“Sebelum
ayah menikah dengan ibu, memangnya Ayah tidak pernah bertanya pada ibu?. Apa
alasan ibu mau menerima Ayah sebagai suaminya?”
Aku
serius bertanya. Aku tau. Bagi Ayah, ini bukan pertanyaan pertama. Pasti dulu
pernah ada yang bertanya pada Ayah dengan pertanyaan senada dengan pertanyaan
ini. Pandanganku focus pada raut muka Ayah. Tidak sabaran untuk segera
mendengar jawaban Ayah.
Tapi
percuma. Ayah hanya terkekeh kecil. Sambil menyeruput sdikit kopi pagi kali
ini. Sepertinya, Ayah sengaja mengulur waktu untuk menjawab pertanyaanku. Ayah
sepertinya sengaja untuk membuatku penasaran.
“Tentu
saja pernah. Dan bahkan, itu pertanyaan pertama Ayah pada ibumu satu detik
setelah ibumu mengatakan mau menerima lamaran Ayah.”
Jelas
sekali aku tidak sabar. Hari ini. Tepat tujuh bulan ibu meninggalkan kami
selamanya. Tujuh bulan yang lalu, persis di pagi ini pada jam yang sama, Ibu
menghembuskan nafas terakhirnya. Setelah berusaha melawan penyakit Leukimia
yang telah lama diderita. Pagi ini, tujuh bulan yang lalu, untuk terakhir
kalinya aku melihat senyum ibu yang paling cantik. Sekaligus untuk pertama
kalinya aku melihat air mata Ayah menetes. Melihat Ayah menangis. Pemandangan
yang tak pernah kulihat selama aku hidup 17 tahun bersamanya.
Ritual
minggu pagi, menemani ayah minum kopi di beranda, menemani ayah diskusi dengan
mencomot bahan obrolan sembarangan, adalah hal yang wajib kulakukan setelah ibu
meninggal. Kakakku satu-satunya sekarang tinggal di kota untuk meneruskan
kuliah. Hanya tinggal aku yang menemani ayah di rumah. Terkadang ada tante,
adik kandung perempuan ayah yang sesekali datang menjenguk. Semenjak ibu
meninggal, ayah berusaha untuk tidak menyimpan kesedihan lebih lama lagi. Ayah
tidak pernah mengajari agar kita melupakan kenangan bersama oleh ibu. Yang ayah
ajarkan pada kita hanyalah mencoba untuk berdamai dengan keadaan.
Ayah
berusaha membuat suasana rumah sama ketika ibu masih ada. Beberapa kerjaan
rumah yang dulu dikerjakan ibu, sebagian diambil oleh ayah. Sebagian lagi
kukerjakan. Tak jarang, diam-diam aku melihat ayah menangis. Tapi aku tak mau
menghampirinya meski hanya sekedar memberikan motivasi padanya. Aku membiarkan
ayah menikmati tangisnya. Yang aku suka dari ayah, ayah selalu mencoba
menyembunyikan air mata itu dari anak-anaknya. Dia mencoba tegar layaknya
kekuatan laki-laki. Meski aku bisa melihat kerapuhan jiwanya setelah ditinggal
ibu. Ibu adalah wanita terindah bagi ayah. Tak akan pernah ada yang bisa
menggantikan posisi ibu di hati ayah.
Ayah
belum juga menjawab. Kali ini dia terdiam. Tak ada senyum ataupun ekspresi
apapun. Tapi justru itulah yang membuatku semakin penasaran.
“Kamu
benar-benar ingin tau? Apa yang ibu katakan sebagai jawaban ketika ayah
menanyakan itu?”
Aku
mengangguk mantap.
“Ibumu
hanya menjawab. ‘Kelak, ketika kita telah menikah, ketika kita telah menjalani
rumah tangga, kamu akan mengerti jawabannya. Aku tidak akan pernah bisa
menjawabnya sekarang. Karena, jawaban itu akan ada saat kita menangis dalam
sesak. Saat kita tertawa dalam haru. Maupun saat semuanya berada pada satu
titik gelap dan nyaris tak ada cahaya sedikitpun yang bisa kita gunakan untuk
jalan keluar ketika rumah tangga kita berada pada titik beku dan senyap karena
himpitan masalah.’”
“Maksudnya
apa yah?”
Huh.!
Kadang, hal seperti ini yang sering kutemui saat berbincang hangat dengan Ayah.
Ketika aku berharap menemui sebuah jawaban, aku justru harus menelan rasa
penasaran lebih dalam lagi ketika justru bukan jawaban yang kutemukan. Tapi
sebuah pertanyaan baru.
“Tidak
hanya kamu yang tidak mengerti atas jawaban ibumu. Ayah dulu pun sama. Ayah
sedikitpun tidak mengerti dengan apa yang dimaksud ibumu. Setiap kalimat yang
diucap ibumu, seperti menyimpan sebuah teka-teki yang harus ayah mengerti
sendiri.”
Aku
menghembuskan nafas kecewa.
“Kamu
lihat ini?”
Kata
Ayah sambil memperlihatkan kaki kirinya yang terpaksa harus diamputasi dan
kehilangan kaki kirinya sebatas lutut. Aku mendengus kesal. Bukankah itu bukan
pemandangan langka?. Bukankah aku sudah mengetahui bahwa ayahku menderita cacat
fisik ketika aku masih kecil. Semenjak pertama kali aku bisa melihat dunia ini,
pertama kali itulah aku bisa melihat ayah berjalan dengan satu kaki kanan dan
sebuah tongkat untuk membantu kaki kirinya yang telah diamputasi.
Aku
mengangguk kecewa.
“Sebagian,
mungkin kamu sudah pernah mendengar cerita ini dari ibumu. Tapi, sebagian lagi
mungkin belum. Ibumu memang sengaja menyimpan potongan cerita ini. Menurutnya, kamu
masih terlalu kecil untuk bisa mengerti. Tapi, ibumu berjanji akan menceritakan
potongan cerita yang paling penting tentang kaki ayah ini setelah kamu dewasa.
Setelah kamu cukup usia untuk bisa memahami semuanya.”
Ayah
terkekeh lagi.
“Tapi
sayang.! Sebelum ibumu sempat menceritakan semua padamu, ibumu telah pergi.”
Ibu
sengaja menyimpan potongan cerita yang paling penting ini?. Apa maksud ayah?.
Bukankah aku sudah mengerti semuanya?. Ibu pernah menceritakan padaku semua
cerita tentang kaki ayah. Sebelum menikah dengan ibu, ayah mengalami kecelakaan
yang mengakibatkan kakinya harus diamputasi sebatas lutut. Hanya itu. Tapi
mungkinkah ada yang lain?. Tapi kenapa harus disembunyikan dariku jika justru
itu potongan cerita yang paling penting?.
Dahiku
berkerut tajam. Sepertinya itu menjadi pemandangan yang lucu di mata ayah. Untuk
kesekian kalinya, Ayah terkekeh lagi. Demi melihat ekspresi penasaran di
wajahku.
“Tak
ada devisi tentang cinta menurut ibumu. Menurutnya, sampai kapanpun dunia tidak
akan pernah bisa mendevinisikan cinta secara jelas. Karena, cinta ada bukan
untuk didevinisikan. Tapi cukup untuk dirasakan.”
Aku
semakin tidak mengerti dengan apa yang ayah katakan. Tapi, baiklah.! Aku akan
diam saja. Mendengarkan dengan sabar. Entah aku mengerti atau tidak kalimat
ayah yang bagiku terlalu tinggi berkelas. Kurang bisa dimengerti dengan umurku
yang baru saja menginjak 17 tahun.
“waktu
itu…” ayah terdiam sejenak. “dua minggu sebelum hari pernikahan ayah sama ibu,
ayah mengalami kecelakaan.”
Gerutuan
kecil sepertinya sedang merecoki hatiku. Jelas sekali aku sudah tau cerita itu.
Ibu pernah menceritakannya. Tidak bisakah Ayah langsung masuk saja pada
‘potongan cerita yang paling penting’ itu?.
“Kaki
kiri ayah remuk karena terlindas truk yang menyerempet motor ayah. Nenekmu
berusaha membujuk dokter agar dokter mau melakukan berbagai cara untuk
menyelamatkan kaki ayah dari ancaman amputasi. Tapi percuma. Tidak ada jalan
lain untuk menyelamatkan nyawa ayah selain mengamputasi kaki kiri ayah sampai
sebatas lutut.”
Ayah
menghela nafas panjang. Sambil menyesap kopi di cangkirnya yang tinggal sekali
tegukan. Aku tetap khusyuk diam mendengarkan.
“Kamu
bisa membayangkan?. Dua minggu lagi ayah akan menikah. Ayah akan menjemput hari
paling bersejarah yang tidak mungkin ayah lupakan seumur hidup. Dua minggu lagi
dari kejadian kecelakaan yang terpaksa harus merenggut kaki kiri ayah itu, ayah
akan bersanding di pelaminan dengan seorang wanita yang selalu kelihatan cantik
dibalik semua sikap sederhananya.”
Sepertinya
cerita mulai menarik. Yang membuat menarik bukan jalan ceritanya. Aku sudah
berulangkali membaca novel dengan cerita romansa melankolik yang jauh lebih
tragis daripada cerita ayah. Yang membuat menarik justru ketika ayah mulai
bercerita pelan-pelan dengan intonasi kalimat yang terasa diresapi dari kata
per kata.
“kamu
bisa membayangkan? Apa yang ayah rasakan?”
Aku
mengangguk. Mencoba untuk berempati.
“Bahkan,
meskipun tanpa kehilangan sebelah kaki karena kecelakaan itu, ibumu mau
menerima ayah sebagai suaminya pun merupakan sebuah kehormatan tersendiri buat
ayah. Diberi kesempatan untuk bisa mencitai ibumu, memiliki ibumu, hingga
kesempatan untuk bisa menjaganya dan menjadikan ibumu seorang istri tak terkira
indah anugrah tuhan pada ayah.”
Mata
ayah mengerling manja padaku. “Kamu pasti tau jawabannya.”
Tak
perlu banyak penjelasan. Aku sudah mengerti apa yang dimaksudkan ayah. Selama
ini, Ayah selalu bilang, untung kecantikan ibuku menurun padaku. Tidak bisa
membayangkan jika perawakan ayah menurun padaku. Ibu dengan penampilan fisik
yang lumayan enak dilihat. Selain cantik dengan kulit sawo matang yang bersih,
kata Ayah, semenjak kuliah dulu, ibu adalah seorang mahasiswi yang cerdas.
Aktivis kampus dengan segudang prestasi.
Aku
dulu sempat tertawa keras. Ketika mendengar pengakuan ayah bahwa perbedaan ibu
dan ayah seperti langit dengan sumur. Teramat jauh. Secara fisik, ayah teramat
sulit untuk dikatakan ganteng. Prestasi ayah sewaktu kuliah juga sulit untuk
menyaingi ibu. Ayah yang setiap semesternya hanya mendapat indeks prestasi
pas-pasan, sebenarnya agak minder juga ketika mendekati ibu.
Tapi,
memang itulah kenyataannya. Kata ayah, jodoh memang ada di tangan tuhan. Tapi,
kalau kita tidak berusaha, akan tetap terus di tangan tuhan. Tidak akan akan
pernah sampai ke tangan kita. Ketika banyak teman laki-laki ayah hanya bisa
membicarakan tentang sosok ibu, ketika banyak teman laki-laki ayah hanya bisa
berhayal mengharap hati dan cinta ibu, ayah dengan modal seadanya, cerdas
tidak, ganteng juga tidak, mencoba melangkahkan kaki memberanikan diri untuk
melamar ibu. Ditengah ketidakyakinan ayah bahwa ibu akan menerima cintanya,
ayah tetap saja nekad.
Untung
tak dapat ditolak. Dengan mantap, ibu menerima kata cinta ayah. Tak perlu
berpanjang waktu. Rencana pernikahan ayah dan ibu langsung dibicarakan kedua
keluarga. Keluarga ibu dan keluarga ayah.
Hal
itulah yang membuat ayah selalu bertanya. Alasan apa yang membuat ibu mau
menerima ayah sebagai suaminya?. Sebagai imam dan pemimpin dalam hidupnya.
Teman menghabiskan sisa hidup dengan segala warna tawa dan air mata dalam
bingkai kehidupan rumah tangga. Sedangkan di luar sana, banyak laki-laki yang
jauh lebih baik daripada ayah dalam segala hal sedang mengharapkan ibu untuk
menjadi istrinya.
Ternyata,
jawaban ibu tidak pernah kongkret. Ayah tau. Ibu selalu punya alasan. Tapi
mungkin, saat ayah bertanya, ibu tak bisa merangkai penjelasan itu dengan
sebuah kalimat nyata yang apik. Ibu seakan ingin memberikan jawaban itu ketika
mereka sama-sama berlayar dalam bahtera rumah tangga. Membiarkan ayah
memahaminya sendiri. Tanpa penjelasan dengan kata-kata. Tapi penjelasan dengan
semua sikap ibu senyatanya.
“Kamu
tau…..? Dulu, ayah hampir putus asa. Ayah bahkan merelakan ibu untuk
meninggalkan ayah dan memilih laki-laki yang punya fisik lengkap. Laki-laki
yang jauh lebih baik daripada ayah. Tapi apa jawaban ibumu?”
Aku
menggeleng.
“Ibumu
tetap memilih melanjutkan pernikahannya dengan ayah. Ibumu tetap pada keputusan
awalnya untuk menikah dengan ayah. Ibumu bahkan tidak keberatan dengan semua
kondisi ayah. Ayah yang sudah pasti akan dipecat oleh perusahaan tempat ayah
bekerja karena cacat permanen yang akan ayah jalani seumur hidup ayah. Ayah
telah berada pada titik puncak keputusasaan. Tapi justru ibumulah yang terus
menguatkan ayah. Tak banyak kalimat motivasi dari lisannya. Ibumu ternyata jauh
lebih tau. Motivasi apa yang akan membuat ayah tetap optimis meneruskan hidup
ayah.”
Ayah
berhenti sejenak. Mengambil jeda nafas sebentar. Benar juga. Cerita ini semakin
menarik.
“Cukup
ibumu tetap berada di samping ayah. Menunaikan janjinya untuk tetap melanjutkan
acara pernikahannya dengan ayah. Tak banyak kata. Tak banyak kalimat penjelas
darinya. Cukup sikapnya yang bisa menjelaskan semuanya.”
Aku
terus mendengar.
“Sejak
saat itu, ayah baru tau. Jika dunia ini adalah keseimbangan, mungkin tuhan
memberikan wanita yang kuat seperti ibumu untuk ayah. Seorang laki-laki lemah
dan sering dihantui rasa keputusaan. Ibu sepertinya sengaja hadir untuk
menguatkan ayah. Ibu sepertinya mengerti, ayah membutuhkan kehadirannya untuk
melengkapi hidup ayah.”
Aku
mengangguk ‘sok paham’.
“Dan
kamu tau? Apa yang pernah ibu katakana pada ayah?. Sebuah kalimat yang tidak
akan ayah lupakan seumur hidup ayah.”
“Memangnya
ibu berkata apa?”
“sejak
awal aku menerimamu, aku telah berjanji. Untuk berusaha mencintaimu dengan
kadar cinta sebaik mungkin. Kadar cinta sebaik yang aku punya. Ketika aku telah
berjanji, aku tidak akan pernah mengingkari janjiku. Aku akan tetap
mencintaimu. Aku akan tetap menikah denganmu apapun kondisimu. Kecuali, kamu
sendiri yang meninggalkanku.”
Aku
menelan ludah.
“Sungguh.!
Sejak saat itu, ayah berjanji untuk berusaha menghindarkan rasa keputusasaan
dalam menghadapi hidup. Sebuah jawaban pertama. Kenapa ibu mau menerima ayah.
Karena, bagi ibu, seorang wanita yang hebat, bukan berarti mendapatkan pasangan
yang hebat juga. Tapi, seorang wanita yang hebat adalah seorang wanita yang
bisa merubah laki-laki biasa dan lemah menjadi laki-laki yang menemukan kembali
kekuatan hidupnya.”
“Ya..!
Ibumu adalah wanita hebat itu. Mungkin, dia bisa saja berbangga ketika banyak
sanjungan seandainya dia menikah dengan laki-laki yang keren di mata temnnya.
Mungkin dia bisa saja berbangga bahkan menyombong saat dia bisa mendapatkan
laki-laki yang banyak diidamkan perempuan lain. Tapi tidak. Ibumu justru merasa
lebih bangga saat dia menikah dengan ayah. Laki-laki apa apanya yang sama
sekali tidak diinginkan banyak wanita. Kebahagiaan pernikahan baginya tidak
hanya berdasarkan tepuk tangan dan sanjungan orang lain. Kebahagiaan baginya
adalah ketika dia berhasil bisa membuat kepercayaan diri ayah bisa bangkit
lagi. Tidak peduli orang akan mencemoohnya.”
Ayah
menatapku lekat.
“Dan
sekali lagi. Itulah keindahan ibumu, Nak. Dia tidak perlu banyak kata untuk
memotivasi hidup ayah. Dia tidak perlu berbusa-busa menerangkan seperti para
motivator menunjukkan kepiawaiannya menjadi orang yang bisa memotivasi hidup
orang lain. Ibumu hanya cukup dengan sikap teguhnya menemani hidup ayah. Apapun
keadaan ayah.”
Angin
pagi lembut menyapa beranda rumah kami. Aku tertegun. Benar kata ayah. Ini
adalah potongan cerita terpenting yang tidak pernah ibu ceritakan padaku.
Bahkan bagiku tidak hanya terpenting. Tapi juga terhebat.
“Tapi,
ayah.. kenapa ibu tidak pernah bercerita padaku tentang alasannya tetap
memutuskan menikah dengan ayah. Apapun keadaan ayah?”
Ayah
mengangguk mantap. Kemudian tersenyum halus. Sepertinya sudah ada jawaban
spektakuler yang hendak ayah utarakan. Ayah mengambil nafas dalam-dalam.
Kemudian menghembuskannya perlahan.
“Masih
banyak hal indah tentang ibumu yang belum ayah ceritakan padamu. Dan ingin
sekali rasanya ayah bercerita padamu. Kamu masih mau mendengarnya?”
Jelas
sekali aku langsung mengangguk mantap. Aku pernah menemukan sebuah tulisan di
buku harian ibu. Ibu adalah seorang penulis yang tulisannya banyak dimuat di
media cetak. Tulisan-tulisannya banyak menginspirasi orang lain. Tapi, dari
sekian banyak tulisan itu, aku paling suka dengan satu kalimatnya.
‘Aku
berjanji akan terus berkarya. Agar kelak anakku tau bahwa ibunya adalah seorang
wanita yang layak untuk dia banggakan.’
Dan
sejak saat itu, aku menyadari. Bahwa ibu bukanlah wanita biasa saja. Dia adalah
wanita luar biasa. Bahkan bisa menjadi luar biasa sekali di mata ayah. Baginya,
motivator tidak hanya bisa bicara di depan banyak orang. Tapi juga bisa
membuktikan pada dirinya sendiri. Dia merelakan dirinya sendiri menjadi kelinci
percobaan atas teori apa yang akan dia sampaikan. Dia terapkan pada dirinya
sendiri dulu, baru dia katakan pada orang lain.
“Di
mata ayah, kesan pertama ibumu memang sangat menggoda. Tapi, kesan-kesan
selanjutnya ternyata jauh lebih menggoda.”
Mata
ayah berbinar indah. Jelas sekali terlihat rasa bangganya dia sebagai laki-laki
biasa mendapat istri seorang perempuan luar biasa.
“Kamu
tau? Apa yang pernah ibu katakan lagi pada ayah?”
Aku
menggeleng.
“Dulu,
sebelum ayah menikah dengan ibumu, ayah pernah bertanya padanya. Kenapa mau
menikah denganku. Apa tidak malu? Menikah dengan laki-laki yang telah ditolak
banyak perempuan?”
Ayah
terlihat tersenyum bangga.
“Kemudian
ibumu menjawab. Jika cinta kita ditolak, bukan berarti kita tidak pantas untuk
mendapatkannya. Tapi, kita lebih pantas untuk mendapatkan yang jauh lebih baik
darinya.”
Jawaban
ibu masuk akal juga.
“Dan
selama kami menjalani pernikahan kita, ibumu mencoba sekuat tenaga untuk bisa
membuktikan teorinya. Dalam segala hal, dia terus berusaha menjadi istri yang
baik. Menjadi pendamping yang baik untuk ayah. Dan menjadi ibu yang baik
untukmu setelah kamu lahir dan melengkapi kebahgiaan kita. Memang benar.
Melihat segala peran yang dijalankan ibumu, ayah baru menyadari. Ternyata inilah
yg dimaksud. Ayah pantas mendapat yang jauh lebih baik jika dibandingkan
perempuan-perempuan yang menolak cinta ayah dulu. Ibumu seorang perempuan yang
benar-benar luar biasa.”
Aku
tetap serius mendengarkan cerita ayah. Jelas terlihat, ayah begitu bangga
pernah memiliki istri sehebat ibu.
“Kamu
tau, Nak?. Di mata orang lain, ibumu seperti Edelweis yang tumbuh di puncak
gunung. Bunga abadi yang banyak disukai orang. Karena begitu berharganya, perlu
pertaruhan nyawa untuk memetiknya. Tapi, dia sama sekali tidak ingin disamakan
seperti Edelweis. Cukup seperti bunga rumput. Bunga yang tak perlu banyak
pengorbanan untuk mendapatkannya. Tapi bunga yang kuat menyimpan kemarau.”
“Ibumu
adalah orang hebat. Selama dia sakit, dia selalu menyembunyikan sakitnya dari
ayah. Dari kalian. Dia selalu mencoba menjadi wanita yang selalu mengatakan
‘aku baik-baik saja’. Kalian adalah hal terpenting untuknya. Dan kesehatannya
adalah hal yang mungkin sama sekali tidak penting baginya. Tapi begitulah.
Terkadang, orang-orang besar selalu mencoba memilih kematian yang akan membuat
mereka diingat dengan cara yang mengharukan. Tapi tidak bagi ayah. Kematian
ibumu, ayah rasa teramat sangat menyakitkan.”
Wajah
ayah terlihat mulai mendung.
Aku
menelan ludah. Tapi aku melihat, tak ada lagi air mata ayah. Ayah masih saja
mencoba untuk menyembunyikan tangisnya.
“Jujur.
Hati ayah hancur detik demi detik melihat keadan ibumu yang semakin rapuh di
ujung nafas terakhirnya.”
Begitulah.
Ayah masih mencoba tegar di kalimat terakhirnya. Kalimat terakhir di obrolan
minggu pagi yang kesekian kalinya setelah ibu meninggal. Ayah terlihat
menggigit bibir bawah. Mencoba menahan tangis. Atau bahkan telah menangis bisu
tanpa isak?!.
Tapi
pantas jika ayah begitu merasa kehilangan. Ibu. Wanita hebat sekuat bunga
rumput. Terlalu indah jika hanya untuk dilepaskan begitu saja.
No comments:
Post a Comment