Aku merapatkan mantel. Suhu udara awal musim dingin di Inggris
terlalu ekstrim jika dibandingkan di Indonesia. Perjalanan dari
Sheffield ke Peak District kupastikan memakan waktu sekitar satu jam.
Tapi, perjalanan satu jam di Inggris tidak seperti perjalanan satu jam
di Jakarta yang macet.
Bus melaju pelan.
Aku menyandarkan punggung lebih nyaman. Pandanganku tak lepas dari luar
jendela bus. Ruang kota di Inggris tak jauh beda seperti di London.
Bersih dan rapi. Aneka warna pepohonan amat elok dan rupawan. Dihiasi
titik-titik putih dari kejauhan.Jika dilihat dari dekat, titik-titik
putih itu adalah kawanan domba Derbyshire yang sedang asik merumput.
Jalan berkelok yang dilatar belakangi bukit rendah dan lembah rumput
kehijauan berlangsung hampir selama perjalanan. Semakin lama ditempuh,
kota-kota itu terlihat semakin kecil. Beralih menjadi desa. Semakin
hijau. Semakin cantik.
********
“Elieza Ramadani. Panggil saja Eliez”
Dia menelangkupkan tangan di depan dada.Tersenyum manis. Tidak menyambut uluran tanganku.
“Gusti Purnama. Panggil saja Gusti.”
Aku menarik tanganku. Agak sedikit salah tingkah. Menelangkupkan kedua
telapak tangan di depan dada. Mengikuti gerakannya.
“Sekedar Chek Up? Atau menjalani rutinitas cuci darah?”
Kalimat kedua Eliez setelah perkenalannya. Aku tau. Mungkin hanya
sekedar bas-basi. Dari sebuah gelang sederhana yang melilit di tangan
kiriku, sebagian orang yang tau, pasti sudah bisa menebak. Aku penderita
penyakit Hemofilia. Ditambah lagi aku sekarangberada di depan ruang
tunggu seorang dokter spesial penyakit darah. Mengantri untuk periksa
bulanan seperti biasa.
“Hanya chek up bulanan. Eliez sendiri?”
Di tangannya, aku tidak melihat gelang atau tanda lainnya yang bisa
kuambil kesimpulan bahwa dia mengidap penyakit yang sama denganku. Atau
mungkin, gelang itu tersimpan di lengannya yang tertutup baju lengan
panjang.
Eliez menggeleng “Hanya mengambil hasil chek up mama.”
“Mama Eliez Hemofilia juga?”
Eliez mengangguk. Kemudian tersenyum kecil. Senyum yang begitu lentik
di wajah manisnya. Pahatan wajah yang sempurna dari sang maestro seni
kriya kehidupan. Mata birunya terpahat manis di bentuk wajah yang sempit
terbalut dengan jilbab putih anggunnya.
Pandangannya
begitu teduh. Hening. Sehening patung budha. Tapi, pada titik hening
itulah hatiku terasa direnggut, digenggamnya erat-erat, dibekukan.
Hingga akhirnya dikristalkan seperti garam.
Itulah awal perkenalanku dengan Eliez. Seorang wanita anggun keturunan
Inggris-Sunda Sejak lahir sudah tinggaldi Jakarta. Ibunya termasuk
bangsa Nor. Lahir dan besar di Inggris. Pindah ke Indonesia ketika
menikah dengan ayahnya yang asli Bandung. Mereka bertemu saat ayahnya
mendapat tugas belajar di Newcastle-Inggris. Dari pernikahan itu, hanya
dikaruniai seorang anak perempuan. Eliez Ramadani.
Tidak munafik. Kuakui, Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan aku
berjanji, akan terus mencintai pada tiap pandangannya.
********
Satu jam perjalanan yang tak terasa lelah. Bus berhenti di
pemberhentian Chatsworth House. Sebuah objek wisata berupa bagunan kuno
nan megah, Kastil kediaman keluarga ningrat Inggris di masa lalu.
Sekilas melihat bangunan ini, aku tersenyum mafhum. Sekilas melihat
saja, aku bisa merasakan.Betapa mewahnya kehidupan keluarga ningrat
Inggris jaman dahulu. Namun aku tak berhenti di sini. Karena tempat yang
kutuju adalah sebuah desa yang bernama Edensor(Baca:Enzer), di Peak
District, Derbyshire, Inggris. Menemukan rumah Eliez. Tak jauh dari
Chatsworth House ini.
********
“Hemofilia, banyak menjangkiti orang-orang Eropa.Terutama di Inggris.
Dan keluargaku salah satunya. Papa yang asli Sunda, sama sekali tidak
pernah terjangkit penyakit ini. Tapi Mama awalnya hanya membawa gen
Hemofili. Tapi, dari pemeriksaan selanjutnya, ternyata mama juga
mengidapnya.”
Serius kudengarkan
ceritanya. Obrolan panjang lebar kitadi pertemuan kedua. Namun masih di
tempat yang sama. Di ruang tunggu dokter. Semenjak pertama kali ketemu
Eliez, aku sengaja mengatur waktu chek up. Berusaha menyamakan waktu
chek up dengan Mamanya Eliez. Meski itu tidak mudah. Karena harus
bernegoisasi rumit dengan dokter Han. Mengemukakan beberapa alasan.
Kaliini
dia bersama mamanya. Seorang bule dengan rambut pirang tanpa jilbab.
Meski sudah setengah abad lebih tinggal di Jakarta, logat Inggrisnya
masih kental.
“Kamu sendiri? Darimana asalnya, hingga bisa terjangkit hemofilia?”
Aku tersentak. Tergagap hingga mengalihkan pandangan dari Nyonya Katya.
Mama Eliez, yang meski sudah menua, namun masih terlihat segar.
Aku menggeleng. “Entahlah. Dari kecil aku tinggal dipanti asuhan.
Hingga akhirnya, sekitar umur 10 tahun aku baru tau, kalau penyakit yang
kuidap selama ini adalah hemofilia.”
Tak banyak
komentardari Eliez. Dia hanya mengangguk sambil tersenyum manis. Entah
apa arti anggukannya. Mungkin memang benar-benar memahami. Atau hanya
sebatas formalitas. Sedangkan dihatinya berkata. Aku tidak peduli.
********
Dari Chatsworth House, aku berjalan kaki. Awal musim semiyang indah di
Derbyshire. Kampung halaman yang indah bagi Nyonya Katya. Mama Eliez.
Landscape hijau menghampar diantara pohon apel dan pohon willow.
Langkahku terhenti sebentar. Menatap ribuan domba merumput mencari
hidup. Seakan tanpa beban. Dia hanya butuh makan.
Hatiku tersenyum ringan. Kenapa Eliez tidak pernah bercerita tentang
kampung halaman Mamanya?. Atau, mungkin Eliez sebelumnya tidak pernah
kemari?. Jalan setapak di tengah pemukiman penduduk yang tenang.
Rumah-rumah jaman tua yang sepertinya sengaja tidak dibangun ulang
terasa mengubahku seketika menjadi actor pangeran dongeng peri kerajaan
Inggris.
********
“Aku tau, Eliez. Mungkin ini terlalu cepat. Tapi, hanya seperti inilah sebuah apresiasi atas perasaanku selama ini.”
Pertemuan yang kesekian dengan Eliez. Sekaligus pandanganyang kesekian
di teduh matanya. Aku hanya bisa menunduk. Malu namun jelas kuakui. Aku
akan selalu jatuh cinta pada tiap pandangan matanya. Termasuk
pandangannya malam ini.
Tempat yang
teramat sederhana. Sebuah taman kecil dirumah sakit khusus pengidap
Hemofilia. Sebentuk cincin kecil yang teramat sederhana. Tidak mahal.
Hasil jerih payahku menabung selama ini. Sedikit, namun begitu serius
aku mengumpulkannya. Seserius perasaanku pada Eliez. Namun Sesederhana
hatiku dalam mendevinisikan kata “cinta”.
Siluet senyum terbit di wajah teduhnya. Mata birunya ringan mengerjap.
Rona mukanya memancar mengalahkan redupnya lampu taman. Pandangan Eliez
kembali menatapku. Maksudnya?
“Jika kamu bersedia menikah denganku, pakailah cincin ini. Tapi, jika
kamu menolak, Kuharap kamu masih mau menyimpannya. Menyimpan untukku.
Gusti si penderita Hemofilia”.
Eliez menatapku
lekat. Wajahnya terlihat serius mencoba menjawab. Tapi mungkin, bahasa
yang dia punya hanya bahasa perasaan. Rangkaian huruf verbal yang sejak
tadi dicoba dirangkainya menguap bersama hembusan karbondioksida dalam
satu hembusan nafasnya. Hembusan nafas lega. Dia hanya mengangguk Iya Gusti, aku menerima. Cincin itu dipakainya.
Perasaanku melambung. Perjalanan cintaku baru saja melesat dari garis start.
********
Setelah menelusuri jalan setapak berbatu, aku berhenti di depan sebuah
gereja. Gereja St. Peter. Di depan gereja yang megah terkesan kokoh,
kuat dan tegas memegang keyakinan itu, ada sebuahpapan petunjuk berwarna
biru.
St. PETER CHURCH
EDENSOR
VISITORS WELCOME SUNDAY SERVICE
10.30am
Aku tersenyum puas. Edensor di depan mata. Rumah Eliez ada diantara
rumah-rumah tua yang terbuat dari batu berwarna kelabu. Letaknya naik
turun mengikuti kontur tanah Edensor yang sedikit berbukit.
Pandanganku kubiarkan menyapu padang rumpu hijau khas Inggris yang
tertata rapi. Jalanan setapak menuju ke dalam wilayah Edensor masih
menunggu telapak kakiku.
********
Aku menunggu resah. Sebuah kotak berwarna ungu sebagai hadiah untuk
Eliez malam ini ku pegang erat. Sudah satu jam lebih aku menunggu Eliez
di taman rumah sakit. Beberapa hari yang lalu, Eliez bersedia bertemu
denganku di taman ini. Sebuah pertemuan sederhana. Hanya ingin
memberikans ebuah kado untuk Eliez. Hari ini dia berulang tahun. Ulang
tahun yang ke-25.
Detik
merangkai menit. Menit menggenapkan hitungan jam. Malam beranjak matang.
Tanpa mau sedikitpun peduli dengan keresahan hatiku. Aku mengusap peluh
di dahi. Otakku sudah berontak tidak sabar. Namun,
perasaanku mencoba membujuk. Ayolah, setengah jam lagi. Akhirnya otakku menurut. Baiklah. Setengah jam lagi.
Lampu taman perlahan redup. Aku melihat arloji. Sudah lewat tiga puluh
menit dari waktu yang dibujuk perasaanku. Keresahanku mencapai titik
klimaks. Kado untuk Eliez kugenggam erat. Aku tidak mungkin di sini
sampai malam. Segera kuputuskan untuk pulang. Sebelum kakiku melangkah
kecewa, aku mengirim pesan singkat di Handphone Eliez. Selamat Ulang Tahun. Semoga panjang umur.
Kalimat ucapan yang sederhana pula.
********
Aku mengeluarkan secarik kertas yang berisi alamat rumah Eliez. Dari
info yang kuterima, Edensor adalah desa yang tidak terlalu luas. Dan
memang benar. Dari kejauhan, Beberapa rumah tua mungil berjejer rapi
meski terlihat letih dimakan usia. Konsep arsitektur rumah-rumah di
Edensor hampir mirip dengan rumah induknya yaitu Chatsworth House.
Seperti format dejavu. Aku merasa tidak asing dengan desa ini.
Diskripsi yang sama ketika aku membaca cerita negeri dongeng sewaktu
kecil dulu. Bangunan-bangunan mungil ini terbuat dari batu alam., dengan
menara kecil di sudut rumah dan bingkai jendela yang serupa dengan
rumah-rumah di bukucerita itu.
********
Untuk kesekian kalinya, aku tidak pernah lagi melihat Eliez di rumah
sakit mengantar chek up mamanya. Semenjak gagalnya pertemuanku dengan
Eliez saat akan merayakan ulang tahunnya dulu, sampai sekarang aku
takpernah lagi bisa menemuinya. Bahkan, pesan ucapan selamat ulang
tahunku dulu juga tak kunjung dibalas.
Sekali dua kali ketika aku
tidak lagi menemukan Eliez di rumah sakit, aku masih bisa menahan
sepotong rindu ini. Namun, pada akhirnya, aku kalah juga. Eliez tak
pernah memberitahu alamat rumahnya di Jakarta. Selain mamanya, aku juga
tidaktau lagi siapa saudaranya yang bisa kuhubungi. Bertanya tentang
keberadaannya.
Takada jalan lain. Jalan satu-satunya hanya bisa
bertanya pada Dokter Han. Siapa tau dia paham setiap langkah jalan
hidup pasien-pasiennya.
“Kamu benar Gusti. Hanya aku yang tau dimana Eliez sekarang berada.”
Dokter Han melepas kacamatanya. Sambil memberikan sebuah surat untukku.
“Ini hasil pemeriksaan darah Eliez. Eliez ternyata membawa gen hemofilia.”
Aku menelan ludah. Menatap lamat-lamat wajah Dokter Han. Maksudnya dok?
“Karenapenyakit
Hemofilia mamanya semakin parah, Eliez memutuskan membawa mamanya
pulang ke Inggris. Di sana, mungkin pengobatannya bisa lebih baik.”
Eliez pulang ke Inggris?.
“Eliez hanya membawa gen hemophilia kan dok? Tidak sampai didiagnosa mengidap hemofilia seperti saya?”
Dokter Han kembali mengenakan kaca matanya.
“Iya.
Hanya membawa gen. Tapi tetap saja, dia tidak boleh menikah dengan
penderita hemofilia. Karena dihawatirkan anaknya kelak terjangkit
hemofilia”
Akumemejamkan mata. Berharap keterangan
dokter Han hanyalah sesuatu yang absurd. Konyol. Dan tidak masuk akal.
Jika Eliez tidak boleh menikah dengan penderita hemofilia, berarti,
perjalanan cintaku harus berhenti sebelum titik finish?.
Aku kembali menelan ludah. Dan ludah itu terasa teramat pahit.
“Dok,punya alamat Eliez di Inggris?”
Dokter Han menatapku sambil mengernyitkan dahi. Mau apa?
Akumembalas tatapannya. Aku harus bertemu Eliez. Bertanya tentang semuanya.
Akhirnya,dokter Han membuka lacinya. Menyobek kertas kecil dan menulis sesuatu.
“Ini alamat Eliez.”
Mataku
mencoba mengeja rangkaian huruf di kertas itu. Edensor, di Peak
District, Derbyshire, Inggris. Tempat yang sama sekali belum pernah
kukunjungi.
********
Aku mengetuk salah satu rumah. Setelah memastikan bahwa rumah itu
sesuai dengan alamat yang ditulis Dokter Han. Tak beberapa lama, pintu
terbuka. Seorang wanita bermata biru dengan balutan jilbab berwarna ungu
muncul di balik pintu. Hijab gamisnya anggun. Kontras sekali dengan
pemandangan bangunan gereja St. Peter. Gamis yang menjuntai anggun itu
seakan menantang keyakinan kokoh yang tergenggam erat dalam bangunan
gereja tua tersebut.
Eliez berdiri dengan tatapan matanya yang membulat karena kaget.
“Gusti…?!”
Aku tersenyum simpul sambil mengangkat bahu. “yes, i'm here.”
********
“Maaf, Gus… malam itu aku….”
Angin awal musim semi yang bertiup lirih. Menggoyang pelan daun-daun pohon apel.
“Aku dapat alamatmu dari dokter Han. Enak juga tinggal di sini.”
Aku tersenyum getir sambil menatap jauh ke hamparan bukit hijau. Pada sekawanan domba merumput.
“Leiz…,
tempat ini cocok bagi penderita insomnia. Jika tidak bisa tidur,
tinggal datang saja ketempat ini. Sambil menghitung domba-domba itu.”
Eliez
tersenyum ganjil. Menyadari celotehanku hanya sebatas penawar rasa
pahit yang menyesakkan tenggorokan. Rasa pahit yang menghambat semua
bahasa verbal antara kita.
“Ini rumah Oma. Sejak kecil
sampai remaja, sebelum menikah dengan papa, Mama tinggal di sini.
Edensormemang cantik dan mendamaikan.”
Tidak penting, Eliez. Kalimat itupun hanya sekedar basa-basi penawar getir.
“Pasti kamu telah tau semua dari Dokter Han. Tentang aku. Tentang Mama.”
Aku menelan ludah.Mengangguk. Tapi Eliez, sampai sekarang aku belum siap untuk kenyataan ini.
“Dan kamu juga sudah tau. Resiko apa jika kita menikah?”
Aku tau. Tapi aku ingin, aku tidak peduli.
Aku
menggigit bibir bawah erat-erat. Membuat perjanjian dengan perasaanku
sendiri. Aku laki-laki. Apapun yang terjadi, aku tidak boleh menangis.
“Setelah kamu tau semuanya, kamu juga tau, keputusan apa yang akan kamu ambil.”
Aku
menengadahkan pandangan. Menatap awan di atas bukit rendah Edensor.
Mencoba membujuk logika agar tetap memegang perjanjian yang telah
disepakati dengan perasaan beberapa menityang lalu. Tidak boleh
menangis.
“Aku mencintaimu, Eliez…” Pita suaraku lemah.
“Ini tidak lagi hanya masalah cinta, Gusti..!” Setetes air mata Eliez mulai turun.
“Bukakankah
kamu juga tau. Pernikahan yang membawa mudharat hukumnya haram?.
Hirarki hemofilia sudahjelas terlihat. Aku membawa gen hemofilia dari
mamaku. Sedangkan kamu jelas positif hemofili. Besar kemungkinan anak
kita akan terjangkit hemofilia juga.”
Aku menggigit
bibir bawah lebih erat lagi. Terus mengingatkan logika agar memegang
perjanjian. Mataku mulai panas. Retina mataku tertutup cairan bening
tipis hingga pandanganku mengabur.
“Maaf Gusti, aku tidak bisa melanjutkan rencana kita.”
Akhirnya, aku meminta maaf pada perasaanku sendiri. Karena telah
menghianati perjanjian itu secara sepihak. Air mataku memang sedikit
bisa kutahan. Tapi aku tetap saja menangis. Menangis bisu tanpa isak.
Edensor terlalu indah jika hanya untuk menangis. Tapi sedikitpun aku tak
bisa memaksa ego perasaanku pada Eliez.
Eliez benar. Sebuah pernikahan yang hanya akan mendatangkan bahaya
hukumnya haram. Hirarki hemofilia telah menjelaskan. Meskipun
akumenderita hemofilia, tapi jika Eliez tidak membawa gen hemofilia,
keturunan kita tidak akan memperoleh penyakit keturunan itu. Tapi, ini
kenyataan. Aku jelas menderita hemofilia dan Eliez membawa gen hemofilia
dari mamanya. Kemungkinan besar keturunan kita nanti pun akn terjangkit
hemofilia. Apalagi jika anak kita kelak laki-laki. Hemofilia akan
menjadi status yang melekat sejak dia lahir.
Aku menghirup nafas dalam-dalam. Mencoba memahami. Sekaligus mencoba
menerima. Edensor adalah tempat yang indah. Membayangkan mengajak Eliez
berlari di padang rumput yang menghampar hijau. Bergabung dengan
domba-domba yang sedang berbahagia. Sederhana dalam menjalani hidup.
Hanya butuh makan. Tak pernah ambil pusing dengan perasaan. Tidak perlu
air mata hanya untuk sekedar memahami tentang devinisi cinta dan
pernikahan.
Rasanya, aku benar-benar ingin tertidur
pulas. Menikmati itu semua dalam mimpi. Dan baru bangun saat mendengar
suara sangkakala tanda kiamat ditiup Isrofil.
Edensor, aku petik selembar daun dari tanganmu. Meski aku tau aku tidak
bisa menggenggamnya. Karena, pada daun itu kehijauan terlihat begitu
sempurna. Sesempurna cinta saat harus bersujud pada mihrab taat
pada-Nya.
Semarang, 22 Mei 2013,
Di batas antara senja dan gelap
segores pena Untuk teman yaya yang menderita hemofilia.
No comments:
Post a Comment