Tuesday, 25 March 2014

CERPEN : DAUN YANG KUAT TAK AKAN JATUH DITERPA ANGIN




Nami Island, Seoul.
Saat semuanya berakhir dan mimipi-mimpi itu harus terpatahkan.

Aku masih duduk mematung. Menatap air Danau Cheongpyeong yang mengalir tenang. Sesekali merapatkan mantel atau membenahi syal yang melilit di leher. Awal musim semi di Seoul dengan suhu udara yang bisa kuperkirakan antara 9-12 derajat Celsius. Seharusnya, senja ini adalah awal musim semi yang indah. Menikmati kuncup bunga sakura yang mulai mekar. Memanjakan mata dengan menatap pohon metasequoia yang berjajar rapi. Ataupun sekedar bersepeda disela-sela pohon pinus. Menghabiskan sisa liburan musim gugur yang telah lepas beberapa hari yang lalu.

“Kapan Lee…???”
“rencananya tiga bulan lagi.”

CERPEN : SEHELAI DAUN YANG HAMPIR JATUH





(..... Lanjutan cerpen "Daun Yang Kuat Tak Kan Jatuh Diterpa angin"....)

“Kamu tau Lee..? Aku sangat mencintaimu..”

            Dari dulu, aku tau kalimat itu cepat atau lambat, pasti akan Kinar ucapkan juga. Meski terdengar pelan, aku yakin, Kinar telah mengumpulkan segenap keberaniannya untuk sekedar mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang mungkin telah dipendamnya hampir dua tahun.
            Memang harus kuakui. Kinar begitu pintar menyimpannya. Rapat dan dalam. Meski sebagai laki-laki, aku bisa membaca sikapnya. Kinar yang hampir tiap hari mengirimkan pesan via sms. Kinar yang hampir tiap hari bertanya kabar. Hingga Kinar yang sering kali mengajakku berdiskusi tentang masalah pernikahan. Bahkan suatu saat pernah bertanya,
“Lee,,, kira-kira, kriteria calon istrimu seperti apa?”
            Tak perlu banyak mengartikan. Tak perlu banyak memberi alasan. Sikap Kinar cukup membuatku Faham. Hingga sekarang, semua itu terungkapkan. Kata cintanya. Meski semua itu terasa terlambat.
“Kapan rencana pernikahnmu, Lee?”

CERPEN : AIR MATA PENGANTIN DI DAUN TAKDIR


 (..... Lanjutan cerpen "Sehelai Daun Yang Hampir Jatuh"....)

Hari yang kesekian di Seoul.

            Aku menatap bulan pucat. Dan beberapa kerlip bintang yang kehadiran mereka seakan di abaikan. Tak dianggap. Festival Lentera dan lampion Sungai Cheonggyecheon, pusat kota Seoul cukup bisa melupakan sinar bulan dan bintang yang menghias langit.

            Hari ini. Atau tepatnya malam ini, aku terakhir kali menginjakkan kaki di Seoul. Setelah seminggu yang lalu, wisuda kelulusan pascasarjanaku di Hongik University berlangsung meriah. Hingga akhirnya, gelar Magister Ilmu Sastra dan Budaya, mutlak mengekor di belakang nama lengkapku.

            “Kinar, untuk tiket keberangkatan besok ke Indonesia sudah dipersiapkan?”
Suara mama membuyarkan lamunanku. Memaksaku mengalihkan pandangan dari sebuah lampion berbentuk naga yang melenggok indah tepat di hadapanku.
Aku mengangguk. Sudah. Bahkan telah kupersiapkan tiga hari yang lalu.

CERPEN : CEMBURU STADIUM AKUT



 “Laki-laki itu, boleh kita kasih kepercayaan. Tapi, bukan berarti kita percaya seratus persen. Harus pinter-pinter ngontrol aktivitasnya.”

            Mbak Eva terus saja berceloteh sambil merapikan dapur dan meja makan untuk persiapan makan siang. Beberapa hari ini Mbak Eva sengaja aku minta untuk sering-sering main ke rumahku. Kalau dia tidak sebuk sendiri dengan keluarganya. Kalau suami Mbak Eva tidak sedang dirumah dan anak-anaknya juga sedang berada di sekolah.

Mbak Eva adalah tetangga sebelah rumahku. Ibu rumah tangga yang punya satu suami dengan dua putra putri yang lucu. Semenjak aku menikah dengan Abang –begitu aku memanggil suamiku- beberapa bulan yang lalu dan memutuskan mengontrak sebuah rumah kecil di kompleks perumahan sederhana, aku bersebelahan rumah dengan Mbak Eva.

Monday, 24 March 2014

CERPEN : ROMANTIS




  “Tadi malam hujan kok masih nyiram bunga????” Tanya suamiku heran.
Aku hanya diam sambil terus memegangi selang air dan mengamati tanaman bunga mawar yang menghiasi halaman kecil di depan rumahku.
Sejanak aku masih sibuk dengan bunga-bungaku. Dan kulihat suamiku juga masih sibuk dengan sepeda motornya. Persiapan berangkat ke kantor.
“Mas… Ingat…!!! Minggu depan tanggal dua puluh November.”
“Oh iya….!!! Terakhir bayar air PDAM ya?????. Biar besok Mas sebelum ke kantor mampir ke PDAM dulu buat bayar air.”
Kok??? Bayar air???????

Saturday, 22 March 2014

CERPEN : SUJUD CINTAKU DI KAKI IBU



“Pokoknya Nana ga mau pulang…!!! Abang pulang sendiri sana…!!!!”
“Tapi Na… Abang minta kamu pulang…!!! Ibu sakit. Ibu ingin bertemu denganmu….!!!”
Bang Rasyid, kakakku terus mencoba membujukku untuk pulang. Sudah hampir sebulan ini aku kabur dari rumah. Dan tinggal di rumah Imah. Teman sekampusku.
“Ayolah Na…!!!!!!!! Kamu ga kasihan sama ibu????”

Friday, 21 March 2014

CERPEN : SEKUAT BUNGA RUMPUT




“Sebelum ayah menikah dengan ibu, memangnya Ayah tidak pernah bertanya pada ibu?. Apa alasan ibu mau menerima Ayah sebagai suaminya?”
Aku serius bertanya. Aku tau. Bagi Ayah, ini bukan pertanyaan pertama. Pasti dulu pernah ada yang bertanya pada Ayah dengan pertanyaan senada dengan pertanyaan ini. Pandanganku focus pada raut muka Ayah. Tidak sabaran untuk segera mendengar jawaban Ayah.
Tapi percuma. Ayah hanya terkekeh kecil. Sambil menyeruput sdikit kopi pagi kali ini. Sepertinya, Ayah sengaja mengulur waktu untuk menjawab pertanyaanku. Ayah sepertinya sengaja untuk membuatku penasaran.
“Tentu saja pernah. Dan bahkan, itu pertanyaan pertama Ayah pada ibumu satu detik setelah ibumu mengatakan mau menerima lamaran Ayah.”
“Terus, Ibu menjawab apa?”

Thursday, 20 March 2014

CERPEN : DUA BIDADARI





"Rangga,, anggap ini adalah permintaan terakhir dari bu, Nak…”

Wajah itu menatapku tajam. Wajah cantik ibu yang sebagian tertutup keriput halus melihatkan harapan yang teramat sangat. Aku hanya menunduk kaku. Tidak berani menatap wajah bidadari terindahku. Bukannya takut dengan kalimatnya. Tapi, lebih karena aku tidak berani untuk mengambil keputusan saat itu.

Dalam sejarah hidupku, satu hal yang teramat sulit untuk kulakukan adalah menentang keinginan ibu. Bukan karena aku takut pada ibu. Tapi, lebih cenderung pada sebuah alasan. Sejak aku kecil, sampai sekarang umurku yang hampir seperempat abad, teramat jarang sekali ibu meminta sebuah permintaan dariku. Ibu lebih banyak menuruti semua keinginanku. Dari masalah memilih baju sampai masalah memilih sekolah. Ibu selalu bersikap demokratis. Aku diberi kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk memilih.

“Rangga mencintai Kania, Bu….”

Suaraku terdengar menggantung.
Hening sejenak. Hanya menyisakan suara detik jam dinding.
“Rangga tidak mencintai ibu…????”

Deg…!!! Terasa seperti ada sebilah pisau yang menyayat batinku. Perih.

CERPEN : SEBENING AIR MATA CINTA


“Kamu ingat janji pernikahan kita, mas..?”

Nada bicara Sonia pelan. Bahkan lembut. Selembut suaranya waktu pertama kali aku bertemu dengannya. Tapi justru pada titik kelembutan itulah, hatiku terasa direnggut. Digenggamnya erat-erat. Dibekukan. Hingga akhirnya dikristalkan seperti garam. Aku hanya bisa mengangguk. Saat kelembutan itu tak ubahnya titik beku bongkahan es yang tiba-tiba menjebakku.

            Jika kata-kata diibaratkan pedang,kata-kata pertanyaan Sonia yang baru saja terucap seperti lempengan pedang yang terbuat dari es. Sekali terucap, seperti menggores. Terasa menyakitkan sekaligus membekukan.
            “Maafkan aku, Sonia. Aku tak pernah menginginkan semua ini”

            “Terus Siapa…??? Siapa yang menginginkan semua ini terjadi mas? Siapa yang menginginkan hubungan diantara kalian terjadi?. Hubungan mas dengan wanita itu?”

Wednesday, 19 March 2014

CERPEN : GAZA TERNYATA TAK BUTUH SUAMIKU



Jakarta, 10 Mei 2010
Malam belum menunjukkan larutnya. Jam dinding yang tergantung di ruang tamu rumahku masih menunjukkan pukul delapan lebih lima menit. TV di ruang tengah kubiarkan menyala meski sebenarnya tak ingin aku melihatnya. Aku masih menunggu suamiku pulang. Berkali kali kusibak korden jendela kaca ruang tamu. Berharap suamiku telah ada di depan pintu. Tapi, berkali kali pula aku hanya menyimpan kecewa seiring tanganku yang menutup kembali korden itu. Pertanda suamiku belum pulang. Tugasnya sebagai wartawan INDO TV menuntutnya untuk sering lembur. Dengan membiarkan aku dan Safiya putri kita yang masih berusia satu setengah tahun menunggu sampai malam telah berstatus larut. Bahkan pernah pula sampai hampir menjelang subuh.

Kali ini memang tidak selarut biasanya. Tapi entah kenapa ada perasaan sedikit khawatir menggelayuti perasaanku. Segera kuhibur perasaanku sendiri dengan menghadirkan berbagai alasan untuk berpositif tinking. Mungkin masih ada deadline yang harus segera diselesaikan suamiku. Mungkin ada rapat penting antara para wartawan. Atau mungkin terjebak dengan kemacetan Jakarta. Ah, sudahlah….!! Aku segera beranjak menuju kamar dimana Safiya tertidur pulas. Hanya sekedar memastikan Safiya tertidur dengan nyaman.

CERPEN : EMBRIO



“Kamu yakin Van?” Hendra bertanya dengan retorika serius.

Aku mengangguk sekedarnya. Yakin. Mengabaikan wajah Hendra yang terlihat psimis dengan rencana ‘gila’ku karena kedua mataku masih lekat menempel pada lensa okuler microscop.

“Maksudku,kamu yakin bahwa kamu bukan termasuk salah satu aliran sekte keagamaan Raelians dari Amerika yang mempercayai kehidupan di bumi diciptakan mahluk angkasa luarmelalui rekayasa genetika?”

                Kepalaku hanya menggeleng. Kemudian memutar revolver microscop untuk mengatu rperbesaran lensa objektif. Melihat objek di meja microscop yang sangat kecil jika dilihat dengan mata telanjang.
“Kalau begitu, kamu tau kan Van? Bahwa proses cloning pada manusia benar-benar dilarang oleh agama manapun? Termasuk agamamu.”

            Aku hampir tidak bisa lagi mengabaikan kalimat-kalimat Hendra seperti jeritan kelelawar yang jelas sekali mengusik senyapnya malam. Memecah konsentrasiku pada sebuah sel somatic yang tidak bisalagi dilihat dengan mata telanjang.

“Kamu mendapat sel ini dari mana Hen?”

CERPEN : ENZER PHILIA

               Aku merapatkan mantel. Suhu udara awal musim dingin di Inggris terlalu ekstrim jika dibandingkan di Indonesia. Perjalanan dari Sheffield ke Peak District kupastikan memakan waktu sekitar satu jam. Tapi, perjalanan satu jam di Inggris tidak seperti perjalanan satu jam di Jakarta yang macet.

             Bus melaju pelan. Aku menyandarkan punggung lebih nyaman. Pandanganku tak lepas dari luar jendela bus. Ruang kota di Inggris tak jauh beda seperti di London. Bersih dan rapi. Aneka warna pepohonan amat elok dan rupawan. Dihiasi titik-titik putih dari kejauhan.Jika dilihat dari dekat, titik-titik putih itu adalah kawanan domba Derbyshire yang sedang asik merumput. Jalan berkelok yang dilatar belakangi bukit rendah dan lembah rumput kehijauan berlangsung hampir selama perjalanan. Semakin lama ditempuh, kota-kota itu terlihat semakin kecil. Beralih menjadi desa. Semakin hijau. Semakin cantik.

                                                                            ********

            “Elieza Ramadani. Panggil saja Eliez”

            Dia menelangkupkan tangan di depan dada.Tersenyum manis. Tidak menyambut uluran tanganku.
            “Gusti Purnama. Panggil saja Gusti.”

CERPEN : BELAJAR JADI KORUPTOR

           
Arloji di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 13.00. Terik matahari yang menyengat. Arus kendaraan sepanjang jalan pahlawan, kawasan simpang lima Semarang terlihat agak tersendat. Beberapa polisi terlihat siaga di depan gedung DPRD Semarang. Lengkap dengan laras panjang di tangan.
            Aku menyeka peluh di wajah. Kuabaikan terik matahari yang mengguyur panas siang ini. Debu-debu dan asap knalpot kendaraan terasa berebut menampar wajahku. Berbaur dengan penat yang menggantung di sekujur tubuh.
            “Bebaskan Semarang dan Jawa Tengah dari sarang koruptoooooorrrrr………”
Kulihat Alfian, lantang meneriakkan orasinya. Microphone yang di stel keras-keras, ternyata masih kalah dengan kebisingan arus kendaraan yang melintas.
            “Apa jadinya anak cucu kalian nanti..????? Jika dari tangan kalian sendiri selalu mengajari kita untuk jadi koruptor…???? Mamakan uang rakyat….!!!!”

Tuesday, 18 March 2014

CERPEN : RUMAHKU (SERAMBI) SURGAKU

           
“Aufal…. Bangun naaaakkkkk..! sudah siang. Belum shalat subuh. Nanti terlambat ke sekolah”

            Kubuka jendela kamar Aufal, putra sulungku yang baru menginjak kelas satu sekolah dasar. Aufal hanya menggeliat kecil.Memicingkan mata, sambil melirik jam dinding Winnie the pooh yang tergantung di dinding kamar.

            “Ayo bangun, sayang.” Aku berusaha sesabar mungkin “Aufal belum shalat subuh kan? Kalau keduluan bangun sama matahari, bisa diketawain sama matahari.”

CERPEN : LEMBAR CATATAN AYAH

29 April 1986

            “Hadiah terhebat yang pernah kudapatkan dari tuhan adalah ketika aku dipanggil ‘ayah’."

            Pagi masih menggeliat. Subuh baru saja selesai beberapa menit yang lalu. Namun suara rintihan Salima, istriku yang mengeluh sakit perut memkasaku untuk bersepeda menempuh jarak lima kilometer menjemput dukun beranak terdekat dari desa kami. Hari ini, tepat Sembilan bulan lebih tujuh hari usia kehamilannya. Hari ini, anakku akan lahir. Hari ini aku akan dipanggil ‘ayah’. Dan mulai hari ini, rumah kecil dan sederhana keluarga kita akan ramai oleh tangisan seorang bayi. Akan ada wangi dengan bau minyak telon, minyak kayu putih, bedak bayi dan beberapa bau kha sbayi lainnya.

            “Alhamdulillah… bayinya perempuan.”