Thursday, 20 March 2014

CERPEN : SEBENING AIR MATA CINTA


“Kamu ingat janji pernikahan kita, mas..?”

Nada bicara Sonia pelan. Bahkan lembut. Selembut suaranya waktu pertama kali aku bertemu dengannya. Tapi justru pada titik kelembutan itulah, hatiku terasa direnggut. Digenggamnya erat-erat. Dibekukan. Hingga akhirnya dikristalkan seperti garam. Aku hanya bisa mengangguk. Saat kelembutan itu tak ubahnya titik beku bongkahan es yang tiba-tiba menjebakku.

            Jika kata-kata diibaratkan pedang,kata-kata pertanyaan Sonia yang baru saja terucap seperti lempengan pedang yang terbuat dari es. Sekali terucap, seperti menggores. Terasa menyakitkan sekaligus membekukan.
            “Maafkan aku, Sonia. Aku tak pernah menginginkan semua ini”

            “Terus Siapa…??? Siapa yang menginginkan semua ini terjadi mas? Siapa yang menginginkan hubungan diantara kalian terjadi?. Hubungan mas dengan wanita itu?”


            Nada suara Sonia tetap melemah.Tapi, bagiku terdengar amat menampar. Tak perlu banyak kata. Tak perlu banya kkalimat penjelas. Karena, air mata Sonia mampu menjelaskan semuanya. Mampu membahasakan gerimis hati yang membekukan perih di sudut batinnya. Gerimis hati yang disebabkan oleh penghianatanku atas janji-janji cinta dan pernikahan kita.

            “Kamu ingat, janji pernikahan kita mas…????!!!!” Air mata itu semakin deras.

Diksi kalimat pertanyaannya terdengar seperti komandan upacara yang berteriak keras dan tegas memintaku untuk memeluk tubuhnya. Tak ada hal lain yang bisa kulakukan saat itu selain memeluknya. Memeluk istriku. Sebuah pelukan yang berarti permohonan maaf atas semua penghianatan yang kulakukan selama ini. Penghianatan cinta kita. Penghianatan janji pernikahan kita.

            Mulutku reflex ingin membuka untuk menjawab. Tapi tak ada satupun kata yang keluar. Yang ada hanyalah tiupan karbondioksida kosong dan lemah.

            Dan kau tau? Apa yang saat itu inginku katakan? Aku ingin menyusun kalimat permintaan maaf. Tapi percuma. Mulutku seakan terkunci. Pita suaraku tercekat. Kalimat yang sejak tadi sudah kurangkai sedemikian rupa, hancur patah berkeping-keping. Hanya air mata. Ya..! hanya airmata yang bisa membahasakan semuanya. Air mata penyesalan.

 Aku lebih memilih untuk menjadi pendengar.
Pendengar semua cerita air matamu.

            “Kamu tau mas… Sejak dulu, dimatamu,aku tidak pernah menginginkan seperti Edelweis. Bunga abadi yang hanya ada dipuncak gunung. Sehingga, untuk mendapatkannya saja, kamu harus berjuang keras.Menantang nyawa. Aku tidak ingin seperti itu. Dimatamu, aku hanya ingin sesederhana bunga rumput yang kuat menyimpan kemarau. Segersang apapun keadaan pernikahan kita, aku masih bisa menjalaninya. Aku masih bisa melaluinya. Dan tentunya, itu harus bersamamu.”

            Kembali, air mata itu jatuh. Air mata, yang semenjak awal pernikahan kita, hanya menetes dua kali. Pertama, airmata haru dan syukur. Ketika janji pernikahan telah selesai kuucap di depan penghulu. Kedua, air mata haru dan syukur juga. Saat tubuhnya tergeletak lemas selepas melahirkan Akbar. Putra pertama kita. Setelah itu, aku hanya melihat senyumnya. Senyum dan senyum. Senyum yang menenangkan. Senyum yang membahagiakan. Senyum bunga rumput yang benar-benar kuat menyimpan kemarau.

            “Apa kamu juga akan mengatakan bahwa wanita itu cinta sejatimu? Sama seperti apa yang kamu katakan dulu padaku?. Diawal pernikahan kita? Di setiap hari saat kita baru saja membuka hari dalam kebersamaan? Kalau iya, apa makna cinta sejati itu bagimu, mas? Apakah cinta sejati itu? Apakah ia sebentuk perasaan yang tidak bisa dibagi lagi? Apakah ia sejenis kata akhir sebuah perasaan? Tidak akan bercabang? Tidak akan membelah diri lagi? Titik? Penghabisan? Bukankah lazim seseorang jatuh cinta lagi padahal sebelumya sudah berjuta kali bilang ke pasangan - pasangan lamanya,"Ia adalah cinta sejatiku”

            Air mata Sonia terus menderas. Bahkan, pelukanku, benar-benar tak mampu lagi menenangkannya. Pelukan yang selama ini selalu ada saat dia berada di masa-masa sulit. Dan apakah ini adalah masa tersulit baginya? Masa dimana aku hadir untuknya hanya seonggok daging berjalan?. Hanya sepotong jiwa tanpa roh. Jiwa tanpa hati. Hanya status “suami”. Tanpa memiliki makna apapun untuk kebahagiannya?

            “Asal kamu tau, mas… satu hal yang mendamaikan bagi seorang istri setelah berdzikir mengingat tuhannya adalah bersandar di pelukan suaminya. Dan jika kamu bertanya padaku, kapan aku merasa jauh darimu? Saat ini..!!!, saat kamu genggam erat tanganku, tapi, di saat yang sama, fikiranmu mencoba untuk memegang hati wanita lain.”

            Sonia terus berteriak. Berteriak untuk sepinya. Berteriak untuk lelah batinnya.

            Sedangkan yang bisa kulakukan hanya penyesalan.
           




Semarang, 17 September 2013, 17:30


Tulisan kecil Pada Beranda Imaginasiku, yang mengalir antara batas Senja dan Gelap

No comments:

Post a Comment