Friday, 21 March 2014

CERPEN : SEKUAT BUNGA RUMPUT




“Sebelum ayah menikah dengan ibu, memangnya Ayah tidak pernah bertanya pada ibu?. Apa alasan ibu mau menerima Ayah sebagai suaminya?”
Aku serius bertanya. Aku tau. Bagi Ayah, ini bukan pertanyaan pertama. Pasti dulu pernah ada yang bertanya pada Ayah dengan pertanyaan senada dengan pertanyaan ini. Pandanganku focus pada raut muka Ayah. Tidak sabaran untuk segera mendengar jawaban Ayah.
Tapi percuma. Ayah hanya terkekeh kecil. Sambil menyeruput sdikit kopi pagi kali ini. Sepertinya, Ayah sengaja mengulur waktu untuk menjawab pertanyaanku. Ayah sepertinya sengaja untuk membuatku penasaran.
“Tentu saja pernah. Dan bahkan, itu pertanyaan pertama Ayah pada ibumu satu detik setelah ibumu mengatakan mau menerima lamaran Ayah.”
“Terus, Ibu menjawab apa?”
Jelas sekali aku tidak sabar. Hari ini. Tepat tujuh bulan ibu meninggalkan kami selamanya. Tujuh bulan yang lalu, persis di pagi ini pada jam yang sama, Ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Setelah berusaha melawan penyakit Leukimia yang telah lama diderita. Pagi ini, tujuh bulan yang lalu, untuk terakhir kalinya aku melihat senyum ibu yang paling cantik. Sekaligus untuk pertama kalinya aku melihat air mata Ayah menetes. Melihat Ayah menangis. Pemandangan yang tak pernah kulihat selama aku hidup 17 tahun bersamanya.
Ritual minggu pagi, menemani ayah minum kopi di beranda, menemani ayah diskusi dengan mencomot bahan obrolan sembarangan, adalah hal yang wajib kulakukan setelah ibu meninggal. Kakakku satu-satunya sekarang tinggal di kota untuk meneruskan kuliah. Hanya tinggal aku yang menemani ayah di rumah. Terkadang ada tante, adik kandung perempuan ayah yang sesekali datang menjenguk. Semenjak ibu meninggal, ayah berusaha untuk tidak menyimpan kesedihan lebih lama lagi. Ayah tidak pernah mengajari agar kita melupakan kenangan bersama oleh ibu. Yang ayah ajarkan pada kita hanyalah mencoba untuk berdamai dengan keadaan.
Ayah berusaha membuat suasana rumah sama ketika ibu masih ada. Beberapa kerjaan rumah yang dulu dikerjakan ibu, sebagian diambil oleh ayah. Sebagian lagi kukerjakan. Tak jarang, diam-diam aku melihat ayah menangis. Tapi aku tak mau menghampirinya meski hanya sekedar memberikan motivasi padanya. Aku membiarkan ayah menikmati tangisnya. Yang aku suka dari ayah, ayah selalu mencoba menyembunyikan air mata itu dari anak-anaknya. Dia mencoba tegar layaknya kekuatan laki-laki. Meski aku bisa melihat kerapuhan jiwanya setelah ditinggal ibu. Ibu adalah wanita terindah bagi ayah. Tak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisi ibu di hati ayah.
Ayah belum juga menjawab. Kali ini dia terdiam. Tak ada senyum ataupun ekspresi apapun. Tapi justru itulah yang membuatku semakin penasaran.
“Kamu benar-benar ingin tau? Apa yang ibu katakan sebagai jawaban ketika ayah menanyakan itu?”
Aku mengangguk mantap.
“Ibumu hanya menjawab. ‘Kelak, ketika kita telah menikah, ketika kita telah menjalani rumah tangga, kamu akan mengerti jawabannya. Aku tidak akan pernah bisa menjawabnya sekarang. Karena, jawaban itu akan ada saat kita menangis dalam sesak. Saat kita tertawa dalam haru. Maupun saat semuanya berada pada satu titik gelap dan nyaris tak ada cahaya sedikitpun yang bisa kita gunakan untuk jalan keluar ketika rumah tangga kita berada pada titik beku dan senyap karena himpitan masalah.’”
“Maksudnya apa yah?”
Huh.! Kadang, hal seperti ini yang sering kutemui saat berbincang hangat dengan Ayah. Ketika aku berharap menemui sebuah jawaban, aku justru harus menelan rasa penasaran lebih dalam lagi ketika justru bukan jawaban yang kutemukan. Tapi sebuah pertanyaan baru.
“Tidak hanya kamu yang tidak mengerti atas jawaban ibumu. Ayah dulu pun sama. Ayah sedikitpun tidak mengerti dengan apa yang dimaksud ibumu. Setiap kalimat yang diucap ibumu, seperti menyimpan sebuah teka-teki yang harus ayah mengerti sendiri.”
Aku menghembuskan nafas kecewa.
“Kamu lihat ini?”
Kata Ayah sambil memperlihatkan kaki kirinya yang terpaksa harus diamputasi dan kehilangan kaki kirinya sebatas lutut. Aku mendengus kesal. Bukankah itu bukan pemandangan langka?. Bukankah aku sudah mengetahui bahwa ayahku menderita cacat fisik ketika aku masih kecil. Semenjak pertama kali aku bisa melihat dunia ini, pertama kali itulah aku bisa melihat ayah berjalan dengan satu kaki kanan dan sebuah tongkat untuk membantu kaki kirinya yang telah diamputasi.
Aku mengangguk kecewa.
“Sebagian, mungkin kamu sudah pernah mendengar cerita ini dari ibumu. Tapi, sebagian lagi mungkin belum. Ibumu memang sengaja menyimpan potongan cerita ini. Menurutnya, kamu masih terlalu kecil untuk bisa mengerti. Tapi, ibumu berjanji akan menceritakan potongan cerita yang paling penting tentang kaki ayah ini setelah kamu dewasa. Setelah kamu cukup usia untuk bisa memahami semuanya.”
Ayah terkekeh lagi.
“Tapi sayang.! Sebelum ibumu sempat menceritakan semua padamu, ibumu telah pergi.”
Ibu sengaja menyimpan potongan cerita yang paling penting ini?. Apa maksud ayah?. Bukankah aku sudah mengerti semuanya?. Ibu pernah menceritakan padaku semua cerita tentang kaki ayah. Sebelum menikah dengan ibu, ayah mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kakinya harus diamputasi sebatas lutut. Hanya itu. Tapi mungkinkah ada yang lain?. Tapi kenapa harus disembunyikan dariku jika justru itu potongan cerita yang paling penting?.
Dahiku berkerut tajam. Sepertinya itu menjadi pemandangan yang lucu di mata ayah. Untuk kesekian kalinya, Ayah terkekeh lagi. Demi melihat ekspresi penasaran di wajahku.
“Tak ada devisi tentang cinta menurut ibumu. Menurutnya, sampai kapanpun dunia tidak akan pernah bisa mendevinisikan cinta secara jelas. Karena, cinta ada bukan untuk didevinisikan. Tapi cukup untuk dirasakan.”
Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang ayah katakan. Tapi, baiklah.! Aku akan diam saja. Mendengarkan dengan sabar. Entah aku mengerti atau tidak kalimat ayah yang bagiku terlalu tinggi berkelas. Kurang bisa dimengerti dengan umurku yang baru saja menginjak 17 tahun.
“waktu itu…” ayah terdiam sejenak. “dua minggu sebelum hari pernikahan ayah sama ibu, ayah mengalami kecelakaan.”
Gerutuan kecil sepertinya sedang merecoki hatiku. Jelas sekali aku sudah tau cerita itu. Ibu pernah menceritakannya. Tidak bisakah Ayah langsung masuk saja pada ‘potongan cerita yang paling penting’ itu?.
“Kaki kiri ayah remuk karena terlindas truk yang menyerempet motor ayah. Nenekmu berusaha membujuk dokter agar dokter mau melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan kaki ayah dari ancaman amputasi. Tapi percuma. Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawa ayah selain mengamputasi kaki kiri ayah sampai sebatas lutut.”
Ayah menghela nafas panjang. Sambil menyesap kopi di cangkirnya yang tinggal sekali tegukan. Aku tetap khusyuk diam mendengarkan.
“Kamu bisa membayangkan?. Dua minggu lagi ayah akan menikah. Ayah akan menjemput hari paling bersejarah yang tidak mungkin ayah lupakan seumur hidup. Dua minggu lagi dari kejadian kecelakaan yang terpaksa harus merenggut kaki kiri ayah itu, ayah akan bersanding di pelaminan dengan seorang wanita yang selalu kelihatan cantik dibalik semua sikap sederhananya.”
Sepertinya cerita mulai menarik. Yang membuat menarik bukan jalan ceritanya. Aku sudah berulangkali membaca novel dengan cerita romansa melankolik yang jauh lebih tragis daripada cerita ayah. Yang membuat menarik justru ketika ayah mulai bercerita pelan-pelan dengan intonasi kalimat yang terasa diresapi dari kata per kata.
“kamu bisa membayangkan? Apa yang ayah rasakan?”
Aku mengangguk. Mencoba untuk berempati.
“Bahkan, meskipun tanpa kehilangan sebelah kaki karena kecelakaan itu, ibumu mau menerima ayah sebagai suaminya pun merupakan sebuah kehormatan tersendiri buat ayah. Diberi kesempatan untuk bisa mencitai ibumu, memiliki ibumu, hingga kesempatan untuk bisa menjaganya dan menjadikan ibumu seorang istri tak terkira indah anugrah tuhan pada ayah.”
Mata ayah mengerling manja padaku. “Kamu pasti tau jawabannya.”
Tak perlu banyak penjelasan. Aku sudah mengerti apa yang dimaksudkan ayah. Selama ini, Ayah selalu bilang, untung kecantikan ibuku menurun padaku. Tidak bisa membayangkan jika perawakan ayah menurun padaku. Ibu dengan penampilan fisik yang lumayan enak dilihat. Selain cantik dengan kulit sawo matang yang bersih, kata Ayah, semenjak kuliah dulu, ibu adalah seorang mahasiswi yang cerdas. Aktivis kampus dengan segudang prestasi.
Aku dulu sempat tertawa keras. Ketika mendengar pengakuan ayah bahwa perbedaan ibu dan ayah seperti langit dengan sumur. Teramat jauh. Secara fisik, ayah teramat sulit untuk dikatakan ganteng. Prestasi ayah sewaktu kuliah juga sulit untuk menyaingi ibu. Ayah yang setiap semesternya hanya mendapat indeks prestasi pas-pasan, sebenarnya agak minder juga ketika mendekati ibu.
Tapi, memang itulah kenyataannya. Kata ayah, jodoh memang ada di tangan tuhan. Tapi, kalau kita tidak berusaha, akan tetap terus di tangan tuhan. Tidak akan akan pernah sampai ke tangan kita. Ketika banyak teman laki-laki ayah hanya bisa membicarakan tentang sosok ibu, ketika banyak teman laki-laki ayah hanya bisa berhayal mengharap hati dan cinta ibu, ayah dengan modal seadanya, cerdas tidak, ganteng juga tidak, mencoba melangkahkan kaki memberanikan diri untuk melamar ibu. Ditengah ketidakyakinan ayah bahwa ibu akan menerima cintanya, ayah tetap saja nekad.
Untung tak dapat ditolak. Dengan mantap, ibu menerima kata cinta ayah. Tak perlu berpanjang waktu. Rencana pernikahan ayah dan ibu langsung dibicarakan kedua keluarga. Keluarga ibu dan keluarga ayah.
Hal itulah yang membuat ayah selalu bertanya. Alasan apa yang membuat ibu mau menerima ayah sebagai suaminya?. Sebagai imam dan pemimpin dalam hidupnya. Teman menghabiskan sisa hidup dengan segala warna tawa dan air mata dalam bingkai kehidupan rumah tangga. Sedangkan di luar sana, banyak laki-laki yang jauh lebih baik daripada ayah dalam segala hal sedang mengharapkan ibu untuk menjadi istrinya.
Ternyata, jawaban ibu tidak pernah kongkret. Ayah tau. Ibu selalu punya alasan. Tapi mungkin, saat ayah bertanya, ibu tak bisa merangkai penjelasan itu dengan sebuah kalimat nyata yang apik. Ibu seakan ingin memberikan jawaban itu ketika mereka sama-sama berlayar dalam bahtera rumah tangga. Membiarkan ayah memahaminya sendiri. Tanpa penjelasan dengan kata-kata. Tapi penjelasan dengan semua sikap ibu senyatanya.
“Kamu tau…..? Dulu, ayah hampir putus asa. Ayah bahkan merelakan ibu untuk meninggalkan ayah dan memilih laki-laki yang punya fisik lengkap. Laki-laki yang jauh lebih baik daripada ayah. Tapi apa jawaban ibumu?”
Aku menggeleng.
“Ibumu tetap memilih melanjutkan pernikahannya dengan ayah. Ibumu tetap pada keputusan awalnya untuk menikah dengan ayah. Ibumu bahkan tidak keberatan dengan semua kondisi ayah. Ayah yang sudah pasti akan dipecat oleh perusahaan tempat ayah bekerja karena cacat permanen yang akan ayah jalani seumur hidup ayah. Ayah telah berada pada titik puncak keputusasaan. Tapi justru ibumulah yang terus menguatkan ayah. Tak banyak kalimat motivasi dari lisannya. Ibumu ternyata jauh lebih tau. Motivasi apa yang akan membuat ayah tetap optimis meneruskan hidup ayah.”
Ayah berhenti sejenak. Mengambil jeda nafas sebentar. Benar juga. Cerita ini semakin menarik.
“Cukup ibumu tetap berada di samping ayah. Menunaikan janjinya untuk tetap melanjutkan acara pernikahannya dengan ayah. Tak banyak kata. Tak banyak kalimat penjelas darinya. Cukup sikapnya yang bisa menjelaskan semuanya.”
Aku terus mendengar.
“Sejak saat itu, ayah baru tau. Jika dunia ini adalah keseimbangan, mungkin tuhan memberikan wanita yang kuat seperti ibumu untuk ayah. Seorang laki-laki lemah dan sering dihantui rasa keputusaan. Ibu sepertinya sengaja hadir untuk menguatkan ayah. Ibu sepertinya mengerti, ayah membutuhkan kehadirannya untuk melengkapi hidup ayah.”
Aku mengangguk ‘sok paham’.
“Dan kamu tau? Apa yang pernah ibu katakana pada ayah?. Sebuah kalimat yang tidak akan ayah lupakan seumur hidup ayah.”
“Memangnya ibu berkata apa?”
“sejak awal aku menerimamu, aku telah berjanji. Untuk berusaha mencintaimu dengan kadar cinta sebaik mungkin. Kadar cinta sebaik yang aku punya. Ketika aku telah berjanji, aku tidak akan pernah mengingkari janjiku. Aku akan tetap mencintaimu. Aku akan tetap menikah denganmu apapun kondisimu. Kecuali, kamu sendiri yang meninggalkanku.”
Aku menelan ludah.
“Sungguh.! Sejak saat itu, ayah berjanji untuk berusaha menghindarkan rasa keputusasaan dalam menghadapi hidup. Sebuah jawaban pertama. Kenapa ibu mau menerima ayah. Karena, bagi ibu, seorang wanita yang hebat, bukan berarti mendapatkan pasangan yang hebat juga. Tapi, seorang wanita yang hebat adalah seorang wanita yang bisa merubah laki-laki biasa dan lemah menjadi laki-laki yang menemukan kembali kekuatan hidupnya.”
“Ya..! Ibumu adalah wanita hebat itu. Mungkin, dia bisa saja berbangga ketika banyak sanjungan seandainya dia menikah dengan laki-laki yang keren di mata temnnya. Mungkin dia bisa saja berbangga bahkan menyombong saat dia bisa mendapatkan laki-laki yang banyak diidamkan perempuan lain. Tapi tidak. Ibumu justru merasa lebih bangga saat dia menikah dengan ayah. Laki-laki apa apanya yang sama sekali tidak diinginkan banyak wanita. Kebahagiaan pernikahan baginya tidak hanya berdasarkan tepuk tangan dan sanjungan orang lain. Kebahagiaan baginya adalah ketika dia berhasil bisa membuat kepercayaan diri ayah bisa bangkit lagi. Tidak peduli orang akan mencemoohnya.”
Ayah menatapku lekat.
“Dan sekali lagi. Itulah keindahan ibumu, Nak. Dia tidak perlu banyak kata untuk memotivasi hidup ayah. Dia tidak perlu berbusa-busa menerangkan seperti para motivator menunjukkan kepiawaiannya menjadi orang yang bisa memotivasi hidup orang lain. Ibumu hanya cukup dengan sikap teguhnya menemani hidup ayah. Apapun keadaan ayah.”
Angin pagi lembut menyapa beranda rumah kami. Aku tertegun. Benar kata ayah. Ini adalah potongan cerita terpenting yang tidak pernah ibu ceritakan padaku. Bahkan bagiku tidak hanya terpenting. Tapi juga terhebat.
“Tapi, ayah.. kenapa ibu tidak pernah bercerita padaku tentang alasannya tetap memutuskan menikah dengan ayah. Apapun keadaan ayah?”
Ayah mengangguk mantap. Kemudian tersenyum halus. Sepertinya sudah ada jawaban spektakuler yang hendak ayah utarakan. Ayah mengambil nafas dalam-dalam. Kemudian menghembuskannya perlahan.
“Masih banyak hal indah tentang ibumu yang belum ayah ceritakan padamu. Dan ingin sekali rasanya ayah bercerita padamu. Kamu masih mau mendengarnya?”
Jelas sekali aku langsung mengangguk mantap. Aku pernah menemukan sebuah tulisan di buku harian ibu. Ibu adalah seorang penulis yang tulisannya banyak dimuat di media cetak. Tulisan-tulisannya banyak menginspirasi orang lain. Tapi, dari sekian banyak tulisan itu, aku paling suka dengan satu kalimatnya.
‘Aku berjanji akan terus berkarya. Agar kelak anakku tau bahwa ibunya adalah seorang wanita yang layak untuk dia banggakan.’
Dan sejak saat itu, aku menyadari. Bahwa ibu bukanlah wanita biasa saja. Dia adalah wanita luar biasa. Bahkan bisa menjadi luar biasa sekali di mata ayah. Baginya, motivator tidak hanya bisa bicara di depan banyak orang. Tapi juga bisa membuktikan pada dirinya sendiri. Dia merelakan dirinya sendiri menjadi kelinci percobaan atas teori apa yang akan dia sampaikan. Dia terapkan pada dirinya sendiri dulu, baru dia katakan pada orang lain.
“Di mata ayah, kesan pertama ibumu memang sangat menggoda. Tapi, kesan-kesan selanjutnya ternyata jauh lebih menggoda.”
Mata ayah berbinar indah. Jelas sekali terlihat rasa bangganya dia sebagai laki-laki biasa mendapat istri seorang perempuan luar biasa.
“Kamu tau? Apa yang pernah ibu katakan lagi pada ayah?”
Aku menggeleng.
“Dulu, sebelum ayah menikah dengan ibumu, ayah pernah bertanya padanya. Kenapa mau menikah denganku. Apa tidak malu? Menikah dengan laki-laki yang telah ditolak banyak perempuan?”
Ayah terlihat tersenyum bangga.
“Kemudian ibumu menjawab. Jika cinta kita ditolak, bukan berarti kita tidak pantas untuk mendapatkannya. Tapi, kita lebih pantas untuk mendapatkan yang jauh lebih baik darinya.”
Jawaban ibu masuk akal juga.
“Dan selama kami menjalani pernikahan kita, ibumu mencoba sekuat tenaga untuk bisa membuktikan teorinya. Dalam segala hal, dia terus berusaha menjadi istri yang baik. Menjadi pendamping yang baik untuk ayah. Dan menjadi ibu yang baik untukmu setelah kamu lahir dan melengkapi kebahgiaan kita. Memang benar. Melihat segala peran yang dijalankan ibumu, ayah baru menyadari. Ternyata inilah yg dimaksud. Ayah pantas mendapat yang jauh lebih baik jika dibandingkan perempuan-perempuan yang menolak cinta ayah dulu. Ibumu seorang perempuan yang benar-benar luar biasa.”
Aku tetap serius mendengarkan cerita ayah. Jelas terlihat, ayah begitu bangga pernah memiliki istri sehebat ibu.
“Kamu tau, Nak?. Di mata orang lain, ibumu seperti Edelweis yang tumbuh di puncak gunung. Bunga abadi yang banyak disukai orang. Karena begitu berharganya, perlu pertaruhan nyawa untuk memetiknya. Tapi, dia sama sekali tidak ingin disamakan seperti Edelweis. Cukup seperti bunga rumput. Bunga yang tak perlu banyak pengorbanan untuk mendapatkannya. Tapi bunga yang kuat menyimpan kemarau.”
“Ibumu adalah orang hebat. Selama dia sakit, dia selalu menyembunyikan sakitnya dari ayah. Dari kalian. Dia selalu mencoba menjadi wanita yang selalu mengatakan ‘aku baik-baik saja’. Kalian adalah hal terpenting untuknya. Dan kesehatannya adalah hal yang mungkin sama sekali tidak penting baginya. Tapi begitulah. Terkadang, orang-orang besar selalu mencoba memilih kematian yang akan membuat mereka diingat dengan cara yang mengharukan. Tapi tidak bagi ayah. Kematian ibumu, ayah rasa teramat sangat menyakitkan.”
Wajah ayah terlihat mulai mendung.
Aku menelan ludah. Tapi aku melihat, tak ada lagi air mata ayah. Ayah masih saja mencoba untuk menyembunyikan tangisnya.
“Jujur. Hati ayah hancur detik demi detik melihat keadan ibumu yang semakin rapuh di ujung nafas terakhirnya.”
Begitulah. Ayah masih mencoba tegar di kalimat terakhirnya. Kalimat terakhir di obrolan minggu pagi yang kesekian kalinya setelah ibu meninggal. Ayah terlihat menggigit bibir bawah. Mencoba menahan tangis. Atau bahkan telah menangis bisu tanpa isak?!.
Tapi pantas jika ayah begitu merasa kehilangan. Ibu. Wanita hebat sekuat bunga rumput. Terlalu indah jika hanya untuk dilepaskan begitu saja.



No comments:

Post a Comment