan, tidak hanya setahun dua tahun. Tapi seumur hidup. Selama Allah masih mengizinkan kalian dalam ikatan pernikahan. Selama itulah proses menegenal pasangan akan terus berlangsung.”
Kata-kata ibu terus mengiang.
Seharian ini, aku masih menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah sehari-hari. Dari membersihkan rumah, mencuci, memasak dan lain-lain. Aku rencanakan, malam ini, sambil makan malam, aku akan coba mengingatkan Mas Teguh kalau minggu depan adalah hari ulang tahun pernikahan kita. Siapa tahu, setelah Mas Teguh ingat, diam-diam akan memberikan kejutan di hari bahagia kami. Tak perlu yang harganya mahal. Yang penting, ada sisi keromantisannya. Entah itu sebait puisi yang diselipkan pada sebatang cokelat, atau setangkai bunga mawar yang dirangkainya dengan tali yang indah.
Wuiiiihhh…. Kalau seperti ini kan terasa banget adanya sebuah ungkapan “Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan.” Anganku melayang bersama sayuran segar yang telah menununggu untuk dimasak. Yup….!!! Menyediakan masakan yang sespesial mungkin.
Malam ini, suamiku pulang seperti biasa. Tidak ada lembur. Beberapa menu makanan telah kupersiapkan di meja makan. Sedikit agak mewah dari baisanya. Nasi yang masih hangat, Semangkuk semur ayam, dan pudding pandan sebagai pelengkap. Dan satu lagi… . Setangkai bunga mawar yang baru saja kupetik dari halaman kuletakkan di sebuah vas bunga kecil ikut menghiasi meja makan.
“Assalamu’alaikum… Tok…tok..tok…”
Suara suamiku telah pulang.
“Wa’alaikum salam… “ Segera aku berlari dan menyambut kedatangannya penuh dengan senyum. Kubuka pintu dan segera kuraih tangannya untuk kucium mesra.
“Capek ya Mas…??? Makan dulu ya….” Sapaku lembut.
Tak ada jawaban. Hanya anggukan. Kulihat keningnya mengernyit saat melihat isi meja makan. Heran mungkin.
“Masak semur ayam ya??? Padahal Mas pengennya malam ini makan dengan sambal ikan asin. Tapi ya sudahlah. Tidak apa-apa.”
Huh…!!! Bukannya mengucapkan terima kasih, malah bilang seperti itu.
“Ini apaan Dek..??? Kok ada bunga mawar segala..??? Emang bunga mawar mau dibuat lalapan ya…??? Besok lagi, kalau mau buat lalapan pake selada atau ketimun aja. Biar enak.”
Huh..!!! Dasar…!!!
Sabaaaaaarrrrrrrrrrrrr…………… Kunasehati hatiku sendiri.
“Mas, kok makannya di depan TV??? Ga mau makan di meja makan???” Tanyaku saat kulihat Mas Teguh menyalakan tombol televise.
“Malam ini pertandingan sepak bola timnas. Mas harus nonton. seru Dek….”
Hhhhh… ternyata timnas lebih penting dariku. Nafsu makanku tidak ada lagi. Kubiarkan Mas Teguh asyik di depan TV dengan pertandingan timnasnya. Aku lebih memilih masuk ke kamar dan menyetel suara radio kenceng-kenceng.
Sengaja. Hanya untuk mengambil perhatian suamiku. Yup…!!! Sejurus kutemukan cannel yang mengudara dengan siaran yang menyuguhkan lagu dangdut. Mantap…!!! Pikirku
“Dek… suaranya jangan kenceng-kenceng. Ntar kedengeran sama tetangga sebelah…” Akhirnya, terusik juga.
“Biarin….!!!!!!!!!!!!!!!!” Jawabku ketus.
“Mas lagi asyik nonton bola nih….”
“Adek juga lagi asyik dengerin musik…!!!!!!”
“Kok tumben seneng lagu dangdut? Biasanya nasyid atau kalau ga, murotal qur’an.”
“sekali-kali kan boleh. Emang Mas aja yang boleh nonton bola…???? Adek juga boleh donk, dengerin musik dangdut.”
“Dek… pelanin…!!!”
“Pokoknya enggak……!!!!” Suaraku meninggi.
Reflek Mas Teguh menuju ke kamar dan mematikan radio. Sikapnya benar-benar menyulut amarahku.
“Mas jangan seenaknya sendiri donk…!!! Adek tidak melarang, Mas nonton bola. Tapi kenapa Mas melarang Adek buat dengerin musik…?????”
Sejenak kami terdiam. Kulihat di wajahnya ada sedikit marah yang dicoba untuk dipendamnya.
“Marah aja Mas… kalau ingin marah…!!!” sontak amarahku sudah tidak tertahan. Wajar menurutku jika aku ingin marah malam ini. Dari siang aku ingin, malam ini kita bisa menghabiskan waktu berdua. Dengan sedikit sisi keromantisan yang telah kupersiapkan sejak tadi siang.
Hehehehe… senyum kecilnya mengembang. Yup..!!! Bukan marahnya yang kudapat. Tapi senyum.
“Adek kan tahu, sebuah hadist Rasul mengatakan, apabila kamu sekalian dapat menahan amarahmu, sekalipun kamu bisa meluapkan kemarahan itu, maka di akhirat kelak, kamu akan dihadapkan pada seluruh makhluk dan Allah akan memberimu kesempatan memilih bidadari yang kamu suka untuk menjadi pendampingmu di kahirat kelak.”
“ya sudah…!!! Adek lebih senang kalau Mas mengungkapkan kemarahan itu sama Adek.”
“Kenapa?????” Tanya Mas Teguh keheranan.
“Karena kalau sekarang Mas tidak marah, di akhirat kelak, Mas akan bisa memilih bidadari syurga yang cantik. Bukan memilih Adek….!!!!”
Sentak,,,
“Hahahahahaha……” Suata tawa Mas Teguh pecah mendengar jawabanku.
Benar-benar malam yang membuatku suntuk.
“Lina,,, kamu ini seperti anak kecil…” Kata Kak Ratih, Kakak kandungku, saat aku mencoba curhat padanya.
“Seperti anak kecil gimana Kak????. Wajar donk, kalau Lina sebagai seorang perempuan dan istri yang sah dari Mas Teguh, menginginkan Mas Teguh bersikap sayang sama Lina…!!!”
“Lah… memangnya selama ini Teguh tidak menyayangimu????”
“Bukannya tidak sayang…. Tapi sikapnya itu lho…..”
“Sikapnya kenapa Lin…???”
“Lina kan wanita. Sewajarnyalah, kalau ingin paling dimengerti, paling disayang, paling dimanjakan, dan paling dipahami.”
“Lha memangnya Teguh selama ini tidak seperti itu????”
“Lina pikir…. Mas Teguh itu kurang…..”
“Kurang Apa Lin…???”
“Kurang romantis…!!!”
Kak Ratih tersenyum kecil mendengar jawabanku. Sambil sedikit menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Sekarang Kakak Tanya, menurutmu, arti kata romantis itu seperti apa?”
“Bunga..???”
“Cokelat…???”
“Puisi gombal…???
“Atau apa….???”
Mendengar pertanyaan Kak Ratih, aku hanya bisa mengernyitkan dahi.
“Selama kalian menikah, pernah ga, suamimu tidak memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga kalian?”
Aku menggeleng.
“Pernah, ketika kamu membutuhkan bantuannya untuk sekedar membenahi sesuatu yang rusak, suamimu tidak mau bantu?”
Aku kembali menggeleng.
“Coba ingat-ingat lagi…!!!”
Aku termenung. Kembali kuingat memori selama satu tahun kita menikah. Pernah suatu saat Mas Teguh melihatku mencuci pakaian dengan menggunakan ember yang sudah bocor. Tiba-tiba, sorenya, sepulang dia kerja, sudah ada ember baru untuk menggantikan ember yang sudah bocor tersebut. Tanpa kuminta.
Pernah juga, tiba-tiba dia membawakan beberapa bumbu dapur. Saat kutanya, kenapa dia membelikannya, padahal aku tidak meminta. Dia menjawab, karena dia melihat persediaan bumbu dapur telah menipis.
Dan pernah pula, malam hari ketika aku sedang sakit, dia membawakanku semangkuk soto ayam. Karena dia tahu ketika aku tidak ingin makan, hanya soto ayam yang bisa membangkitkan nafsu makanku. Dan ternyata, baru kusadari, dengan cara seperti itulah Mas Teguh menunjukkan rasa sayangnya padaku.
“kenapa diam Lin…????”
Akhirnya, kujawab semua pertanyaan Kak Ratih.
“Itulah arti ‘romantis’ menurut suamimu. Mengerti dan memenuhi kebutuhan yang menurutnya perlu untukmu. Bukan bunga, bukan cokelat, bukan puisi gombal, atau hal apapun yang menurutmu romantis.”
“Tapi Kak, apa salah jika aku menginginkan sedikit saja meski hanya sekedar bunga dengan sebait puisi gombal di hari ulang tahun pernikahan kita?”
“Kamu pernah mengungkapkan keinginanmu itu?”
Aku menggeleng.
“Aku malu…!!!”
“Kalau kamu tidak mengungkapkannya, bagaimana suamimu tau…???”
Benar juga kata Kak Ratih.
“Tapi, sekalipun aku mengungkapkannya, apa Mas teguh bisa merangkai diksi kata yang melankolik??? Hari ulang tahun pernikahan kita saja, dia lupa…!!!!”
Mendengar pertanyaanku, Kak Ratih tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Menandakan heran dengan pertanyaanku.
“Lina.. Lina… Itu kamu sudah tahu kalau suamimu paling tidak bisa untuk bermelankolik ria, kenapa kamu masih menginginkannya?”
“yah,,, tetap saja aku ingin.”
“Yang mengenal suamimu adalah kamu sendiri. Kakak yakin, kamu pasti bisa bagaimana memberitahu kepada suamimu tentang keinginanmu.”
Waktunya menjalankan saran dari Kak Ratih. Aku tidak ingin, ulang tahun pernikahan kita yang baru pertama terlewatkan begitu saja hanya gara-gara Mas Teguh lupa. Besok aku ingin, sepulang kerja, ada setangkai mawar, atau sebaik puisi gombal yang diselipkan pada sebatang cokelat yang manis.
Malam ini, kubiarkan Mas Teguh nonton televisi sampai malam. Aku sengaja masuk kamar dan tidur terlebih dahulu. Meski sebenarnya aku belum begitu ngantuk. Tapi, diatas bantal Mas Teguh, sudah kutaruh secarik kertas yang bertuliskan pesan singkat untuknya sebelum tidur.
“Ingat….!!! Setahun yang lalu, tepat di tanggal 20 November, Mas Teguh mengucapkan janji pernikahan kita. Besok, tepat tanggal 20 November, hari ulang tahun pernikahan kita yang pertama. Bukan hari terakhir bayar air di PDAM.”
Kurasa, Mas Teguh tersenyum kecil saat membaca pesan kecil di atas bantalnya. Sebuah kecupan manis mendarat di dahiku.
“Selamat ulang tahun pernikahan, sayang. Maaf, Mas lupa. Terima kasih telah mengingatkan.” Ingin rasanya aku melonjak dan kemudian membalas kecupannya itu. Tapi, aku telah terlanjur berpura-pura tidur. Padahal aku masih bisa mendengar apapun ucapannya di tengah terpejamnya mataku yang sebenarnya belum tidur.
Aku yakin, besok sepulang kerja, akan ada kejutan special dari Mas teguh untuk merayakan hari ulang tahun pernikahan kami yang pertama.
“Assalmu’alaikum.. Tok..tok…tok…” Suamiku pulang.
“Wa’alaikumsalam….”
Seperti baisanya, kuraih tangannya, dengan sambutan sebuah kecupan manis di keningku darinya.
“Selamat ulang tahun pernikahan, Adek…”
“Iya sama-sama Mas…”
“Dan ini buat Adek…”
Di luar dugaan. Setangkai bunga mawar putih, sebatang cokelat yang terselip secarik kertas dengan bertalikan pita warna pink yang manis.
“Buat Adek…???”
“Kalau bukan buat Adek, buat siapa lagi…???
“Oh ya, Adek udah lapar belum, kalau belum, Mas mau bicara sebentar.”
Digandengnya tanganku menuju ke beranda rumah. Duduk sambil menngintip kerlipnya bintang.
“Mawarnya bagus Mas…”
“Mas minta maaf kalau selama kita menjalani pernikahan ini, ada kekurangan pada diri Mas di mata Adek. Kak Ratih sudah menceritakan semua.”
Jadi….????
Bunga ini…???
Cokelat ini….????
Ternyata Kak Ratih yang menceritakan…????
Ah… aku jadi malu.
“Maaf Mas, Lina juga tidak pernah menceritakan keinginan Lina pada Mas. Jadi, Mas juga ga tau apa yang sebenarnya Lina inginkan.”
Mas Teguh tersenyum kecil sambil membelai kepalaku yang terbalut dengan jilbab.
“Lina boleh buka suratnya…”
“Buka aja…!!!”
Bismillah… Mulai kubuka surat kecil yang terikat dengan pita warna pink.
Oh… ternyata sebuah puisi.
CINTA
Cinta seperti pelangi
Yang berwarna pudar jika itu tanpamu
Cinta seperti kuncup
Yang tak kunjung mekar jika itu tanpamu
Cinta seperti bulat
Yang tak mungkin utuh jika itu tanpamu
Dan cinta seperti langkah
Yang tiada tujuan jika itu tanpamu.
Cinta layaknya pena
Yang kau tulis untuk lembar kehidupan.
Cinta layaknya cat warna
Yang kau lukis pada kanvas kehidupan
Cinta layaknya nada
Yang kau mainkan lagu merdu kehidupan
Dan cinta adalah air mata
Yang akan selalu ada baik dalam haru dikala bahagia
Maupun sedih disaat luka.
Cinta bukanlah kabut
Jika pekat itu menghalangi pandanganmu.
Cinta bukanlah kerikil
Jika kasar itu menghentikan langkahmu
Cinta bukanlah mendung
Jika gelap itu menutupi cerahnya bahagiamu
Dan cinta bukanlah angin
Jika badai itu menyurutkan laju sampan cintamu.
(Selamat ulang tahun pernikahan kita, Adek… Maafkan Mas jika selama ini belum bisa menjadi suami yang baik bagi Adek. Dan terus bantu Mas untuk bisa mewujudkan indahnya cinta dalam sakinah yang penuh dengan rahmat Allah dalam biduk perjalanan pernikahan kita di bentangan waktu yang selanjutnya).
Bibirku tersenyum kecil. Lekat kutatap wajah Mas Teguh penuh rasa bersalah. Diluar dugaaku, ternyata Mas Teguh bisa membuat sebuah puisi yang begitu indah.
“Puisinya bagus, Mas. Kapan buatnya…???”
“Tadi di kantor.”
“Buat sendiri…????”
“Ga. Dibuatin sama teman sekantor.”
Huh…!!! Gubrak…….!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Ternyata… .
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment