Wednesday, 19 March 2014

CERPEN : ENZER PHILIA

               Aku merapatkan mantel. Suhu udara awal musim dingin di Inggris terlalu ekstrim jika dibandingkan di Indonesia. Perjalanan dari Sheffield ke Peak District kupastikan memakan waktu sekitar satu jam. Tapi, perjalanan satu jam di Inggris tidak seperti perjalanan satu jam di Jakarta yang macet.

             Bus melaju pelan. Aku menyandarkan punggung lebih nyaman. Pandanganku tak lepas dari luar jendela bus. Ruang kota di Inggris tak jauh beda seperti di London. Bersih dan rapi. Aneka warna pepohonan amat elok dan rupawan. Dihiasi titik-titik putih dari kejauhan.Jika dilihat dari dekat, titik-titik putih itu adalah kawanan domba Derbyshire yang sedang asik merumput. Jalan berkelok yang dilatar belakangi bukit rendah dan lembah rumput kehijauan berlangsung hampir selama perjalanan. Semakin lama ditempuh, kota-kota itu terlihat semakin kecil. Beralih menjadi desa. Semakin hijau. Semakin cantik.

                                                                            ********

            “Elieza Ramadani. Panggil saja Eliez”

            Dia menelangkupkan tangan di depan dada.Tersenyum manis. Tidak menyambut uluran tanganku.
            “Gusti Purnama. Panggil saja Gusti.”


            Aku menarik tanganku. Agak sedikit salah tingkah. Menelangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Mengikuti gerakannya.

            “Sekedar Chek Up? Atau menjalani rutinitas cuci darah?”

            Kalimat kedua Eliez setelah perkenalannya. Aku tau. Mungkin hanya sekedar bas-basi. Dari sebuah gelang sederhana yang melilit di tangan kiriku, sebagian orang yang tau, pasti sudah bisa menebak. Aku penderita penyakit Hemofilia. Ditambah lagi aku sekarangberada di depan ruang tunggu seorang dokter spesial penyakit darah. Mengantri untuk periksa bulanan seperti biasa.

            “Hanya chek up bulanan. Eliez sendiri?”

            Di tangannya, aku tidak melihat gelang atau tanda lainnya yang bisa kuambil kesimpulan bahwa dia mengidap penyakit yang sama denganku. Atau mungkin, gelang itu tersimpan di lengannya yang tertutup baju lengan panjang.

            Eliez menggeleng “Hanya mengambil hasil chek up mama.”

            “Mama Eliez Hemofilia juga?”

            Eliez mengangguk. Kemudian tersenyum kecil. Senyum yang begitu lentik di wajah manisnya. Pahatan wajah yang sempurna dari sang maestro seni kriya kehidupan. Mata birunya terpahat manis di bentuk wajah yang sempit terbalut dengan jilbab putih anggunnya.

Pandangannya begitu teduh. Hening. Sehening patung budha. Tapi, pada titik hening itulah hatiku terasa direnggut, digenggamnya erat-erat, dibekukan. Hingga akhirnya dikristalkan seperti garam.

            Itulah awal perkenalanku dengan Eliez. Seorang wanita anggun keturunan Inggris-Sunda Sejak lahir sudah tinggaldi Jakarta. Ibunya termasuk bangsa Nor. Lahir dan besar di Inggris. Pindah ke Indonesia ketika menikah dengan ayahnya yang asli Bandung. Mereka bertemu saat ayahnya mendapat tugas belajar di Newcastle-Inggris. Dari pernikahan itu, hanya dikaruniai seorang anak perempuan. Eliez Ramadani.

            Tidak munafik. Kuakui, Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan aku berjanji, akan terus mencintai pada tiap pandangannya.

                                                                        ********

            Satu jam perjalanan yang tak terasa lelah. Bus berhenti di pemberhentian Chatsworth House. Sebuah objek wisata berupa bagunan kuno nan megah, Kastil kediaman keluarga ningrat Inggris di masa lalu. Sekilas melihat bangunan ini, aku tersenyum mafhum. Sekilas melihat saja, aku bisa merasakan.Betapa mewahnya kehidupan keluarga ningrat Inggris jaman dahulu. Namun aku tak berhenti di sini. Karena tempat yang kutuju adalah sebuah desa yang bernama Edensor(Baca:Enzer), di Peak District, Derbyshire, Inggris. Menemukan rumah Eliez. Tak jauh dari Chatsworth House ini.

                                                                        ********

            “Hemofilia, banyak menjangkiti orang-orang Eropa.Terutama di Inggris. Dan keluargaku salah satunya. Papa yang asli Sunda, sama sekali tidak pernah terjangkit penyakit ini. Tapi Mama awalnya hanya membawa gen Hemofili. Tapi, dari pemeriksaan selanjutnya, ternyata mama juga mengidapnya.”

            Serius kudengarkan ceritanya. Obrolan panjang lebar kitadi pertemuan kedua. Namun masih di tempat yang sama. Di ruang tunggu dokter. Semenjak pertama kali ketemu Eliez, aku sengaja mengatur waktu chek up. Berusaha menyamakan waktu chek up dengan Mamanya Eliez. Meski itu tidak mudah. Karena harus bernegoisasi rumit dengan dokter Han. Mengemukakan beberapa alasan.

Kaliini dia bersama mamanya. Seorang bule dengan rambut pirang tanpa jilbab. Meski sudah setengah abad lebih tinggal di Jakarta, logat Inggrisnya masih kental.

            “Kamu sendiri? Darimana asalnya, hingga bisa terjangkit hemofilia?”

            Aku tersentak. Tergagap hingga mengalihkan pandangan dari Nyonya Katya. Mama Eliez, yang meski sudah menua, namun masih terlihat segar.

            Aku menggeleng. “Entahlah. Dari kecil aku tinggal dipanti asuhan. Hingga akhirnya, sekitar umur 10 tahun aku baru tau, kalau penyakit yang kuidap selama ini adalah hemofilia.”

Tak banyak komentardari Eliez. Dia hanya mengangguk sambil tersenyum manis. Entah apa arti anggukannya. Mungkin memang benar-benar memahami. Atau hanya sebatas formalitas. Sedangkan dihatinya berkata. Aku tidak peduli.
                                                                               ********
            Dari Chatsworth House, aku berjalan kaki. Awal musim semiyang indah di Derbyshire. Kampung halaman yang indah bagi Nyonya Katya. Mama Eliez. Landscape hijau menghampar diantara pohon apel dan pohon willow. Langkahku terhenti sebentar. Menatap ribuan domba merumput mencari hidup. Seakan tanpa beban. Dia hanya butuh makan.

            Hatiku tersenyum ringan. Kenapa Eliez tidak pernah bercerita tentang kampung halaman Mamanya?. Atau, mungkin Eliez sebelumnya tidak pernah kemari?. Jalan setapak di tengah pemukiman penduduk yang tenang. Rumah-rumah jaman tua yang sepertinya sengaja tidak dibangun ulang terasa mengubahku seketika menjadi actor pangeran dongeng peri kerajaan Inggris.

                                                                             ********
            “Aku tau, Eliez. Mungkin ini terlalu cepat. Tapi, hanya seperti inilah sebuah apresiasi atas perasaanku selama ini.”

            Pertemuan yang kesekian dengan Eliez. Sekaligus pandanganyang kesekian di teduh matanya. Aku hanya bisa menunduk. Malu namun jelas kuakui. Aku akan selalu jatuh cinta pada tiap pandangan matanya. Termasuk pandangannya malam ini.

            Tempat yang teramat sederhana. Sebuah taman kecil dirumah sakit khusus pengidap Hemofilia. Sebentuk cincin kecil yang teramat sederhana. Tidak mahal. Hasil jerih payahku menabung selama ini. Sedikit, namun begitu serius aku mengumpulkannya. Seserius perasaanku pada Eliez. Namun Sesederhana hatiku dalam mendevinisikan kata “cinta”.

            Siluet senyum terbit di wajah teduhnya. Mata birunya ringan mengerjap. Rona mukanya memancar mengalahkan redupnya lampu taman. Pandangan Eliez kembali menatapku. Maksudnya?

            “Jika kamu bersedia menikah denganku, pakailah cincin ini. Tapi, jika kamu menolak, Kuharap kamu masih mau menyimpannya. Menyimpan untukku. Gusti si penderita Hemofilia”.

Eliez menatapku lekat. Wajahnya terlihat serius mencoba menjawab. Tapi mungkin, bahasa yang dia punya hanya bahasa perasaan. Rangkaian huruf verbal yang sejak tadi dicoba dirangkainya menguap bersama hembusan karbondioksida dalam satu hembusan nafasnya. Hembusan nafas lega. Dia hanya mengangguk Iya Gusti, aku menerima. Cincin itu dipakainya.

            Perasaanku melambung. Perjalanan cintaku baru saja melesat dari garis start.

                                                                           ********
            Setelah menelusuri jalan setapak berbatu, aku berhenti di depan sebuah gereja. Gereja St. Peter. Di depan gereja yang megah terkesan kokoh, kuat dan tegas memegang keyakinan itu, ada sebuahpapan petunjuk berwarna biru.

                                                                St. PETER CHURCH
                                                                        EDENSOR
                                                VISITORS WELCOME SUNDAY SERVICE
                                                                      10.30am

            Aku tersenyum puas. Edensor di depan mata. Rumah Eliez ada diantara rumah-rumah tua yang terbuat dari batu berwarna kelabu. Letaknya naik turun mengikuti kontur tanah Edensor yang sedikit berbukit.

            Pandanganku kubiarkan menyapu padang rumpu hijau khas Inggris yang tertata rapi. Jalanan setapak menuju ke dalam wilayah Edensor masih menunggu telapak kakiku.

                                                                       ********
            Aku menunggu resah. Sebuah kotak berwarna ungu sebagai hadiah untuk Eliez malam ini ku pegang erat. Sudah satu jam lebih aku menunggu Eliez di taman rumah sakit. Beberapa hari yang lalu, Eliez bersedia bertemu denganku di taman ini. Sebuah pertemuan sederhana. Hanya ingin memberikans ebuah kado untuk Eliez. Hari ini dia berulang tahun. Ulang tahun yang ke-25.

            Detik merangkai menit. Menit menggenapkan hitungan jam. Malam beranjak matang. Tanpa mau sedikitpun peduli dengan keresahan hatiku. Aku mengusap peluh di dahi. Otakku sudah berontak tidak sabar. Namun,
perasaanku mencoba membujuk. Ayolah, setengah jam lagi. Akhirnya otakku menurut. Baiklah. Setengah jam lagi.

            Lampu taman perlahan redup. Aku melihat arloji. Sudah lewat tiga puluh menit dari waktu yang dibujuk perasaanku. Keresahanku mencapai titik klimaks. Kado untuk Eliez kugenggam erat. Aku tidak mungkin di sini sampai malam. Segera kuputuskan untuk pulang. Sebelum kakiku melangkah kecewa, aku mengirim pesan singkat di Handphone Eliez. Selamat Ulang Tahun. Semoga panjang umur.

            Kalimat ucapan yang sederhana pula.

                                                                             ********
            Aku mengeluarkan secarik kertas yang berisi alamat rumah Eliez. Dari info yang kuterima, Edensor adalah desa yang tidak terlalu luas. Dan memang benar. Dari kejauhan, Beberapa rumah tua mungil berjejer rapi meski terlihat letih dimakan usia. Konsep arsitektur rumah-rumah di Edensor hampir mirip dengan rumah induknya yaitu Chatsworth House.

            Seperti format dejavu. Aku merasa tidak asing dengan desa ini. Diskripsi yang sama ketika aku membaca cerita negeri dongeng sewaktu kecil dulu. Bangunan-bangunan mungil ini terbuat dari batu alam., dengan menara kecil di sudut rumah dan bingkai jendela yang serupa dengan rumah-rumah di bukucerita itu.

                                                                             ********

            Untuk kesekian kalinya, aku tidak pernah lagi melihat Eliez di rumah sakit mengantar chek up mamanya. Semenjak gagalnya pertemuanku dengan Eliez saat akan merayakan ulang tahunnya dulu, sampai sekarang aku takpernah lagi bisa menemuinya. Bahkan, pesan ucapan selamat ulang tahunku dulu juga tak kunjung dibalas.
Sekali dua kali ketika aku tidak lagi menemukan Eliez di rumah sakit, aku masih bisa menahan sepotong rindu ini. Namun, pada akhirnya, aku kalah juga. Eliez tak pernah memberitahu alamat rumahnya di Jakarta. Selain mamanya, aku juga tidaktau lagi siapa saudaranya yang bisa kuhubungi. Bertanya tentang keberadaannya.
Takada jalan lain. Jalan satu-satunya hanya bisa bertanya pada Dokter Han. Siapa tau dia paham setiap langkah jalan hidup pasien-pasiennya.

“Kamu benar Gusti. Hanya aku yang tau dimana Eliez sekarang berada.”

Dokter Han melepas kacamatanya. Sambil memberikan sebuah surat untukku.

“Ini hasil pemeriksaan darah Eliez. Eliez ternyata membawa gen hemofilia.”

Aku menelan ludah. Menatap lamat-lamat wajah Dokter Han. Maksudnya dok?

“Karenapenyakit Hemofilia mamanya semakin parah, Eliez memutuskan membawa mamanya pulang ke Inggris. Di sana, mungkin pengobatannya bisa lebih baik.”

Eliez pulang ke Inggris?.

“Eliez hanya membawa gen hemophilia kan dok? Tidak sampai didiagnosa mengidap hemofilia seperti saya?”
Dokter Han kembali mengenakan kaca matanya.

“Iya. Hanya membawa gen. Tapi tetap saja, dia tidak boleh menikah dengan penderita hemofilia. Karena dihawatirkan anaknya kelak terjangkit hemofilia”

Akumemejamkan mata. Berharap keterangan dokter Han hanyalah sesuatu yang absurd. Konyol. Dan tidak masuk akal. Jika Eliez tidak boleh menikah dengan penderita hemofilia, berarti, perjalanan cintaku harus berhenti sebelum titik finish?.

Aku kembali menelan ludah. Dan ludah itu terasa teramat pahit.
“Dok,punya alamat Eliez di Inggris?”

Dokter Han menatapku sambil mengernyitkan dahi. Mau apa?

Akumembalas tatapannya. Aku harus bertemu Eliez. Bertanya tentang semuanya.

Akhirnya,dokter Han membuka lacinya. Menyobek kertas kecil dan menulis sesuatu.

“Ini alamat Eliez.”

Mataku mencoba mengeja rangkaian huruf di kertas itu. Edensor, di Peak District, Derbyshire, Inggris. Tempat yang sama sekali belum pernah kukunjungi.

                                                                            ********

            Aku mengetuk salah satu rumah. Setelah memastikan bahwa rumah itu sesuai dengan alamat yang ditulis Dokter Han. Tak beberapa lama, pintu terbuka. Seorang wanita bermata biru dengan balutan jilbab berwarna ungu muncul di balik pintu. Hijab gamisnya anggun. Kontras sekali dengan pemandangan bangunan gereja St. Peter. Gamis yang menjuntai anggun itu seakan menantang keyakinan kokoh yang tergenggam erat dalam bangunan gereja tua tersebut.

            Eliez berdiri dengan tatapan matanya yang membulat karena kaget.

“Gusti…?!”

Aku tersenyum simpul sambil mengangkat bahu. “yes, i'm here.”

                                                                             ********

            “Maaf, Gus… malam itu aku….”

Angin awal musim semi yang bertiup lirih. Menggoyang pelan daun-daun pohon apel.

“Aku dapat alamatmu dari dokter Han. Enak juga tinggal di sini.”

Aku tersenyum getir sambil menatap jauh ke hamparan bukit hijau. Pada sekawanan domba merumput.

“Leiz…, tempat ini cocok bagi penderita insomnia. Jika tidak bisa tidur, tinggal datang saja ketempat ini. Sambil menghitung domba-domba itu.”

Eliez tersenyum ganjil. Menyadari celotehanku hanya sebatas penawar rasa pahit yang menyesakkan tenggorokan. Rasa pahit yang menghambat semua bahasa verbal antara kita.

“Ini rumah Oma. Sejak kecil sampai remaja, sebelum menikah dengan papa, Mama tinggal di sini. Edensormemang cantik dan mendamaikan.”

Tidak penting, Eliez. Kalimat itupun hanya sekedar basa-basi penawar getir.

“Pasti kamu telah tau semua dari Dokter Han. Tentang aku. Tentang Mama.”

Aku menelan ludah.Mengangguk. Tapi Eliez, sampai sekarang aku belum siap untuk kenyataan ini.
“Dan kamu juga sudah tau. Resiko apa jika kita menikah?”

Aku tau. Tapi aku ingin, aku tidak peduli.

Aku menggigit bibir bawah erat-erat. Membuat perjanjian dengan perasaanku sendiri. Aku laki-laki. Apapun yang terjadi, aku tidak boleh menangis.

“Setelah kamu tau semuanya, kamu juga tau, keputusan apa yang akan kamu ambil.”

Aku menengadahkan pandangan. Menatap awan di atas bukit rendah Edensor. Mencoba membujuk logika agar tetap memegang perjanjian yang telah disepakati dengan perasaan beberapa menityang lalu. Tidak boleh menangis.

“Aku mencintaimu, Eliez…” Pita suaraku lemah.

“Ini tidak lagi hanya masalah cinta, Gusti..!” Setetes air mata Eliez mulai turun.

“Bukakankah kamu juga tau. Pernikahan yang membawa mudharat hukumnya haram?. Hirarki hemofilia sudahjelas terlihat. Aku membawa gen hemofilia dari mamaku. Sedangkan kamu jelas positif hemofili. Besar kemungkinan anak kita akan terjangkit hemofilia juga.”

Aku menggigit bibir bawah lebih erat lagi. Terus mengingatkan logika agar memegang perjanjian. Mataku mulai panas. Retina mataku tertutup cairan bening tipis hingga pandanganku mengabur.

“Maaf Gusti, aku tidak bisa melanjutkan rencana kita.”

            Akhirnya, aku meminta maaf pada perasaanku sendiri. Karena telah menghianati perjanjian itu secara sepihak. Air mataku memang sedikit bisa kutahan. Tapi aku tetap saja menangis. Menangis bisu tanpa isak. Edensor terlalu indah jika hanya untuk menangis. Tapi sedikitpun aku tak bisa memaksa ego perasaanku pada Eliez.

            Eliez benar. Sebuah pernikahan yang hanya akan mendatangkan bahaya hukumnya haram. Hirarki hemofilia telah menjelaskan. Meskipun akumenderita hemofilia, tapi jika Eliez tidak membawa gen hemofilia, keturunan kita tidak akan memperoleh penyakit keturunan itu. Tapi, ini kenyataan. Aku jelas menderita hemofilia dan Eliez membawa gen hemofilia dari mamanya. Kemungkinan besar keturunan kita nanti pun akn terjangkit hemofilia. Apalagi jika anak kita kelak laki-laki. Hemofilia akan menjadi status yang melekat sejak dia lahir.

            Aku menghirup nafas dalam-dalam. Mencoba memahami. Sekaligus mencoba menerima. Edensor adalah tempat yang indah. Membayangkan mengajak Eliez berlari di padang rumput yang menghampar hijau. Bergabung dengan domba-domba yang sedang berbahagia. Sederhana dalam menjalani hidup. Hanya butuh makan. Tak pernah ambil pusing dengan perasaan. Tidak perlu air mata hanya untuk sekedar memahami tentang devinisi cinta dan pernikahan.

Rasanya, aku benar-benar ingin tertidur pulas. Menikmati itu semua dalam mimpi. Dan baru bangun saat mendengar suara sangkakala tanda kiamat ditiup Isrofil.

            Edensor, aku petik selembar daun dari tanganmu. Meski aku tau aku tidak bisa menggenggamnya. Karena, pada daun itu kehijauan terlihat begitu sempurna. Sesempurna cinta saat harus bersujud pada mihrab taat pada-Nya.









Semarang, 22 Mei 2013,
Di batas antara senja dan gelap


segores pena Untuk teman yaya yang menderita hemofilia.





           






No comments:

Post a Comment