29 April 1986
“Hadiah terhebat yang pernah kudapatkan dari tuhan adalah ketika aku dipanggil ‘ayah’."
Pagi masih menggeliat. Subuh baru saja selesai beberapa menit yang
lalu. Namun suara rintihan Salima, istriku yang mengeluh sakit perut
memkasaku untuk bersepeda menempuh jarak lima kilometer menjemput dukun
beranak terdekat dari desa kami. Hari ini, tepat Sembilan bulan lebih
tujuh hari usia kehamilannya. Hari ini, anakku akan lahir. Hari ini aku
akan dipanggil ‘ayah’. Dan mulai hari ini, rumah kecil dan sederhana
keluarga kita akan ramai oleh tangisan seorang bayi. Akan ada wangi
dengan bau minyak telon, minyak kayu putih, bedak bayi dan beberapa bau
kha sbayi lainnya.
“Alhamdulillah… bayinya perempuan.”
Sebongkah rasa haru membuncah di dada. Kutatap wajah lelah istriku yang
masih terbaring lemah dengan wajah sayu. Matanya redup. Namun tak bisa
disembunyikan dari retina matanya, kebahagiaan kami sempurna sudah. Lima
tahun kesabaran kami menanti untuk mendapat momongan dengan usaha
keras. Akhirnya terbayar lunas. Tangis bayi pecah pertama kali dirumah
ini.
Mulai hari ini aku akan
dipanggil “ayah”. Oleh seorang bayi mungil yang akhirnya sepakat untuk
kami beri nama Eka Kaila Kalyani. Anak perempuan pertama yang
mengharapkan kehormatan dan kebahagiaan sejati.
16 Juli 1990
Dengan
sepeda sederhana dan yang kami punya satu-satunya, aku mengantar Kaila
kesekolah Taman kanak-kanak di hari pertama. Aku menaikkan putriku di
boncengan belakang.
“Pegangan erat-erat pinggang ayah.”
Jika aku ditanya, hal apa yang paling suka ketika bersama Kaila?.
Adalah ketika memboncengkan Kaila. Kenapa?. Entahlah. Aku tak punya
bahasa indah untuk sekedar memberi jawaban atau menjelaskan. Bagiku,
memberi Kaila sebuah kenyamanan dan perlindungan adalah sebuah
kehormatan untukku. Selalu kupastikan, putri kecil manisku selalu aman
jika bersamaku. Tak boleh ada yang mengganggunya. Jika tak ingin
berhadapan denganku.
Dan ternyata,
kelak akan kusadari bahwa memboncengkan Kaila adalah salah satu moment
yang benar-benar kurindukan. Saat Kaila telah dewasa. Saat Kaila tak
pernah lagi membutuhkan perlindunganku sebagai seorang ayah.
Kaila mengangguk manis sekali. Pipi tembem terlihat menggemaskan dengan
dua kuncir rambut yang lucu hasil kreasi istriku. Aku mengayuh sepeda
pelan. Kaila terasa menikmati sekali hari pertama sekolahnya. Dalam
kayuhan sepeda sederhanaku itu, aku berjanji dalam hati. Kupatri
kuat-kuat janji itu di hati. Bahwa aku akan memberikan pendidikan
terbaik baginya. Tak masalah aku hanya lulusan SD. Tapi Kaila harus
berhasil meraih gelar sarjana atau bahkan gelar Masternya.
20 Februari 1996
“Ayah,sepatu Kaila rusak.”
Aku menatap lekat sepatu sekolah yang dimiliki Kaila satu-satunya itu
telah jebol. Sepatu kecil yang telah dipakainya bertahun-tahun
sepertinya tidak mampu lagi menjadi alas untuk telapak kakinya yang
telah beranjak dewasa.
“Besok kita beli ya… tapi jangan sekarang.”
“Kapan ayah? Yang seperti punya Mira ya.. bagus.”
Aku mengangguk ragu. Kata ‘besok’ bukan berarti satu hari setelah hari
ini. Itu hanya sebatas kata ‘suapan’ agar Kaila tidak lagi merengek. Aku
menghirup nafas dalam-dalam. Ternyata benar .Menjadi seorang ayah tidak
hanya sebatas sebutan. Namun lebih dari itu. Komitment dengan berbagai
konsekuensinya.
Bagaimana aku mendapatkan
uang untukmembeli sepatu Kaila?. Jika untuk uang belanja istriku esok
hari saja aku belum mendapatkannya. Namun hatiku tetap bergeming. Bagi
seorang ayah, tidak ada sesuatu yang paling berharga nilainya dari apa
yang dilakukan seorang ayah selain memberikan bayak kesenangan dan
penghargaan bagi anaknya.
Tak ada jalan
lain. Kubuka sebuah kotak kecil yang ada dalam almari. Sebuah kotak
kecil yang berisi jam tangan antik peninggalan ayahku dulu. Sebuah jam
tangan yang diberikannya beberapa hari sebelum beliau meninggal. Aku
pernah berjanji. Sepahit apapun jalan hidupku, aku tidak akan menjual
jam tangan itu. Bagiku, inilah sebuah kata cinta dari ayah yang sejak
dulu tidak pernah dia katakana. Ayah. Yang mencintaiku tanpa kata cinta.
Yang selalu merindukanku meski tanpa kata rindu. Ayah. Yang selalu
mencintaiku dalam diam. Dalam sikap keras dan tegasnya.
Namun sekarang, aku bisa mengerti semuanya. Bahwa aku tak peduli betapa
miskinnya seorang laki-laki. Namun, apabila mereka mempunyai sebuah
keluarga yang bahagia, maka ia telah menjadi seorang laki-laki yang kaya
raya. Dan aku merasa kaya karena mempunyai Salima dan Kaila.
Kukantongi jam tangan peninggalan ayah satu-satunya. Aku memejamkan
mata. Semoga ayah tidak kecewa denganku. Gemuruh di dadaku menyeruak.
Betapa dulu ayah sangat bangga padaku. Hingga menyimpan jam tangan yang
dia beli dengan mengumpulkan receh demi receh tetesan keringatnya untuk
dia berikan padaku.
Kukayuh sepeda dengan tangis bisu tanpa isak.
Menuju ke pasar. Menjual jam tangan itu. Demi senyum Kaila. Aku rela
menyimpan air mata ini. Menyimpan kerinduanku pada ayah.
21 Januari 1997
“Ayah, ini Kaila bagi kuenya separo buat ayah.”
Kaila tersenyum. Manis sekali. Senyum yang kurasa selalu menenangkan
batin. Sore tadi, aku dan beberapa warga mendapat undangan dari kepala
desa. Syukuran karena pak Kades menikahkan anaknya. Karena kami datang
terlambat, kue yang digunakan suguhan untuk tamu tinggal sedikit.
Alhasil, masing-masing orang hanya mendapat sepotong kue dan segelas
teh.
Aku memperhatikan teman-temanku.
Sepertinya enak sekali. Makan kue pukis dengan minum teh hangat. Aku
hanya menelan ludah. Kubujuk lidahku agar ikhlas menerima segelas teh
hangat saja. Aku membungkus kue itu dan membawanya pulang. Agar Kaila
bisa memakannya.
Aku menggeleng. Sambil menelan ludah dan menekan perutku agar tidak berbunyi karena lapar.
“Buat Kaila saja. Ayah sudah kenyang. Tadi ayah makan kue seperti itu banyak sekali di rumah pak kades.”
“Kalau kuenya banyak, kenapa ayah bawa cuma satu?. Kenapa ayah tidak membawa satu lagi untuk ibu?”
Aku melirik istriku. Dia mengangguk. Air matanya terlihat menggumpal di
sudut mata. Ah..! Terkadang aku iri dengan makhluk yang bernama
perempuan. Masih punya tangisan sebagai bahasa alternative untuk sebuah
perasaan. Entah sejak kapan? Menangis dirasa hal yang tidak layakuntuk
laki-laki?.
“Kaila makan saja. Ibu tidak suka kue seperti itu.”
Setetes air mata Salima terpaksa keluar. Dia berpaling. Karena tidak
ingin Kaila melihatnya menangis. Aku sadar. Aku telah berbohong. Aku
yakin, Salima juga ingin sekali makan kue itu. Tapi, demi Kaila, kami
rela mengalah untuk segalanya.
Kaila
mengunyah kue itu dengan lahapnya. Aku menghirup nafas lega. Apakah aku
telah menjadi ayah yang baik?. Entahlah. Bagiku, membuat Kaila tersenyum
adalah hal segalanya di atas segalanya. Terlepas apakah itu telah
memenuhi syarat atau belum untuk bisa dikatakan menjadi seorang ayah
yang baik. Mungkin inilah devinisi mencintai tanpa kata cinta.
29 April 2003
Hari
ini Kaila berulang tahun yang ke-17. Menjalani hidup bersama Kaila dan
Salima seperti berjalan pada bentangan waktu yang sangat cepat. Kaila
tumbuh sebagai gadis remaja yang sangat cantik. Sekarang dia duduk di
bangku kelas 2 SMA.
Setiap hari selama
setahun, kami selalu menyisihkan sedikit uang untuk sebuah moment
istimewa di tanggal 29 april. Kami menggunakan uang itu untuk membuat
pesta kecil sederhana dan membeli kado yang sederhana pula buat Kaila.
Aku melihat jam dinding. Waktu sudah lebih dari jam delapan malam. Tapi
Kaila belum juga pulang. Tadi, sebelum berangkat sekolah, Kaila izin
pamit untuk pulang sekolah agak telat. Dengan alasan mengikuti les
tambahan yang diadakan di sekolah. Aku mengizinkan.
Kado berupa sebuah tas sekolah telah kubungkus dengan rapi. Aku
tersenyum. Mengusap wajah yang begitu antusias karena ingin melihat
Kaila tersenyum saat menerima hadiah ini. Salima masih sibuk di dapur.
Memanasi makan malam untuk pesta kecil ulang tahun Kaila.
Berulang kali kulirik jam dinding. Hampir jam Sembilan lebih. Tapi
Kaila belum juga pulang. Setitik rasa cemasa khirnya menggelayut. Namun,
beberapa menit kemudian, Kaila datang dengan diantar temannya
laki-laki. Dahiku berkerut. Sejak kapan Kaila mempunyai teman laki-laki
yang rela mengantarnya pulang ke rumah?.
“Ayah, maaf. Kaila pulang telat. Kenalkan. Ini Gusti.”
Aku membalas uluran tangan Gusti dengan pandangan datar. Ada sedikit
ketakutan dan kecemburuan. Entah denga nalasan apa.
“Gusti, Om. Pacar Kaila.”
Aku mengangguk basa-basi.
“Sudah malam. Sebaiknya kamu pulang.”
“Iya, Om. Terima Kasih.”
Kaila nampak melambaikan tangan saat motor Gusti mulai meninggalkan halaman rumah kecil kita.
“Kemana saja kamu? Jam segini baru pulang?”
“Gusti ngajak merayakan ulang tahun Kaila. Tadi Gusti ngasih kado ini.”
Kata Kaila sambil menunjukkan sebuah tas yang dari bentuknya, terlihat
sangat mahal. Aku menatap tas itu dengan hati perih. Tas itu pasti jauh
lebih baik daripada hadiah ulang tahun yang telah kupersiapkan untuknya.
“Ayah minta, lain kali kamu tidak usah lagi pulang diantar sama Gusti.
Tidak enak dilihat tetangga. Kamu sekolah dulu yang bener. Baru fikirkan
jodoh.”
“Tapi, Gusti anak baik, yah…”
“Mandi, makan, terus tidur..!”
“Tapi, Yah….”
“Tidak ada kata ‘tapi’…!”
Cemburuku memuncak. Ketakutanku selama ini terjadi juga. Aku hanya
ingin, kelak, Kaila mendapat laki-laki yang bisa menggantikanku untuk
menjaganya. Kelak. Suatu saat. Bukan sekarang. Ketika Kaila telah
menyelesaikan tugas belajarnya.
Acara pesta
sederhana malam itu batal. Aku menyimpan tas sederhana, kado yang ingin
kuberikan padanya. Aku menyimpannya erat-erat. Tidak akan pernah
kuberikan untuknya. Sebagai ayah, aku tidak mau cemburu. Ketika Kaila
lebih memilih memakai tas pemberian dari Gusti daripada pemberian
dariku.
Kaila, maafkan ayah.
9 Juli 2004
“Kaila harus kuliah, bu… akan ayah usahakan biayanya.”
“Uang darimana yah?’
Aku menerawang. Sepertinya, semuanya memang masih gelap. Darimana aku
akan mendapat uang untuk biaya kuliah Kaila dikota. Bagiku, hidup Kaila
adalah segalanya. Dia harus bisa sejajar dengan teman-temannya. Putri
kecilku yang sekarang telah berubah menjadi gadis remaja yang cantik tak
boleh mengubur hidup-hidup sebuah cita-citanya untuk masa depan yang
lebih baik.
“Akan ayah usahakan.”
Setitik keyakinan. Pasti ada jalan.
16 September 2004
Salima
membantu Kaila berkemas. Sore nanti, Kaila akan berangkat ke kota. Aku
menatap perih seonggok koper yang akan dibawa Kaila. Itu berarti, mulai
hari ini, kami akan jauh dari Kaila. Seperti biasanya. Aku mempersiapkan
diri untuk tidak menangis saat mengantar Kaila nanti. Asal tau saja.
Jangan dikira selama ini aku tidak bisa menangis untuk putriku. Aku
hanya pandai belajar agar air mata ini tidak keluar saat di depan Kaila
maupun Salima. Air mata ini akan bebas mengalir ketika aku sedang
sendiri. Tanpa orang-orang yang kukasihi. Pada selembar sajadah dan
sujud-sujud untuk serentetan doa panjang agar orang-orang yang kusayangi
selalu diberi kebahagiaan.
Aku dan Salima
mengantar Kaila ke terminal. Salima memeluk erat Kaila dengan tangisan
yang tak putus-putusnya. Ah.! Untuk kesekian kalinya, aku tetap iri pada
perempuan. Betapa dunia sepertinya begitu mudah melegalkan air matanya.
Tibalah saat itu. Saat yang sepertinya tak pernah kusuka. Aku berharap,
kejadian ini hanya berlangsung beberapa detik saja. Beberapa detik yang
mana itu adalah waktu terlama untukku agar kuat menahan air mataku.
Kaila mencium punggung telapak tangan kananku. Pamit. Meminta doa.
Aku hanya bisa mengangguk. Dadaku buncah oleh haru. Aku menggigit
kuat-kuat bibir bawah. Agar air mata ini kuat memgang janjinya. Tidak
keluar ketika aku sedang di depan Kaila. Biarkan dia bebas keluar saat
aku menikmati sujud-sujud tahajudku.
“Jaga
diri baik-baik. Jangan lupa makan. Jangan lupa shalat. Kalau uangnya
kurang, tinggal bilang ayah saja. Ayah janji akan segera mengirim.”
Kaila mengangguk. Sukses.! Air mata benar-benar bisa menepati janji. Dia berhasil kutahan agar tidak menangis.
2O ktober 2007
Saat di luarkota, Kaila lebih sering menelphonku. Bukan untuk berbicara dan bertukar kabar.
“Ayah… biaya praktikum mahal. Belum lagi pengerjaan skripsi.
Uang kos juga naik mulai bulan ini. Jadi, kira-kira ayah bisa menambah
uang bulanan Kaila?”
Lagi-lagi uang. Tapi
tak apa. Kalau itu memang untuk biaya kuliah, aku akan mencoba untuk
mengusahakan. Keningku sering berkerut. Berfikir lebih keras lagi untuk
sedikit memperhitungkan pendapatan dengan pengeluaran. Di rumah, Salima
jarang sekali menyajikan makanan yang bisa dikatakan pantas. Segala
bentuk pemasukan uang, hanya kami kumpulkan untuk menambah uang bulanan
Kaila. Bahkan tak jarang kami harus menjual ataupun menggadaikan
barang-barang agar mendapat uang tambahan lebih.
Tapi apa? ketika Salima mengeluh padaku bahwa dia sangat merindukan
putrinya, dan aku menyarankan untuk menelphon Kaila, jawaban Kaila hanya
singkat.
“Ayah, Kaila lagi di kampus. Kaila sibuk. Telphonnya nanti saja.”
Aku menelan ludah. Menahan airmataku lebih kuat lagi. Di saat-saat
seperti inilah, aku sangat merindukan masa-masa itu. Ketika Kaila masih
kecil. Ketika Kaila masih perlu menyandarkan kepalanya di pelukanku.
Ketika Kaila masih memerlukan dekapan hangatku sebagai ayahnya untuk
mengurangi segala gundah hatinya.
Mungkin
Kaila telah memiliki teman-temannya. Memiliki orang lain yang bisa
menggantikan posisiku sebagai pelindung baginya. Di saat seperti inilah,
ketika malam telah larut, ketika Salima telah tertidur, aku
menyempatkan masuk kamar Kaila yang kosong. Aku rindu ketika Kaila belum
mau tidur karena aku belum sempat membacakan cerita pengantar tidur
untuknya. Aku rindu ketika Kaila berceloteh manis tentang teman-temannya
di sekolah. Aku rindu memandang wajah lembut putriku ketika sedang
tidur. Sungguh. Aku rindu semuanya. Kubiarkan tangisku pecah. Kubiarkan
air mata ini mengalir tanpa perlu kutahan lagi. Tak ada siapapun di
sini. Kecuali aku dan kerinduanku yang langsung disaksikan oleh tuhan.
28 April 2008
Hari
ini, bolehlah aku meneteskan air mata kecil di depan Salima. Ketika
menghadiri wisuda kelulusan sarjana Kaila. Kaila, putri kecilku berhasil
menjadi wisudawati dengan predikat sepuluh lulusan terbaik. Hatiku
buncah oleh haru. Aku memandangi Kaila penuh dengan pandangan
kebanggaan. Kaila semakin terlihat manis dan anggun dengan toganya.
Terima kasih, tuhan. Kau kabulkan harapan putriku untuk bisa menyelesaikan satu dari ribuan cita-citanya.
Aku memandangi Kaila dari jauh. Ketika dia asik berfoto dengan
teman-temannya. Kaila terlihat asik sendiri dengan teman-temannya.
Bahkan sepertinya tak memperhatikan keluhan Salima ketika mengajaknya
untuk pulang. Kaila sepertinya lebih peduli pada temannya daripada
padaku dan Salima
30 September 2008
Aku
menatap Kaila dengan mata berkaca-kaca. Sebisa mungkin aku tetap
menyimpan air mataku. Hari ini, Kaila memberikan gaji pertamanya pada
kami. Jika aku boleh jujur ,telapak tangan ini rasanya tak ingin
terbuka. Sungguh. Aku tidak pernah menginginkan menerima balasan dari
Kaila dalam bentuk materi. Bagiku, bisa mengantarkan Kaila menapaki tiap
mimpinya adalah sebuah kebahagiaan tersendiri.Tak bisa diukur dengan
apapun. Tak bisa dibeli dengan harga berapapun.
Tapi Kaila tetap memaksa. Demi agar Kaila tidak kecewa, aku menerima
pemberian itu. Tapi aku dan Salima berjanji, tidak akan menggunakan uang
itu untuk apapun. Kami akan menabungnya. Kami akan menyimpannya. Utuh.
Agar kelak, ketika Kaila menikah, kami bisa menggunakan uang tabungan
itu untuk membantu biaya pernikahannya. Pun ketika Kaila telah
mempunnyai anak. Kami ingin memberikan sedikit untuk cucu kami dengan
uang itu jika di hari tua nanti, kami tak punya uang lebih untuk hal
itu.
31 Maret 2014
Hari ini, Kaila menikah. Kaila tampak cantik sekali dengan busana
pengantinnya. Hari ini, selesai sudah tugasku sebagai seorang ayah. Hari
ini, kubiarkan air mata yang selama ini kusimpan untuk Kaila menetes.
Kubiarkan Kaila melihatnya. Kubiarkan, orang-orang yang menyaksikan
acara Ijab Qabul pernikahan Kaila melihat air mata ini. Air mata
kebanggaan. Air mata haru. Dan air mata kebahagiaan. Ketika telapak
tanganku menggenggam erat telapak tangan mempelai laki-laki. Calon suami
Kaila.
Sekarang, di samping Kaila ada
seorang laki-laki yang aku telah yakin, kelak dia bisa menggantikan
posisiku untuk menjadi pelindung Kaila. Seorang laki-laki sederhana yang
mencintai Kaila apa adanya. Tak bayak devinisi cinta darinya. Karena,
baginya cinta adalah perbuatan.
Kaila,
tugas ayah telah selesai. Maafkan ayah jika selama ini ayah belum bisa
menjadi seorang ayah yang baik. Maafkan ayah, jika ayah belum bisa
menjadi ayah yang bisa kamu banggakan di depan teman-temanmu. Tapi,
hanya sebatas ini yang ayah bisa. Hanya sebatas ini yang ayah mampu. Tak
lebih. Semoga, kelak suamimu bisa menjadi seorang ayah yang lebih baik
lagi daripada ayahmu ini.
Selamat menempuh hidup baru, Nak…. Semoga kamu bahagia dengannya.
Note:
Aku
(Kaila). Menemukan catatan harian ayah ini di sebuah almari sederhana
keluarga kami ketika ayah telah tiada. Tak banyak yang bisa kukatakan.
Karena, bahasa yang kupunya saat ini hanya bahasa air mata. Masih banyak
yang ingin kuceritakan. Tapi, jujur aku tidak kuat menahan semuanya.
Air mata ini terus mengalir saat melihat wajah pucat nan teduh ayah
untuk yang terakhir kalinya.
Benar kata ayah. Cinta
adalah perbuatan. Ayah mencintaiku meski tanpa kata ‘cinta’.
Merindukanku meski tanpa kata ‘rindu’. Bahasa cintanya bukan kelembutan
seperti ibu. Tapij ustru ketegasan dan ketangguhan yang tak terkatakan.
Dan hadiah terhebat dari tuhan adalah ketika aku dapat memanggilnya ‘ayah’.
Semarang, 29 Januari 2014, 23.10
Surga memang berada di telapak kaki ibu. Namun, kunci surga berada di telapak tangan ayah.
No comments:
Post a Comment