Tuesday, 18 March 2014

CERPEN : LEMBAR CATATAN AYAH

29 April 1986

            “Hadiah terhebat yang pernah kudapatkan dari tuhan adalah ketika aku dipanggil ‘ayah’."

            Pagi masih menggeliat. Subuh baru saja selesai beberapa menit yang lalu. Namun suara rintihan Salima, istriku yang mengeluh sakit perut memkasaku untuk bersepeda menempuh jarak lima kilometer menjemput dukun beranak terdekat dari desa kami. Hari ini, tepat Sembilan bulan lebih tujuh hari usia kehamilannya. Hari ini, anakku akan lahir. Hari ini aku akan dipanggil ‘ayah’. Dan mulai hari ini, rumah kecil dan sederhana keluarga kita akan ramai oleh tangisan seorang bayi. Akan ada wangi dengan bau minyak telon, minyak kayu putih, bedak bayi dan beberapa bau kha sbayi lainnya.

            “Alhamdulillah… bayinya perempuan.”


            Sebongkah rasa haru membuncah di dada. Kutatap wajah lelah istriku yang masih terbaring lemah dengan wajah sayu. Matanya redup. Namun tak bisa disembunyikan dari retina matanya, kebahagiaan kami sempurna sudah. Lima tahun kesabaran kami menanti untuk mendapat momongan dengan usaha keras. Akhirnya terbayar lunas. Tangis bayi pecah pertama kali dirumah ini.

            Mulai hari ini aku akan dipanggil “ayah”. Oleh seorang bayi mungil yang akhirnya sepakat untuk kami beri nama Eka Kaila Kalyani. Anak perempuan pertama yang mengharapkan kehormatan dan kebahagiaan sejati.


16 Juli 1990

            Dengan sepeda sederhana dan yang kami punya satu-satunya, aku mengantar Kaila kesekolah Taman kanak-kanak di hari pertama. Aku menaikkan putriku di boncengan belakang.

            “Pegangan erat-erat pinggang ayah.”

            Jika aku ditanya, hal apa yang paling suka ketika bersama Kaila?. Adalah ketika memboncengkan Kaila. Kenapa?. Entahlah. Aku tak punya bahasa indah untuk sekedar memberi jawaban atau menjelaskan. Bagiku, memberi Kaila sebuah kenyamanan dan perlindungan adalah sebuah kehormatan untukku. Selalu kupastikan, putri kecil manisku selalu aman jika bersamaku. Tak boleh ada yang mengganggunya. Jika tak ingin berhadapan denganku.

            Dan ternyata, kelak akan kusadari bahwa memboncengkan Kaila adalah salah satu moment yang benar-benar kurindukan. Saat Kaila telah dewasa. Saat Kaila tak pernah lagi membutuhkan perlindunganku sebagai seorang ayah.

            Kaila mengangguk manis sekali. Pipi tembem terlihat menggemaskan dengan dua kuncir rambut yang lucu hasil kreasi istriku. Aku mengayuh sepeda pelan. Kaila terasa menikmati sekali hari pertama sekolahnya. Dalam kayuhan sepeda sederhanaku itu, aku berjanji dalam hati. Kupatri kuat-kuat janji itu di hati. Bahwa aku akan memberikan pendidikan terbaik baginya. Tak masalah aku hanya lulusan SD. Tapi Kaila harus berhasil meraih gelar sarjana atau bahkan gelar Masternya.

20 Februari 1996

            “Ayah,sepatu Kaila rusak.”

            Aku menatap lekat sepatu sekolah  yang dimiliki Kaila satu-satunya itu telah jebol. Sepatu kecil yang telah dipakainya bertahun-tahun sepertinya tidak mampu lagi menjadi alas untuk telapak kakinya yang telah beranjak dewasa.

            “Besok kita beli ya… tapi jangan sekarang.”

            “Kapan ayah? Yang seperti punya Mira ya.. bagus.”

            Aku mengangguk ragu. Kata ‘besok’ bukan berarti satu hari setelah hari ini. Itu hanya sebatas kata ‘suapan’ agar Kaila tidak lagi merengek. Aku menghirup nafas dalam-dalam. Ternyata benar .Menjadi seorang ayah tidak hanya sebatas sebutan. Namun lebih dari itu. Komitment dengan berbagai konsekuensinya.

            Bagaimana aku mendapatkan uang untukmembeli sepatu Kaila?. Jika untuk uang belanja istriku esok hari saja aku belum mendapatkannya. Namun hatiku tetap bergeming. Bagi seorang ayah, tidak ada sesuatu yang paling berharga nilainya dari apa yang dilakukan seorang ayah selain memberikan bayak kesenangan dan penghargaan bagi anaknya.

            Tak ada jalan lain. Kubuka sebuah kotak kecil yang ada dalam almari. Sebuah kotak kecil yang berisi jam tangan antik peninggalan ayahku dulu. Sebuah jam tangan yang diberikannya beberapa hari sebelum beliau meninggal. Aku pernah berjanji. Sepahit apapun jalan hidupku, aku tidak akan menjual jam tangan itu. Bagiku, inilah sebuah kata cinta dari ayah yang sejak dulu tidak pernah dia katakana. Ayah. Yang mencintaiku tanpa kata cinta. Yang selalu merindukanku meski tanpa kata rindu. Ayah. Yang selalu mencintaiku dalam diam. Dalam sikap keras dan tegasnya.

            Namun sekarang, aku bisa mengerti semuanya. Bahwa aku tak peduli betapa miskinnya seorang laki-laki. Namun, apabila mereka mempunyai sebuah keluarga yang bahagia, maka ia telah menjadi seorang laki-laki yang kaya raya. Dan aku merasa kaya karena mempunyai Salima dan Kaila.

            Kukantongi jam tangan peninggalan ayah satu-satunya. Aku memejamkan mata. Semoga ayah tidak kecewa denganku. Gemuruh di dadaku menyeruak. Betapa dulu ayah sangat bangga padaku. Hingga menyimpan jam tangan yang dia beli dengan mengumpulkan receh demi receh tetesan keringatnya untuk dia berikan padaku.
Kukayuh sepeda dengan tangis bisu tanpa isak. Menuju ke pasar. Menjual jam tangan itu. Demi senyum Kaila. Aku rela menyimpan air mata ini. Menyimpan kerinduanku pada ayah.


21 Januari 1997

            “Ayah, ini Kaila bagi kuenya separo buat ayah.”

            Kaila tersenyum. Manis sekali. Senyum yang kurasa selalu menenangkan batin. Sore tadi, aku dan beberapa warga mendapat undangan dari kepala desa. Syukuran karena pak Kades menikahkan anaknya. Karena kami datang terlambat, kue yang digunakan suguhan untuk tamu tinggal sedikit. Alhasil, masing-masing orang hanya mendapat sepotong kue dan segelas teh.

            Aku memperhatikan teman-temanku. Sepertinya enak sekali. Makan kue pukis dengan minum teh hangat. Aku hanya menelan ludah. Kubujuk lidahku agar ikhlas menerima segelas teh hangat saja. Aku membungkus kue itu dan membawanya pulang. Agar Kaila bisa memakannya.

            Aku menggeleng. Sambil menelan ludah dan menekan perutku agar tidak berbunyi karena lapar.

            “Buat Kaila saja. Ayah sudah kenyang. Tadi ayah makan kue seperti itu banyak sekali di rumah pak kades.”

            “Kalau kuenya banyak, kenapa ayah bawa cuma satu?. Kenapa ayah tidak membawa satu lagi untuk ibu?”

            Aku melirik istriku. Dia mengangguk. Air matanya terlihat menggumpal di sudut mata. Ah..! Terkadang aku iri dengan makhluk yang bernama perempuan. Masih punya tangisan sebagai bahasa alternative untuk sebuah perasaan. Entah sejak kapan? Menangis dirasa hal yang tidak layakuntuk laki-laki?.

            “Kaila makan saja. Ibu tidak suka kue seperti itu.”

            Setetes air mata Salima terpaksa keluar. Dia berpaling. Karena tidak ingin Kaila melihatnya menangis. Aku sadar. Aku telah berbohong. Aku yakin, Salima juga ingin sekali makan kue itu. Tapi, demi Kaila, kami rela mengalah untuk segalanya.

            Kaila mengunyah kue itu dengan lahapnya. Aku menghirup nafas lega. Apakah aku telah menjadi ayah yang baik?. Entahlah. Bagiku, membuat Kaila tersenyum adalah hal segalanya di atas segalanya. Terlepas apakah itu telah memenuhi syarat atau belum untuk bisa dikatakan menjadi seorang ayah yang baik. Mungkin inilah devinisi mencintai tanpa kata cinta.

           
  29 April 2003

            Hari ini Kaila berulang tahun yang ke-17. Menjalani hidup bersama Kaila dan Salima seperti berjalan pada bentangan waktu yang sangat cepat. Kaila tumbuh sebagai gadis remaja yang sangat cantik. Sekarang dia duduk di bangku kelas 2 SMA.

            Setiap hari selama setahun, kami selalu menyisihkan sedikit uang untuk sebuah moment istimewa di tanggal 29 april. Kami menggunakan uang itu untuk membuat pesta kecil sederhana dan membeli kado yang sederhana pula buat Kaila.

            Aku melihat jam dinding. Waktu sudah lebih dari jam delapan malam. Tapi Kaila belum juga pulang. Tadi, sebelum berangkat sekolah, Kaila izin pamit untuk pulang sekolah agak telat. Dengan alasan mengikuti les tambahan yang diadakan di sekolah. Aku mengizinkan.

            Kado berupa sebuah tas sekolah telah kubungkus dengan rapi. Aku tersenyum. Mengusap wajah yang begitu antusias karena ingin melihat Kaila tersenyum saat menerima hadiah ini. Salima masih sibuk di dapur. Memanasi makan malam untuk pesta kecil ulang tahun Kaila.

            Berulang kali kulirik jam dinding. Hampir jam Sembilan lebih. Tapi Kaila belum juga pulang. Setitik rasa cemasa khirnya menggelayut. Namun, beberapa menit kemudian, Kaila datang dengan diantar temannya laki-laki. Dahiku berkerut. Sejak kapan Kaila mempunyai teman laki-laki yang rela mengantarnya pulang ke rumah?.

            “Ayah, maaf. Kaila pulang telat. Kenalkan. Ini Gusti.”

            Aku membalas uluran tangan Gusti dengan pandangan datar. Ada sedikit ketakutan dan kecemburuan. Entah denga nalasan apa.

            “Gusti, Om. Pacar Kaila.”

            Aku mengangguk basa-basi.

            “Sudah malam. Sebaiknya kamu pulang.”

            “Iya, Om. Terima Kasih.”

            Kaila nampak melambaikan tangan saat motor Gusti mulai meninggalkan halaman rumah kecil kita.

            “Kemana saja kamu? Jam segini baru pulang?”

            “Gusti ngajak merayakan ulang tahun Kaila. Tadi Gusti ngasih kado ini.”

            Kata Kaila sambil menunjukkan sebuah tas yang dari bentuknya, terlihat sangat mahal. Aku menatap tas itu dengan hati perih. Tas itu pasti jauh lebih baik daripada hadiah ulang tahun yang telah kupersiapkan untuknya.

            “Ayah minta, lain kali kamu tidak usah lagi pulang diantar sama Gusti. Tidak enak dilihat tetangga. Kamu sekolah dulu yang bener. Baru fikirkan jodoh.”

            “Tapi, Gusti anak baik, yah…”

            “Mandi, makan, terus tidur..!”

            “Tapi, Yah….”

            “Tidak ada kata ‘tapi’…!”

            Cemburuku memuncak. Ketakutanku selama ini terjadi juga. Aku hanya ingin, kelak, Kaila mendapat laki-laki yang bisa menggantikanku untuk menjaganya. Kelak. Suatu saat. Bukan sekarang. Ketika Kaila telah menyelesaikan tugas belajarnya.

            Acara pesta sederhana malam itu batal. Aku menyimpan tas sederhana, kado yang ingin kuberikan padanya. Aku menyimpannya erat-erat. Tidak akan pernah kuberikan untuknya. Sebagai ayah, aku tidak mau cemburu. Ketika Kaila lebih memilih memakai tas pemberian dari Gusti daripada pemberian dariku.

            Kaila, maafkan ayah.

  9 Juli 2004

            “Kaila harus kuliah, bu… akan ayah usahakan biayanya.”

            “Uang darimana yah?’

            Aku menerawang. Sepertinya, semuanya memang masih gelap. Darimana aku akan mendapat uang untuk biaya kuliah Kaila dikota. Bagiku, hidup Kaila adalah segalanya. Dia harus bisa sejajar dengan teman-temannya. Putri kecilku yang sekarang telah berubah menjadi gadis remaja yang cantik tak boleh mengubur hidup-hidup sebuah cita-citanya untuk masa depan yang lebih baik.

            “Akan ayah usahakan.”

            Setitik keyakinan. Pasti ada jalan.


16 September 2004

             Salima membantu Kaila berkemas. Sore nanti, Kaila akan berangkat ke kota. Aku menatap perih seonggok koper yang akan dibawa Kaila. Itu berarti, mulai hari ini, kami akan jauh dari Kaila. Seperti biasanya. Aku mempersiapkan diri untuk tidak menangis saat mengantar Kaila nanti. Asal tau saja. Jangan dikira selama ini aku tidak bisa menangis untuk putriku. Aku hanya pandai belajar agar air mata ini tidak keluar saat di depan Kaila maupun Salima. Air mata ini akan bebas mengalir ketika aku sedang sendiri. Tanpa orang-orang yang kukasihi. Pada selembar sajadah dan sujud-sujud untuk serentetan doa panjang agar orang-orang yang kusayangi selalu diberi kebahagiaan.

            Aku dan Salima mengantar Kaila ke terminal. Salima memeluk erat Kaila dengan tangisan yang tak putus-putusnya. Ah.! Untuk kesekian kalinya, aku tetap iri pada perempuan. Betapa dunia sepertinya begitu mudah melegalkan air matanya.

            Tibalah saat itu. Saat yang sepertinya tak pernah kusuka. Aku berharap, kejadian ini hanya berlangsung beberapa detik saja. Beberapa detik yang mana itu adalah waktu terlama untukku agar kuat menahan air mataku. Kaila mencium punggung telapak tangan kananku. Pamit. Meminta doa.

            Aku hanya bisa mengangguk. Dadaku buncah oleh haru. Aku menggigit kuat-kuat bibir bawah. Agar air mata ini kuat memgang janjinya. Tidak keluar ketika aku sedang di depan Kaila. Biarkan dia bebas keluar saat aku menikmati sujud-sujud tahajudku.

            “Jaga diri baik-baik. Jangan lupa makan. Jangan lupa shalat. Kalau uangnya kurang, tinggal bilang ayah saja. Ayah janji akan segera mengirim.”

            Kaila mengangguk. Sukses.! Air mata benar-benar bisa menepati janji. Dia berhasil kutahan agar tidak menangis.


  2O ktober 2007

            Saat di luarkota, Kaila lebih sering menelphonku. Bukan untuk berbicara dan bertukar kabar.

             “Ayah… biaya praktikum mahal. Belum lagi pengerjaan skripsi. Uang kos juga naik mulai bulan ini. Jadi, kira-kira ayah bisa menambah uang bulanan Kaila?”

            Lagi-lagi uang. Tapi tak apa. Kalau itu memang untuk biaya kuliah, aku akan mencoba untuk mengusahakan. Keningku sering berkerut. Berfikir lebih keras lagi untuk sedikit memperhitungkan pendapatan dengan pengeluaran. Di rumah, Salima jarang sekali menyajikan makanan yang bisa dikatakan pantas. Segala bentuk pemasukan uang, hanya kami kumpulkan untuk menambah uang bulanan Kaila. Bahkan tak jarang kami harus menjual ataupun menggadaikan barang-barang agar mendapat uang tambahan lebih.

            Tapi apa? ketika Salima mengeluh padaku bahwa dia sangat merindukan putrinya, dan aku menyarankan untuk menelphon Kaila, jawaban Kaila hanya singkat.

            “Ayah, Kaila lagi di kampus. Kaila sibuk. Telphonnya nanti saja.”

            Aku menelan ludah. Menahan airmataku lebih kuat lagi. Di saat-saat seperti inilah, aku sangat merindukan masa-masa itu. Ketika Kaila masih kecil. Ketika Kaila masih perlu menyandarkan kepalanya di pelukanku. Ketika Kaila masih memerlukan dekapan hangatku sebagai ayahnya untuk mengurangi segala gundah hatinya.

            Mungkin Kaila telah memiliki teman-temannya. Memiliki orang lain yang bisa menggantikan posisiku sebagai pelindung baginya. Di saat seperti inilah, ketika malam telah larut, ketika Salima telah tertidur, aku menyempatkan masuk kamar Kaila yang kosong. Aku rindu ketika Kaila belum mau tidur karena aku belum sempat membacakan cerita pengantar tidur untuknya. Aku rindu ketika Kaila berceloteh manis tentang teman-temannya di sekolah. Aku rindu memandang wajah lembut putriku ketika sedang tidur. Sungguh. Aku rindu semuanya. Kubiarkan tangisku pecah. Kubiarkan air mata ini mengalir tanpa perlu kutahan lagi. Tak ada siapapun di sini. Kecuali aku dan kerinduanku yang langsung disaksikan oleh tuhan.
           

  28 April 2008

            Hari ini, bolehlah aku meneteskan air mata kecil di depan Salima. Ketika menghadiri wisuda kelulusan sarjana Kaila. Kaila, putri kecilku berhasil menjadi wisudawati dengan predikat sepuluh lulusan terbaik. Hatiku buncah oleh haru. Aku memandangi Kaila penuh dengan pandangan kebanggaan. Kaila semakin terlihat manis dan anggun dengan toganya.

            Terima kasih, tuhan. Kau kabulkan harapan putriku untuk bisa menyelesaikan satu dari ribuan cita-citanya.

            Aku memandangi Kaila dari jauh. Ketika dia asik berfoto dengan teman-temannya. Kaila terlihat asik sendiri dengan teman-temannya. Bahkan sepertinya tak memperhatikan keluhan Salima ketika mengajaknya untuk pulang. Kaila sepertinya lebih peduli pada temannya daripada padaku dan Salima


  30 September 2008

            Aku menatap Kaila dengan mata berkaca-kaca. Sebisa mungkin aku tetap menyimpan air mataku. Hari ini, Kaila memberikan gaji pertamanya pada kami. Jika aku boleh jujur ,telapak tangan ini rasanya tak ingin terbuka. Sungguh. Aku tidak pernah menginginkan menerima balasan dari Kaila dalam bentuk materi. Bagiku, bisa mengantarkan Kaila menapaki tiap mimpinya adalah sebuah kebahagiaan tersendiri.Tak bisa diukur dengan apapun. Tak bisa dibeli dengan harga berapapun.

            Tapi Kaila tetap memaksa. Demi agar Kaila tidak kecewa, aku menerima pemberian itu. Tapi aku dan Salima berjanji, tidak akan menggunakan uang itu untuk apapun. Kami akan menabungnya. Kami akan menyimpannya. Utuh. Agar kelak, ketika Kaila menikah, kami bisa menggunakan uang tabungan itu untuk membantu biaya pernikahannya. Pun ketika Kaila telah mempunnyai anak. Kami ingin memberikan sedikit untuk cucu kami dengan uang itu jika di hari tua nanti, kami tak punya uang lebih untuk hal itu.


31 Maret 2014

             Hari ini, Kaila menikah. Kaila tampak cantik sekali dengan busana pengantinnya. Hari ini, selesai sudah tugasku sebagai seorang ayah. Hari ini, kubiarkan air mata yang selama ini kusimpan untuk Kaila menetes. Kubiarkan Kaila melihatnya. Kubiarkan, orang-orang yang menyaksikan acara Ijab Qabul pernikahan Kaila melihat air mata ini. Air mata kebanggaan. Air mata haru. Dan air mata kebahagiaan. Ketika telapak tanganku menggenggam erat telapak tangan mempelai laki-laki. Calon suami Kaila.

            Sekarang, di samping Kaila ada seorang laki-laki yang aku telah yakin, kelak dia bisa menggantikan posisiku untuk menjadi pelindung Kaila. Seorang laki-laki sederhana yang mencintai Kaila apa adanya. Tak bayak devinisi cinta darinya. Karena, baginya cinta adalah perbuatan.

            Kaila, tugas ayah telah selesai. Maafkan ayah jika selama ini ayah belum bisa menjadi seorang ayah yang baik. Maafkan ayah, jika ayah belum bisa menjadi ayah yang bisa kamu banggakan di depan teman-temanmu. Tapi, hanya sebatas ini yang ayah bisa. Hanya sebatas ini yang ayah mampu. Tak lebih. Semoga, kelak suamimu bisa menjadi seorang ayah yang lebih baik lagi daripada ayahmu ini.

Selamat menempuh hidup baru, Nak…. Semoga kamu bahagia dengannya.                       

Note:
Aku (Kaila). Menemukan catatan harian ayah ini di sebuah almari sederhana keluarga kami ketika ayah telah tiada. Tak banyak yang bisa kukatakan. Karena, bahasa yang kupunya saat ini hanya bahasa air mata. Masih banyak yang ingin kuceritakan. Tapi, jujur aku tidak kuat menahan semuanya. Air mata ini terus mengalir saat melihat wajah pucat nan teduh ayah untuk yang terakhir kalinya.

Benar kata ayah. Cinta adalah perbuatan. Ayah mencintaiku meski tanpa kata ‘cinta’. Merindukanku meski tanpa kata ‘rindu’. Bahasa cintanya bukan kelembutan seperti ibu. Tapij ustru ketegasan dan ketangguhan yang tak terkatakan.

Dan hadiah terhebat dari tuhan adalah ketika aku dapat memanggilnya ‘ayah’.








Semarang, 29 Januari 2014, 23.10


Surga memang berada di telapak kaki ibu. Namun, kunci surga berada di telapak tangan ayah.

No comments:

Post a Comment