Tuesday, 25 March 2014
CERPEN : AIR MATA PENGANTIN DI DAUN TAKDIR
(..... Lanjutan cerpen "Sehelai Daun Yang Hampir Jatuh"....)
Hari yang kesekian di Seoul.
Aku menatap bulan pucat. Dan beberapa kerlip bintang yang kehadiran mereka seakan di abaikan. Tak dianggap. Festival Lentera dan lampion Sungai Cheonggyecheon, pusat kota Seoul cukup bisa melupakan sinar bulan dan bintang yang menghias langit.
Hari ini. Atau tepatnya malam ini, aku terakhir kali menginjakkan kaki di Seoul. Setelah seminggu yang lalu, wisuda kelulusan pascasarjanaku di Hongik University berlangsung meriah. Hingga akhirnya, gelar Magister Ilmu Sastra dan Budaya, mutlak mengekor di belakang nama lengkapku.
“Kinar, untuk tiket keberangkatan besok ke Indonesia sudah dipersiapkan?”
Suara mama membuyarkan lamunanku. Memaksaku mengalihkan pandangan dari sebuah lampion berbentuk naga yang melenggok indah tepat di hadapanku.
Aku mengangguk. Sudah. Bahkan telah kupersiapkan tiga hari yang lalu.
“Kira-kira, kapan Papa dan Mama bisa kembali ke sini lagi? Menikmati beningnya Sungai Cheonggyecheon. Dan beberapa wisata lainnya di Korea?”
Kembali lamunanku terusik suara Papa. Aku tersenyum. “Kapan-kapan Pa.. Kalau Kinar bisa kembali lagi ke sini.”
Ya. Festival Lampion di Sungai Cheonggyecheon. Festival tahunan yang diadakan di Sungai Cheonggyecheon, pusat Kota Seoul. Sebuah tontonan Lampion dengan berbagai bentuk dan warna tampil cantik menghiasi Cheonggyecheon. Tujuannya utuk menarik wisatawan agar mau berkunjung ke Seoul. Dua festival kemarin, aku masih menikmatinya bersama teman-teman kuliah lainnya. Termasuk Lee. Tapi sekarang…
Aku duduk di tepian Sungai. Menceburkan ujung kakiku ke dataran air. Membiarkan Mama dan Papa menikmati Festival lampion kali ini. Malam terakhir aku di Seoul.
Lee Dong Ae. Nama itu kembali muncul. Kembali mengusik fikiranku. Entah dimana dia sekarang. Dan bagaimana keadaannya?. Setelah kejadian di Pulau Nami, aku berusaha untuk tidak lagi mengontaknya. Dalam bentuk apapun. Awalnya aku masih mencoba untuk berdamai dengan keadaan. Berdamai dengan semuanya. Mengenyahkan semua perih yang menyumpat. Tapi, ternyata aku belum bisa. Aku masih terlalu kerdil untuk semua ini.
Hingga kuputuskan untuk memotong apapun tali yang bisa mengingatkanku tentang Lee. Aku mengusir semua bayangan tentang Lee dengan focus pada ujian tesis. Berhasil. Ujian tesisku berjalan dengan lancar. Setelah ujian tesisku selesai, aku segera mengurus pernak-pernik yang berkaitan dengan kelulusan. Berharap aku bisa segera wisuda. Dan kembali lagi, pulang ke Indonesia.
Sekarang, dimana Lee? Sejak pertemuan terakhir kita di Pulau Nami, aku tak pernah melihat Lee di kampus. Meski ribuan perasaan ingin tahu menyeruak, tapi aku mencoba untuk tidak bertanya pada siapapun tentang keberadaan Lee. Sebuah kesempatan bagiku. Untuk menghapus apapun tentang Lee di fikiranku. Dengan menghilangnya bayangan Lee, aku lebih bisa konsentrasi untuk melupakan Lee.
Mungkin saat ini, Lee sudah menikah. Entahlah.
“Aaaa…. Kinar… Anyeonghaseyo. Selamat atas wisudamu. Kapan kembali ke Indonesia?”
Dengan sedikit rasa kaget, aku menoleh. Seoraang gadis bermata sipit dan berkulit putih khas perawakan Korea, tiba-tiba muncul di belakangku.
“Kim..? Kim Yun Hwa?”
Suaraku tergagap. Mataku mengerjap beberapa kali. Memastikan bahwa gadis tinggi semampai dengan ramput lurus sebahu di belakangku adalah Kim. Kakak kelasku satu tingkat diatasku yang hampir setahun ini tidak lagi muncul di kampus.
“Ne.. “ Kim mengangguk-angguk mantap. Melihatkan wajahnya yang begitu senang saat bertemu denganku.
“Kabarku baik, Kim.. Kamu kemana saja setahun ini? Rencana, aku besok pagi pulang ke Indonesia.”
“Besok pagi?. Ooo… Cepat sekali. Sudah pamitan pada Lee?”
Aku melepaskan genggaman tangan Kim yang sejak dari tadi kupegang erat. Dua tahun yang lalu, Kim sempat menjadi teman kita. Jadi, dia cukup kenal dekat denga Lee.
“Mm-m-m.. aku belum sempat menelphonnya. Sampaikan salam saja padanya”
Suaraku terdengar parau. Mencoba menekan perih yang tiba-tiba datang menyeruak.
“Kinar….” Kim kembali meraih tanganku. Memegangnya erat. Mencoba memberi kekuatan.
“Kinar… Lee sekarang…”
“Lee sudah menikah Kim. Aku tidak ingin lagi bertemu dengannya. Ataupun mendengar suaranya. Cukup sampaikan salam terakhirku saja. Besok aku akan pulang ke Indonesia.”
Kim kembali melepaskan genggaman tangannya. Berdiri tegak dengan dahi yang mengernyit. Sebuah ekspresi ketidaktahuan.
“Kim menikah?” Berganti kedua tangannya menggenggam pundakku. Bertanya. Memastikan.
Aku mengangguk pelan.
“Kinar.. Lee sekarang di rumah sakit. Masih berjuang dengan Penyakit Kangker darah stadium akhirnya. Dia belum menikah”
Hampir semua ototku rsanya menegang. Dahiku mengernyit lebih dalam. Hingar-bingar suara Festival lampion sejenak hilang. Berganti sepi. Hanya menyisakan aku, Kim dan beberapa potongan kalimat Kim yang masih tersisa di telingaku.
Lee di rumah sakit.
Masih berjuang dengan Penyakit Kangker darah stadium akhirnya.
Dia belum menikah
Kenapa Lee tidak pernah cerita?
Aku melepaskan genggaman tangan Kim yang masih terpaut erat di kedua lenganku.
“Rumah sakit mana?”
Aku bertanya tegas. Mengabaikan usaha Kim untuk menjelaskan semuanya.
“Tapi Kinar, Lee---“
“Rumah sakit mana?!”
Suaraku meninggi. Lebih menegaskan keingintahuanku. Aku tidak butuh penjelasan Kim. Yang kuperlukan sekarang adalah bertemu dengan Lee.
“Gangnam Severance Hospital”
Kim menjawab singkat.
Langkah kecilku bergegas meninggalkan Kim dengan ekspresi muka yang tidak tahu harus berbuat apa. Dengan langkah cepat, aku menggandeng tangan Papa dan Mama yang masih asik dengan pemandangan Lampion dan segala atraksinya.
“Kinar… mau kemana?”
Tanya Mama dengan ekspresi muka super duper bingung. Ditambah lagi dengan Papa yang agaknya sedikit kesal karena keasikannya menyaksikan Festival lampion yang tidak ada di Indonesia harus kurenggut paksa.
“Ma.. Pa.. Ikut Kinar sekarang juga”
Dengan kedua tangan masih memegang tangan Papa dan Mama, aku meninggalkan Kim yang masih tidak mengerti sepenuhnya dengan sikapku.
“Kinar… Lee di ruang……”
Suara Kim dan hiruk pikuk Festival Lampion sekan hilang tertelan runtutan fikiranku sendiri. Sebuah taksi meluncur dari arah kiri tepi Sungai Cheonggyecheon. Aku segera menyetopnya.
“Gangnam Severance Hospital. Cepat sedikit”
Sopir taksi mengerti maksud kalimatku. Pedal Gas tertancap keras. Taksi melaju menyibak keramaian malam sepanjang jalan tepi Sungai Cheonggyecheon.
******
Entah apa yang terjadi di luar sana. Ruangan ber-AC dengan berbagai fasilitas pemeriksaan lengkap ini seperti mengisolasiku. Suara dokter dan beberapa perawat di luar samar-samar terdengar. Bercampur dengan tangis Ibu yang menambah pening isi otakku.
Tubuhku lemas. Hanya bisa terbaring. Beberapa perlengkapan medis membelit di sekujur tubuh. Aku masih memutar otak. Mencoba menginat kembali apa yang terjadi. Terakhir yang kurasakan adalah sakit kepala yang teramat sangat. Nyeri pada tulang yang menusuk-nusuk. Pendarahan hebat dari hidung. Yang diikuti keluar bintik-bintik merah di bawah kulit. Setelah itu, aku tidak bisa mengingat lagi. Tiba-tiba aku sekarang telah berbaring.
“Kumohon dokter… selamatkan anakku.”
Itu suara ibu. Aku masih bisa mendengarnya. Terdengar sayup. Namun jelas.
“Kami masih berusaha, Nyonya. Berdoa saja.”
Suara Dokter Han tak beda lemahnya.
Sekuat tenaga aku mencoba untuk membuka mata. Namun terasa sulit. Seperti ada lem yang sengaja di letakkan pada kedua sisi kelopak mataku. Sedangkan tulangku juga terasa kaku. Tak bisa sedikitpun untuk digerakkan.
Malaikat maut serasa dalam perjalanan. Menjemputku.
******
Taksi berhenti tepat di depan Severance Hospital. Langkahku sigap menuju ruang resepsionist.
“Mian hamnida, pasien yang bernama Lee Dong Ae di ruang apa ya?” Tanyaku gugup.
“Sakit Kangker darah” Aku terus melanjutkan. Mengerti ekspresi diam resepsionist saat menghadapiku yang sedang gugup.
“Sebentar, saya carikan dulu.” Resepsionist sigap mencari data pasien di computer. Beradu cepat dengan mimik wajahku yang terlihat panik.
“Ada di data kami, Tuan Lee Dong Ae, 25 tahun, dengan diagnosa Leukimia. Di ruang ICU”
Ruang ICU?. Aku mematung beberapa detik. Membayangkan sebuah ruang, yang jarang sekali pasien keluar dengan selamat dari ruangan itu.
“Gamsahamnida. “
Aku langsung menuju ruang ICU. Meninggalkan begitu saja resepsionist yang masih mencoba tersenyum meski sempurna kuabaikan. Semoga dia paham.
Tepat di depan ruang ICU, kulihat Tuan Eun Joon-Yong, ayah Lee, berdiri tegang. Sedangkan dari kaca tembus pandang terlihat tubuh Lee terbaring lemah. Dan Nyonya Hyun Dong Hwa, ibu Lee, menangis sambil terus mengusap dahi Lee. Putra semata wayangnya yang sedang berjuang melawan maut.
“Kinar…”
Suara Tuan Eun mengagetkanku. Sedikit menggeser pandangan yang sejak tadi terus tertuju pada tubuh Lee di dalam ruang ICU.
“Kinaaarrrr… “ Suara tangis Tuan Eun yang merenta dan melemah terdengar mengiris hening yang sejak tadi membungkus.
“Lee… Lee… dia….”
Tuan Eun mencoba menjelaskan. Ditengah tangis yang seakan mencekat seluruh pita suaranya. Aku hanya bisa mengangguk. Iya Tuan Eun. Kinar sudah mengerti semuanya.
******
Entah secepat apa, Tuhan mengirimkan malaikat mautnya untuk segera menjemputku. Rasa sakit yang menusuk-nusuk kulit dari tadi benar-benar menyiksa. Aku menunggu kawanan malaikat maut itu dengan rasa sakit yang teramat sangat.
Suara tangisan ibu terdengar perih di telinga. Sungguh. Aku ingin bangun. Sebentar saja. Melihat ayah dan ibu untuk yang terakhir kalinya. Mencium tangan ayah. Mengucapkan kata “terima kasih”. Karena, selama ini telah mau mengambilku. Mengasuhku. Memberiku status. Dari anak panti asuhan, menjadi seorang Lee Dong Ae yang berpendidikan. Aku ingin bangun. Untuk sekedar menghapus air mata ibu. Mengucapakan “selamat tinggal dan kutunggu ibu di surga.”
Satu lagi. Kinar. Nama itu masih kuingat. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Mengucapkan terima kasih telah mengajariku tentang islam. Mengenalkanku lebih dekat dengan-Mu. Dan mengucapkan “Maaf” karena telah membuatnya menangis. Membuat hatinya retak. Tapi, entah dimana dia sekarang. Mungkin sudah kembali ke Indonesia. Kalau tidak salah perhitungan, minggu lalu dia wisuda. Meraih gelar Magister yang dia inginkan selama ini.
Ingin sekali aku menjerit. Ribuan pisau serasa dikerahkan untuk menyayati kulitku. Sakit sekali. Alloh, apakah ini pertanda malaikat maut-Mu telah dekat? Tapi, entah sampai dimana perjalanannya sekarang, aku yakin, aku masih di dunia. Karena, aku belum menemui satu makhlukpun memperkenalkan diri. Bahwa dia utusanmu. Untuk menjemputku. Kembali pada-Mu.
Alloh, andai memang waktuku tinggal beberapa detik lagi, masih ada satu permintaanku pada-Mu yang ingin kusampaikan. Aku ingin menikah. Terdengar konyol?. Mungkin. Tapi, bukankah sebaik-baik manusia adalah kembali pada-Mu dalam keadaan menikah?.
Sakit. Sakit sekali. Mungkin seperti inilah rasanya dikuliti. Tak pernah ada yang bercerita. Bahwa kematian sesakit ini.
Dan entah dari mana…
Tiba-tiba…… ada sedikit siluet cahaya terasa merembes pada retina mataku.
Silau.
******
“Dokter…. Dokter…. “
Terlihat Nyonya Hyun Dong Hwa, ibu Lee, berlari dari dalam ruangan ICU, mencari dokter. Sentak kami terkejut.
“Dokter Haaannn…. Lee siuman.” Nyonya Hyun terus berteriak.
Aku dan Tuan Eun saling berpandanga. Lee siuman. Tak harus menunggu lama. Langkah kami terus mengikuti Dokter Han yang terhuyung-huyung masuk ke memeriksa Lee.
Beberapa detik, Dokter Han memeriksa keadaan Lee. Sedangkan kami hanya bisa menunggu cemas.
“Belum ada kemajuan yang berarti. Tapi, cukup bagus jika Lee bisa sadarkan diri.”
Doter Han sedikit menjelaskan.
“Silahkan, jika mau berbicara dengan Lee. Tapi, tolong, jangan terlalu lama. Dia masih lemah.” Kata Dokter Han mempersilahkan kita untuk berbincang dengan Lee.
Hening mengungkung.
Beberapa detik berikutnya, hanya isarat mata Lee yang menjadi jembatan bagi kami untuk bisa mengerti tentang apa yang dirasanya.
“A-ayah- i-bu—“ Suara Lee terbata.
Tuan Eun dan Nyonya Hyun mendekat.
“Ma-afkan Lee. Teri-ma ka-sih telah menjaga Lee sela-ma ini. Ta-pi, seben-tar lagi Lee harus pergi. Mereka dalam perjalanan untuk menjemput Lee”
Senyap terus meresapi. Bercampur dengan air mata yang semakin menderas.
Tuan Eun dan Nyonya Hyun terlihat hanya bisa menggeleng dan mengangguk. Pita suara mereka seakan tercekat oleh sedan. Menggeleng, untuk ekspresi ketidaksetujuan atas kalimat Lee. Dan mengangguk untuk sekedar menerima ungkapan terima kasih dari Lee.
“Ki-nar… “
Sorot matanya menatap lemah wajahku.
“Se-la-mat atas wisudamu. Maaf, aku tidak bisa datang. Dan… Maaf juga atas sikapku selama ini. Jika aku tidak bisa memberi tahu tentang semua ini.”
Pita suaraku terasa kaku. Mataku terasa lelah menahan gumpalan air mata yang sejak tadi terus memaksa untuk keluar. Sebisa mungkin, aku menelan ludah, dahak, Lendir dan menggigit bibir bawah sekuat mungkin. Tapi percuma. Akhirnya, air mataku sempurna tumpah.
“Kinar….”
Aku mengangguk. Bersedia mendengarkan kalimat apapun yang akan Lee katakan.
“Maafkan aku. Bisakah kau menolongku untuk terakhir kalinya?”
Aku mengangguk. Tentu Lee.
“Kinar… Aku hanya tau, gurat pada daun sebagai jejak usia. Dan kering sebagai pertanda bahwa kematian menunggu. Giliran angin bertiup yang menggugurkannya. Dalam pesan terakhirnya, daun itu berharap dan meminta diri untuk tidak jadi sampah.”
Meski suara Lee terdengar lemah, namun sangat menunjukkan kekuatannya.
Sekian detik berlalu, aku hanya bisa diam mematung.
“Dan sekarang, aku hanya ingin menghadap tuhanku dalam keadaan menikah. Karena, sejelek-jeleknya pemuda adalah kembali pada Alloh dalam kedaan membujang.
Air mataku kembali sempurna tumpah memecah kesunyian.
‘Kau mau membantuku kinar? Mewujudkan keinginan terakhirku. Ketika aku kembali pada Alloh nanti, aku telah dalam keadaan menikah.”
Waktu terasa berhenti membatu.
“Menikahlah denganku sekarang. Ada Papamu sebagai wali. Dan Al-qur’an ini…” Sambil melihat sebuah mushaf Al-qur’an di samping tempat tidurnya,
“Sebagai mahar pernikahan dariku untukmu”
Kata terakhirnya terdengar menggantung sepi. Menikah dengan Lee? Sekarang?.
Aku tak bisa memutuskan sendiri. Kulihat orang-orang disekelilingku satu per satu. Papa dan Mama. Tuan Eun dan Nyonya Hyun. Mencari pendapat mereka.
“Kumohon Kinar…” Suara Nyonya Hyun memelas.
Selang beberapa detik yang ganjil, anggukan tanda persetujuan dari Mama dan Papa membulatkan keputusanku. Baiklah. Aku bersedia.
Persiapan pernikahan berlangsung beberapa menit kemudian. Semuanya teramat sederhana. Bekas tetesan air mataku, mungkin bisa jadi bedak termanis yang ada saat ini.
Bertahan Lee. Aku janji. Akan mengantarmu menemui Alloh dengan kereta pernikahan ini.
******
Ijab Qabul pernikahan terdengar merdu. Suara Lee yang melemah, tidak sedikitpun menghalangi seikat janji yang diucapnya. Wajah Lee terlihat lega.
“Terima Kasih Kinar… Sekarang aku suamimu. Dan kau adalah istri sekaligus bidadariku.”
Aku tersenyum hambar. Masih mencoba menekan segala perasaan tentang apa yang terjadi esok.
Alat rekam jantung berbunyi ganjil. Agak sedikit tersendat?
Lee… apakah kau harus pergi sekarang? Tidakkah kita berkesempatan untuk sejenak saja menikmati masa indah awal pernikahan kita?
“Leeee…. Bangun Nak….” Suara Nyonya Hyun, mertuaku, berteriak keras. Tangannya sigap menggoncangkan bahu Lee. Nihil. Tubuh Lee sempurna membisu setelah dua kalimat syahadat terlantun indah di lisannya.
******
Aku mengusap batu nisan kecil di hadapanku. Batu nisan Lee. Suamiku. Tak ada kata terakhir yang bisa kuucap. Karena, aku sendiripun belum sepenuhnya mengerti. Bagiku, hidup selalu memberikan kejutan.
Gerimis kecil menghapus jingganya senja kali ini. Seoul yang penuh kenangan. Memori yang menggurat seperti layaknya daun.
Selamat Jalan, Lee. Suamiku.
Masjid Agung Jawa Tengah, 3 Maret 2013, 17.15
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment