Tuesday, 25 March 2014

CERPEN : SEHELAI DAUN YANG HAMPIR JATUH





(..... Lanjutan cerpen "Daun Yang Kuat Tak Kan Jatuh Diterpa angin"....)

“Kamu tau Lee..? Aku sangat mencintaimu..”

            Dari dulu, aku tau kalimat itu cepat atau lambat, pasti akan Kinar ucapkan juga. Meski terdengar pelan, aku yakin, Kinar telah mengumpulkan segenap keberaniannya untuk sekedar mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang mungkin telah dipendamnya hampir dua tahun.
            Memang harus kuakui. Kinar begitu pintar menyimpannya. Rapat dan dalam. Meski sebagai laki-laki, aku bisa membaca sikapnya. Kinar yang hampir tiap hari mengirimkan pesan via sms. Kinar yang hampir tiap hari bertanya kabar. Hingga Kinar yang sering kali mengajakku berdiskusi tentang masalah pernikahan. Bahkan suatu saat pernah bertanya,
“Lee,,, kira-kira, kriteria calon istrimu seperti apa?”
            Tak perlu banyak mengartikan. Tak perlu banyak memberi alasan. Sikap Kinar cukup membuatku Faham. Hingga sekarang, semua itu terungkapkan. Kata cintanya. Meski semua itu terasa terlambat.
“Kapan rencana pernikahnmu, Lee?”


“Tiga bulan lagi”
Kujawab Pelan. Nyaris tanpa ekspresi.

                                                                                  *******

            “Saya, dan beberapa tim dokter lainnya, telah membaca hasil laboratorium pemeriksaanmu, Lee”
            Aku menahan nafas, saat mendengarkan penuturan dokter Han. Dokter yang seakan menjadi dokter pribadiku setelah aku difonis positif menderita Leukimia. Kangker darah.

            “Maaf, Lee… . Sel-sel kangker yang ada di tubuhmu telah menyebar hampir di seluruh bagian tubuhmu. Dan sampai saat ini, kami belum bisa menemukan donor sumsum tulang belakang. Itu artinya….”
            “Umurku tinggal berapa lama lagi Dok….???”
Pertanyaanku memburu. Seakan mengerti dengan hanya membaca mimik wajah dokter Han.

“Maaf Lee… Sebenarnya….”

“Berapa lama lagi dok…..????!!!!!” Kali ini lebih memburu.

“tiga Bulan.”

Lemas. Tubuhku terasa tanpa tulang. Tiga bulan lagi.

Ya…!!! Tiga bulan lagi. Sebelum akhirnya sel kangker ini menguasai seluruh tubuhku.

                                                                             *******

“Aku faham itu Kinar. Tapi, maafkan aku…” Suaraku tertahan.

Aku menatap air Danau Cheongpyeong yang mengalir tenang. Mengalihkan pandangan dari raut wajah Kinar. Wajah yang seharusnya menghadirkan senyum di awal musim semi. Wajah yang seharusnya bersemangat. Antusias mempersiapkan ujian sidang tesis yang tinggal dua hari lagi. Wajah yang seharusnya melentikkan semainya bunga sakura. Menyambut datangnya awal musim semi kali ini. Wajah seorang Kinar yang cerdas, periang dan kukenal dulu selalu mencoba menghadirkan senyum meski dalam keadaan apapun.

Tapi kini, wajah itu muram. Seperti musim gugur yang hanya menyisakan batang pohon meranggas. Setelah merontokkan daun-daunnya. Pucat. Hanya menyisakan butiran air mata yang perlahan jatuh.
Aku tidak sanggup menatap wajahnya.

                                                                          *******

“Dokter, tidak adakah jalan lain yang bisa ditempuh?”

Dokter Han melepas kaca matanya.
“Lee… ini hanya perhitungan manusia. Entah apa kata Tuhan nanti. Kita hanya perlu donor sum-sum tulang belakang. Karena, sum-sum tulang belakangmu sudah tidak berfungsi lagi untuk menghasilkan trombosit.”
Nafasku terasa berat.

“Dan untuk bertahan selama tiga bulan saja, kamu harus rutin proses cuci darah. Maaf Lee. Jika kamu bisa menemukan seorang pendonor sum-sum tulang belakangmu, mungkin masih ada kesempatan. Meski kesempatan itu teramat kecil.”

Aku tetap terdiam. Mencoba mengerti penjelasan dokter Han. Atau lebih tepatnya. Mencoba memaksa hatiku untuk menerima segala kemungkinan terburuk. Meski itu terasa berat.

“Kalau boleh kutanya, apakah keluargamu ada yang menderita penyakit yang sama?. Karena, Leukimia adalah penyakit turunan.”

Aku menatap mata dokter Han. Otakku mencoba mengingat kembali.
Aku menggeleng. Entahlah.

Aku anak tunggal dari kedua orang tuaku. Aku tinggal bersama mereka setelah aku berumur dua tahun. Lebih tepatnya ketika kedua orang tuaku mengambilku dari sebuah panti asuhan di Seoul. Mungkin saja, salah satu dari kedua orang tua kandungku ada yang menderita Leukimia. Entah itu ayahku, atau ibu kandungku. Yang pasti, aku tidak tau siapa mereka. Dan dimana keberadaannya sekarang. Yang aku tau, semenjak aku berusia dua tahun, aku tinggal bersama kedua orang tua angkatku yang sekarang. Yang sudah kuanggap sebagai orang tua kandungku.

                                                                                *******
“Maaf Lee, aku tidak bisa menyaksikan semua ini. Aku tidak bisa menghadiri pernikahanmu kelak. Semuanya teramat sakit bagiku”

Aku menghirup nafas dalam-dalam. Dan menghembuskannya secara perlahan. Aku mengerti perasaanmu, Kinar.  Aku yakin, setiap orang yang merasakan jatuh cinta, pasti berharap berakhir dengan indah. Menikah dengan orang yang dicintainya.

Asal kau tau Kinar, selama ini, aku teramat mencintai sebuah Dzat. Cinta yang indah. Tumbuh subur secara perlahan di hatiku. Aku berharap, kelak, ketika telah tiba waktu yang indah itu, aku bisa menemui-Nya. Menemui wajah kekasihku. Wajah yang selama ini aku cintai. Wajah yang selama ini aku dambakan.

Angin musim semi bertiup lirih. Menyisakan daun maple yang terbang rendah mengikuti arah angin. Pulau Nami yang bagi Kinar mungkin menyimpan tumpukan kenangan. Seperti tumpukan daun maple yang telah kering. Tak lagi hijau. Dan mungkin, akan segera usang dan terbuang. Tak perlu disimpan. Tak perlu dikenang. Semua terasa gersang menyakitkan.

“Sekali lagi maafkan aku, Kinar… Dua tahun kita bersahabat, sama sekali aku tidak ada niat untuk mempermainkan perasaanmu.”

Kuberanikan menoleh ke wajah Kinar. Wajah yang belum mengerti semuanya. Wajah yang seakan menyalahkan dirinya sendiri. Menyalahkan kebodohannya selama ini.
Aku memang tidak pernah menceritakan tentang sakitku ini pada Kinar. Jika ditanya, kenapa?. Entahlah. Aku juga tidak tau alasannya. Yang pasti, aku tidak ingin Kinar tau tentang apa yang sedang kurasakan saat ini. Tentang aku yang menderita Leukimia. Kangker darah stadium akhir.

                                                                               *******
“Waaahhh… Di Seoul ada masjid juga Lee…???”

Aku mengangguk. Dulu. Kala pertama kalinya aku mengajak Kinar berputar Seoul. Sebelum aku menepati janjiku untuk mengajaknya ke tempat-tempat lain di Korea.

“Ini namanya Central Masque Seoul. Kata imam masjid di sini, masih perlu beberapa dai untuk berdakwah di Seoul ini. Kinar berminat? Menetap di sini? Atau kembali ke Indonesia?”

Kinar tersenyum tipis.
“Asyik juga. Mmmm… sekalian menikah sama pemuda asli Seoul”
Sambil menatapku. Tatapan yang cukup ganjil. Dan sekali lagi, aku bisa mengartikan semua ini.

                                                                             *******
            Air mata kinar terlihat semakin deras.
            Ah…!!! Kinar…!!! Andai kau tau apa yang sebenarnya terjadi.

“terserah kamu, Kinar… tapi aku mohon, jangan pernah membenciku.”

Kinar menggeleng pelan.

Maaf Kinar. Jika aku ditanya, apakah aku mencintaimu?. Entahlah. Yang pasti, aku tidak ingin kamu melihat tubuhku membujur kaku. Saat Leukimia yang kuderita sekarang mengantarku pada kematian.

Dan, tiga bulan lagi, sebuah waktu yang itu kau anggap pernikahanku, sesungguhnya bukan. Itu hanya sebuah jembatan waktu untukku bisa menemui kekasih sejatiku. Kekasih yang limpahan cinta dan kasih-Nya tak pernah berbanding dengan apapun. Kekasih yang ketika aku datang pada-Nya dengan berjalan, Dia menyambutku dengan berlari. Kekasih yang ketika kita mengharap cinta-Nya, tidak akan pernah ada kata “bertepuk sebelah tangan”. Karena cinta kita pada-Nya selalu disambut-Nya dengan tangan terbuka.

Dan kau juga bisa dapatkan cinta-Nya itu.

Gelap hampir mengusir senja. Kinar bangkit dari duduknya. Menyeka air matanya. Membiarkan mataku yang menatapnya dengan pandangan pias.

“Maaf Lee,, aku harus segera pulang.”

Aku mengangguk pelan. Kubiarkan saja Kinar berjalan menjauhiku. Aku berharap, semoga suatu saat, Kinar mengerti dengan semua ini. Kinar mengerti dengan sikap diamku. Kinar mengerti dengan sikapku yang seakan membiarkannya begitu saja. Padahal, rasanya saat ini aku teramat ingin menyeka air matanya.

Aku menatap tumpukan daun maple di dekatku. Mungkin, seperti inilah tinta Alloh menuliskan nama masing-masing hamba-Nya. Menuliskan masing-masing nama itu pada sehelai daun. Dan ketika Alloh menghendaki kita kembali pada-Nya, daun yang bertuliskan nama kita akan gugur.

Kinar telah melangkah menjauhiku. Yang aku tau, dia membawa tangis itu. Membawa sesak itu. Membawa sesuatu yang belum dia tau. Pernikahanku tiga bulan lagi. Yang ternyata mungkin itu adalah hari kematianku.
Tak terasa, setitik air mataku jatuh. Disaksikan pohon metasequoia yang berderet rapi. Disaksikan pucuk-pucuk bunga sakura yang mengayun lentik. Disaksikan pohon bunga birch yang berjejer menaungi tepi Danau Cheongpyeong.

Kau pasti telah tau, Kinar. Mencintai tidak berarti harus memiliki. Karena, sejatinya, kita tidak pernah memiliki apapun di dunia ini. Semua milik Alloh. Ya…!!! Silahkan saja kau mencintai siapapun di dunia ini. Tapi ketahuilah. Suatu saat kamu pasti akan berpisah dengannya.

Sejenak kurasakan perih di sekujur tubuhku. Setetes darah segar keluar dari hidungku. Leukimia yang sering membuatku menderita mimisan. Aku mengambil sapu tangan dari saku. Menyekanya. Tak apa. Sekarang aku masih bisa menahannya.

Hanya sebuah tanda.

Akan ada sehelai daun takdir yang akan jatuh.

Daun yang bertuliskan namaku.

Lee Dong Ae.



Kamar Kos, 27 Februari 2013, 02.31

Inspirasi yang tiada bertepi

No comments:

Post a Comment