Tuesday, 25 March 2014
CERPEN : CEMBURU STADIUM AKUT
“Laki-laki itu, boleh kita kasih kepercayaan. Tapi, bukan berarti kita percaya seratus persen. Harus pinter-pinter ngontrol aktivitasnya.”
Mbak Eva terus saja berceloteh sambil merapikan dapur dan meja makan untuk persiapan makan siang. Beberapa hari ini Mbak Eva sengaja aku minta untuk sering-sering main ke rumahku. Kalau dia tidak sebuk sendiri dengan keluarganya. Kalau suami Mbak Eva tidak sedang dirumah dan anak-anaknya juga sedang berada di sekolah.
Mbak Eva adalah tetangga sebelah rumahku. Ibu rumah tangga yang punya satu suami dengan dua putra putri yang lucu. Semenjak aku menikah dengan Abang –begitu aku memanggil suamiku- beberapa bulan yang lalu dan memutuskan mengontrak sebuah rumah kecil di kompleks perumahan sederhana, aku bersebelahan rumah dengan Mbak Eva.
Umur Mbak Eva yang terpaut dua tahun denganku, membuat aku merasa nyaman bercerita dengannya. Meski seluruh komplek juga tahu, kalau Mbak Eva kalau ngomong seenak mulutnya sendiri. Jarang mau memperhatikan perasaan orang lain. Tapi, bagiku hal itu tidak masalah. Karena, Mbak Eva orangnya suka nolong. Suka bantu dengan tulus tanpa pamrih.
“Tapi Mbak, Selama aku kenal dengan suamiku, tidak pernah aku melihat matanya genit memperhatikan wanita lain.”
Aku mencoba mengelak.
“Iya. Itu saat suamimu sedang berada di sampingmu. Emangnya kamu tau? Kalau suamimu tidak berada di sampingmu?”
Mbak Eva menghentikan sebentar aktivitasnya menata piring. Menoleh padaku dengan pandangan serius.
Keningku berkerut. Kedua alisku hampir bertemu. Kemudian menggeleng pelan.
“Nah..!!!tuh kan…!!!” Semangat Eva kembali meroket.
Darahku sedikit terasa panas.
“Asal kamu tau aja, Rin… Laki-laki itu punya kelemahan di mata. Sedangkan perempuan itu punya kelemahan di telinga.”
Aku jadi berfikir, andai Mbak Eva dulu sempat mencicipi bangku kuliah, mungkin Sembilan puluh persen waktunya akan dia habiskan untuk aktif di BEM. Ikut andil dalam aksi turun ke jalan, dan menjadi orator idealis ulung yang bisa membangkitkan semangat para demonstran.
“Laki-laki itu paling ga kuat kalau melihat wanita yang agak melek dikit. Dan wanita secerdas apapun akan berubah jadi tolol ketika mendengar rayuan maut gombalannya laki-laki.”
What…??? Keningku berkerut lebih kencang.
Dua tahun di TK, enam tahun di SD, tiga tahun di SMP, tiga tahun di SMA, dan empat tahun lebih dua bulan di perguruan tinggi, sama sekali tidak pernah aku mendapatkan teori seperti ini. Teori unik yang kudapatkan justru dari Mbak Eva.Tetangga baikku yang hanya lulusan SMP.
“Kamu nikah sama suamimu berapa bulan?”
“sepuluh bulan.”
“Baru sepuluh bulan.” Dengan nada ngeledek. “Aku sudah sepuluh tahun. Jadi, hal-hal sepele seperti ini aku paham.”
Aku mengangguk kecil. Sedikit menghormati senioritasnya dalam hal pernikahan jika dibandingkan denganku.
“Aku saranin, kamu hati-hati saja sama suamimu. Apalagi sumamimu orang kantoran.”
“Tapi, Mbak… meski suamiku orang kantoran, tapi gajinya juga ga terlalu banyak. Buktinya, rumah aja kita masih ngontrak. Kontrakan sederhana pula. Gimana mau bisa macam-macam? Untuk kebutuhan hidup sehari-hari denganku saja masih harus banyak prihatin”
Aku tak mau kalah.
“Tapi, ingat Rina… suamimu punya wajah yang lumayan. Ganteng. Meski ga ganteng-ganteng amat.”
Aku tersedak kecil. Mendengar Mbak Eva yang tidak ikhlas mengakui bahwa suamiku memang ganteng.
“Ya sudah. Aku jemput anakku sekolah dulu. Nanti sore aku ke sini lagi.”
“Iya Mbak… makasih…”
Aku mengantarnya sampai ke depan pintu gerbang. Setelah Mbak Eva masuk ke rumahnya, aku kembali masuk, mengunci pintu gerbang dan mengunci pintu depan rumah rapat-rapat.
Waktunya makan siang. Mencicipi masakan Mbak Eva yang selain jago menjadi psikolog dadakan, ternyata jago juga menjadi chef kompleks perumahan. Masakannya lumayan enak.
Hal yang paling sering kulakukan sambil makan siang adalah menyalakan computer, browsing-browsing internet, masuk ke social media, ataupun sekedar menulis ringan. Hobiku semenjak masih kuliah. Dirumah sendirian saat siang tanpa suamiku yang tengah sibuk di kantor dan tanpa Mbak Eva yang tengah sibuk dengan dua buah hatinya terkadang memang membosankan. Untunglah, suamiku mengabulkan permintaanku untuk memberikan fasilitas internet di rumah. Obat kebosananku.
Masukakun Facebook. Dan... What…????
Aku mengucek-ngucek mataku sendiri. Memastikan bahwa apa yang kulihat di beranda akun facebookku adalah salah. Tidak. Sepertinya tidak salah. Meski mataku sudah kukucek sampai perih, postingan itu tetap tidak berubah.
Sebuah foto di akun facebook suamiku yang ditandai oleh seorang temannya. Ada empat orang di foto itu. Dua laki-laki dan dua perempuan. Dengan judul fotonya “Together with Senior High Scool friend’s”
Je-duggg…!!!!!
“Maaf, Neng… Mungkin malam ini Abang pulang agak malam. Ada makan malam sama teman-teman SMA dulu.”
“Sama siapa aja,Bang..?”
“Biasalah. Radith dan kawan-kawan.”
Oh,,,mungkin ini foto makan malam malam kemarin. Waktu Abang meminta izin pulang agak larut.
Tapi…..sebentar. Maria? Nama itu…
Nama itu sempat disebut Abang sewaktu kita melihat-lihat hasil foto pernikahan kita dulu.
“itu namanya Maria.Temen deket Abang sewaktu SMA. Mungkin bagi semua teman, bahkan Maria sendirim engira kita memang sohib. Padahal, selama tiga tahun di SMA, Abang menyimpan cinta untuknya. Cinta pengecut. Cinta dalam diam.”
Maria memang pernah menghadiri resepsi pernikahan kita. Dan aku sebatas tahu bahwa Maria datang bersama teman-teman SMA Abang.
“Kenapa Abang dulu ga nyoba bilang? Kalau Abang suka sama dia?”
“Ga berani. Takut ditolak. Lagian, kalau Abang jadian beneran sama Maria, terus, nikah sama Maria, Abang mungkin akan menjadi laki-laki yang paling rugi sedunia. Karena tidak bisa mendapatkan istri secantik dan secerdas kamu.”
Hatiku mengembang. Beberapa detik berasa tidak menginjak tanah. Minimal, aku mengakui bahwa teori dari Mbak Eva ada benernya juga. Dan wanita secerdas apapun akan berubah jadi tolol ketika mendengar rayuan maut gombalannya laki-laki.
Keningku kembali berkerut.
Masa lalu? Cinta masa SMA? Cinta pertama…???
Je-duggg…!!!!! Je-duggg…!!!!!
Siaga satu.!
Darahku yang setelah kepulangan Mbak Eva sedikit mendingin, kini kembali mendidih.
Segeraku klik, nama facebook Maria. Belum sempat aku membuka seluruh isi profil Maria, perang hatiku berkecamuk sengit.
“Bukankah itu masa lalunya, Rina? Tidak perlu kamu persoalkan.”
“Ya biarkan saja. Aku cuma sekedar iseng.”
“Yakin iseng?”
“Iya.”
Iseng atau cemburu?
“Iseng. Cuma pengen tau saja.”
“Kalau sudah tau, mau ngapain?”
“Entahlah.”
Aku menghembuskan nafas kesal. Lelah dengan ulah perasaanku sendiri.
Kututup akun facebook. Kembali melanjutkan makan dengan masakan hasil olahan chef kompleks yang tiba-tiba terasa hambar.
*******
Dengan susah payah aku mencoba membuka mata. Meski agak samar, aku masih bisa mendengar sebuah ketukan pintu di depan rumahku. Aku menggerutu kesal. Siapa juga? orang yang bertamu tengah malam seperti ini?. Aku melirik jam dinding.Tepat pukul 23.59.
Astaga…!!! Aku menepuk jidat. Abang belum pulang.
Segera aku berlari membuka pintu. Dengan tampang yang carut marut suamiku sudah menunggu di depan pintu.
“Maaf, tadi Abang ga sempat ngasih tau kalau mau pulang telat lagi. HP Abang kehabisan baterai. Mau pinjam Radith atau Maria, agak ga enak.”
Tanpa kutanya dulu, Abang langsung menjelaskan setelah mengecup manis keningku. Standar Operational Procedure saat pagi melepas Abang pergi ke kantor, dan malam ketika menyambut Abang pulang kerumah.
Sebentar. . Ototku menegang. Radith? Maria? Berarti tadi ketemu maria juga?
“Tadi Radith tiba-tiba telephone. Katanya mau bahas acara reunian teman-teman SMA dulu. Karena di kantor aku lagi banyak kerjaan, aku minta ketemunya setelah jam kantor aja.”
Tanpa kuminta, Abang menjelaskan alasan kepulangannya yang telat kelewat batas Sekaligus kompensasi atas rasa berdosanya karena tidak menghubungiku terlebih dahulu.
“Kamu udah ngantuk?”
Tanyanya lembut, sambil memberikan tas kerjanya padaku. Sebuah Standar Operational Procedure juga. Imbal balik karena dia telahmemberikan kecupan kecil di keningku.
Aku hanya mengangguk sambil menguap kecil.
Aduh, Abang., Seharusnya Abang paham dong, kalau ini udah malam banget. Pastilah aku udah ngantuk. Kenapa pake nanya?
“Ya udah. Kamu kembali tidur aja.”
“Abang ga mau dimasakin air buat mandi?”
“aku mandi pakai air dingin aja.”
Tanpa melihatku lagi, Abang langsung ngeloyor mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Meski rasa kantukku sedikit reda, karena digantikan rasa penasaran yang hampir menuju rasa kurang suka dengan cerita suamiku tentang Maria, aku tetap memutuskan masuk ke kamar. Mencoba kembali memejamkan mata.
Rina, kamu itu cemburu.
Siapa bilang? Aku Cuma kurang suka aja.!
Aku mendengus kesal. Mencoba mengabaikan semua teriakan hatiku.
Ditengah-tengah mataku yang hampir kembali terlelap, sebuah pesan singkat masuk di HP suamiku.Tadinya aku tidak mau menghiraukan. Paling juga dari teman sekantor Abang.
Eitss… tapi tunggu dulu.!
Sebuah nama sender dari memory card muncul. Maria?
Keningku berkerut. Buka? Jangan.! Buka? Jangan.!
Buka aja, Rina.. daripada kamu penasaran. Jangan-jangan----
Jangan dibuka, Rina… itu privacy suamimu. Yakinlah.! Kalau suamimu memang tidak---
Buka aja..!
Jangan..!!
Buka aja..!
Jangan..!!
Bukaaaaaaaaaaaaaaaaaaa….!!!
Klik. Kutekan tombol buka.
“Hendra, makasih ya..tetap pada kesepakatan kita. Tidak ada yang boleh bawa pasangan. Kita hanya ingin bersama teman-teman sekelas kita waktu SMA aja.”
Darahku mendidih.
*******
“Kenapa ga makan?”
“Ga lapar. Abang makan aja dulu.”
“Makan.! Ntar sakit maghmu kambuh lagi.”
Aku menggeleng. Sambil memegang perut yang sejujurnya berontak. Minta makan.
“Ntar aja. Tadi baru aja makan kue pukis”
“Yakin?. Ya udah. Abang makan dulu ya…”
Aku mendengus kesal. Mulai hari ini aku memutuskan untuk mogok makan. Mulai hari ini aku memutuskan untuk memasang wajah dan tingkah laku ngambek. Cuek. Demi Sedikit mencari perhatian suamiku. Aku hanya ingin menujukkan dengan sikapku, bahwa sebenarnya aku ga suka dengan kesibukannya mengurus acara reunian teman-teman SMAnya. Meski sebenarnya aku sendiri juga tersiksa dengan acara mogok makan ini.
“Kok, rasa sayurnya agak asin, Neng?”
Aku masih manyun.
Sengaja.! Sengaja meluapkan kekesalan lewat makanan. Biar abang ngerti.!
“Tapi, tak apalah. Enak.”
Aku mnggerutu kesal. Abang paham ga sich?
“Oh ya. Maaf. Abang lupa bilang. Malam ini Abang ada janji sama Radith dan Maria lagi. Mau mencari tempat yang pas buat acara reunian kita. Mungkin malam ini Abang ga bisa temenin malam minggukamu. Tapi Abang janji, setelah dapat tempat, Abang langsung pulang.”
Aku terus mendengus kesal. Jadi, lebih penting Maria daripada istrinya?
“Ya udah. Abang pergi dulu ya.. jangan lupa makan.”
Tanpa menunggu jawabanku, Abang kembali mengecup keningku. Balik kanan, dan keluar rumah. Tanpa mau mengerti dengan semua kejengkelan hatiku.
Aku terus diam. Memasang wajah manyun. Kesal. Jengkel. Dan ----
Ah..! tidak..! aku tidak cemburu.
*******
“Neng, itu cucian berapa hari ga di cuci?”
Aku sengaja membuat keributan kecil pagi ini. Minggu pagi yang biasanya aku habiskan waktu pagi butaku dengan membereskan segala pekerjaan rumah karena biasanya hari minggu Abang mengajakku jalan-jalan keluar, minggu pagi ini aku membiarkan semuanya terbengkelai. Cucian pakaian yang sudah kurendam beberapa hari, tidak segera kucuci. Tumpukan cucian piring bekas makan malam tadi malamjuga belum kukerjakan. Belum lagi menyapu, mengepel, membersihkan kamar mandi, semuanya lewat dari perhatianku.
Aku lebih memilih untuk mengisi minggu pagi ini dengan malas-malasan.
“Maghmu kambuh lagi?”
Aku masih terdiam.
“Tadi malam makan ga?”
Aku menggeleng.
“Wajahmu terlihat agak pucat. Minggu ini istirahat di rumah aja ya.. Tidak ada acara jalan-jalan. Kamu kelihatan agak capek.”
Apaaa….?!
“Hari ini Abang masih ada janji sama Radith dan Maria. Melanjutkan rapat tadi malam yang belum selesai.”
Mataku terbelalak.
“Jadi, abang ga bisa nemenin kamu jalan-jalan hari ini. Kamu istirahat dulu. Setelah agak baikan, baru itu cucian piring dan cucian baju dikerjakan. Jangan lupa nyapu, ngepel lantai, dan bersihkan kamar mandi. Abang mandi dulu. Tadi Maria udah telphon. Katanya suruh cepet-cepet.”
Darahku tidak hanya mendidih. Tapi, bisa juga digunakan untuk meledakkan rumah diseluruh kompleks ini.
Okelah.
Pembalasan dimulai.
*******
“Lho...? kamu ga masak buat makan malam kita?”
Aku menggeleng dengan senyum semanis mungkin.
“Ini aku bawain nasi goreng. Dibelikan Rasyid. Tadi seharian aku keluar sama Rasyid. Teman kuliahku dulu. Tadi pagi, sewaktu aku Online, tiba-tiba Rasyid chat aku. Katanya mau ngajak jalan hari ini.”
Abang mendengarkan ceritaku sebaik mungkin.
“Karena aku juga lagi ga ada kerjaan, ya udah. Aku ikut saja sama ajakan Rasyid.”
“Cuma jalan berdua?”
“Mm..”
Yesss...! Pancinganku agak berhasil.
Tapi Abang masih terlihat dengan sikap standarnya.
“Tadi tuh jalan-jalan ke kota lama. Tempat nongkrong kita sewaktu kuliah dulu.”
Dengan suara agak dikerasin, Sengaja aku menunjukkan sikap antusias. Mencoba sedikit memancing emosi suamiku.
“Jalan, makan siomay, minum es cincau, pokoknya asik, lah..”
Abang Cuma terlihat mengangguk-angguk.
“Rasyid masih kurus seperti dulu ya?”
“Mm.. tapi agak sedikit lebih ganteng.”
Ayolaaahhh… tunjukkan sikap kalau Abang ga suka. Abang ga seneng aku jalan sama Rasyid. Dan --- Abang cemburu kalau aku sama Rasyid.
“Oh, baguslah. Bilang sama dia. Aku mengucapkan terima kasih. Karena dia mau menemanimu jalan-jalan hari ini. Daripada kamu diam kebosanan di rumah.”
Apaaaa…..?! Hampir saja bola mataku lepas karena terbelalak lebar mendengar jawabansuamiku.
“Dan juga, terima kasih buat ini.”
Sambil menunjukkan bungkusan nasi goreng dan membukanya hingga menyantap dengan lahap.
Aku tertegun.
Tidak ada sedikitpun sikap Abang yang menunjukkan bahwa dia tidak suka. Dia cemburu pada Rasyid seperti apa yang kuinginkan.
Cemburu pada tahap ‘gejala’ itu ketika aku merasa tidak suka saat kamu bercerita tentangnya. Sedangkan cemburu pada stadium akut itu saat aku mencoba membalas dengan membuatmu cemburu, namun ternyata sedikitpun kamu merasa tidak cemburu.
*******
“Tadi maria titip salam untuk kamu.”
Akum enoleh dan menatap Abang dengan tatapan seadanya. Sedikit mengalihkan sejenak pandanganku dari computer.
“Gedung sudah dapat. Catering sudah DP juga. Undangan baru saja di design. Dan Radith janji akan segera mencetak dan mengedarkannya secepat mungkin.”
Aku melirik jam dinding. Pukul 22.05. Sebenarnya mataku sudah agak mengantuk. Tapi,aku sengaja lebih lama bermain di depan computer. Anggap saja pelarian dari semua kekesalanku atas sikap Abang selama ini. Sikap Abang yang membuatku--- Ah..! Baiklah. Mau tidak mau, aku harus mengakui bahwa aku memang cemburu. Cemburu pada Maria. Cemburu pada masa lalunya.
“Dari dulu, Maria memang terkenal cerdas. Si mungil yang tidak hanya pandai dalam dunia akademik. Tapi juga gesit saat ditujuk sebagai ketua organisasi. Meskipun dia perempuan, tapi, kecekatannya dalam mengkoordinasikan sesuatu, melebihi laki-laki. Makanya itu, dari dulu dia sering ditunjuk untuk menjadi ketua panitia jika osis mengadakan sebuah kegiatan. Dan sekarang----“
Darahku kembali mendidih. Emosiku hampir di puncak ubun-ubun. Dan kecemburuanku mungkin tak lagi untuk sebuah alasan karena cinta. Tapi, lebih pada alasan cemburu karena takut tersaingi.
“Dan sekarang--- ketika aku ditunjuk menjadi ketua panitia acara reuni teman-teman SMA, jelas sekali aku membutuhkan segala bantuannya. Karena, dia yang lebih tahu dan lebih paham.”
Mataku berkaca-kaca.
Nafasku memburu, seperti berlari lebih cepat.
Pandanganku lebih kuarahkan pada layar computer. Tapi telinga, fikiranku dan emosiku takbisa lepas dari ceritanya.
“Oh ya.! Selain handal dalam mengkoordinasikan semuanya. Maria bisa juga diandalkan untuk nego harga sewa gedung dan catering. Bayangkan..! kita bisa dapat separuh dari harga normal untuk sewa gedung. Dan potongan dua puluh persen untuk cateringnya. Bagaimana? Hebat kan..?!”
Nafasku sesak.
Bagaimanapun juga, aku adalah perempuan yang paling tidak suka tersaingi. Apalagi tersaingi oleh masa lalunya. Cinta pertamanya.
Mataku terasa panas. Pandanganku kabur karena terhalang air mata yang menggumpal dipelupuk. Berkedip sedikit saja, sudah pasti air mata itu pecah dan meleleh. Aku mencoba menggigit bibir bawah. Mencoba menelan sengguk agar Abang tidak tahu kalau aku benar-benar ingin menangis. Menangis karena cemburu.
Cemburu pertama dalam hidupku.
“Pantas saja. Kalau kalau banyak laki-laki yang menaruh perasaan pada Maria. Karena------“
“Tapi, Aku benar-benar tidak suka dengan mariaaaaaa……!!!”
Cataaarrrrrr……!!!!! Aku berteriak lantang.
Terdengar hampir menyerupai halilintar yang merobek sepinya malam.
Tak ubahnya seperti serdadu yang mendapat perintah untuk diam dari komandannya ,Abang langsung diam tanpa suara lagi. Diam dengan mimik wajah tidak berdosa yang sedikitpun tidak mengerti kenapa aku tiba-tiba berteriak dengan mata yang penuh gumpalan bening cairan air mata.
“Aku tidak suka Abang sering bertemu dengan Maria. Aku tidak suka kalau Abang sering bercerita tentang Maria. Dan aku tidak suka dengan kebanggaan Abang pada masalalu masa lalu itu.”
Abang tertegun menelan ludah.
“Dan aku ---- aku merasa ----“
Lidahku tercekat. Malu untuk mengakuinya.
Aku merasa cemburu.
Dengans enyum yang sepertinya sudah bisa membaca dan mengerti apa yang terjadi, serta hembusan nafas kelegaan, Abang meraih tubuhku. Memberiku pelukan ketenangan. Sejenak aku membenamkan tubuhku dalam pelukannya. Menumpahkan tiap isak tangis yang selama ini terpendam.
“Kamu ga suka?”
Aku mengangguk.
“Kamu cemburu?”
Terpaksa aku mengangguk. Aku harus mengakui.
“Maafkan, Abang. Bukan maksud Abang untuk membuatmu cemburu.”
Akut etap tak bisa menjawab. Karena aku lebih menikmati tangis kebebasanku. Bebas karena aku bisa menangis mengungkapkan semuanya.
“Jadi, segala sikap ngambek ga jelasmu selama ini ternyata kamu cemburu?”
Aku mengangguk lagi.
Abang tersenyum geli.
“Kenapa ga bilang dari kemarin? Malu? Malu mengakui kalau kamu cemburu? Aku sama Maria hanya sebatas panitia reuni. Tidak lebih”
Aku tidak menjawab.
“Asal kamu tau. Hal yang paling terlihat membanggakan bagiku, dan mungkin bagi laki-laki lainnya adalah saat kamu bilang dan mengakui bahwa kamu cemburu. Aku merasa menjadi suami yang berharga di hadapanmu.”
Dadaku terasa mengembang.
“Ya sudah. Besok gantian aku yang cemburu.”
Keningku berkerut.
“Cemburu pada siapa?”
Dihatiku berharap. Semoga cemburu pada Rasyid.
“Cemburu pada cucian piringmu. Cemburu pada kompor dan dapurmu. Cemburu pada cucian dan setrikaan bajumu. Karena sepertinya, kamu lebih mementingkan semua itu daripada aku.”
Kerlingan mata dan Senyum Abang terlihat nakal.
Hingga aku hanya bisa memukulnya dengan bantal.
Kamar kos, 20 Oktober 2013, 00.24
Cinta dan Cemburu tak perlu sampai 'buta'
Cukup sebatas 'rabun'
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment